Pagi-pagi keadaan pesantren tak seramai pada siang hingga malam, sebab kebanyakan para santri dan santriwati bersekolah umum. Rata-rata mereka sekolah di tingkatan MTs dan MA. Para mbak-mbak yang ngandi ndalem sibuk dengan kegiatan ibu rumah tangga, seperti menyapu, memasak, dan mencuci pakaian keluarga Kiyai. Sementara itu, kang-kang yang membantu di pesantren terlihat sibuk merawat halaman, menyiram tanaman, atau memperbaiki peralatan yang rusak.
Rahmat, Matno, dan Ridwan sedang menjalankan hukuman membersihkan masjid. Pagi itu, ketiganya sibuk menyapu lantai, mengepel, dan mengatur sajadah yang berantakan."Ya Allah, kalau begini tiap hari bisa-bisa kita jadi marbot masjid, nih," keluh Matno sambil mengusap peluh di dahinya.Ridwan hanya tertawa kecil. "Itung-itung belajar, Mat. Kita harus jadi orang yang berani berbuat harus berani bertanggung jawab," balas Ridwan santai sambil terus menyapu.Rahmat menghela napas. "Sudahlah, kita sHari sudah beranjak siang, angin sepoi-sepoi sesekali berhembus membawa aroma makanan dari kantin sekolah. Nisa, Aisyah, dan Zahra duduk santai di bangku panjang, menikmati jajanan mereka. Nisa memegang segelas es teh, Aisyah dengan pisang goreng di tangannya, dan Zahra sibuk membuka bungkus cilok sambil menatap teman-temannya."Aku selalu heran kenapa banyak orang yang merasa malu kalau punya cita-cita sederhana," Nisa membuka obrolan sambil mengaduk es tehnya perlahan. "Kayak misalnya cuma pengen jadi ibu rumah tangga atau kerja di tempat yang dekat rumah. Padahal itu juga nggak kalah mulianya, kan?"Zahra mengangguk setuju. "Iya, kayak ada tekanan dari lingkungan buat punya karier yang dianggap keren. Padahal nggak semua orang cocok dengan definisi sukses yang sama. Aku sih pengen jadi pelukis aja," katanya dengan santai. "Meskipun dibilang nggak menjanjikan, tapi kalau itu bikin aku bahagia, kenapa enggak?"Aisyah, yang selama ini mendengarkan, te
Pagi ini, hari Jum'at, para santriwan dan santriwati bergotong royong membersihkan seluruh pondok. Setiap hari Jum'at sekolah pagi memang libur, tapi hari Minggu mereka akan masuk sekolah, sehingga para santri memanfaatkan waktu untuk membersihkan asrama dan lingkungan sekitar. Menjelang siang, biasanya para orang tua akan datang berkunjung menemui putra-putri mereka. Ada yang rutin datang setiap minggu, ada pula yang dua minggu sekali, bahkan ada yang sebulan atau dua bulan sekali.Menjelang siang asrama pondok sudah bersih, sudah ada beberapa orang wali yang berkunjung menemui anak-anaknya."Ra, kamu kok santai aja enggak buruan mandi sana tah. Ntar, orang tuamu berkunjung kamu masih bau asem gini," ujar Nisa yang sudah terlihat segar setelah selesai mencuci baju dan mandi."Malas ah, paling mereka hanya mentransfer duit aja lewat pengurus pondok kayak biasanya," ujar Zahra dengan sewot.Zahra tumbuh dalam keluarga yang sudah retak sejak lama. Perceraian orang tuanya terjadi ketika
"Sepertinya tidak, Tante," balas Zahra sambil mencium punggung tangan wanita paruh baya itu yang terlihat nampak lelah dan kulit menghitam di wajahnya.Ibu Nisa menatap Zahra dengan penuh kasih, lalu meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. "Sabar ya, Nduk. Mungkin ada kesibukan yang membuat Mamamu belum bisa datang. Jangan terlalu dipikirkan, yang penting kamu tetap semangat, ya," ucapnya lembut.Zahra tersenyum tipis, meski dalam hatinya masih terasa getir. "Iya, Tante. Terima kasih," jawabnya dengan suara lirih.Ibu Nisa kemudian merogoh tas dan mengeluarkan beberapa bungkus makanan. "Ini, Zahra. Ambil sedikit jajanan ini. Tante bawain lebih, siapa tahu ada yang bisa dibagi sama teman-teman."Zahra menerima dengan ragu, tapi tidak ingin menolak niat baik itu. "Terima kasih, Tante. Tante baik sekali," katanya sambil menundukkan kepala. Zahra merasa beruntung setiap kali bertemu dengan ibunya Nisa yang memiliki perasaan hangat dan perhati
