Di bawah pohon yang tak jauh dari pohon kenanga. Aku berjongkok dengan susah payah. Beginilah hidup di desa yang sangat jauh tertinggal dengan kehidupan kota. Bahkan untuk buang air besar saja harus seperti ini.
Andaikan kamar kecil tidak sebau dan kotor seperti itu, mungkin aku tidak akan terlalu tersiksa seperti ini. "Yank, sudah belum?" teriak mas Harto, dari dekat sumur. "Sebentar lagi!" sahutku, juga ikut berteriak. Keadaan sekitar sudah sangat gelap. Di sini bahkan tidak ada lampu jalanan. Hanya mengharap sinar bulan ataupun senter yang dibawa. Beruntung tidak ada yang aneh-aneh, walau dalam hati ini terus merasa was-was dan takut. Usai melepaskan semua hajat. Aku segera mencuci tangan dengan sabun. Di samping lobang tadi, ada sebuah cangkul yang digunakan untuk menimbun bekas hajat. Kalau ditanya jijik, tentu saja jijik. Tapi mau bagaimana lagi? Aku harus terbiasa dengan tempat ini. Srak... Suara ranting kering seperti bekas diinjak terdengar renyah. Keringat mulai membasahi keningku. Dengan gerakan cepat, aku segera menimbun tanah-tanah bekas galian, agar rata seperti semula. "Lama sekali Yank?" tanya mas Harto, saat melihatku mendekat. "Kak, di sana buang hajad atau semedi? Lama banget!" timpal Ahmad, masih saja menyebalkan. "Gimana nggak lama? Orang buang hajatnya aja dipaksa. Belum waktunya keluar sudah harus dikeluarkan," sungutku, ikut bergabung dengan suami dan adikku. "Kalian masuk duluan ke kamar! Ingat, saat sampai di kamar nanti, kunci pintu kamarnya! Nanti aku ketuk kalau sudah di depan kamar," ucap mas Harto, seperti biasa meninggalkan pesan. "Lah, kenapa tidak sekalian sama mas Harto saja? Memangnya Mas mau ke mana?" tanya Ahmad heran. "Iya Mas, nanti aku kunci pintu kamar," sahutku, menarik Ahmad tanpa memberi waktu untuk dia bertanya lebih. Perjalanan dari arah dapur ke kamar depan, rasanya begitu jauh. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja karena kelelahan. "Kak!" bisik Ahmad, langkahnya terhenti di depan pintu kamar bergembok. Tak mau kejadian benda jatuh seperi tadi terulang, aku gegas menarik tangan Ahmad menuju pintu kamar. "Kunci pintunya Mad!" titahku, terlebih dahulu masuk. Ahmad menurutinya, lalu menyusulku ke arah tempat tidur. "Kak, memangnya kenapa harus kunci pintu? Kan di rumah ini tidak ada apa-apa?" tanya Ahmad, menatapku lekat. Aku menghela nafas berat. Yang Ahmad katakan memang benar. Awalnya saat aku datang ke rumah ini juga merasakan hal yang sama. Pemikiranku juga tak jauh berbeda. Tapi setelah lama-kelamaan, aku jadi terbiasa, walaupun belum mendapatkan alasan pastinya. "Sudahlah Mad, kita turuti saja apa kataas Harto! Ini kan rumahnya, dia pasti lebih tau tentang rumahnya sendiri," sahutku sekenanya. "Hem, yasudah... Oh iya Kak, tadi Kakak mau cerita apa? Terus tadi, kenapa bisa ada ibu mas Harto di belakang? Kapan datangnya? Aku jadi penasaran, tanya Ahmad penasaran. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap was-was ke sekeliling kamar. Daun jendela terkunci rapat, begitu pula pintu kamar. "Mad, kita tinggal di desa orang. Ingat Mad, di mana bumi dipijak, di situ langit dijinjing!" ucapku, mengulang kata-kataas Harto dulu. Kening Ahmad tampak mengkerut. "Kak, yang ditanya apa? yang dijawab apa?" "Aku benar kan? Di manapun kita tinggal, kita harus menghargai tempat dan kebiasaan orang tersebut. Sama dengan di sini Mad, aku juga persis seperti kamu dulu. Banyak tanya dan sulit percaya jika diberitahu. Tapi sekarang aku sadar, ada banyak yang harus aku benahi dalam hidup. Terutama