Share

Rahasia Kelam Yang di Sembunyikan Ibu
Rahasia Kelam Yang di Sembunyikan Ibu
Penulis: Arsyla Adiba

Bertemu kembali

Sudah setahun lebih aku pergi meninggalkan kota kelahiranku, meninggalkan luka dan rasa sakit atas penghianatan yang mereka berikan, Pergi sejauh mungkin mencoba untuk melupakan kenyataan yang sangat pahit tapi semua percuma, kini Pria yang memberikan luka itu berdiri di hadapanku.

Entah dari mana dia mengetahui keberadaanku di Pantai Palabuhan Ratu Sukabumi tempat yang sangat jauh dengan Kota Surabaya, Aku hampir tak mengenalinya tubuh yang dulu berisi kini semakin kurus, rambut yang selalu tertata rapih kini gondrong dengan tumbuh brewok di sekitar pipi, pakaian yang rapih dan selalu wangi kini terlihat berantakan tak seperti dulu dia sangat menjaga penampilamya.

Aku mengalihkan tatapanku ke hamparan laut di depan, tak mau berlarut-larut menatap pria yang sudah memberikan luka yang teramat dalam, sesak rasanya air mata yang ku tahan sejak tadi tak bisa ku bendung lagi, sungguh ini sangat sakit apalagi mengingat penghiantan mereka berdua, suami dan sahabatku sendiri.

"Maaf," itu kata pertamanya setelah setengah jam kita hanya diam tak bersuara.

"Aku menyesal, sunggguh," ucap Adrian parau.

"Kembalilah padaku dan kita mulai dari awal," lanjutnya kembali

Aku tertawa sarkas, apa katanya tadi memulai dari awal dengan pria brengsek seperti dia sama saja aku merelakan diriku di sakiti untuk kedua kalinya.

Aku melirik dia yang menunduk tak berani menatapku, jujur rasa itu masih ada, ingin aku dekap menyalurkan segala kerinduan selama setahun ini tak bertemu denganya.

"Memulai dari awal buat apa mas, apa belum cukup kamu menyakiti aku dulu?" sinis ku

"Mas menyesal, mas khilaf," ucap Adrian bergetar seperti menahan tangis.

"Enam bulan bukan waktu yang lama dan kamu bilang khilaf, you bastrad," teriak ku marah.

Dia mendongakan kepalanya menatapku, aku terkejut ketika melihat dia menangis menikah selama 2 tahun dengan Adrian dan baru kali ini aku melihatnya mengeluarkan air mata, terlihat jelas penyesalan di matanya.

"Pergi mas," usirku.

"Mas akan pergi, kalau kamu juga ikut dengan mas," pinta Adrian padaku,

"Jangan berharap, itu gak akan pernah terjadi,"

"Mas mohon," Adrian jongkok, dan bersujud di kakiku, sungguh aku tak bisa melihat Adrian memohon sampai bersujud seperti ini.

"Lepasin mas," teriak ku.

"Mas mohon," ucap Adrian terdengar sangat putus asa.

Aku menarik paksa Adrian agar berdiri, "Cukup, apapun yang mas lakukan sekarang tak akan merubah keputasan ku!" ucap ku tegas.

"Mas tau mas salah, mas udah tinggalin dia, jadi mas mohon kamu pulang ke Surabaya sama mas, kita mulai semuanya dari awal," ucapnya dengan nada tinggi

Memuakan! aku benci pria di hadapanku ini, dia seperti menganggapku barang, setelah dia buang yang baru dia ambil kembali yang lama.

"Pergi mas,"

"Gak, sebelum kamu ikut pulang sama mas," kukuh Adrian.

"Aku bilang pergi,"

Adrian menarik paksa lenganku, tak peduli dengan teriakan ku yang minta untuk dilepaskan, cekalannya sangat kuat sampai membuat pergelangan tangan ku terasa sakit.

"Lepasin mas, sakit," ringisku.

"Sakit mas,"

Dia melepaskan tanganku terlihat jelas bekas merah di pergelangan tangan ku atas perbuatanya.

"Pergi mas dan aku harap kita gak akan ketemu lagi,"

"Beri mas kesemantan,"

"Pergi"

"Aruna Ayuningtias mas mohon," ucap Adrian lemah sambil menyebut nama lengkap ku, kebiasaan Adrian bila sudah lelah berdebat.

"Aku bilang pergi yah pergi, mas gak bisa memaksakan hati yang sudah lama mati!"

Tersirat kekecewan di mata Adrian, dia berbalik dan pergi menaiki mobil BMW berwarna hitam.

Aku melihat sekeliling untung saja sore ini pantai sepi jadi tak ada yang melihat perdebatanku dengan Adrian tadi.

Aku melangkahkan kaki ku kembali ke toko pakaian miliku sendiri, di dekat pantai yang sudah kubangun sejak setahun ini.

Terlihat di depan toko ada Amar yang sedang menunggu dengan gelisah, pria yang sangat berjasa bagiku.

Amar berlari mendekat ke arahku, menatapku dengan penuh tanda tanya, aku melewati Amar tak peduli teriakannya yang terus memanggil namaku.

Cukup lelah hati ini setelah perdebataku dengan Adrian yang cukup menguras emosi.

Amar pasti bertanya siapa Adrian dan ada hubungan apa dengaku, cukup malas menjelaskan pada Amar siapa Adrian sebenarnya, dia yang dari awal membantuku di kota asing ini, dan aku tau dia menaruh hati padaku.