Jalan Raya Pemisah Cinta "Wis mulai belajar nakal, to?!" Suara Rindi melengking dari ambang pintu kamar Reva. Tangannya mencengkeram daun pintu erat, tubuhnya sedikit bergetar menahan amarah. "Sudah Ibu bilang, kamu itu nggak boleh hubung-hubungan sama Nathan! Kamu pikir kamu siapa? Dia itu anak orang kaya, Reva! Nduk, Ibu ini nggak mau kamu ngelakoni urip sengsara! Ibu nggak mau kamu dihinak-hinakan keluargane Nathan!" Napas Rindi mulai tersengal. Suaranya parau karena terlalu banyak berteriak. Tapi kali ini, bukan hanya dia yang menangis. Reva juga sudah tak sanggup lagi menahan air matanya. Isaknya tertahan di balik bantal, tubuhnya gemetar. Pintu kamar yang tak terkunci membuat Rindi dengan mudah menerobos masuk. Matanya merah, napasnya naik-turun, tanda emosinya sudah di ubun-ubun. "Wis pirang-pirang wong teko melamar kamu! Tapi kamu nolak kabeh! Ngene iki jebule alesane?!" Reva semakin menggigit bibirnya, mencoba menahan sesak di dadanya yang makin menjadi-jadi.
Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Reva terbangun karena suara orang berbicara di luar kamarnya. Biasanya, bapak dan ibunya sudah membangunkannya sejak subuh. Tapi kali ini, tidak ada suara yang memanggilnya, tidak ada ketukan di pintu kamarnya. Ia melirik jam dinding. Setengah enam. Jantungnya mencelos. Sudah nyaris kesiangan. Reva bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Setelah itu, ia berdiri di ruang tengah, siap menunaikan salat subuh. Tapi suara sinis tiba-tiba menyelusup ke telinganya. "Oalah, anak perawan jam segini baru bangun? Baru mau salat subuh?" Reva menoleh, mendapati Imam—kakak sepupunya—menatapnya dengan seringai usil. "Lihat jam, udah hampir jam enam. Salatmu itu nggak bakal diterima," lanjut Imam, tertawa mengejek. Reva mengembuskan napas kasar. "Nyebelin banget sih, Mas! Pagi-pagi udah di sini, mau minta sarapan?!" Imam terkekeh, tapi Reva tak lagi memperdulikannya. Ia segera masuk ke ruang salat, buru-buru melaks
Langkah Rindi terhenti di depan rumah. Sebuah motor asing terparkir di sana. Dahinya mengernyit. Bukan motor tetangga, bukan pula milik saudara. Dengan gerakan hati-hati, ia masuk lewat pintu belakang, mengintip dari dapur. Suara tawa lelaki terdengar dari dalam rumahnya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Sudah bisa ia tebak, pasti Reva lagi-lagi menerima tamu lelaki. "Ibu sudah pulang?" tanya Reva saat Rindi melepas sepatu dengan gerakan sedikit kasar. "Heemmm..." jawab Rindi, malas meladeni. "Ada temanku yang main, Bu, tapi mereka belum dijamu. Aku mau beli ke warung, tapi nggak ada uang. Boleh minta duit?" Reva memasang wajah memohon, berharap ibunya luluh. "Nggak boleh!" jawab Rindi tegas tanpa kompromi. Sudah bukan sekali dua kali Reva membawa teman lelaki ke rumah. Selalu berbeda orang, berganti-ganti seperti baju. Rindi sampai malu diomongin para tetangga. "Anakmu lho, Rin, laris manis. Setiap hari kok ada saja lelaki yang datang." Rasanya telinganya sudah panas mendengar
