Cinta lima langkah terdengar begitu indah, tetapi bagi Reva dan Nathan, setiap langkah justru dipenuhi duri. Cinta mereka ditentang oleh kedua orang tua, bukan tanpa alasan. Rahasia masa lalu dan perbedaan prinsip membuat hubungan mereka dianggap mustahil. Namun, Reva dan Nathan percaya bahwa cinta sejati layak diperjuangkan. Mampukah mereka bertahan melewati badai dan membuktikan bahwa cinta lebih kuat dari segalanya? Ataukah mereka harus menyerah dan mengakui bahwa cinta mereka memang sepahit pare? Ikuti kisah Reva dan Nathan dalam "Cjnta Terhalang Mitos Jalan Raya", sebuah perjalanan penuh liku, air mata, dan perjuangan menemukan arti cinta yang sesungguhnya.
View MoreJalan Raya Pemisah Cinta
"Wis mulai belajar nakal, to?!" Suara Rindi melengking dari ambang pintu kamar Reva. Tangannya mencengkeram daun pintu erat, tubuhnya sedikit bergetar menahan amarah. "Sudah Ibu bilang, kamu itu nggak boleh hubung-hubungan sama Nathan! Kamu pikir kamu siapa? Dia itu anak orang kaya, Reva! Nduk, Ibu ini nggak mau kamu ngelakoni urip sengsara! Ibu nggak mau kamu dihinak-hinakan keluargane Nathan!" Napas Rindi mulai tersengal. Suaranya parau karena terlalu banyak berteriak. Tapi kali ini, bukan hanya dia yang menangis. Reva juga sudah tak sanggup lagi menahan air matanya. Isaknya tertahan di balik bantal, tubuhnya gemetar. Pintu kamar yang tak terkunci membuat Rindi dengan mudah menerobos masuk. Matanya merah, napasnya naik-turun, tanda emosinya sudah di ubun-ubun. "Wis pirang-pirang wong teko melamar kamu! Tapi kamu nolak kabeh! Ngene iki jebule alesane?!" Reva semakin menggigit bibirnya, mencoba menahan sesak di dadanya yang makin menjadi-jadi. Karena aku cinta, Bu! Aku sayang Mas Nathan! Tapi kata-kata itu hanya berputar di dalam kepalanya. Ia tak berani mengucapkannya. Sejak masih kelas dua SMA, sudah banyak orang datang melamarnya. Mereka bahkan rela menunggu sampai ia lulus sekolah. Waktu itu, Prabu—bapaknya—menolak dengan alasan Reva harus fokus belajar. Tapi begitu ia lulus, malah makin banyak yang datang. Giliran Reva yang menolak. Bukan karena ia tak ingin menikah. Bukan. Tapi karena hatinya sudah penuh oleh satu nama, Nathan. Saat itu, ibunya masih mendukungnya. Tapi ternyata bukan karena ia memahami perasaan putrinya. Rindi hanya ingin Reva tetap di rumah, tetap bisa mengurus Liana, adiknya, supaya ia bisa lebih leluasa bekerja di kebun. Namun, semua berubah sejak Rindi tahu Reva menjalin hubungan dengan Nathan. "Ibu sudah bilang, kamu sama Nathan itu nggak mungkin! Hubungan kalian cuma bakal medot dalan!" Reva semakin mengepalkan tangan di balik selimut. Hatinya terasa ngilu. "Reva, Nduk ... dengarkan Ibu, lelakimu itu harus yang jelas! Kamu itu kembang desa, masih ranum, masih seger. Banyak kumbang kepengin nyedot nektarmu!" Rindi menghela napas panjang. "Ibu takut, Nduk ... takut Nathan itu cuma main-main. Lelaki itu nggak bawa aib, tapi perempuan? Sekali jatuh, seumur hidup bakal dicap jelek!" Reva terisak. Tangannya mengepal, berusaha menahan luka yang makin dalam di hatinya. "Tolong, Reva. Lepaskan Nathan. Ojo nganti kedhisikan petaka! Ibu nggak pengin kamu ngalami nasib sengsara!" Semua terasa samar setelah itu. Reva tak lagi mendengar ocehan ibunya. Dadanya sudah terlalu penuh, kepalanya berat. Perlahan, matanya menutup. --- Saat ia terbangun, jam di ponselnya menunjukkan pukul tiga dini hari. Reva buru-buru mengecek notifikasi. Hatinya berharap ada pesan dari Nathan—setidaknya menanyakan keadaannya setelah tertangkap basah. Tapi layar ponsel tetap sepi. Tak ada satu pun pesan masuk. Hatinya mulai sesak. Mas Nathan nggak nyari aku? Nggak khawatir aku dimarahi? Reva menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang mulai menyusup ke dalam dadanya. Rasa sakit yang baru, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Jangan-jangan, Mas Nathan memang nggak sekeras itu memperjuangkanku? Tangannya gemetar saat meletakkan ponsel di samping bantal. Matanya masih sembab, tapi pikirannya justru semakin terang. Apa ibu benar? Apa aku memang harus mengakhiri semuanya? Reva menarik napas dalam, tapi dadanya tetap terasa berat. Ia membalikkan badan, menatap langit-langit kamar yang gelap. Di luar, suara jangkrik bersahut-sahutan, sesekali terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya atau mungkin hatinya yang terlalu gaduh? Ia mengeratkan selimut ke tubuhnya, tapi dinginnya tetap menelusup hingga ke tulang. Matanya menatap lurus ke arah ponsel yang kini tergeletak di sampingnya. Tiba-tiba, muncul keinginan untuk mengirim pesan Nathan. ‘Kalau dia nggak hubungi aku, kenapa aku nggak hubungi dia dulu?’ Tapi jari-jarinya hanya diam, tak berani menekan ikon chatt. Ada rasa gengsi yang menahannya, sekaligus ketakutan kalau Nathan benar-benar tak ingin berbicara dengannya. Pikiran itu membuat matanya kembali panas. Ia menarik selimut sampai menutupi wajahnya, berusaha menahan isakan yang hampir lolos. Kalau aku WA dia, terus dia nggak balas gimana? Atau malah jawabnya dingin? Tiba-tiba, ia teringat kejadian tadi sore. Bagaimana ayahnya menyeretnya pulang dengan wajah penuh amarah. Bagaimana ibunya memakinya habis-habisan, seolah ia telah melakukan dosa besar. "Kamu itu seperti kembang yang baru mekar. Masih ranum, segar. Makanya banyak kumbang datang mendekat, ingin menghisap nektarmu. Ibu takut, Nduk. Takut Nathan hanya ingin menghisapmu lalu pergi…" Kata-kata ibunya kembali terngiang. Membuat hatinya semakin nyeri. Jangan-jangan … benar kata Ibu? Jangan-jangan, aku memang cuma mainan buat Nathan? Reva menggeleng, menepis pikiran itu. Tapi semakin ia mencoba menolaknya, semakin kuat suara itu menggema di kepalanya. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya lagi. Kali ini bukan untuk mengecek pesan, tapi untuk melihat foto Nathan. Ia membuka galeri, menelusuri foto-foto mereka berdua yang dulu diambil diam-diam. Ada yang di bawah pohon jambu, ada yang di pinggir sawah saat Nathan membawanya naik motor. Reva tersenyum kecil melihat salah satu foto Nathan yang candid, wajahnya tampak serius saat mengikat tali sepatunya. Dulu, ia merasa dunia ini hanya milik mereka berdua. Tapi sekarang? Dunia terasa terlalu besar. Dan Nathan terasa terlalu jauh. Air matanya jatuh tanpa suara. Di luar, azan Subuh berkumandang. Membelah keheningan. Reva menutup galeri ponselnya, lalu bangkit dari tempat tidur. Mungkin, ini pertanda. Mungkin, ini waktunya dia benar-benar melepaskan Nathan. Tapi, bisakah ia melakukannya? ---Dua bulan telah berlalu, Zahra serta Ustadz Husain kini telah resmi menjadi sepasang suami istri. Meski baru menikah, Zahra merasa bahagia dan nyaman dengan keputusan yang diambilnya. Ia rela meninggalkan kehidupan yang semula ia kenal di Jakarta, termasuk keluarganya yang kini berantakan. Setelah ayahnya meninggal akibat kecelakaan empat tahun lalu, harta peninggalannya dirampas oleh ibu dan saudara tirinya. Mama Zahra telah menikah lagi dan kini tinggal bersama suaminya, meninggalkan Zahra yang merasa kesepian dan terlupakan.Namun, Zahra tidak pernah haus akan harta. Meski kehilangan banyak hal, ia merasa jauh lebih kaya dengan cinta dan kebahagiaan yang ia temukan bersama Ustadz Husain. Ia memilih untuk tinggal di rumah suaminya yang sederhana, yang terletak di samping pondok pesantren tempat mereka berdua beraktivitas. Meski hidup di lingkungan yang jauh dari kemewahan, Zahra merasa tenang dan bahagia.Pemasukan Zahra dari melukis lebih dari cukup untuk memenu
Zahra dan Ustadz Husain saling melempar pandang dengan senyum kecil saat melihat ekspresi Ali yang mendelik menatap mereka."Hayo ngaku aja. Pasti kalian punya apa-apa nih," ujar Ali penuh rasa ingin tahu.Zahra menyipitkan matanya ke arah Ali, lalu dengan nada santai menjawab, "Kepo banget, sih, Gus."Husain tertawa kecil. "Iya, Gus, kepo banget," sahutnya, seakan mereka sudah sepakat menggodanya.Ali mendengus, pura-pura kesal. "Ih, enggak sopan banget kalian ngegas gitu. Kalau kalian lagi ngomongin hal penting, ya udah, aku pergi aja, deh!" ucapnya sambil mengangkat tangan menyerah."Ya udah, pergi aja, Gus," goda Zahra sambil terkekeh, membuat Husain tertawa lebih keras.Ali pura-pura cemberut, tetapi akhirnya ikut tersenyum. "Dasar kalian ini, cocok banget. Udah, aku doa’in aja biar kalian berdua langgeng kalau memang ada apa-apa," kata Ali berlalu menjauh sambil melambaikan tangan.Setelah kepergian Ali, Ustad
