Share

Belakang rumah

 "Kami masuk dulu Bu! Kasihan Nana capek," ucap mas Harto, menarik tanganku menjauh sebelum tangan ibu benar-benar menyentuh perut buncit ini.

 Bukannya marah dengan sikap mas Harto, ibu malah tersenyum dan mengangguk. Persis seperti senyum seorang psikopat.

  Tak perlu waktu lama untuk kami bertiga, kini sudah berada di dalam kamar yang dulu aku dan mas Harto tempati.

 "Mas, kalau mau mandi di mana? Badanku rasanya gerah banget," ucap Ahmad, tampak gelisah.

 Aku hanya melirik ke arah Ahmad dan mas Harto bergantian. Tanpa perlu aku tebak, aku sudah tau, apa jawaban mas Harto nanti.

 "Besok saja mandinya Mad!" 

 Sesuai dengan perkiraanku. Mas Harto pasti melarangnya. Ternyata selama aku tinggal ke kota, aturan di rumah ini tidak pernah berubah. Masih sama, jika malam hari harus berdiam diri di dalam kamar.

 "Tapi Mas, aku sudah pasti tidak bisa tidur nanti," protes Ahmad, ia belum tahu menahu soal rumah ini.

 "Mad, dengarkan mas Harto! Besok saja mandinya!" bisikku, berharap Ahmad mau mendengarkan aku.

 Walaupun Ahmad ingin protes lebih pada kami berdua, Ahmad tetap menurutinya.

 "Kalian berdua kalau mau buang air kecil atau besar, sekarang saja! Setelah itu kita istirahat dan makan di kamar saja!" ucap mas Harto, kali ini ia seperti waspada.

 Lagi-lagi Ahmad melirik ke arahku. Aku hanya mengangguk meminta Ahmad menurutinya.  

 "Ayo Mad, kita ke belakang!" ajakku, menggandeng lengan adikku.

 Mas Harto yang memimpin jalan. Ruangan rumah terlihat gelap. Padahal jika dulu kami tinggal di sini, ruangan dari depan kamar sampai ke dapur selalu saja terang karena lampu rumah kami nyalakan.

 "Ka, gelap banget! Sudah kayak tinggal di rumah setan aja!" bisik Ahmad, saat kami melewati kamar kosong bergembok.

 "Mulutmu Mad! Jangan bicara sembarangan!" Balasku berbisik.

 Baru saja selesai aku mengatakan itu, terdengar benda jatuh dari dalam kamar itu. Aku dan Ahmad langsung berpelukan karena kaget. Berbeda dengan mas Harto, ia justru terlihat biasa saja. Walaupun samar-samar aku melihat wajahnya juga tegang.

 "Kita ke belakang sekarang!" titah mas Harto, menggiring kami ke belakang.

 Sesampainya kami di sumur belakang rumah. Lagi-lagi Ahmad berbisik. Mendengar bisikan Ahmad, aku jadi pusing sendiri.

 "Sudah, diam saja Mad! Nanti Kakak jelaskan!" bisikku, menyenggol lengan Ahmad.

 "Mad, kamu duluan! Nanti kalau kamu jalan aja ke bawah pohon kenanga itu! Di sana sudah ada lobang yang digali," ucap mas Harto, sekembalinya dari arah yang dia tunjuk.

 Ahmad menoleh menatapku. Tatapannya hampir tak berkedip sama sekali, seakan meminta penjelasan padaku.

 "Kamu turuti saja Mad!" bisikku.

 Kini Ahmad menoleh ke arah mas Harto.  "Memangnya untuk apa ke situ Mas?" tanya Ahmad.

 "Buang hajat Mad. Cepat ke sana!  Nanti gantian sama Nana," sahut mas Harto, matanya awas melihat sekitar.

 Ahmad tampak bergidik ngeri.  "Buang hajat di sana Mas? Yang benar saja? Apa di sini tidak ada toilet?" protes Ahmad.

 "Ada, tapi lebih baik tidak usah digunakan!" sahut mas Harto.  Dia benar-benar serius kali ini.

 Aku sebenarnya paham, kenapa mas Harto melarang kami ke toilet itu. Berbulan-bulan tidak tinggal di sini, aku sampai mual sendiri membayangkan betapa bau dan kotornya ruangan kecil itu.

 "Ayo Mad, cepat!" desak mas Harto, kala rimbunnya batang pohon bambu bergerak liar.

 Bulu-bulu halus di tangan dan tengkuk mulai berdiri. Sekilas aku kembali melihat cahaya merah yang semakin menjauh. 

