Share

Amar Menghilang

Pagi ini hari yang berat bagiku, padahal cuacanya sangat cerah, udara yang sejuk membuatku semakin betah tinggal di sini, langit yang membiru suara ombak laut yang membuat tenang.

Kepalaku terasa pusing, mata sembab akibat menangis semalaman, rasanya sangat malas keluar rumah, ingin diam di kontrakan tanpa melakukan apapun, tapi nanti malah membuatku malah memikirkan kembali kejadian kemarin.

Terpaksa aku keluar rumah, melangkahkan kakiku di hamparan pasir putih yang indah.

Tanganku sibuk dengan ponsel di genggaman, melihat apakah ada panggilan masuk atau sekedar pesan singkat dari Amar, tapi pagi ini tak ada, tumben? apakah Amar masih marah gara-gara masalah kemarin.

Ku lanjutkan perjalananku menuju toko, siapa tau Amar sudah ada di depan toko sedang menungguku dengan wajah kesalnya karena aku telat datang, memikirkanya saja membuatku terkekeh pelan.

Padahal dia sendiri punya usaha rumah makan aneka olahan Seafood di pesisir pantai, tapi Amar malah sering ke sini setiap hari untuk menemaniku, dari buka toko sampai toko tutup kembali.

"Di sana udah ada pegawai yang bisa ngurus semuanya, aku mau di sini nemenin kamu setiap hari, setiap detik bahkan kalau boleh seumur hidup pun aku sanggup," ucapnya dulu ketika aku bertanya kenapa dia sering ke sini menemaniku, jawaban yang membuatku sedikit baper.

Senyumku luntur ketika tak melihat Amar di depan toko, biasanya dia akan menunggu ku sambil duduk di bawah pohon, Aku kembali menghubunginya tapi nomornya tak aktif, beberapa kali di teleponhasilnya tetap sama.

Aku membuka toko sendirian, jujur terasa ada yang hilang biasanya Amar yang selalu membantu.

Bahkan dia tak mengabariku, bila dia tak akan datang hari ini.

Membosankan menunggu toko sendirian, biasanya selalu ada Amar yang menemani dengan obrolan konyolnya yang bisa membuatku tertawa.

Tak terasa hari sudah menjelang sore, aku memutuskan menutup toko.

Aku berniat menemui Amar ke rumahnya, lumayan jauh memang harus naik angkot dulu selama lima Menit baru sampai di rumahnya yang minimalis asri dan terlihat nyaman.

Aku melangkah dengan ragu-ragu, takut kedatanganku malah menggangunya.

Tok tok tok.

"A Amar," panggilku di depan pintu rumahnya.

"A," panggil ku kembali.

Tapi tak ada yang menjawab atau membukakan pintu, apa Amar tak ada di rumah?

Aku duduk di kursi yang sudah tersedia memutuskan menunggu Amar sampai dia kembali.

Untuk menghilangakan jenuh aku mengambil ponsel yang ku simpan di sling bag yang selalu aku bawa keman mana.

Tak ada apapun di ponselku bahkan aplikasi sosmedpun tak ada, sejak setahun aku pergi dari Surabaya aku memutuskan berhenti menggunakan sosmed untuk menghilangkan jejak, aku memilih melihat video di aplikasi You Tube.

Sedang asik melihat video, aku terkejut dengan suara bising motor yang menuju kesini, ku pikir Amar! aku berdiri dengan senyum mengembang tapi senyum ku perlahan luntur, bukan dia bukan Amar tapi temanya Amar, Joni yang memang tinggal disini bersama Amar.

Aku duduk kembali dengan lesu, sudah sejam aku menunggu Amar, tapi dia tak kunjung pulang bahkan nomornya masih tak aktif.

"Eh Run, ngapain disini?" tanya Joni melangkah mendekat ke arah ku.

"Aku pikir tadi Amar yang pulang," ucapku lemas.

"Amar dari semalem belum pulang, gue pikir dia nginep di kontrakan lo,"

"Serius, dia belum pulang?" tanya ku panik.

"Kenapa sih?" tanyanya penasaran.

"Udahlah biarin, udah gede juga tuh bocah gak mungkin ilangkan," ucap Joni yang malah membuatku makin gelisah.

"Gue masuk dulu, gerah mau mandi, lo mau ikut masuk atau mau sekalian mandi bareng gue?" ucapnya genit.

Aku menatapnya sinis, sudah terbiasa dengan ucapanya yang selalu membuatku marah.

Tapi kali ini beda Amar tak ada, bahkan nomornya tak bisa di hubungi tapi Joni masih bisa bersikap santai seolah tak terjadi apa-apa, dasar temen laknat mau aja gitu Amar punya temen seperti Joni.

Aku memilih pulang berjalan kaki dari pada diam disini mendengar ocehan Joni yang membuat ku semakin emosi.

Lumayan lama aku berjalan langit pun mulai gelap, Aku mampir ke Mini Market membeli minuman dan makanan untuk di kontrakan.

Sedang sibuk memilih aneka snack aku melihat Adrian yang sedang antre di meja kasir, ku kira sudah pulang ke Surabaya ternyata masih ada disini.

Setelah Adrian keluar dari Mini Market dan pergi menggunakan mobilnya, aku kembali memilih makan, lumayan banyak yang aku beli untuk stok supaya tak bolak balik ke Mini Market.

