Sudah tiga bulan ini, aku bekerja sebagai buruh cuci dan gosok. Rumah majikanku berada di Utara, sedangkan tempat tinggalku di Selatan. Berat di ongkos, memang. Namun, semua harus kulakoni agar dua buah hatiku bisa makan dan jajan.
Setiap awal bulan, gaji yang tak seberapa hanya bisa singgah. Sebab, sudah ada lobang yang menunggu untuk ditutupi. Yakni, utang di warung dekat rumah. Di sanalah kami bergantung sebelum waktu gajianku tiba. Alhamdulillah, daripada tak melihat uang sama sekali.
Menjadi janda tidaklah enak. Aku harus berjuang sendiri tanpa bantuan Ibu. Ibuku tak mempunyai penghasilan. Ia hanya diam di rumah menunggu uluran tangan anak-anaknya.
Sedih, entah mengapa nasib Ibu waktu muda bisa turun kepadaku. Beliau menjadi buruh cuci ketika Ayah telah tiada. Hal itu juga terjadi padaku. Berbeda kasus tentunya. Suamiku tak meninggal. Ia pergi memilih perempuan lain yang lebih molek dan montok. Sedangkan aku, pendek dan jelek. Padahal aku merasa tak pernah durhaka pada Ibu.
"Nur, aku ada perlu di luar. Nanti ambil cucian di kamar Felicia, ya. Dia sudah berangkat dari tadi. Aku tidak sempat mengeluarkan pakaian kotornya dari kamar," titah majikanku sesaat sebelum ia memasuki mobil.
"Baik, Nyonya."
Sebagai tukang cuci dan gosok, aku jarang sekali memasuki rumah. Tempat pembantu sebatas garasi saja. Setelah pakaian bersih dan rapi, Nyonya Vivian yang akan mengangkatnya ke dalam rumah. Hari ini sepertinya ia ada kegiatan di luar. Jadi, ia mengizinkanku untuk memasuki kamar anak tunggalnya itu.
"Tunggu Tuan pulang, baru kamu pulang ya, Nur," teriaknya seraya menjulurkan kepala saat mobil hendak keluar dari garasi.
"Baik, Nyonya."
Felicia jarang bertegur sapa denganku. Ia anak yang pendiam. Bila menaruh pakaian kotor, ia hanya sekedar menaruh tanpa bicara sepatah kata pun. Aku juga jarang mendengar mereka bercengkrama. Entahlah, mungkin malam hari disaat aku tak ada.
Helai demi helai kupisahkan antara pakaian putih dan pakaian berwarna milik Felicia. Pakaian kotornya tak bau. Tak ada aroma keringat yang menusuk hidung. Semuanya masih wangi. Hanya ada aroma pewangi pakaian yang sering kububuhkan saat mencuci dan menyetrika.
Deg!
Jantungku berdetak kencang saat memungut cel*na dalam milik Felicia. Anak seusianya seharusnya belum mengalami menstru*si. Kudengar dari sang mama, umur Felicia baru menginjak sebelas tahun. Entahlah jika ia gadis yang subur. Jorok sekali anak ini. Apa ia tak mengenakan pemb*lut saat haid?
Kembali kulanjutkan merendam cucian. Setelah direndam, aku pun sarapan dulu dengan lontong sayur yang kubeli di dekat rumah. Tadi tak ada lauk untuk sarapan. Anak-anak telah membawa bekal ke sekolah. Jadi aku tak mendapat bagian.
Selesai sarapan, aku pun memulai aktifitas menyikat dan mengucek pakaian yang telah direndam tadi. Mesin cuci tak disediakan, jadi aku harus menggunakan tangan. Jantungku kembali terpacu saat menemukan seprai terkena bercak dar*h. Seprai ini kuambil di keranjang pakaian kotor Felicia tadi. Tergesa-gesa memisahkan kain, aku tak memperhatikan seprai ini. Sepertinya bercak dar*h itu melebar karena berendam.
"Nur!" teriak seorang lelaki dari arah luar. Garasi sengaja kututup dan kukunci dari dalam agar tak ada yang masuk diam-diam.
"Iya, sebentar." Aku berlari menuju pintu garasi. Kulihat Tuan Felix tengah berdiri di samping mobilnya. Ia kembali memasuki mobil saat garasi kubuka.
Mobil Tuan Felix terparkir. Ia masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Tak lama, ia kembali dan menanyakan sesuatu yang membuatku curiga.