 Tanpa membuang waktu lagi, Ahmad berlari menuju pohon kenanga, sampai-sampai ia melupakan seember air yang sudah mas Harto siapkan.

 "Mad, ember kamu ketinggalan!" teriak mas Harto, melambaikan tangannya ke arah Ahmad yang sudah hampir sampai.

 Melihat kelakuan Ahmad. Suasana yang tadinya sudah menegangkan, seketika mencair. Mas Harto tertawa terbahak-bahak, begitu pula aku. Perutku sudah sakit dibuat Ahmad.

 "Hah... Hah... Mas... Harto... Kenapa baru bilang sekarang? Capek lari aku Mas," sungut Ahmad, dadanya tampak naik turun dengan nafas yang memburu.

 "Makanya tanya dulu Mad! Kamu malah lari begitu saja. Memangnya mau cebok pakai apa Mad? Pakai daun keladi?" tanya mas Harto, membuatku semakin tertawa.

 "Bukannya bersih, malah bentol-bentol Mas," timpalku.

 Wajah Ahmad memerah menahan malu. Ia langsung mengambil ember air, dan melangkah menuju pohon kenanga untuk yang kedua kalinya.

 Sedang asyik menertawakan Ahmad, pintu kamar kecil terbuka tiba-tiba. Tawaku seketika saja hilang. Aku bergeser ke arah mas Harto dan mendekapnya erat. Suasana kembali mencekam.

 "Mas!" bisikku.

 Belum sempat mas Harto membalas bisikanku, ibu keluar dari dalam kamar kecil. Aroma busuk dan anyir bercampur jadi satu saat pintu itu terbuka. Spontan aku menutup hidungku rapat.

 "Har, Na, kalian di sini?" tanya ibu lembut, membenarkan syal di lehernya.

 Mas Harto menarikku ke arah belakang tubuhnya. "Ibu kapan ke kamar kecil?" tanya mas Harto dingin.

 "Sudah dari tadi. Ibu ke kamar dulu. Mari Na!" Ibu tersenyum ke arahku.

 Aku menyembunyikan wajah di punggung mas Harto. Aku tak berani bertatap muka dengan ibu. Melihat senyum ibu, sudah membuatku takut setengah mati. Apalagi saat mengingat gosip-gosip yang beredar tentang ibu. Semakin membuatku takut dan sedikit yakin.

  "Mas, aku sudah selesai," ucap Ahmad, tiba-tiba muncul di belakangku.

 Jantungku hampir jatuh melihat keberadaan Ahmad. Belum hilang rasa takutku, Ahmad sudah menambahnya lagi.

 "Loh, ada ibu mas Harto di sini?" tanya Ahmad, terkejut melihat ibu.

 "Iya, Ibu masuk dulu!" ucap ibu, terus menebar senyuman.

 Cukup lama sampai ibu sudah tidak terlihat lagi, kami bertiga masih memandang lekat ke arah pintu dapur yang terbuka.

 "Yank, giliran kamu!" ucap mas Harto, mengangetkan aku dan Ahmad.

 "Aku takut Mas," sahutku, masih bersembunyi di belakang mas Harto.

 "Kak Nana takut? Sejak kapan Kakak berubah penakut seperti ini? Biasanya juga berani," seloroh Ahmad, menampilkan senyum mengejek.

 Aku mendelik kesal melihat senyum Ahmad yang menyebalkan. "Diam kamu Mad!" ketusku.

 "Mau Mas temani?" tanya mas Harto, berbalik menghadap ke arahku.

 "Eh, tidak usah Mas! masa sih buang hajat ditemani? Aku bisa sendiri," Dengan cepat aku menolak.

 Setakut-takutnya aku, aku juga tidak mungkin meminta mas Harto menemaniku. Bisa malu nanti aku. Apalagi membuang air besar. Mau ditaroh di mana wajahku nanti. 

  Mas Harto mengangguk, lalu menimba air untuk dia bawa ke arah pohon yang tak terlalu jauh dari pohon yang tadi Ahmad gunakan.

 "Kak, hati-hati! Awas ada setan!" goda Ahmad.

 "Diam kamu Mad! Awas saja kalau kamu menakuti aku! Aku tinggal di pohon bambu itu, baru tau rasa kamu!" Ancamanku sukses membuat Ahmad beringsut mundur.

 "Kak, tapi aku serius!" ucap Ahmad. Tapi tidak aku pedulikan sama sekali.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yuyun Yuningsih
lanjut thorrrr
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status