Saat sampai rumah, Rindi tak bersemangat untuk memasak. Ia hanya mengambil kacang panjang yang ada di kulkas hasil panennya sendiri ia akan menumisnya dengan tempe. Siang ini dan nanti sore akan makan pakai menu itu sedangkan ikan asin akan ia masak besok pagi untuk sarapan.Sedangkan di luar rumah Tina merengek minta jajan karena dari tadi pagi ia belum jajan. Alhasil Reva harus minta uang sama Ibunya yang, padahal ia ingin marah sama sang ibu."Bu, Tina minta beli jajan," ucap Reva saat menemui ibunya.Rindi hanya diam saja tetapi ia menyodorkan uang dua ribu untuk Reva sisa belanjanya tadi. Reva menerima begitu saja tanpa peduli dengan wajah sang ibu yang terlihat masam."Ayo beli jajan, tapi jalan kaki ya. Kakak capek kalau harus gendong kamu," ujar Reva."Asyik..." seru Tina kegirangan.Reva dan Tina menuju warungnya Aris yang tak jauh dari rumahnya. "Sana mau beli apa??" Sampai di warung Reva meminta sang adik memilih jajan."Mau beli apa, Tin??" Sapa Aris."Beli jajan, Mbak,"
Hari-hari terus berlalu, Reva dan Nathan menjalani hubungan dengan tersembunyi, namun komunikasi merak tetap lancar. Hingga tiba waktunya pergantian tahun pun telah tiba."Dek, malam tahun baru ke alun-alun yuk." Nathan mengirim pesan pada Reva. Ia sudah sibuk mencari cara dari jauh-jauh hari untuk bisa membawa Reva ke luar rumah."Aku harus alasan apa, Mas, sama Ibu dan Bapak??" Reva mengirim pesan balasan, ia benar-benar tak bisa menjahui Nathan meski sebisa mungkin dia menghidarinya justru semakin kuat rasa cinta dan rindunya kepada Nathan."Gimana ya, Dek, aku juga bingung. Padahal aku udah jauh-jauh hari nyari cara biar kamu bisa keluar, tapi sampai sekarang belum ketemu. Aku malah semakin pusing," ujar Nathan.Kini mereka sedang melakukan panggilan vidio call, mereka tak lagi bisa bertemu karena Siti mengawasi Nathan sangat ketat. Ia tak mengijinkan Nathan sama sekali untuk bertemu Reva.Reva terkekeh ia tak percaya Nathan sudah merencanakan ini semua dari jauh hari, " Masak sih
"Sepertinya tidak, Tante," balas Zahra sambil mencium punggung tangan wanita paruh baya itu yang terlihat nampak lelah dan kulit menghitam di wajahnya.Ibu Nisa menatap Zahra dengan penuh kasih, lalu meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. "Sabar ya, Nduk. Mungkin ada kesibukan yang membuat Mamamu belum bisa datang. Jangan terlalu dipikirkan, yang penting kamu tetap semangat, ya," ucapnya lembut.Zahra tersenyum tipis, meski dalam hatinya masih terasa getir. "Iya, Tante. Terima kasih," jawabnya dengan suara lirih.Ibu Nisa kemudian merogoh tas dan mengeluarkan beberapa bungkus makanan. "Ini, Zahra. Ambil sedikit jajanan ini. Tante bawain lebih, siapa tahu ada yang bisa dibagi sama teman-teman."Zahra menerima dengan ragu, tapi tidak ingin menolak niat baik itu. "Terima kasih, Tante. Tante baik sekali," katanya sambil menundukkan kepala. Zahra merasa beruntung setiap kali bertemu dengan ibunya Nisa yang memiliki perasaan hangat dan perhati
Pagi ini, hari Jum'at, para santriwan dan santriwati bergotong royong membersihkan seluruh pondok. Setiap hari Jum'at sekolah pagi memang libur, tapi hari Minggu mereka akan masuk sekolah, sehingga para santri memanfaatkan waktu untuk membersihkan asrama dan lingkungan sekitar. Menjelang siang, biasanya para orang tua akan datang berkunjung menemui putra-putri mereka. Ada yang rutin datang setiap minggu, ada pula yang dua minggu sekali, bahkan ada yang sebulan atau dua bulan sekali.Menjelang siang asrama pondok sudah bersih, sudah ada beberapa orang wali yang berkunjung menemui anak-anaknya."Ra, kamu kok santai aja enggak buruan mandi sana tah. Ntar, orang tuamu berkunjung kamu masih bau asem gini," ujar Nisa yang sudah terlihat segar setelah selesai mencuci baju dan mandi."Malas ah, paling mereka hanya mentransfer duit aja lewat pengurus pondok kayak biasanya," ujar Zahra dengan sewot.Zahra tumbuh dalam keluarga yang sudah retak sejak lama. Perceraian orang tuanya terjadi ketika
