Share

Sakitnya ibu

  Sudah hampir delapan bulan aku kembali ke rumah orang tuaku. Perdebatan malam itu, benar-benar membuat mas Harto ketakutan sendiri. Padahal itu hanya mimpi.

 "Yank, aku mau ijin pulang,"

 Aku langsung menoleh ke arah mas Harto yang baru saja datang. Tidak biasanya dia meminta ijin pulang. Pulang ke mana maksudnya? 

 "Aku mau pulang ke rumah ibu. Kata tetangga, ibu sedang sakit. Kamu tidak apa-apa kan di sini?" tanya mas Harto, menatapku ragu.

 Mendengar kabar ibu mertuaku sakit. Aku terkejut bukan main. Pasalnya, saat terakhir aku pergi dari. rumah itu, ibu masih sehat wal'afiat. Bagaimana ibu bisa sakit? Sakit apa yang ibu derita?

  Pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan di benakku. Dan tanpa sadar aku menanyakannya pada mas Harto, selaku anak semata wayang ibu.

 "Aku juga belum tau Yank, baru tadi aku dikabari. Kamu tidak apa-apa kan kalau aku tinggal dulu di sini? Aku janji, setelah ibu sudah lebih baik, aku secepatnya pulang ke sini!" ucap mas Harto meyakinkanku.

 Aku tidak bisa berpikir jernih saat ini. Kalau sampai mas Harto berniat pulang, sudah pasti sakit ibu tidak main-main.

 "Aku ikut kamu!" tegasku, membuat bola mata mas Harto melebar sempurna.

 Dengan cepat mas Harto menggelengkan kepalanya. "Kamu di sini saja! Aku tidak mau terjadi apa-apa sama kamu. Lagi pula usia kandungan kamu juga sudah masuk sembilan bulan. Lebih baik di sini!" tolak mas Harto.

 Aku tak mau menuruti keinginanas Harto kali ini. Aku benar-benar khawatir. Selain itu, ada sesuatu yang harus aku yakinkan sendiri. Beberapa cerita yang tidak baik tentang ibu mertuaku, membuat aku risih. Dan aku harus membuktikannya di sana.

  Mas Harto akhirnya luluh juga mendengar rengekanku. Biar bagaimanapun, pria yang sudah berhasil merebut hatiku ini tidak mungkin bisa melihat aku menangis.

 "Baiklah, kamu boleh ikut. Tapi saudara kamu harus ikut! Terserah mau kak Lina atau Ahmad!" ucap mas Harto memberi syarat.

 Aku berpikir sejenak. Kalau kak Lina yang aku ajak, otomatis kak Lina tidak bisa karena terhalang kerjaan. Pilihan hanya sisa Ahmad. Ahmad baru lulus sekolah, dan dia juga pasti akan mau ikut kalau aku ajak.

 "Ahmad saja, nanti aku yang bicara!" sahutku, dengan cepat mencari Ahmad.

 Cukup lama aku berkeliling rumah, namun adikku Ahmad belum juga kutemukan. Hanya satu tempat lagi yang belum aku datangi, yaitu loteng. Dia sering sekali berada di loteng karena bermain game.

 "Kamu di sini Mad?" tanyaku kesal.

 "Iya Kak, ada apa?" 

 "Kamu mau nggak ikut aku dan mas Harto pulang ke rumah ibunya? ibu mertuaku sakit," Tanpa membuang waktu, aku segera memberitahu alasanku mencarinya.

 "Di desa Mardan? Aku mau, tinggal di saja juga oke Kak. Siapa tau nanti ada gadis desa," sahut Ahmad dengan cepat.

 Aku bisa bernafas lega. Setelah ini, aku harus menyelidiki semuanya di sana. Aku ingin membuktikan, jika ibu mertuaku tidak seperti yang mereka katakan. Penganut ilmu sesat.

 "Cepat beres-beres! Sekalian pamit juga sama kak Ayu!" titahku, perlahan mulai menuruni anak tangga.

 Di dalam kamar, mas Harto sudah menungguku. Ada dua tas besar di sampingnya. Kemungkinan itu adalah tas milikku dan juga dia.

 "Bagaimana Yank? Ahmad bisa tidak? Kalau tidak bisa, aku berangkat sekarang," ucap mas Harto.

 "Ahmad bisa, tuh lagi siap-siap Mas," jawabku, mengembangkan senyum.