"Kau yang mengambil pakaian kotor Felicia?" tanya Tuan Felix dengan raut wajah cemas.
"Iya, Tuan. Nyonya Vivian yang menyuruh saya."
Kulihat ia menghembuskan napas lega. Ada apa dengannya? Mengapa ia menanyakan hal itu?
"Apa kau menemukan sesuatu yang ganjil?"
"Maksud Tuan?"
"Celana dalam. Celana dalam Felicia yang ada bercak darahnya."
"Ada, Tuan, ada."
"Apa sudah kau cuci dengan bersih?"
"Baru saja mau saya cuci, Tuan. Memangnya kenapa, Tuan?"
"Jangan banyak tanya, atau kau saya pecat."
"Baik, Tuan."
Tuan Felix berlalu seraya mengusap wajahnya dengan kasar. Jiwa ingin tahuku meronta-ronta. Aku ini tipe orang yang punya rasa curiga tinggi. Rasa curiga inilah yang membuatku menangkap basah mantan suami saat bersama perempuan lain.
Hati kecil ini bertanya-tanya. Apa yang terjadi pada Felicia hingga ada bercak dar*h? Mengapa pula Tuan Felix begitu cemas saat menanyakan celana dalam itu? Tulangku terasa lemas saat diancam akan dipecat.
"Nur."
Kembali kudengar Tuan Felix memanggil. Suaranya dari arah dalam rumah. Harus cepat kutemui agar tak disemprot olehnya.
"Ada apa, Tuan?"
"Aku lihat seprai Felicia telah diganti. Apa kau yang menggantinya?"
"Bukan saya, Tuan. Mungkin Nyonya."
"Ah, sial!"
Tuan Felix mengibaskan tangan menyuruhku pergi. Aku pun kembali melanjutkan aktififas yang sempat terhenti. Semoga ia tak memanggil lagi. Cucianku bisa tak selesai bila itu terjadi.
"Nur, aku pergi ke toko. Kunci garasinya kembali."
"Baik, Tuan."
Ia pulang ke rumah hanya untuk menanyakan hal itu. Mencurigakan, memang. Haruskah kukulik lebih jauh tentang problema di rumah ini? Ah, aku bukan siapa-siapa mereka. Mereka orang kaya. Pasti ada saja cara untuk menutupi rahasia. Tak akan ada yang mencurigai gerak-gerik mereka. Rumah ini tak terjamah oleh tetangga.
Aku akan mengorek informasi dari Laila. Ia yang mengenalkanku pada Nyonya Vivian. Karena Laila juga lah, aku diterima bekerja di sini. Kalau tidak, mungkin aku sudah mati kelaparan karena tak memegang uang.
***
Selesai sudah pekerjaanku hari ini. Saatnya berkemas dan bersiap-siap untuk pulang. Nyonya Vivian belum kembali. Aku harus menunggu Felicia pulang dari sekolah dulu atau menunggu Tuan Felix kembali dari toko.
Ting tong!
Suara bel membuatku senang. Ternyata tak perlu menunggu waktu lama. Aku bisa pulang karena seseorang telah datang.
Saat pintu garasi kubuka, kulihat wajah Felicia begitu murung. Selama ini aku tak memperhatikan wajahnya karena sibuk bekerja. Kali ini ia tak menunduk. Ia menatap wajahku dengan mata berkaca-kaca.
Aku tak berani bertanya. Ia takkan mau bercerita padaku. Ia berlari ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
***
Felicia tak kunjung keluar dari kamar. Padahal aku hendak pamit pulang. Sedikit lancang, aku pun berniat mengetuk pintu kamarnya. Tak sengaja kudengar ia berbicara dengan seseorang. Pintu kamarnya yang tak tertutup sepenuhnya, memudahkanku untuk mendengar."Aku lupa, Pi. Jangan bun*h Mami. Ampun, Pi. Aku tidak akan mengatakannya pada Mami."
Kurasa ia sedang bicara di telepon. Dari panggilan yang ia sebut, sepertinya ia berbicara dengan Tuan Felix. Ada apa ini? Apa yang terjadi di antara mereka? Mengapa kudengar Felicia seperti memohon. Apa ia diancam? Ah, ini tidak benar.
"Bi Nur?"
Tiba-tiba Felicia sudah berdiri di hadapanku. Pipinya basah oleh air mata. Bibirnya bergetar dan ia pun bersimpuh di lantai.
Tangisannya pecah. Dadaku ikut terasa sakit saat melihatnya. Sepertinya ia begitu terpukul.