saat berkunjung ke tempat orang. Kamar kecil yang tadi di belakang itu, lebih baik kamu tidak usah masuk ke sana! Aku rasa, ada yang aneh dengan ibu mas Harto. Aku juga tidak tau kapan ibu masuk ke kamar kecil itu, tiba-tiba saja sudah keluar. Begitu juga dengan aturan rumah ini. Kalau sudah waktu magrib, kita harus berdiam diri di dalam kamar, sampai besok subuh," jelasku panjang lebar. "Aneh sekali, kenapa di rumah ini banyak aturannya Kak? Itu lagi, kenapa leher ibu mas Harto ditutup seperti itu terus? Apa tidak gerah?" Aku menggeleng pusing mendengar pertanyaan Ahmad. Rasa penasarannya begitu tinggi. Bahkan soal kain yang ada di leher ibu juga ia tanyakan. Walaupun aku sendiri juga penasaran. "Sudah, jangan banyak bertanya! Aku juga tidak tau kenapa alasannya. Lebih baik kamu diam saja, kalau mau tanya sesuatu, tanya ke aku aja, jangan ke mas Harto!" ujarku. "Iya, aku tau... Eh Kak, tapi aku jadi berpikiran aneh. Apa jangan-jangan ibu mas Harto itu kuyang?" bisik Ahmad. Baru saja mulut Ahmad tertutup setelah mengucapkan itu, daun jendela langsung berbunyi keras, seperti sedang digedor-gedor dari luar. "A-apa itu Kak?" tanya Ahmad, terjingkat kaget. Bukan hanya Ahmad yang kaget, aku juga sama. Gedoran daun jendela semakin keras. Aku bahkan tak berani mendekat untuk melihat ke luar. Brak... Brak... "Mad, jangan dibuka!" bisikku, kala melihat Ahmad sudah bersiap melangkah menuju jendela. Langkah Ahmad terhenti, ia menoleh ke arahku. Sementara daun jendela masih terus digedor, berusaha dibuka paksa. "Tapi aku harus lihat siapa di luar Kak! Bagaimana kalau itu pencuri?" Balas Ahmad berbisik. Tak mau mengambil resiko karena melanggar larangan mas Harto. Aku gegas menarik lengan Ahmad ke arah tempat tidur. "Jangan dibuka Mad! ingat pesan mas Harto! Kalau itu pencuri, tidak mungkin dia membuat kegaduhan seperti tadi. Pasti ada sesuatu. Jangan mengatakan apapun lagi!" ucapku, mulai menyangkut pautkan kejadian ini dengan kata-kata Ahmad tadi. Tok... Tok... Tok... "Yank, buka pintunya!" Panggil.mas Harto dari arah luar. Aku masih terkejut dengan kejadian tadi, sampai-sampai tidak menyadari, jika Ahmad sudah membuka pintu kamar. "Bantu aku Mad!" titah mas Harto, memberikan setumpuk piring ke arah Ahmad. "Kenapa lama sekali Mas? Tadi ada kejadian mengerikan," Cerita Ahmad, seraya meletakkan tumpukan piring ke lantai. Mas Harto berbalik mengunci pintu kamar, lalu ikut bergabung. "Kejadian aneh apa Mad?" tanya mas Harto, menautkan kedua alisnya. "Ya, kejadian aneh Mas. Tadi ada yang menggedor-gedor jendela kamar. Pokoknya mengerikan, serem!" ujar Ahmad, memperagakan dengan gerakan aneh yang terkesan lucu. "Masa sih? Kenapa aku tidak dengar apa-apa? Perasaan tadi sepi-sepi saja. Memang kapan kejadiannya?" tanya mas Harto bingung. "Tadi Mas, setelah Mas ketuk pintu, suaranya langsung hilang. Oh iya Mas, Mas Harto belum jawab pertanyaanku. Kenapa Mas Harto lama?" tanya Ahmad, kembali mengulangi pertanyaannya. "Oh, tadi aku merebus air dulu membuatkan Nana susu hamil. Sekalian cuci piring, karena piring banyak yang kotor," jawab mas Harto. "Oh begitu, asli serem banget Mas. Kira-kira itu manusia atau demit ya, Mas?" tanya Ahmad lagi. Sudah aku bilang diam, malah bertanya terus.Dua hari sudah berlalu, sejak terakhir kejadian aneh yang aku dan Ahmad alami. Kini mas Harto harus kembali bekerja lagi. Mengingat hal itu, aku jadi takut sendiri. Apalagi mas Harto harus masuk pagi dan malam karena menggantikan temannya yang sedang sibuk menunggui istrinya yang mau melahirkan. Awalnya