Adrian sudah tiba di bandara Soekarno Hatta, ia menarik koper dan berjalan ke luar bandara sambil melihat ke sana kemari. Mobil yang Adrian kenali berhenti di hadapannya, Al segera turun dari mobil dan bergegas mengambil alih koper yang sedang di bawa Adrian lalu masukannya ke dalam bagasi. Adrian masuk ke dalam mobil, tak lama Al pun ikut masuk dan duduk di kursi pengemudi. "Bagaimana dengan Aruna?" tanya Adrian tanpa basa-basi. "Aruna sudah tertidur dan sudah makan setelah di paksa," ucap Al jujur. Sebelum Al meninggalkan Aruna sendirian di rumah ia tak lupa mengunci pintu kamar Aruna dan mengecek apakah Aruna sudah tertidur apa belum, ia hanya takut Aruna akan kabur ketika Al menjemput Adrian di bandara. Jarak antara rumah dan bandara membutuhkan waktu 45 menit kalau tidak macet, kalau macet bisa lebih dari itu. Tapi untung saja malam ini keadaan jalan lancar tak ada hambatan apapun, sehingga mereka bisa sampai di rumah dengan cepat. Melihat mobil yang berhenti di halaman r
Pagi telah tiba, Aruna mengerjapkan matanya perlahan menyesuaikan cahaya yang mengenai matanya. Hal pertama yang ia lihat wajah seorang pria yang sudah memaksa ia bercinta tadi malam sampai menjelang pagi. Membuat tubuh Aruna terasa remuk dan sakit akibat perbuatan Adrian semalam yang terus menyiksanya tanpa henti. Aruna menggeser kan tubuhnya perlahan agar tak membangunkan Adrian yang masih terlelap di sampingnya. GrapTiba-tiba saja tangan Adrian, memeluk pinggang Aruna dengan erat, meskipun matanya masih terpejam tapi Aruna tau Adrian sudah bangun sekarang. "Mau kemana?" tanya Adrian dengan suara khas bangun tidur. "Awas," ketua Aruna sambil mendorong tubuh Adrian agar menjauh tapi tak membuat Adrian bergeser seinci pun karena dorongan Aruna yang pelan. "Tetap di sini, jangan kemana-mana," ucap Adrian sambil mengeratkan pelukannya, membuat tubuh mereka berdua yang masih telanjang bulat di bawah selimut bersentuhan satu sama lain. Aruna merasa risih dengan keadaan ini, ia
sesampainya di kediaman orang tuanya Adrian, Amar juga melihat Sarah dan Dia yang baru saja turun dari mobil. Melihat itu Amar keluar dari mobil dan menghampiri mereka berdua yang belum menyadari kehadiran Amar serta kedua temannya Frikas dan Joni yang menyusul dari belakang. "Tante," panggil Amar sambil berjalan ke arah Sarah. Merasa ada yang memanggilnya Sarah yang semula akan masuk ke dalam rumah, menghentikan langkah, dan membalikan badannya. Melihat kehadiran Amar dan teman-temannya yang tidak ia kenal, Sarah merasa jengkel. "Di mana Aruna dan Adrian?" tanya Amar to the point. "Seharusnya saya yang menanyakan hal itu, ke mana pelacur itu membawa anak saya," sengit Sarah. PlakAmar yang tak suka Aruna di sebut pelacur tanpa sadar menampar Sarah. "Kamu," ucap Zia marah sambil menatap Amar tajam. Amar yang menyadari kalau ia telah menampar Sarah, menatap tangannya tak percaya bisa melakukan itu. "Kurang ajar kamu," teriak Sarah tak terima. "Gak usah main tangan Hen," peri
Sudah seminggu lebih mereka mencari keberadaan Adrian dan Aruna tapi tak membuahkan hasil sama sekali. Amar termenung di balkon rumahnya, rumah orang tua Amar yang sengaja di belikan oleh Ani beberapa tahun yang lalu ketika Amar akan melanjutkan kuliahnya di Surabaya, tapi karena jarak rumah dan tempat kuliah lumayan jauh, Amar memutuskan untuk ngekos dekat tempat kuliah. Sehingga baru beberapa hari ini, ia menempati rumah yang sudah cukup lama kosong, Frikas dan Joni pun ikut tinggal di sini menemani Amar sambil mencari keberadaan Aruna yang entah berada di mana. Sementara Ani dua hari yang lalu kembali ke Singapura untuk merawat suaminya yang memang masih berada di rumah sakit Singapura dan belum bisa pulang ke Indonesia karena kondisinya yang belum stabil. "Hen," panggil Frikas sambil menyodorkan secangkir kopi hitam yang di pintar oleh Amar tadi. "Kalian berdua pulang aja, biar gue cari sendiri keberadaan Aruna," ucap Amar. "Gue gak mau nyusahin kalian terus," lanjut Amar.
