Gadis kecil itu duduk bersimpuh seraya menunduk. Telapak tangannya menyentuh lantai. Tubuhnya berguncang hebat saat kutanya. Semakin kutanya, semakin kuat isak tangisnya. Sepertinya ia tak mau bercerita. Aku jadi bingung bagaimana cara membujuknya.
Mudah terharu adalah kelemahanku. Bibir ini ikut bergetar saat mendengar isakannya. Tak terasa air mataku mengalir. Namun lekas kuseka agar ia tak melihat. Aku harus membujuknya. Aku harus bertanya. Tak boleh terlihat lemah agar ia percaya, aku bisa menjadi pelindungnya. Meskipun aku tak begitu yakin bisa melindunginya.
"Bicaralah, Nona. Siapa tahu, saya bisa membantu," bujukku seraya berjongkok. Tangan kananku menyentuh pundak kirinya yang masih terasa bergetar. Gadis berambut lurus itu menggeleng. Ia menepis tanganku dari pundaknya. Ia lantas berdiri dan membanting pintu dengan kuat.
"Saya mau pulang, Nona!" teriakku dari luar. Namun tak ada jawaban.
Tak ada yang bisa kulakukan. Kepada siapa kunci garasi ini akan kuserahkan. Bila garasi tak dikunci, orang yang tak punya niat jahat akan berubah pikiran. Mereka akan mudah masuk karena pintu rumah pun tak ada pengaman. Kunci rumah ini dipegang semua pemilik rumah. Felicia tak mau keluar. Tuan dan nyonya belum pulang. Aku bisa telat pulang ke rumah kalau begini keadaannya.
Ponsel bututku berdering. Kulihat nomor Tuan Felix memanggil. Tumben sekali. Tak biasanya ia meneleponku seperti ini.
"Halo, Tuan."
"Jangan coba-coba bicara dengan Felicia," ancamnya di ujung telepon. Belum sempat kujawab, sambungan telepon langsung ia putus.
Ponselku kembali berdering sebelum kumasukkan ke dalam tas. Tuan Felix lagi. Ada apa dengannya. Apa ada yang terlupa?
"Halo, Tuan."
"Jangan bicara apa-apa pada Nyonya."
"Baik, Tuan."
Tut tut tut.
Sopan sekali majikanku ini. Memutus sambungan telepon secara tiba-tiba. Ia pikir aku ini bukan manusia? Kesal juga rasanya diperlakukan seperti ini.
Lagi-lagi ia mengancamku. Aku bisa kehilangan pekerjaan bila tak mengindahkan ancamannya. Untung tadi Felicia tak bicara apa-apa. Namun, tak mungkin kututupi masalah ini dari nyonya.
***
Satu jam sudah aku berdiri di garasi. Kaki terasa pegal sekali. Tak sopan bila harus menunggu di ruang keluarga. Mereka tak pernah berbasa-basi. Aku pun tak mau lancang. Cukup mengikuti peraturan tuan rumah saja.
"Nur!"
Harusnya aku senang ada yang datang. Berarti aku bisa segera pulang. Mendengar suara Tuan Felix membuatku merinding. Takut ia akan melakukan yang tidak-tidak pada Felicia.
"Iya, Tuan."
Orang ini tak suka memencet bel. Ia lebih suka berteriak memanggil namaku bila meminta dibukakan pintu garasi.
"Apa kau bertanya pada Felicia?" tanya pria plontos itu dengan tatapan dingin saat garasi terbuka.
"Tidak, Tuan."
"Jangan suka ikut campur urusan orang."
"Baik, Tuan. Saya cuma mau pulang. Itu saja."
"Pergilah."
"Baik."
Ia memasuki mobil dan memarkirkannya di dalam garasi. Pintu besar yang terbuat dari besi tertutup rapat. Aku pun pergi dengan berat hati. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam sana.
Tin tin!
Suara klakson mengagetkanku. Aku tak menyadari adanya mobil karena menoleh ke belakang sembari berjalan. Pikiranku melayang ke dalam bangunan besar yang baru saja lima langkah kutinggalkan.
"Nur? Kau melamun?" tanya pemilik mobil yang membunyikan klakson tadi. Ia membuka kaca mobil dan menjulurkan kepala.
"Nyonya? Untung Nyonya cepat datang. Aku ...."
"Kau kenapa, Nur?"
