Share

Bab 2

Gadis kecil itu duduk bersimpuh seraya menunduk. Telapak tangannya menyentuh lantai. Tubuhnya berguncang hebat saat kutanya. Semakin kutanya, semakin kuat isak tangisnya. Sepertinya ia tak mau bercerita. Aku jadi bingung bagaimana cara membujuknya.

Mudah terharu adalah kelemahanku. Bibir ini ikut bergetar saat mendengar isakannya. Tak terasa air mataku mengalir. Namun lekas kuseka agar ia tak melihat. Aku harus membujuknya. Aku harus bertanya. Tak boleh terlihat lemah agar ia percaya, aku bisa menjadi pelindungnya. Meskipun aku tak begitu yakin bisa melindunginya.

"Bicaralah, Nona. Siapa tahu, saya bisa membantu," bujukku seraya berjongkok. Tangan kananku menyentuh pundak kirinya yang masih terasa bergetar. Gadis berambut lurus itu menggeleng. Ia menepis tanganku dari pundaknya. Ia lantas berdiri dan membanting pintu dengan kuat.

"Saya mau pulang, Nona!" teriakku dari luar. Namun tak ada jawaban.

Tak ada yang bisa kulakukan. Kepada siapa kunci garasi ini akan kuserahkan. Bila garasi tak dikunci, orang yang tak punya niat jahat akan berubah pikiran. Mereka akan mudah masuk karena pintu rumah pun tak ada pengaman. Kunci rumah ini dipegang semua pemilik rumah. Felicia tak mau keluar. Tuan dan nyonya belum pulang. Aku bisa telat pulang ke rumah kalau begini keadaannya.

Ponsel bututku berdering. Kulihat nomor Tuan Felix memanggil. Tumben sekali. Tak biasanya ia meneleponku seperti ini.

"Halo, Tuan."

"Jangan coba-coba bicara dengan Felicia," ancamnya di ujung telepon. Belum sempat kujawab, sambungan telepon langsung ia putus.

Ponselku kembali berdering sebelum kumasukkan ke dalam tas. Tuan Felix lagi. Ada apa dengannya. Apa ada yang terlupa?

"Halo, Tuan."

"Jangan bicara apa-apa pada Nyonya."

"Baik, Tuan."

Tut tut tut.

Sopan sekali majikanku ini. Memutus sambungan telepon secara tiba-tiba. Ia pikir aku ini bukan manusia? Kesal juga rasanya diperlakukan seperti ini.

Lagi-lagi ia mengancamku. Aku bisa kehilangan pekerjaan bila tak mengindahkan ancamannya. Untung tadi Felicia tak bicara apa-apa. Namun, tak mungkin kututupi masalah ini dari nyonya.

***

Satu jam sudah aku berdiri di garasi. Kaki terasa pegal sekali. Tak sopan bila harus menunggu di ruang keluarga. Mereka tak pernah berbasa-basi. Aku pun tak mau lancang. Cukup mengikuti peraturan tuan rumah saja.

"Nur!"

Harusnya aku senang ada yang datang. Berarti aku bisa segera pulang. Mendengar suara Tuan Felix membuatku merinding. Takut ia akan melakukan yang tidak-tidak pada Felicia.

"Iya, Tuan."

Orang ini tak suka memencet bel. Ia lebih suka berteriak memanggil namaku bila meminta dibukakan pintu garasi.

"Apa kau bertanya pada Felicia?" tanya pria plontos itu dengan tatapan dingin saat garasi terbuka.

"Tidak, Tuan."

"Jangan suka ikut campur urusan orang."

"Baik, Tuan. Saya cuma mau pulang. Itu saja."

"Pergilah."

"Baik."

Ia memasuki mobil dan memarkirkannya di dalam garasi. Pintu besar yang terbuat dari besi tertutup rapat. Aku pun pergi dengan berat hati. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam sana.

Tin tin!

Suara klakson mengagetkanku. Aku tak menyadari adanya mobil karena menoleh ke belakang sembari berjalan. Pikiranku melayang ke dalam bangunan besar yang baru saja lima langkah kutinggalkan.

"Nur? Kau melamun?" tanya pemilik mobil yang membunyikan klakson tadi. Ia membuka kaca mobil dan menjulurkan kepala.

"Nyonya? Untung Nyonya cepat datang. Aku ...."

"Kau kenapa, Nur?"