aku melarang mas Harto menggantikannya. Tapi, setelah mas Harto menjelaskan semuanya, aku jadi tidak tega. Biar bagaimanapun, saat ini aku juga tengah hamil tua. Bisa saja mas Harto juga perlu bantuan orang lain nanti saat aku melahirkan. "Jangan khawatir Kak, di sini ada aku!" ucap Ahmad, mengusap pundakku saat motor mas Harto makin menjauh dari pandangan. "Kamu benar Mad, lebih baik kita masuk sekarang Mad!" Aku sengaja mengajak Aad masuk, karena tidak berani di luar rumah lama-lama. Setibanya di dalam kamar, aku merasakan sesuatu yang aneh dengan perutku. Beruntung Ahmad selalu di samping menemaniku. "Ad
Semakin lama, rasanya perutku semakin cepat sakitnya. Aku bahkan sudah tidak peduli lagi dengan apa yang ibu lakukan di dapur sana. Kesadaranku hampir saja hilang karena terlalu lelah menahan sakit. "Kak, mas Harti telepon," ujar Ahmad, menunjukkan nama mas Harto tertera di layar ponselnya. "Angkat cepat Mad!" titah kak Ayu, sambil terus membaca sesuatu dan meniupkannya di atas ubun-ubunku. "Iya Mas, iya... Kami bawa sekarang!" Entah apa yang Ahmad bicarakan dengan mas Harto sampai ia mengatakan itu. "Bagaimana Mad?" tanya kak Lina, penasaran. "Kata mas Harto, kita langsung bawa kak Nana ke rumah sakit kota saja! Jangan sampai melahirkan di sini! Nanti semua biaya mas Harto ganti setelah tugas kerjanya selesai dia menyusul," jelas Ahmad, dengan setengah berbisik. "Kalau Harto maunya begitu, kita bawa sekarang saja Kak! Kalau lama-lama di sini, takutnya melahirkan di sini," usu
(Pov Harto) Sudah beberapa bulan ini aku menikah dengan seorang gadis yang berasal dari ibu kota tempatku tinggal. Sedangkan aku hanya seorang pria desa yang beruntung bisa mendapatkannya. Pekerjaanku di desa, mengharuskan aku untuk tetap tinggal di sini. Sebenarnya aku memang berniat mengajak istri tinggal di rumah orang tuaku, karena selain tidak berjauhan, jarak antara rumah ibu dan tempatku bekerja juga dekat. Namun niat itu segera aku urungkan saat aku mendengar desas-desus kabar tidak mengenakan tentang ibu. Wanita yang sudah berjuang bertaruh nyawa untukku-- anaknya. Dari kabar yang beredar, orang-orang menyebutku salah satu penganut ilmu hitam. Sebuah ilmu yang bisa membuat ibuku cantik seperti ini. Walaupun usianya sudah memasuki kepala enam, tapi ibu masih terlihat seperti wanita berusia tiga puluh tahunan. Aku tidak pernah membuktikannya secara langsung. Tapi saat mengingat hal itu, membuatku sedikit membenarkan kabar
(Masih Pov Harto) Cukup lama kami berdua di dekat sumur karena ingin menunaikan hajat dan mengambil wudhu. Pandangan Nana tiba-tiba saja teralihkan ke arah pohon bambu. Awalnya aku bertanya apa yang Nana lihat di pohon itu. Tapi Nana mengatakan tidak ada. Padahal jelas-jelas wajahnya tegang menahan takut. Sebenarnya aku juga melihat apa yang Nana lihat malam itu. Kilat merah yang terbang menjauh sampai hilang diantara rimbunnya bambu. Aku yakin sekali jika kilat merah itu makhluk jadi-jadian yang biasa disebut kuyang. Ya, kuyang memang sudah bukan hal tabu lagi di tanah Borneo ini. Hampir seluruh masyarakat mengetahui siapa dan apa yang diperbuat makhluk jadi-jadian itu. Bau menyeruak setelah kepergian makhluk itu. Awalnya aku bersikap biasa saja, walaupun dalam hati tentu saja merasa sakit. Tapi ada sesuatu yang membuatku merasa aneh. Setelah kilat itu hilang diantara rimbun bambu, aku melihatnya lagi saat akan bersiap masuk. Kilat itu