Ah, aku lupa kalau tuan melarangku mengatakan sesuatu pada nyonya. Mereka bisa bertengkar dan aku dipecat. Sebelum ada bayangan pekerjaan lain, aku harus bisa menutup mulut.
"Tidak, maksudku. Untung Nyonya cepat datang. Aku mau pulang."
"Apa Tuan belum pulang?"
"Sudah, Nyonya."
"Berarti tidak masalah kau pulang, Nur. Kupikir kau meninggalkan Felicia sendiri di rumah."
Nyonya Vivian berpikir bahwa Felicia akan aman bila adanya Tuan Felix. Aku sendiri tak yakin. Apa nyonya tak pernah curiga akan tindak tanduk suaminya? Ah, sudahlah. Lebih baik pulang sebelum disuruh melakukan hal lain.
"Aku permisi pulang, Nyonya."
"Iya, Nur."
Mobil itu berhenti di depan pintu garasi. Kulihat ia memencet bel yang menempel di dinding sebelah kiri. Tak lama, kulihat Tuan Felix membuka pintu garasi. Mereka berciuman dan berpelukan dengan mesra. Aku masih berdiri di sini. Di pinggir jalan tepat di depan tempat mereka berpelukan. Tuan Felix menyadari keberadaanku. Ia mengancam akan menebas leherku dengan isyarat jari telunjuk ia goreskan di lehernya. Matilah aku.
***
Sesampai di rumah, kulihat anak-anak tengah menikmati berbagai macam snack yang tak pernah kubelikan.
"Dari mana kalian mendapatkan uang?" tanyaku pada mereka setelah mengganti pakaian.
"Tadi Bi Laila datang ke sini bersama seorang paman. Mereka membawa kami ke supermarket," terang putra sulungku--Ferdy.
Laila datang ke sini bersama seorang lelaki? Siapa dia? Anak-anak ini mengenal suami Laila. Pasti mereka akan menyebut nama suami temanku itu.
"Apa yang kalian maksud itu Paman Jhoni?"
"Bukan, Bu," jawab Teddy--putra bungsuku yang sedari tadi sibuk mengunyah.
Apa maksud Laila datang ke rumah tanpa sepengetahuanku? Biasanya ia menelepon terlebih dahulu. Bila aku tak di rumah, ia akan mengurungkan niatnya untuk datang. Siapa kira-kira lelaki yang datang bersamanya?
"Ferdy, apa kau tahu siapa nama paman yang datang bersama Bi Laila?"
"Tidak, Bu."
"Bagaimana ciri-cirinya?"
"Orangnya tinggi, putih, rambutnya plontos, Bu."
Deg!
Tidak mungkin. Tidak mungkin Tuan Felix repot-repot datang ke sini untuk membawa anakku berbelanja. Ah, otakku tersugesti gara-gara kejadian di sana. Pikiranku selalu tertuju pada orang itu. Dadaku terasa sesak setiap kali mengingat ancamannya.
Daripada menduga-duga, lebih baik kuhubungi Laila. Ia harus menjelaskan maksud dan tujuannya membawa pergi anak-anak tanpa izinku.
"Halo, Nur," jawab Laila di ujung telepon setelah beberapa kali kuhubungi.
"Laila, apa benar kau datang ke rumahku dan membawa anak-anak ke supermarket?"
"Apa kabar, Nur? Apa kau senang bekerja di rumah Tuan Felix?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Laila. Jawab saja pertanyaanku."
"Iya, aku yang membawa Tuan Felix ke rumahmu. Dia ingin menemui Ferdy dan Teddy. Apa itu salah?"
Aku menarik napas berat. Membawa anak orang ke luar rumah tanpa izin. Laila menganggap itu tak salah. Aku tak mau memarahinya karena ia berjasa. Ia yang mempertemukanku dengan keluarga Nyonya Vivian. Emosi ini harus kutahan.
"Bukan begitu, Laila. Lain kali kabari aku dulu, ya."
"Oke."
Beribu tanda tanya bersarang di benakku. Mengapa Tuan Felix sok baik pada anak-anak? Apa tujuan Tuan Felix yang sebenarnya. Tadi kami bertemu, ia tak membahas tentang ini. Ia malah mengancam hendak membunuhku. Ya, Tuhan. Apa yang harus kulakukan?
