Share

Rahasia Majikanku
Rahasia Majikanku
Penulis: Ratu Deslim

Bab 1

Sudah tiga bulan ini, aku bekerja sebagai buruh cuci dan gosok. Rumah majikanku berada di Utara, sedangkan tempat tinggalku di Selatan. Berat di ongkos, memang. Namun, semua harus kulakoni agar dua buah hatiku bisa makan dan jajan. 

Setiap awal bulan, gaji yang tak seberapa hanya bisa singgah. Sebab, sudah ada lobang yang menunggu untuk ditutupi. Yakni, utang di warung dekat rumah. Di sanalah kami bergantung sebelum waktu gajianku tiba. Alhamdulillah, daripada tak melihat uang sama sekali. 

Menjadi janda tidaklah enak. Aku harus berjuang sendiri tanpa bantuan Ibu. Ibuku tak mempunyai penghasilan. Ia hanya diam di rumah menunggu uluran tangan anak-anaknya. 

Sedih, entah mengapa nasib Ibu waktu muda bisa turun kepadaku. Beliau menjadi buruh cuci ketika Ayah telah tiada. Hal itu juga terjadi padaku. Berbeda kasus tentunya. Suamiku tak meninggal. Ia pergi memilih perempuan lain yang lebih molek dan montok. Sedangkan aku, pendek dan jelek. Padahal aku merasa tak pernah durhaka pada Ibu. 

"Nur, aku ada perlu di luar. Nanti ambil cucian di kamar Felicia, ya. Dia sudah berangkat dari tadi. Aku tidak sempat mengeluarkan pakaian kotornya dari kamar," titah majikanku sesaat sebelum ia memasuki mobil. 

"Baik, Nyonya."

Sebagai tukang cuci dan gosok, aku jarang sekali memasuki rumah. Tempat pembantu sebatas garasi saja. Setelah pakaian bersih dan rapi, Nyonya Vivian yang akan mengangkatnya ke dalam rumah. Hari ini sepertinya ia ada kegiatan di luar. Jadi, ia mengizinkanku untuk memasuki kamar anak tunggalnya itu. 

"Tunggu Tuan pulang, baru kamu pulang ya, Nur," teriaknya seraya menjulurkan kepala saat mobil hendak keluar dari garasi. 

"Baik, Nyonya."

Felicia jarang bertegur sapa denganku. Ia anak yang pendiam. Bila menaruh pakaian kotor, ia hanya sekedar menaruh tanpa bicara sepatah kata pun. Aku juga jarang mendengar mereka bercengkrama. Entahlah, mungkin malam hari disaat aku tak ada. 

Helai demi helai kupisahkan antara pakaian putih dan pakaian berwarna milik Felicia. Pakaian kotornya tak bau. Tak ada aroma keringat yang menusuk hidung. Semuanya masih wangi. Hanya ada aroma pewangi pakaian yang sering kububuhkan saat mencuci dan menyetrika. 

Deg! 

Jantungku berdetak kencang saat memungut cel*na dalam milik Felicia. Anak seusianya seharusnya belum mengalami menstru*si. Kudengar dari sang mama, umur Felicia baru menginjak sebelas tahun. Entahlah jika ia gadis yang subur. Jorok sekali anak ini. Apa ia tak mengenakan pemb*lut saat haid? 

Kembali kulanjutkan merendam cucian. Setelah direndam, aku pun sarapan dulu dengan lontong sayur yang kubeli di dekat rumah. Tadi tak ada lauk untuk sarapan. Anak-anak telah membawa bekal ke sekolah. Jadi aku tak mendapat bagian. 

Selesai sarapan, aku pun memulai aktifitas menyikat dan mengucek pakaian yang telah direndam tadi. Mesin cuci tak disediakan, jadi aku harus menggunakan tangan. Jantungku kembali terpacu saat menemukan seprai terkena bercak dar*h. Seprai ini kuambil di keranjang pakaian kotor Felicia tadi. Tergesa-gesa memisahkan kain, aku tak memperhatikan seprai ini. Sepertinya bercak dar*h itu melebar karena berendam. 

"Nur!" teriak seorang lelaki dari arah luar. Garasi sengaja kututup dan kukunci dari dalam agar tak ada yang masuk diam-diam.

"Iya, sebentar." Aku berlari menuju pintu garasi. Kulihat Tuan Felix tengah berdiri di samping mobilnya. Ia kembali memasuki mobil saat garasi kubuka. 

Mobil Tuan Felix terparkir. Ia masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Tak lama, ia kembali dan menanyakan sesuatu yang membuatku curiga. 

"Kau yang mengambil pakaian kotor Felicia?" tanya Tuan Felix dengan raut wajah cemas. 