"Stop Drian, gue muak sama lo, sama obsesi lo,""Kalau mau pukul gue, pukul gue gak takut sama sekali, kalau perlu bunuh gue sekalian," tantang Aruna tanpa rasa takut. Adrian menurunkan tangannya dan mengurungkan niat untuk memukul kembali Aruna, matanya menatap dingin Aruna yang masih menatap Adrian tajam. "Ayo pukul," ucap Aruna. "Sial," decak Adrian lalu pergi meninggalkan Aruna di kamar yang luas ini. Setelah melihat pintu tertutup dan Adrian tak ada di sini, pertahanan Aruna mulai runtuh, ia menangis sejadi-jadinya meratapi nasib dirinya yang begitu menyedihkan. "Aaaaaaah," teriak Aruna frustasi sambil terus menjambak rambutnya kuat, lalu memukuli kedua kakinya. "Brengsek," maki Aruna yang memukul kedua kakinya. Tangis Aruna makin kencang bersamaan dengan pukulan bertubi-tubi pada kakinya yang membuat luka di kaki tersebut kembali mengeluarkan darah segar, perban putih yang membalut kaki Aruna kini penuh noda berwarna merah. Setengah jam Aruna menangis tanpa henti, berter
62"Kita bukan saudara kandung Run," ucap Adrian sambil menatap lembut Aruna. "Gak mungkin, lo bohong kan," ucap Aruna yang masih tak percaya. "Aku serius, kita bukan saudara kandung yang mereka katakan," tegas Adrian mencoba membuat Aruna percaya bahwa mereka berdua memang bukan saudara. "Gak ini semua akal-akalan lo agar gue bisa nerima lo," bentak Aruna. "Percaya Run, aku gak bohong," tegas Adrian. "Lo penipu gue gak percaya omong kosong lo,""Ini buktinya, kamu liat dengan jelas hasilnya ada di sini," tunjuk Adrian pada kertas hasil tes DNA itu. Aruna terdiam dan menatap kertas tersebut tanpa bicara, entah mana yang harus ia percaya, entah siapa yang berbohong soal ini. "Run," panggil Adrian pelan. "Gue mau ke kamar," ucap Aruna yang langsung di setujui oleh Adrian lalu membawa Aruna kembali ke dalam kamar. ..... "Hen gimana ada hasil?" tanya Frikas di sebrang telepon, karena ia harus kembali ke Bandung untuk bekerja. "Gak ada," jawab Amar yang terdengar lesu. "Sorry g
Setelah mereka berdua masuk, Amar melihat ke sekitar dalam rumah lalu berjalan masuk ke dalam kamar yang Aruna dan Amar tempati. Ia celingukan ke sana ke sini untuk mencari sesuatu yang di rasa sebagai petunjuk. "Kita ngapain sih ke sini, orangnya juga kagak ada," ucap Joni. "Cari petunjuk siapa tau ada di sini," jelas Amar. Joni menganggukkan kepalanya paham, lalu mulai mencari ke sekitar rumah. Amar yang masih fokus mencari di dalam kamar, membuka lemari pakaian Aruna lalu melihat ke sekeliling lemari. Pakaian Aruna tak ada, hanya menyisakan sedikit pakaiannya dan pakaian Amar yang memang sengaja tinggal di sini. "Berarti Aruna memang berniat pergi bukan di culik oleh Adrian," duga Amar. Amar mengacak-ngacak isi lemari, mencari sesuatu yang mungkin sesuatu petunjuk. Tapi tak ada yang mencurigakan bagi Amar, Amar berjalan dan duduk di atas ranjang milik Aruna melihat ke sekeling kamar, mengingat setiap kenangan tentang Aruna dan Amar ketika tinggak di sini dulu. Amar memeja
64Di pertengahan jalan ketika Zia sedang mengemudikan mobilnya untuk menemui Amar menepuk kepalanya. "Gue kan gak tau tempat tinggal Amar di mana," ucap Zia. "Terus sekarang gue kemana?" Tanyanya entah pada siapa. Zia memberhentikan mobilnya di pinggir jalan lalu mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Ia memainkan ponselnya sebentar lalu mulai menelepon seseorang. "Di mana lo" tanya Zia pada seseorang di sebrang telepon. "Gue tunggu lo di cafe deket rumah gue,""Sekarang,"Zia mematikan sambungannya secara sepihak, mengendarai mobilnya menuju cafe yang berada di dekatnya. ..... "Siapa?" Tanya Joni yang sejak tadi menguping pembicaraan Amar dengan seseorang yang meneleponnya. "Zia," jawab Amar singkat sambil fokus menyetir mobilnya. "Mau ngapain dia nelepon lo?""Gak tau, dia suruh gue datang ke cafe di dekat rumah dia," jawab Amar. Amar mengendarai mobilnya menuju cafe tempat Amar dan Zia akan bertemu.Sesampainya di sana Amar dan Joni turun dari mobil, lalu melangk