Bersambung
Sejenak kusingkirkan segala hal mengenai peristiwa di tempat kerja. Aku pun memulai aktifitas di rumah. Stok bahan untuk lauk nanti malam belum ada. Aku harus berutang lagi di warung Sakinah. Semoga ia mau memberi utangan karena kurasa sudah hampir mencapai batasan. Jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang."Kau mau ke mana, Nur?" tanya Ibu saat aku hendak melangkah ke luar. Perempuan yang kucinta itu merogoh sesuatu dari balik dinding kamarnya."Aku mau berutang di warung Sakinah. Bahan dapur sudah habis, Bu.""Tidak usah berutang. Ambil uang ini, bayar semua utangmu."Ibu menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Tumben sekali ia memegang uang sebanyak ini. Biasanya selalu mengeluh, saudaraku yang lain jarang memberi. Mereka tak mampu. Sama sepertiku."Uang dari mana, Bu?""Jangan banyak tanya. Pergi saja beli bahan dapur. Hari sudah sore."
Sulit sekali mata ini dipejamkan. Miring ke kiri dan ke kanan, telungkup dan telentang. Hanya wajah Tuan Felix yang terbayang. Seperti orang jatuh cinta, tetapi dengan debar yang berbeda. Debar jatuh cinta itu indah. Debar yang kurasa saat ini menakutkan. Memang tak enak menjadi orang miskin. Bila terpojok, tak ada tempat untuk berlindung.Ponsel butut kecil berfitur senter yang kutaruh di samping bantal, berdering. Suaranya begitu nyaring hingga membuat Ferdy dan Teddy menggeliat. Lekas kusambar dan bangkit dari pembaringan. Nama Sofia--kakak tertuaku terpampang di layar ponsel berwarna abu-abu itu."Halo, Kak.""Nur, aku tak sabar ingin mengucapkan terima kasih padamu. Uang sewa rumahku sudah dibayar Ibu. Ia bilang, uang itu dari majikanmu. Sebenarnya suamiku melarang untuk menelepon selarut ini. Maaf jika aku mengganggu tidurmu."Ya, Tuhan. Sofia juga dilibatkan dalam hal ini. Ia bahkan tak mengenal Tua
Rahasia Majikanku#5Tuan Felix bergegas keluar dari mobil dan menyalami guru Felicia. Matanya menyiratkan ketidaksukaan akan kehadiranku. Aku pun masuk ke dalam dengan lutut sedikit gemetar. Setelah diingat-ingat, ternyata aku belum sarapan.Izin dari nyonya, tak membuatku lancang begitu saja. Makanan dan minuman semuanya tersedia. Apa yang tak bisa kubeli dan kumakan di rumah, di sini bahkan tak disentuh oleh pemiliknya. Lebih baik merendam cucian saja. Nanti rasa lapar ini juga akan hilang dengan sendirinya."Apa yang kau bicarakan dengan guru Felicia?" tanya Tuan Felix setelah kulihat perempuan itu pergi. Mobilnya masih di luar. Mungkin si tuan hendak pergi lagi."Saya tidak membicarakan apa-apa, Tuan. Guru itu hanya menanyakan keadaan Felicia.""Mana Felicia?""Di kamarnya. Nona berbaring setelah saya kompres. Tadi kepalanya terasa sangat panas."