"Iya, Tuan. Nyonya Vivian yang menyuruh saya."

Kulihat ia menghembuskan napas lega. Ada apa dengannya? Mengapa ia menanyakan hal itu? 

"Apa kau menemukan sesuatu yang ganjil?"

"Maksud Tuan?"

"Celana dalam. Celana dalam Felicia yang ada bercak darahnya."

"Ada, Tuan, ada."

"Apa sudah kau cuci dengan bersih?"

"Baru saja mau saya cuci, Tuan. Memangnya kenapa, Tuan?"

"Jangan banyak tanya, atau kau saya pecat."

"Baik, Tuan."

Tuan Felix berlalu seraya mengusap wajahnya dengan kasar. Jiwa ingin tahuku meronta-ronta. Aku ini tipe orang yang punya rasa curiga tinggi. Rasa curiga inilah yang membuatku menangkap basah mantan suami saat bersama perempuan lain. 

Hati kecil ini bertanya-tanya. Apa yang terjadi pada Felicia hingga ada bercak dar*h? Mengapa pula Tuan Felix begitu cemas saat menanyakan celana dalam itu? Tulangku terasa lemas saat diancam akan dipecat. 

"Nur."

Kembali kudengar Tuan Felix memanggil. Suaranya dari arah dalam rumah. Harus cepat kutemui agar tak disemprot olehnya. 

"Ada apa, Tuan?"

"Aku lihat seprai Felicia telah diganti. Apa kau yang menggantinya?"

"Bukan saya, Tuan. Mungkin Nyonya."

"Ah, sial!"

Tuan Felix mengibaskan tangan menyuruhku pergi. Aku pun kembali melanjutkan aktififas yang sempat terhenti. Semoga ia tak memanggil lagi. Cucianku bisa tak selesai bila itu terjadi. 

"Nur, aku pergi ke toko. Kunci garasinya kembali."

"Baik, Tuan."

Ia pulang ke rumah hanya untuk menanyakan hal itu. Mencurigakan, memang. Haruskah kukulik lebih jauh tentang problema di rumah ini? Ah, aku bukan siapa-siapa mereka. Mereka orang kaya. Pasti ada saja cara untuk menutupi rahasia. Tak akan ada yang mencurigai gerak-gerik mereka. Rumah ini tak terjamah oleh tetangga. 

Aku akan mengorek informasi dari Laila. Ia yang mengenalkanku pada Nyonya Vivian. Karena Laila juga lah, aku diterima bekerja di sini. Kalau tidak, mungkin aku sudah mati kelaparan karena tak memegang uang. 

***

Selesai sudah pekerjaanku hari ini. Saatnya berkemas dan bersiap-siap untuk pulang. Nyonya Vivian belum kembali. Aku harus menunggu Felicia pulang dari sekolah dulu atau menunggu Tuan Felix kembali dari toko. 

Ting tong! 

Suara bel membuatku senang. Ternyata tak perlu menunggu waktu lama. Aku bisa pulang karena seseorang telah datang. 

Saat pintu garasi kubuka, kulihat wajah Felicia begitu murung. Selama ini aku tak memperhatikan wajahnya karena sibuk bekerja. Kali ini ia tak menunduk. Ia menatap wajahku dengan mata berkaca-kaca. 

Aku tak berani bertanya. Ia takkan mau bercerita padaku. Ia berlari ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

***

 

Felicia tak kunjung keluar dari kamar. Padahal aku hendak pamit pulang. Sedikit lancang, aku pun berniat mengetuk pintu kamarnya. Tak sengaja kudengar ia berbicara dengan seseorang. Pintu kamarnya yang tak tertutup sepenuhnya, memudahkanku untuk mendengar. 

"Aku lupa, Pi. Jangan bun*h Mami. Ampun, Pi. Aku tidak akan mengatakannya pada Mami."

Kurasa ia sedang bicara di telepon. Dari panggilan yang ia sebut, sepertinya ia berbicara dengan Tuan Felix. Ada apa ini? Apa yang terjadi di antara mereka? Mengapa kudengar Felicia seperti memohon. Apa ia diancam? Ah, ini tidak benar. 

"Bi Nur?"

Tiba-tiba Felicia sudah berdiri di hadapanku. Pipinya basah oleh air mata. Bibirnya bergetar dan ia pun bersimpuh di lantai. 

Tangisannya pecah. Dadaku ikut terasa sakit saat melihatnya. Sepertinya ia begitu terpukul. 

"Nona, apa yang terjadi?"

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kenzo Nova Yandi
menegangkan d bacany...jd penasaran d bikin ny
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status