Untung saja sudah dekat dengan kontrakan, jadi tak terlalu lelah menenteng dua kantong kresek yang sangat berat.

Sudah dekat dengan kontrakan aku menghentikan langkahku, dan melihat sekitar takut bila Adrian sedang menunggu di kontrakan, tapi nihil tak ada siapapun disana mungkin aku saja yang terlalu khawatir.

Sampai di kontrakan aku menyimpan semua belanjaan ku di dapur, memutuskan mandi dan langsung berbaring di kasur sambil menonton televisi.

Aku menatap langit-langit kontarakan ku, memikirkan Amar sedang apa dia dan di mana, aku sungguh Khawatir takut terjadi apa-apa denganya.

Aku mengambil ponsel berniat menghubunginya kembali tapi masih sama nomornya tak aktif, bahkan pesan yang ku kirim sejak pagi masih belum ia baca.

"Kamu di mana sih A?" ucap ku gelisah.

Aku mengambil figura yang berisi fotoku dan Amar berapa bulan yang di tepi pantai dengan pemandangan senja di belakangnya yang sangat indah.

"Jangan buat aku khawatir gini dong, bahkan Joni juga gak tau kamu di mana," lirih ku.

Tak terasa air mataku jatuh, rindu entahlah tapi aku merasa ada yang hilang, mungkin tak terbiasa tanpa kehadiran Amar yang biasanya selalu ada disini menemaniku.

...

Pukul dua dini hari aku terbangun karena mimpi sialan itu, kenapa mimpi itu selalu ada bahkan terasa nyata.

Aku menjambak rambut menyalurkan emosi yang ku tahan sejak kemarin, mengambil sesuatu di laci meja dekat kasur, beda tajam dan dingin menggores lenganku, darah segar mulai keluar, pisau cutter semakin ku tekan darah semakin banyak keluar bahkan menetes mengenai kasur.

Sakit, perih tapi lebih sakit hidupku sekarang ini.

Aku melihat bekas luka yang masih penuh darah, bukan kali ini aku melakukanya bahkan sering dan ini sudah terjadi sejak Sepuluh tahun lamanya sejak trauma itu datang.

Mereka bilang aku kurang iman, lebay, cari sensai, tapi mereka tidak tau semua ini sudah menjadi candu bagiku.

Setiap goresan yang aku lakukan terasa menenangkan buatku.

Aku menikmati setiap goresan yang aku lakukan.

Aku suka ketika melihat darah terus mengalir.

Dan aku suka sensasi sakit dan perih ini.

Aku kembali menggoreskan pisau cutter di perut, paha dan bagian yang lainya.

Lihatlah sekarang! bahkan aku terlihat menjijikan dengan penuh darah di tubuh ku.

Air mata sialan ini terus saja mengalir tak mau berhenti.

Masalah terus saja datang bertubi-tubi, seolah enggan melihat ku hidup dengan tenang, apa tak cukup dulu membuat aku tepuruk hingga aku sering ingin mengakhiri hidupku.

Dan kini ketika aku pikir bisa memulai hidup dengan tenang, orang yang memberi luka itu datang kembali dan memintaku kembali padanya.

Aku sering bertanya apa ini karma? karma karena Ibu sering berselingkuh dan berpacaran dengan suami orang, ketika aku masih sekolah Smp, hingga aku di benci oleh teman-teman dan di jauhi.

Tapi kenapa harus aku? Kenapa bukan Ibu sendiri yang mengalaminya, dia yang melakukannya tapi kenapa harus aku yang merasakan sakitnya.

Bahkan sampai detik ini aku belum bisa memaafkan Ibu atas ulahnya.

Ayah meninggal karena Ibu, hidupku hancur karena Ibu dan dia mati segampang itu, sementara aku yang mencoba bunuh diri berkali-kali masih hidup sampai saat ini.

Isakan ku makin kuat, aku terus memukul dan menjambak rambutku, suara-suara dalam pikiran ku membuatku menggila.

Suara desahan Ibu dengan pria lain yang sedang bersetubuh, tangisan Ayah dan makian teman-temanku membuatku bener-benar muak.

Yang salah Ibu tapi kenapa harus aku yang menderita di saat umur ku masih muda.

Sialan dunia bener-bener jahat!

Ketika Ayah meninggalpun Ibu tak terlihat sedih malah ia pergi berhari-hari dengan teman prianya yang sudah beristri.

Gila! Ibu ku memang gila bahkan aku tak sudi memanggilnya dengan sebutan Ibu.

Dia hanya wanita yang melahirkanku tapi untuk membesarkanku dan memberikan aku kebahagian dia jauh dari kata itu.

Di malam pertama aku dengan Adrian dulu, Ibu malah terang-terangan menggoda Adrian dengan sengaja menyentuh Adrian dan memakai baju yang memperlihatkan organ intimnya.

aku bener-bener marah, emosi ku sudah tak terbendung aku menghampiri ibu dan menamparanya.

Tapi lihatlah? Ibu sama sekali merasa tak bersalah ia malah mengedipkan mata ke Adrian sambil berlalu pergi.

Ingin rasanya aku bunuh wanita itu.

Yang membuat trauma itu semakin dalam dan semakin nyata.

Terimakasih Ibu membuat masa remajaku bener-bener hancur.

Meskipun Ibu telah tiada tapi luka yang ibu berikan masih terasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status