Rahasia Majikanku#6Di perjalanan pulang, mataku tertuju pada sebuah bangunan berwarna cokelat. Sepertinya orang-orang yang ada di dalam bangunan itu sangat tepat untukku meminta pertolongan."Minggir, Pak."Sedikit terlewat dari bangunan itu karena angkutan umum yang kunaiki jalannya terlalu kencang. Sang sopir sedikit menyeringai saat kuserahkan beberapa lembar uang seribuan. Terang saja ia marah. Aku meminta turun secara tiba-tiba.Sedikit perasaan canggung, kulangkahkan kaki menuju meja informasi. Seorang lelaki berseragam cokelat muda itu tersenyum padaku dan mempersilakan untuk duduk. Dingin. Entah karena ruangan ini berpendingin, entah telapak tanganku memang dingin. Entahlah. Kakiku seakan mati rasa."Ada yang bisa saya bantu, Nona?"Lelaki itu memanggilku nona. Mungkin karena tubuhku yang kecil mungil dan tinggi badan satu meter setengah saja tak sampai. And
Rahasia Majikanku#7"Mengapa kau pulang lama sekali, Nur?" sambut Ibu di depan pintu. Ferdy dan Teddy kulihat tengah asik menikmati sesuatu."Aku tadi ke kantor polisi, Bu. Aku juga pergi ke rumah Harry.""Kantor polisi? Untuk apa?" tanya Ibu dengan mata terbelalak. Aku tahu ia pasti ketakutan mendengar lembaga itu kusebut. Sembari berjalan menuju meja makan tempat Ferdy dan Teddy, Ibu mengikuti langkahku dari belakang."Aku melaporkan Tuan Felix.""Kau sudah gil*, Nur. Apa yang telah dia lakukan hingga kau ingin melaporkannya pada polisi?"Ibu menarik lenganku dengan kasar. Ia menatap dalam ke arah mataku. Kami bersitatap di detik pertama. Detik selanjutnya kupalingkan pandangan pada makanan yang ada di meja."Aku tak tahu, Bu. Entah apa yang dia lakukan. Yang jelas, aku akan mengumpulkan bukti yang kuat," ucapku seraya mencomot ayam goreng krispi d
Rahasia Majikanku 8Kami berdua memasuki garasi. Nyonya Vivian menaiki mobilnya dan menyalakan mesin. Aku pun menggantung tas di dinding dan memulai pekerjaan. Yakni, mengumpulkan pakaian kotor penghuni rumah. Entah berapa kali mereka berganti pakaian. Setiap hari selalu saja ada banyak cucian. Terkadang ada pakaian yang tak kukenali ikut tercuci mau tak mau. Pakaian itu telah tercampur di dalam keranjang mereka."Nur, kunci garasinya," teriak Nyonya Vivian dari mobilnya."Baik, Nyonya."Suasana menegangkan bila kami hanya berdua di rumah. Tuan Felix tak banyak bicara. Sekali bicara, ia hanya akan menimbulkan ketakutan dalam diri ini. Mungkin rasanya lebih baik ia diam. Semoga hari ini ada petunjuk dan kesempatan untuk mengumpulkan bukti kejahatannya.***Nomor ponsel Nyonya Vivian telah kupindahkan ke ponsel android. Ternyata nomor itu langsung terhubung ke aplikasi Whats
Muncrat!Beberapa tusukan ia tikamkan oleh Nyonya Vivian tepat di dada sebelah kiri lelaki berbibir merah itu. Darah merah segar menyembur dari sana. Ia mengerang dan berlutut. Matanya melotot dan tangannya menggapai seperti minta pertolongan. Kaki ini terasa kaku. Tubuhku bergetar hebat dan rasanya ingin muntah. Tak lama, kulihat lelaki itu tampak tumbang dengan posisi menelungkup di lantai. Apa ia mati?Perempuan itu berdiri menjauh beberapa langkah dari tempatnya semula. Ia berjalan mundur seraya mengangkat kedua telapak tangan. Pisau digenggamannya terhempas ke lantai. Ia balik badan dan menatapku dengan wajah panik."Nur, kau melihatnya?"Pertanyaan macam apa itu. Tentu saja aku melihatnya. Mataku tak rabun apalagi buta. Perempuan itu menatap kedua telapak tangannya yang bersimbah darah. Lantai keramik yang putih telah memerah. Lelaki bertubuh kekar itu tumbang dengan beberapa tusukan di dada.
Nyonya Vivian sudah mengizinkan untuk pulang. Aku pun kembali memasukkan kain ke dalam keranjang. Kain yang tadi tak jadi disetrika. Saat mengangkat kain tersebut, aku lupa bahwa ponsel kuletakkan di sana hingga ponsel itu terjatuh ke lantai."Apa itu, Nur?" tanya Nyonya Vivian yang berjalan ke arahku. Rumah yang sepi membuat suara ponsel jatuh terdengar jelas. Apalagi perempuan itu masih duduk di meja makan."Ponsel saya terjatuh, Nyonya.""Apa ponselmu baik-baik saja?""Saya rasa begitu, Nyonya."Untung Nyonya Vivian tak curiga. Ponsel ini mati total saat kupungut dari lantai. Antara mati karena rusak dan kehabisan baterai. Kameranya terlalu lama menyala. Kemungkinan besar hanya kehabisan baterai saja. Ponsel ini tak sebagus saat pertama dibeli dahulu. Kondisinya sudah setengah uzur. Jadi harus hati-hati saat memakainya. Untung saja Harry mau menyerahkan. Semoga ponsel ini menangka