"Nona, apa yang terjadi?"
Bersambung
Gadis kecil itu duduk bersimpuh seraya menunduk. Telapak tangannya menyentuh lantai. Tubuhnya berguncang hebat saat kutanya. Semakin kutanya, semakin kuat isak tangisnya. Sepertinya ia tak mau bercerita. Aku jadi bingung bagaimana cara membujuknya.Mudah terharu adalah kelemahanku. Bibir ini ikut bergetar saat mendengar isakannya. Tak terasa air mataku mengalir. Namun lekas kuseka agar ia tak melihat. Aku harus membujuknya. Aku harus bertanya. Tak boleh terlihat lemah agar ia percaya, aku bisa menjadi pelindungnya. Meskipun aku tak begitu yakin bisa melindunginya."Bicaralah, Nona. Siapa tahu, saya bisa membantu," bujukku seraya berjongkok. Tangan kananku menyentuh pundak kirinya yang masih terasa bergetar. Gadis berambut lurus itu menggeleng. Ia menepis tanganku dari pundaknya. Ia lantas berdiri dan membanting pintu dengan kuat."Saya mau pulang, Nona!" teriakku dari luar. Namun tak ada jawaban.Tak ada y
Sejenak kusingkirkan segala hal mengenai peristiwa di tempat kerja. Aku pun memulai aktifitas di rumah. Stok bahan untuk lauk nanti malam belum ada. Aku harus berutang lagi di warung Sakinah. Semoga ia mau memberi utangan karena kurasa sudah hampir mencapai batasan. Jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang."Kau mau ke mana, Nur?" tanya Ibu saat aku hendak melangkah ke luar. Perempuan yang kucinta itu merogoh sesuatu dari balik dinding kamarnya."Aku mau berutang di warung Sakinah. Bahan dapur sudah habis, Bu.""Tidak usah berutang. Ambil uang ini, bayar semua utangmu."Ibu menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Tumben sekali ia memegang uang sebanyak ini. Biasanya selalu mengeluh, saudaraku yang lain jarang memberi. Mereka tak mampu. Sama sepertiku."Uang dari mana, Bu?""Jangan banyak tanya. Pergi saja beli bahan dapur. Hari sudah sore."
Sulit sekali mata ini dipejamkan. Miring ke kiri dan ke kanan, telungkup dan telentang. Hanya wajah Tuan Felix yang terbayang. Seperti orang jatuh cinta, tetapi dengan debar yang berbeda. Debar jatuh cinta itu indah. Debar yang kurasa saat ini menakutkan. Memang tak enak menjadi orang miskin. Bila terpojok, tak ada tempat untuk berlindung.Ponsel butut kecil berfitur senter yang kutaruh di samping bantal, berdering. Suaranya begitu nyaring hingga membuat Ferdy dan Teddy menggeliat. Lekas kusambar dan bangkit dari pembaringan. Nama Sofia--kakak tertuaku terpampang di layar ponsel berwarna abu-abu itu."Halo, Kak.""Nur, aku tak sabar ingin mengucapkan terima kasih padamu. Uang sewa rumahku sudah dibayar Ibu. Ia bilang, uang itu dari majikanmu. Sebenarnya suamiku melarang untuk menelepon selarut ini. Maaf jika aku mengganggu tidurmu."Ya, Tuhan. Sofia juga dilibatkan dalam hal ini. Ia bahkan tak mengenal Tua
Rahasia Majikanku#5Tuan Felix bergegas keluar dari mobil dan menyalami guru Felicia. Matanya menyiratkan ketidaksukaan akan kehadiranku. Aku pun masuk ke dalam dengan lutut sedikit gemetar. Setelah diingat-ingat, ternyata aku belum sarapan.Izin dari nyonya, tak membuatku lancang begitu saja. Makanan dan minuman semuanya tersedia. Apa yang tak bisa kubeli dan kumakan di rumah, di sini bahkan tak disentuh oleh pemiliknya. Lebih baik merendam cucian saja. Nanti rasa lapar ini juga akan hilang dengan sendirinya."Apa yang kau bicarakan dengan guru Felicia?" tanya Tuan Felix setelah kulihat perempuan itu pergi. Mobilnya masih di luar. Mungkin si tuan hendak pergi lagi."Saya tidak membicarakan apa-apa, Tuan. Guru itu hanya menanyakan keadaan Felicia.""Mana Felicia?""Di kamarnya. Nona berbaring setelah saya kompres. Tadi kepalanya terasa sangat panas."