 Terdengar helaan nafas berat dari mas Harto. Ia pasti kecewa. Tapi mau bagaimana lagi? Kalau aku tidak ikut, aku tidak bisa membuktikannya langsung. 

 "Kak, aku sudah siap," ujar Ahmad mengagetkanku.

 "Beneran siap Mad? Terus kak Ayu sama kak Lina mana? kita mau berangkat sekarang, mumpung belum terlalu sore," ucapku.

 "Kalian serius mau pergi Na? kamu juga Mad?" 

 Kak Ayu dan Kak Lina datang bersamaan menghampiri kami.

 Aku hanya mengangguk, karena sudah menjelaskan semuanya. Tak jauh berbeda dariku, Ahmad juga ikut mengangguk.

 "Yasudah, hati-hati di sana! Oh iya Har, kalau ada apa-apa, langsung hubungi kami!" ucap kak Ayu, memandang lekat mas Harto.

 "Baik Kak, kami pamit dulu!" Pamit mas Harto, membawa dua tas besar milik kami menuju mobil.

 Di sepanjang perjalanan, aku dan Ahmad terus saja bicara. Membahas apa saja yang bisa kami bahas, lalu tertawa bersamaan. Namun lain halnya dengan mas Harto. Dia lebih banyak diam, seperti banyak beban di pikirannya.

 Beberapa jam berlalu. Kami bertiga akhirnya sampai juga di rumah ibu, setelah selesai sholat magrib. Rumah yang masih sama, seperti sebelumnya aku tinggalkan. Jendela masih belum dipasang, begitu juga dengan pintu yang tidak pernah dikunci sama sekali.

 "Ayo masuk! Nanti kamu tidur di luar nggak papa kan Mad? kamar di rumah ini sudah penuh soalnya. Tapi, kalau nanti mas Harto masuk kerja malam, kamu bisa tidur di kamar denganku. Anggap saja menemani aku," ucapku.

 Ahmad mengangguk mengiyakan. Namun mas Harto dengan cepat melarangnya.

 "Kita tidur bertiga di kamar! Nanti Ahmad bisa tidur di bawah. Kebetulan kasur punya Mas yang dipakai waktu bujangan masih ada. Jadi bisa tidur di situ," ucap mas Harto tegas.

 Aku dan Ahmad hanya bisa berpandangan. Sebelum akhirnya mendekat ke arah pintu. 

"Nana, kamu ke sini Nak?" tanya ibu, berdiri tersenyum di ambang pintu.

 Melihat kehadiran ibu yang tiba-tiba. Sontak saja membuatku terkejut bukan main. Begitu juga dengan mas Harto dan juga Ahmad.

 "I-ibu? Kapan Ibu di sana? Bu-bukannya Ibu sakit?" tanyaku tergagap.

  "Ayo masuk dulu! nanti kita bicara di dalam saja!" ajak Ibu, tidak nenjawab pertanyaanku sama sekali.

 Mas Harto lebih dulu masuk, sambil mengucap salam. Aku langsung memperhatikan ibu mertuaku yang tampak gelisah.

 "Yank, Mad, sini masuk! Taruh aja tas kamu dan Nana di dalam kamar yang itu Mad!" titah mas Harto, menunjuk kamar kami.

 Di ruang tamu, ibu terus menatapku dengan senyuman lebar. Bulu-bulu halusku meremang melihat senyuman ibu. Apalagi tatapan ibu yang kembali liar.

 "Bu, bukannya Ibu sakit kata mang Hadi?" tanya mas Harto, berdiri di depanku.

 "Ibu memang sakit Har, sekarang tidak lagi, karena Nana datang," sahut ibu, melirik ke arahku.

 Dalam keadaan seperti ini harusnya aku merasa senang mendengar kata-kata ibu mertuaku. Tapi kali ini tidak. Karena berita buruk yang beredar, aku jadi was-was sendiri. Apalagi mendengar cara bicara ibu yang lembut tapi mengerikan. Suara ibu tak ubahnya seperti suara seorang psikopat yang sedang bicara dengan targetnya.

 "Kamu hamil Na? Boleh Ibu pegang perut kamu?" tanya ibu, suara kecapan air liurnya terdengar samar.

 Aku merinding disko dibuatnya saat tangan ibu terulur ingin menyentuh perut buncitku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status