Ketakutanku akhirnya tak terjadi. Nana bersedia tinggal di sini. Tak mau ia berubah pikiran lagi. Aku gegas mengemas barang-barangku. Walaupun hati ini ragu, tapi yang namanya anak pasti akan khawatir mendengar orang tua sedang sakit. Terlepas itu berita benar atau tidak. "Aku berangkat Yank!" Pamitku, mengecup kening Nana dan putri kecil kami-- Reina bergantian. "Mas, nanti kalau sudah di rumah ibu kabari!" pinta Nana. Aku membalasnya dengan anggukan. Dengan berat hati, aku melangkahkan kaki keluar dari kamar. Sebelum benar-benar pulang, aku juga menemui kakak dan adik iparku. "Aku titip Nana dan Reina, Kak!" Hanya kata itu yang bisa aku ucapkan sekarang. Perjalanan menuju pulang ke desa kali lumayan banyak hambatan. Aku yang berniat ingin cepat sampai, memutuskan mengendarai motor pulang ke desa. Berawal dari hujan deras yang tiba-tiba turun, sampai ban motor yang beberapa kali bocor. Jarak yang harus
Hampir saja aku terjatuh ke belakang saat melihat kondisi ibu yang begitu mengerikan. Beruntung ada mas Bani yang menahan tubuhku. "Sabar Har, kita berdiri di sini saja!" bisik mas Bani, menahan lenganku. Ibu menoleh ke arahku. Wajahnya terlihat segar, tidak ada menunjukkan tanda-tanda sakit sama sekali. Tapi itu hanya bagian kepala. Berbeda jauh dengan bagian badan ibu. Padahal aku rutin satu minggu sekali pulang ke rumah ini. Terakhir kali aku bertemu ibu satu minggu yang lalu. Tubuh ibu masih normal seperti biasa. Sedang sekarang hanya tersisa balutan kulit yang membungkus tulang. "Harto... Sini Nak! Mana Nana dan cucu Ibu?" tanya ibu, suaranya terdengar begitu mengerikan dengan tatapan mata yang tajam. "Jangan hiraukan pertanyaan ibu! Itu bukan ibu!" bisik mas Bani lagi. Sontak saja aku menoleh ke arah mas Bani. "Apa maksudnya bukan ibu Mas? Jelas-jelas yang terbaring itu ibu!" tegasku, tidak terima.
(Pov Author) Langit yang tadinya biru, kini berubah menjadi jingga. Sang surya sudah kembali ke peraduannya. Suasana surup yang biasanya terasa biasa saja. Kini terasa berbeda. Malam belum hadir, tapi hawa mencekam sudah terasa. Ditambah lagi suara burung kedasih yang terus berbunyi dari balik rimbunnya pohon-pohon. "Mas!" Harto yang saat itu ingin melangkah masuk, segera berbalik kala mendengar suara Nana. Nana baru saja turun dari mobil pemadam bersama Ahmad dan mas Agung. "Mas, bagaimana ibu?" tanya Nana, matanya terlihat sembab seperti habis menangis. Harto tak kuasa menjawab pertanyaan Nana. Mulutnya bungkam, tak tahan jika harus membahas soal ibunya lagi. "Yang sabar Har! Kuatkan hati kamu! Semua yang bernyawa, pada akhirnya harus berpulang. Tidak terkecuali kita yang masih bernafas di atas bumi ini. Kita hanya menunggu giliran saja," ucap mas Agung, menepuk pundak Harto pelan.
Nana memandang para saudara Harto bergantian. Lalu menoleh ke arah Harto. "Maksud kamu, ibu menikah dua kali?" Reaksi Nana yang tidak berlebihan, membuat Harto menghela nafas lega. Jika ditanya terkejut, wajar saja Nana terkejut. Bukan hanya Nana, bahkan Agung dan Ahmad juga terkejut mendengar penjelasan Harto. Harto menggeleng. "Bukan dua, tapi tujuh kali," jawab Harto. "Hah, tujuh kali Mas? Kenapa seperti lagu saja, janda tujuh kali?" celetuk Ahmad, langsung mendapat senggolan dari Agung. "Eh, maaf Mas. Bukan maksudnya mengejek, aku hanya terkejut," ucap Ahmad, menunduk malu. "Hahaha... Tidak apa-apa! Sebenarnya kamu tidak salah. Kami semua sudah sering mendengar kata-kata seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Memang seperti itulah kenyataannya," ujar Bani, tidak merasa tersinggung sama sekali. "Ban, itu ibu mau dikafankan!" Tunjuk saudaranya yang lain. Melihat jenazah ibuny