Rahasia Majikanku#6Di perjalanan pulang, mataku tertuju pada sebuah bangunan berwarna cokelat. Sepertinya orang-orang yang ada di dalam bangunan itu sangat tepat untukku meminta pertolongan."Minggir, Pak."Sedikit terlewat dari bangunan itu karena angkutan umum yang kunaiki jalannya terlalu kencang. Sang sopir sedikit menyeringai saat kuserahkan beberapa lembar uang seribuan. Terang saja ia marah. Aku meminta turun secara tiba-tiba.Sedikit perasaan canggung, kulangkahkan kaki menuju meja informasi. Seorang lelaki berseragam cokelat muda itu tersenyum padaku dan mempersilakan untuk duduk. Dingin. Entah karena ruangan ini berpendingin, entah telapak tanganku memang dingin. Entahlah. Kakiku seakan mati rasa."Ada yang bisa saya bantu, Nona?"Lelaki itu memanggilku nona. Mungkin karena tubuhku yang kecil mungil dan tinggi badan satu meter setengah saja tak sampai. And
Rahasia Majikanku#7"Mengapa kau pulang lama sekali, Nur?" sambut Ibu di depan pintu. Ferdy dan Teddy kulihat tengah asik menikmati sesuatu."Aku tadi ke kantor polisi, Bu. Aku juga pergi ke rumah Harry.""Kantor polisi? Untuk apa?" tanya Ibu dengan mata terbelalak. Aku tahu ia pasti ketakutan mendengar lembaga itu kusebut. Sembari berjalan menuju meja makan tempat Ferdy dan Teddy, Ibu mengikuti langkahku dari belakang."Aku melaporkan Tuan Felix.""Kau sudah gil*, Nur. Apa yang telah dia lakukan hingga kau ingin melaporkannya pada polisi?"Ibu menarik lenganku dengan kasar. Ia menatap dalam ke arah mataku. Kami bersitatap di detik pertama. Detik selanjutnya kupalingkan pandangan pada makanan yang ada di meja."Aku tak tahu, Bu. Entah apa yang dia lakukan. Yang jelas, aku akan mengumpulkan bukti yang kuat," ucapku seraya mencomot ayam goreng krispi d
Rahasia Majikanku 8Kami berdua memasuki garasi. Nyonya Vivian menaiki mobilnya dan menyalakan mesin. Aku pun menggantung tas di dinding dan memulai pekerjaan. Yakni, mengumpulkan pakaian kotor penghuni rumah. Entah berapa kali mereka berganti pakaian. Setiap hari selalu saja ada banyak cucian. Terkadang ada pakaian yang tak kukenali ikut tercuci mau tak mau. Pakaian itu telah tercampur di dalam keranjang mereka."Nur, kunci garasinya," teriak Nyonya Vivian dari mobilnya."Baik, Nyonya."Suasana menegangkan bila kami hanya berdua di rumah. Tuan Felix tak banyak bicara. Sekali bicara, ia hanya akan menimbulkan ketakutan dalam diri ini. Mungkin rasanya lebih baik ia diam. Semoga hari ini ada petunjuk dan kesempatan untuk mengumpulkan bukti kejahatannya.***Nomor ponsel Nyonya Vivian telah kupindahkan ke ponsel android. Ternyata nomor itu langsung terhubung ke aplikasi Whats
Muncrat!Beberapa tusukan ia tikamkan oleh Nyonya Vivian tepat di dada sebelah kiri lelaki berbibir merah itu. Darah merah segar menyembur dari sana. Ia mengerang dan berlutut. Matanya melotot dan tangannya menggapai seperti minta pertolongan. Kaki ini terasa kaku. Tubuhku bergetar hebat dan rasanya ingin muntah. Tak lama, kulihat lelaki itu tampak tumbang dengan posisi menelungkup di lantai. Apa ia mati?Perempuan itu berdiri menjauh beberapa langkah dari tempatnya semula. Ia berjalan mundur seraya mengangkat kedua telapak tangan. Pisau digenggamannya terhempas ke lantai. Ia balik badan dan menatapku dengan wajah panik."Nur, kau melihatnya?"Pertanyaan macam apa itu. Tentu saja aku melihatnya. Mataku tak rabun apalagi buta. Perempuan itu menatap kedua telapak tangannya yang bersimbah darah. Lantai keramik yang putih telah memerah. Lelaki bertubuh kekar itu tumbang dengan beberapa tusukan di dada.