Hari sudah beranjak siang, angin sepoi-sepoi sesekali berhembus membawa aroma makanan dari kantin sekolah. Nisa, Aisyah, dan Zahra duduk santai di bangku panjang, menikmati jajanan mereka. Nisa memegang segelas es teh, Aisyah dengan pisang goreng di tangannya, dan Zahra sibuk membuka bungkus cilok sambil menatap teman-temannya."Aku selalu heran kenapa banyak orang yang merasa malu kalau punya cita-cita sederhana," Nisa membuka obrolan sambil mengaduk es tehnya perlahan. "Kayak misalnya cuma pengen jadi ibu rumah tangga atau kerja di tempat yang dekat rumah. Padahal itu juga nggak kalah mulianya, kan?"Zahra mengangguk setuju. "Iya, kayak ada tekanan dari lingkungan buat punya karier yang dianggap keren. Padahal nggak semua orang cocok dengan definisi sukses yang sama. Aku sih pengen jadi pelukis aja," katanya dengan santai. "Meskipun dibilang nggak menjanjikan, tapi kalau itu bikin aku bahagia, kenapa enggak?"Aisyah, yang selama ini mendengarkan, te
Pagi-pagi keadaan pesantren tak seramai pada siang hingga malam, sebab kebanyakan para santri dan santriwati bersekolah umum. Rata-rata mereka sekolah di tingkatan MTs dan MA. Para mbak-mbak yang ngandi ndalem sibuk dengan kegiatan ibu rumah tangga, seperti menyapu, memasak, dan mencuci pakaian keluarga Kiyai. Sementara itu, kang-kang yang membantu di pesantren terlihat sibuk merawat halaman, menyiram tanaman, atau memperbaiki peralatan yang rusak.Rahmat, Matno, dan Ridwan sedang menjalankan hukuman membersihkan masjid. Pagi itu, ketiganya sibuk menyapu lantai, mengepel, dan mengatur sajadah yang berantakan. "Ya Allah, kalau begini tiap hari bisa-bisa kita jadi marbot masjid, nih," keluh Matno sambil mengusap peluh di dahinya.Ridwan hanya tertawa kecil. "Itung-itung belajar, Mat. Kita harus jadi orang yang berani berbuat harus berani bertanggung jawab," balas Ridwan santai sambil terus menyapu.Rahmat menghela napas. "Sudahlah, kita s
Pagi-pagi para santri setelah selesai mengaji akan di sibukkan dengan rutinitas sekolah umum. Bagi yang tidak bersekolah umum mereka bisa bersantai, termasuk kegiatan mencuci baju dan mandi."Eh, keren banget loh tubuh Ali. Perutnya kotak-kotak,""Iya, kotaknya ada berapa tadi ya?""Enggak tahu, enggak sempet ngitung. Malu.""Andaikan enggak dosa, udah ku lihat terus tuh keindahan Allah yang sangat subhanallah,"Haa.... Haaa..."Astaghfirullah hilladzim,"Haaa haaa....Tawa kelima santri yang baru memasuki gotaan itu membuat atensi Zahra, Nisa, dan Aisyah teralihkan."Kalian ngapain ketawa-ketawa gitu?" tanya Zahra penasaran."Itu loh, kang santri baru, lagi buat tontonan gratis," balas Ginah dengan tertawa."Iya, mana cuma pakai boxer lagi," sahut Bella."Ali?" tanya Zahra penasaran."Iya, siapa lagi. Btw, sumpah ganteng banget kalau kek gitu, pasti di
"Kalian sembunyikan dimana baju-baju gue!" tuduh Ali kepada semua santri, bahkan tatapan tajamnya ia tunjukkan kepada ustadz Husain."Astaghfirullah, saya enggak pernah punya niatan buruk seperti itu, Ali. Bagaimana bisa hilang baju-bajumu?" tanya ustadz Husain."Gue enggak tahu, pasti semalam ada yang ngambil. Karena saat bangun tidur tiba-tiba semua baju gue hilang," sungut Ali."Sudah, sudah. Sebaiknya kamu segera kembali ke kamar. Nanti biarkan ustadz Husain ngantar baju ganti buat kamu, Nak," ujar Abah Kiyai dengan lembut."Benar?" tanya Ali menyakinkan."Benar, Ali. Percayalah, kami akan membantu mencari tahu siapa yang melakukannya," ujar Abah Kiyai sambil mengangguk mantap.Ali mendesah panjang, lalu mulai berjalan perlahan kembali ke kamarnya, masih membungkus tubuhnya dengan selimut. Para santri yang semula ramai mulai bubar, namun beberapa dari mereka masih memperbincangkan kejadian itu dengan suara pelan.