Ah, aku lupa kalau tuan melarangku mengatakan sesuatu pada nyonya. Mereka bisa bertengkar dan aku dipecat. Sebelum ada bayangan pekerjaan lain, aku harus bisa menutup mulut.

"Tidak, maksudku. Untung Nyonya cepat datang. Aku mau pulang."

"Apa Tuan belum pulang?"

"Sudah, Nyonya."

"Berarti tidak masalah kau pulang, Nur. Kupikir kau meninggalkan Felicia sendiri di rumah."

Nyonya Vivian berpikir bahwa Felicia akan aman bila adanya Tuan Felix. Aku sendiri tak yakin. Apa nyonya tak pernah curiga akan tindak tanduk suaminya? Ah, sudahlah. Lebih baik pulang sebelum disuruh melakukan hal lain.

"Aku permisi pulang, Nyonya."

"Iya, Nur."

Mobil itu berhenti di depan pintu garasi. Kulihat ia memencet bel yang menempel di dinding sebelah kiri. Tak lama, kulihat Tuan Felix membuka pintu garasi. Mereka berciuman dan berpelukan dengan mesra. Aku masih berdiri di sini. Di pinggir jalan tepat di depan tempat mereka berpelukan. Tuan Felix menyadari keberadaanku. Ia mengancam akan menebas leherku dengan isyarat jari telunjuk ia goreskan di lehernya. Matilah aku.

***

Sesampai di rumah, kulihat anak-anak tengah menikmati berbagai macam snack yang tak pernah kubelikan.

"Dari mana kalian mendapatkan uang?" tanyaku pada mereka setelah mengganti pakaian.

"Tadi Bi Laila datang ke sini bersama seorang paman. Mereka membawa kami ke supermarket," terang putra sulungku--Ferdy.

Laila datang ke sini bersama seorang lelaki? Siapa dia? Anak-anak ini mengenal suami Laila. Pasti mereka akan menyebut nama suami temanku itu.

"Apa yang kalian maksud itu Paman Jhoni?"

"Bukan, Bu," jawab Teddy--putra bungsuku yang sedari tadi sibuk mengunyah.

Apa maksud Laila datang ke rumah tanpa sepengetahuanku? Biasanya ia menelepon terlebih dahulu. Bila aku tak di rumah, ia akan mengurungkan niatnya untuk datang. Siapa kira-kira lelaki yang datang bersamanya?

"Ferdy, apa kau tahu siapa nama paman yang datang bersama Bi Laila?"

"Tidak, Bu."

"Bagaimana ciri-cirinya?"

"Orangnya tinggi, putih, rambutnya plontos, Bu."

Deg!

Tidak mungkin. Tidak mungkin Tuan Felix repot-repot datang ke sini untuk membawa anakku berbelanja. Ah, otakku tersugesti gara-gara kejadian di sana. Pikiranku selalu tertuju pada orang itu. Dadaku terasa sesak setiap kali mengingat ancamannya.

Daripada menduga-duga, lebih baik kuhubungi Laila. Ia harus menjelaskan maksud dan tujuannya membawa pergi anak-anak tanpa izinku.

"Halo, Nur," jawab Laila di ujung telepon setelah beberapa kali kuhubungi.

"Laila, apa benar kau datang ke rumahku dan membawa anak-anak ke supermarket?"

"Apa kabar, Nur? Apa kau senang bekerja di rumah Tuan Felix?"

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Laila. Jawab saja pertanyaanku."

"Iya, aku yang membawa Tuan Felix ke rumahmu. Dia ingin menemui Ferdy dan Teddy. Apa itu salah?"

Aku menarik napas berat. Membawa anak orang ke luar rumah tanpa izin. Laila menganggap itu tak salah. Aku tak mau memarahinya karena ia berjasa. Ia yang mempertemukanku dengan keluarga Nyonya Vivian. Emosi ini harus kutahan.

"Bukan begitu, Laila. Lain kali kabari aku dulu, ya."

"Oke."

Beribu tanda tanya bersarang di benakku. Mengapa Tuan Felix sok baik pada anak-anak? Apa tujuan Tuan Felix yang sebenarnya. Tadi kami bertemu, ia tak membahas tentang ini. Ia malah mengancam hendak membunuhku. Ya, Tuhan. Apa yang harus kulakukan?

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kenzo Nova Yandi
jd deg degan d bikin ny...penasaran jd ny
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status