Apa jadinya bila dia tau kalau Adrian pria yang tadi ku temui masih menjadi suamiku, ya suami aku belum resmi bercerai dengannya setelah setahun aku pergi dari rumah.

Hubungan ku dan Adrian gantung, aku tak mau membuat Amar kecewa atau menganggapku berbohong karena tak jujur soal statusku selama ini.

Sulit sungguh sulit untuk apa Adrian mencariku sampai sejauh ini, minta maaf dan memintaku kembali padanya,

Sebercanda itukah! setelah apa yang telah dia lakukan terhadapku.

Aku memutuskan pulang ke kontrakan, tak jauh dari toko baju yang ku punya, hanya 5 menit berjalan dan sudah sampai.

Tak peduli dengan toko yang masih buka ada Amar yang bisa membantuku menutup toko, tak apalah aku merepotkannya.

Aku masuk ke kontrakan yang sudah setahun ini aku tempati, memang tak besar mungkin kecil tapi cukup untukku sendiri.

Tak ada barang yang mewah seperti rumahku di Surabaya tapi aku nyaman dengan semua kesederhanaan ini, aku membaringkan tubuhku di kasur lantai yang sudah tersedia sejak pertama aku tinggali.

mataku terpejam entah apa yang harus aku lakukan sekarang, menetap di sini dan biarkan Adrian menemuiku kembali atau pergi menghindar kembali dari masalah yang belum terselesaikan selama setahun ini.

....

Aku terbangun dengan nafas terengah engah, keringat mambasahi seluruh tubuh, mimpi itu lagi semakin hari semakin menyakitkan, bahkan dalam tidur pun aku tak bisa beristirahat dengan tenang.

"Sialan," makiku

Ku tutup wajahku dengan bantal, mencoba menenangkan diri, Lelah rasanya trauma ini semakin menyiksa setiap harinya bahkan setiap saat.

"Aruna," panggil seseorang yang suaranya sudah tak asing di telinga.

Aku mendongakan kepalaku ke arahnya memaksakan senyum seolah aku sedang baik-baik saja.

"A Amar ngapain ke sini," tanyaku, karena hari sudah malam ia sibuk menyalakan semua lampu yang masih mati dan menutup hordeng yang belum di tutup termasuk di kamarku.

Sudah biasa Amar ke kontrakanku, bahkan dia sering menginap hanya untuk memastikan aku tidak melakukan hal gila seperti dulu lagi.

"Mau cerita?" tanyanya lembut, sambil duduk di sebelahku.

Dia menatapaku dengan tulus, tatapanya yang lembut dan sikapnya yang perhatian membuatku menaruh hati padanya walau hanya sedikit.

Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaannya, Amar menghirup nafas dalam-dalam berdiri lalu melangkahkan kaki ke luar kamar sambil menenteng plastik hitam entah apa isinya.

Tak lama Amar kembali ke kamarku sambil membawa sepiring nasi dan lauknya serta air putih, ia duduk di sampingku.

"Makan dulu," ucapnya menyerahkan makanan yang ia bawa tadi.

"Aku gak mau makan A," tolakku.

"Makan dulu nanti sakit, aku suapin yah," bujuk Amar.

"Aku beneran gak mau,"

"Yaudah, aku taruh di sini kalau laper nanti di makan," Ngalah Amar menyimpan makan dan air putih di atas meja kecil di samping kasur.

"Aku nginep di sini yah," pinta Amar padaku.

"Pulang aja , aku mau sendiri A."

"Aku temenin,"

"A please."

"Aku mau nanya boleh?" Amar memegang bahuku dan menatapku serius.

"Cowok yang tadi nemuin kamu dia suami kamu?" tanyanya.

Aku terkejut mendengar pertanyaan dari Amar, tau dari mana dia, apa dia mendengar perdebatanku tadi sore, tapi di perdebatan tadi, aku gak bilang bahwa Adrian suamiku.

"Setelah kamu pergi, cowok tadi datang lagi dia bilang kalau kamu istrinya," jelas Amar sambil melepaskan tanganya di bahuku.

Rahangku menengang, tangaku terkepal menahan marah, bisa-bisanya dia memberitahu Amar bahkan sebelum aku memberitahunya, mau apa sebenarnya manusia itu.

"Aku," ucapku ragu-ragu.

"Jadi bener," ucapnya pelan.

Amar terlihat kecewa sekali, aku tau dia pasti terluka mengetahu fakta yang sebenarnya.

"Jadi selama ini aku sayang sama istri orang," ucap Amar parau.

"Aku minta maaf, aku gak bermaksud bohongin A Amar,"

"It'is oke," Amar memaksakan senyum, yang membuatku merasa menyesal tak memberitahu dari awal.

Andai dari dulu aku bilang bahwa aku masih bersuami, mungkin Amar tak akan terluka seperti ini.

"Aku pergi dulu Run, ini kunci toko," ucapnya sambil memberikan kunci padaku.

Setelah kepergian Amar, aku bener-bener bingung harus gimana, aku menggigit bibir bawah menahan isakan, air mataku semakin deras.

Kenapa semuanya jadi rumit, aku hanya ingin hidup tenang di tempat terpencil ini, Bukan masalah yang terus datang apa aku tak berhak bahagia.

Hanya Amar yang bisa aku percaya dan membuatku merasa di cintai setelah orang terdekat semuanya menghinatiku.

Tapi kini Amar kecewa padaku karena tak jujur padanya selama ini, apa setelah ini sikapnya akan berubah atau dia malah menjauhiku memikirkanya saja membuatku semakin pusing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status