Zahra menunggu dengan antusias, tidak sabar mendengar penjelasan. "Yuk, ceritakan, Nis! Jangan bilang kamu sedang mengadakan pertemuan rahasia dengan makhluk halus ya!" ucapnya dengan nada menggoda, membuat Aisyah tersenyum geli. Nisa menggigit bibirnya, mencoba menahan tawa. "Eh, enggak kok. Aku sebenarnya... mungkin terlalu lelah setelah berdoa semalam. Aku agak pusing, dan akhirnya... ya, pingsan deh," jawabnya dengan jujur, walaupun sedikit malu. Nisa teringat betul, dengan kejadian semalam bahwa yang ia lihat adalah sosok Ali yang hanya memakai celana boxer, namun ia tak mungkin menceritakan ini kepada orang lain. Sungguh ia sangat malu sendiri, dan memilih untuk mengarang cerita lain. Tetapi entah kenapa semalam ia bisa bermimpi bertemu almarhum sang ayah yang sudah lima tahun berpulang. "Ah, dasar! Ternyata bukan makhluk halus! Aku sudah siap-siap mau kasih tahu Ustadz Mahfud supaya dia hati-hati sama kamu!" Zahra tertawa terbahak-bahak, menggelengkan kepala. "Tapi, habis it
Seketika, Matno dan Rahmat menutup mulut Ustadz Mahfud dengan telapak tangan kanan mereka. Lalu, dengan cepat mereka menarik sang ustadz keluar dari gotaan. "Plak! Plak!" Dua pukulan mendarat di kepala mereka. "Aduh...!" Matno dan Rahmat menjerit kesakitan sambil mengelus kepala mereka. "Kurang ajar kalian ya!" omel Ustadz Mahfud dengan wajah kesal. "Maaf, Ustadz, tapi kita hampir ketahuan," bisik Rahmat. "Lihat itu, dia cuma mengigau, bukan bangun!" Ustadz Mahfud menunjuk ke arah Ali di dalam gotaan dengan wajah kesal. Mereka menengok lagi ke dalam gotaan. Ali masih tertidur lelap, namun mulutnya terus bergumam tak jelas. "Maaf ustadz," ucap Matno dan Rahmat berbarengan. Mereka merasa bersalah, sedangkan Ridwan hanya tertawa cekikikan dan mendapat pelototan dari ustad Mahfud. "Maaf, Tadz," ucap Ridwan masih dengan menahan tawa.. "Papa… tolong aku… jangan tinggalkan aku… Mama tunggu…" Ucapan itu membuat suasana menjadi hening. Matno, Rahmat, dan Ridwan saling bertukar panda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Dia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh membiarkannya (dalam bahaya). Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa yang menghilangkan kesusahan seorang Muslim, maka Allah akan menghilangkan kesusahannya di hari kiamat." (HR. Bukhari dan Muslim) _______ Terdengar suara tarhim bacaan Al-Qur'an yang dikumandangkan melalui pengeras suara dari masjid, membangunkan umat Islam agar bersiap melaksanakan shalat Subuh. Suara merdu itu mengalun lembut, mengisi udara pagi dengan keheningan yang mendamaikan. Petugas keamanan mulai membangunkan satu per satu para santri, suasana di asrama mulai hidup. Karena Ali susah dibangunkan mereka memilih membiarkan Ali menerima hukuman lagi. Para santri menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu setelah itu mereka berbondong-bondong menuju masjid. Berbeda dengan Ali yang masi