Ali tampak canggung di hadapan Nisa, mencoba mengatur kata-kata agar tidak menyakitinya lebih dalam. Namun, ketegangan di ruangan itu semakin terasa.Nisa menatapnya tajam, suaranya mulai meninggi. "Kamu munafik, Ali! Kamu dulu berjanji... Tapi sekarang, apa? Kamu menikah dan bahkan punya anak? Apa janji itu cuma ucapan kosong?""Nisa, tolong..." Ali mencoba menenangkan, tapi suaranya terdengar lemah."Tolong? Kamu bicara soal tolong?!" Nisa memotong dengan nada penuh emosi. "Bertahun-tahun aku menjaga hati ini, Ali. Bertahun-tahun! Banyak laki-laki yang menginginkanku tetapi, aku menolaknya karena di hati ini hanya ada kamu. Dan sekarang... ini yang aku dapatkan? Ini buah dari janjimu!"Suaranya menggema ke seluruh ruangan. Dari arah belakang, suara langkah pintu terdengar terbuka. Seorang wanita muda dengan tubuh mungil keluar dari dalam, menggunakan kursi roda. Ia tampak bingung melihat suasana tegang di ruang tamu."Abi, ada
Kembalinya NisaAli mendorong kursi roda Mauty perlahan meninggalkan puskesmas. Farhan dan Sabrina memutuskan untuk pulang ke Bandung dua hari yang lalu dan berpesan kepada putra tunggalnya untuk menjalani takdir dengan ikhlas.Langit sore terlihat teduh, seolah menyambut langkah baru dalam kehidupan rumah tangga mereka. Hubungan mereka yang awalnya dingin kini mulai mencair, meski belum diwarnai cinta.Setiba di kediaman, Ali mempersiapkan ruang sederhana untuk Mauty. "Kamu istirahat dulu. Kalau ada yang dibutuhkan, panggil aku," ucap Ali, meletakkan tas di sudut kamar.Mauty mengangguk. "Terima kasih, Bang," jawabnya lirih. Ada kehangatan dalam cara Ali berbicara, sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya.Malam itu, Ali mengetuk pintu kamar. Di tangannya, ia membawa Al-Qur'an dan sehelai mukena. "Mauty, mari kita mulai belajar sholat dan mengaji. Aku ingin kita sama-sama memperbaiki diri," kata Ali, duduk di lantai tak jauh d
Takdir yang Mengetuk "Astaghfirullah, Mauty!" Ali berteriak panik. Ia segera berlari menghampiri istrinya, mengguncang tubuhnya penuh kecemasan.Ali menemukan botol obat-obatan yang sudah kosong di lantai. Ia segera mengambil salah satunya."Astaghfirullah, apa Mauty meminum semua obatnya. Dan dia over dosis? Apa dia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya?" batin Ali bertanya-tanya. Ia segera membuang botol tersebut dengan asal lalu segera fokus kepada sang istri."Mauty, bangun! Ini aku, Ali!" Namun, Mauty tetap tak bergerak. Nafas Ali memburu."Tolong... Tolong....!"Suara teriakan Ali menggemparkan rumah.Nathan segera datang dari ruang tamu dan bertanya dengan nada kawatir, "Ada apa ini, Ali? Mauty kenapa?"Tak berapa lama Reva datang dari arah dapur bersama ustadzah Lutfi dan ustadzah Uut. "Ya Allah, Mauty. Apa yang terjadi, Li?" tanya Reva cemas."Ali tidak tahu, Ma," balas Ali panik. Ia s
Fitnah di Balik Pusaran TakdirPagi itu, langit di atas Pondok Pesantren Al-Hikmah tampak mendung, seakan mengiringi suasana hati para santri yang gelisah. Di dalam masjid, setelah sholat Dhuha sekelompok pengurus pondok dan para santri berkumpul, mendengarkan ceramah ustad Mahfud yang tampak begitu serius. Ustad Mahfud, yang dikenal cukup berpengaruh di kalangan pengurus pondok, berdiri di depan mereka, wajahnya penuh dengan ketegasan, namun ada sesuatu yang tampak berbeda dalam sorot matanya. Ada kebencian yang terpendam."Saudara-saudara sekalian, hari ini saya ingin berbicara tentang seorang yang tidak layak kita percayakan untuk memimpin pesantren ini," kata Ustad Mahfud sembari melirik ke arah Ali yang masih duduk di tempat imam, suaranya keras dan memecah kesunyian."Gus yang kita anggap sebagai penerus pesantren ini, ternyata memilih jalan yang tidak pantas. Dia menikahi seorang perempuan yang cacat dan tak punya kaki! Apa yang akan terjadi jika k
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments