Langkah Rindi terhenti di depan rumah. Sebuah motor asing terparkir di sana. Dahinya mengernyit. Bukan motor tetangga, bukan pula milik saudara. Dengan gerakan hati-hati, ia masuk lewat pintu belakang, mengintip dari dapur. Suara tawa lelaki terdengar dari dalam rumahnya.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Sudah bisa ia tebak, pasti Reva lagi-lagi menerima tamu lelaki. "Ibu sudah pulang?" tanya Reva saat Rindi melepas sepatu dengan gerakan sedikit kasar. "Heemmm..." jawab Rindi, malas meladeni. "Ada temanku yang main, Bu, tapi mereka belum dijamu. Aku mau beli ke warung, tapi nggak ada uang. Boleh minta duit?" Reva memasang wajah memohon, berharap ibunya luluh. "Nggak boleh!" jawab Rindi tegas tanpa kompromi. Sudah bukan sekali dua kali Reva membawa teman lelaki ke rumah. Selalu berbeda orang, berganti-ganti seperti baju. Rindi sampai malu diomongin para tetangga. "Anakmu lho, Rin, laris manis. Setiap hari kok ada saja lelaki yang datang." Rasanya telinganya sudah panas mendengar kalimat itu berkali-kali. Rindi yakin setelah ini, pasti bakal ada gunjingan baru. Tanpa banyak bicara, ia langsung masuk kamar mandi untuk mandi. Tak perlu penasaran, karena ia sudah tahu siapa yang datang. Usai mandi dan berganti pakaian, ia keluar. Kali ini, ia berniat menegur langsung tamu-tamu Reva. Di ruang tamu, dua lelaki duduk dengan santai, sementara Tina, adik Reva, asyik bermain HP. Begitu Rindi muncul, kedua lelaki itu hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Tak ada salam, tak ada sapa. "Siapa kalian dan apa tujuan kalian datang ke sini?" Rindi menatap tajam mereka, membuat keduanya sedikit gelagapan. "Ma-main," jawab salah satu lelaki itu gugup. "Memangnya kalian nggak punya kerjaan lain selain main? Kalau nggak ada urusan penting, jangan datang lagi ke sini. Pulang sekarang!" suara Rindi tajam, penuh ketegasan. "Ibu, jangan gitu, ah. Nggak enak sama teman-temanku," bisik Reva, berusaha membela tamunya. Namun Rindi tak menggubris. Ia terus menatap kedua lelaki itu dengan tajam, hingga akhirnya mereka berdiri dan pamit pulang tanpa banyak kata. "Reva, kami pulang dulu ya," ujar salah satu dari mereka. Tak ada salam untuk Rindi. Benar-benar tak punya sopan santun. Begitu pintu tertutup, Reva langsung mengeluh, "Ibu kok tega kayak gitu sih?" Rindi menatap putrinya dengan garang. "Tega kamu bilang?! Kuping Ibu ini makin hari makin kobong dengar omongan orang yang selalu ghibahin tentang kamu!" "Ngapain sih, Bu, peduliin orang-orang yang nggak suka sama kita? Temen-temen aku cuma main ke sini, ngobrol biasa, nggak neko-neko kok. Mereka aja yang suka nambah-nambahin berita biar makin pedas!" Reva membalas berani. "Kamu itu ya, makin hari makin membangkang! Kalau dibilangin orang tua nggak pernah nurut, mending nikah aja kamu! Ibu nggak mau tahu, kalau ada lelaki yang mau melamar kamu lagi, mau nggak mau kamu harus terima dan siap menikah!" suara Rindi penuh ancaman. "Ibu jahat!! Udah nggak sayang sama aku!!" bentak Reva. Ia berlari masuk ke kamarnya dan membanting pintu. Rindi hanya bisa mengelus dada dan menggeleng, bibirnya tak henti-henti melafazkan istighfar untuk meredakan emosinya. Seperti biasa, sepulang dari rumah majikan, Rindi harus belanja sayuran untuk dimasak. Meski hatinya masih dongkol dengan Reva, ia tak bisa mengabaikan kewajibannya sebagai ibu. Dengan langkah cepat, ia berjalan kaki menuju warung Umi. Sesampainya di sana, ia langsung memilih sayuran dan lauk seadanya. "Baru pulang dari rumah Bu RT ya, Rin?" tanya salah satu tetangga yang juga ada di warung. "Iya, Yu. Ini kok tinggal sawi doang, ya? Mau masak apa kok jadi bingung," balas Rindi sambil memikirkan menu yang pas dengan uang di tangannya. Setiap hari, Rindi bekerja sebagai tukang cuci dan gosok di tiga rumah tetangganya. Pagi di rumah Bu RT, lalu pulang sebentar untuk memasak. Setelah itu, ia lanjut ke rumah Bu Saodah dan terakhir di rumah Bu Mursi hingga sore. "Kamu tuh punya anak gadis, mbok ya disuruh belanja pagi-pagi. Sayuran masih banyak, pilihannya enak. Reva juga suruh masak sekalian, jangan nungguin kamu pulang. Orang tua pulang kerja capek, perut lapar, sampai rumah masih harus mikirin masak apa?! Belanja apa?! Makanya, punya anak gadis tuh jangan dibiarkan pacaran saja. Percuma cantik kalau masak aja nggak becus. Cantik doang bisa bikin perut laki kenyang apa?!" cerocos Munti panjang lebar. "Kayak aku nih, urusan rumah udah beres semua sama Mus tanpa aku minta. Aku ke sini cuma cari buah. Asih, anakku, tiap bulan selalu kirim gajinya. Meski cuma lulusan SD, tapi dia pintar cari duit. Buat apa sekolah tinggi kalau cuma pandai pacaran doang?! Masak aja nggak bisa, gimana mau cari duit!" tambah Munti, makin merembet ke topik lain. "Ooh, ternyata Reva nggak bisa masak, toh!" celetuk Siti, ibu kandung Nathan, dengan sinis. "Lah kamu tuh gimana, Ti? Tetangga depan rumah aja nggak tahu. Aku kasih tahu ya, jangan biarkan anak-anak lelakimu punya istri yang nggak bisa masak. Ntar yang ada malah minta dimasakin ibunya terus tiap hari. Istrinya cuma ngatong minta duit buat dandan!" Munti semakin semangat menghasut. "Nggak lah! Aku pastikan anak-anakku dapat mantu perempuan yang paket lengkap. Sorry deh kalau cuma modal cantik doang," balas Siti dengan gaya angkuhnya. "Mbak Umi, aku beli ini ya." Rindi akhirnya menyerahkan belanjaannya untuk dihitung. Dua papan tempe, ikan asin, dan satu plastik kerupuk. "Totalnya delapan ribu, Lek Rin," ucap Umi sambil menyodorkan belanjaan yang sudah masuk plastik. Rindi memberikan uang sepuluh ribuan dan menerima kembalian dua ribu. Namun, sebelum ia sempat pergi, Munti kembali membuka mulut. "Tau nggak kalian semua? Kemarin ada bocah-bocah laki datang ke rumah Prabu, mungkin pacarnya Reva. Dari pagi sampai siang! Anak muda zaman sekarang tuh kalau lagi berdua-duaan di rumah nggak ada orang, pasti grepe-grepe lah! Ntar tahu-tahu bunting duluan dan bapaknya nggak jelas lagi!" Tawa beberapa orang pecah. Hati Rindi mencelos. Tangannya menggenggam plastik belanjaan erat-erat, berusaha menahan air mata. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah cepat, meninggalkan warung Umi dan ocehan orang-orang di belakangnya. Rindi mengepalkan tangannya erat, menekan dadanya yang terasa sesak. Matanya mulai panas, tapi ia menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. "Ya Allah... kuatkan aku," batinnya, meneguk ludah dengan susah payah. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera mengambil belanjaannya dan melangkah pergi. Namun, sebelum benar-benar menjauh, telinganya masih bisa menangkap suara Munti yang terus mengompori gosip. Rindi menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir pecah. Langkahnya semakin cepat, ingin segera sampai rumah dan menumpahkan semua yang ia tahan sejak tadi. ----"Selamat siang anak-anak. Assalamualaikum." Suasana di kelas tiba-tiba senyap saat seorang guru muda memasuki ruangan, suaranya lembut namun tegas."Selamat siang, Pak Reza. Walaikumsalam," balas semua siswa siswi serempak sembari berhamburan duduk di kursi masing-masing.Kedatangan pak Reza, membuat Nisa menghela napas lega. Ia merasa terselamatkan dari pertanyaan Zahra yang mengimitasinya. Ia menundukkan kepala, pura-pura sibuk mengambil buku catatan di dalam tasnya, sementara Zahra mendengus kesal sebab rasa penasarannya belum tuntas.Kedatangan guru muda itu memberi kesempatan bagi Nisa untuk mengalihkan fokus dan meredakan kegugupannya. Guru yang baru datang itu bernama Pak Reza, guru mata pelajaran bahasa Inggris yang baru beberapa bulan ini mengajar di sekolah mereka. "Sebelum kita memulai pelajaran, Bapak ingin mengucapkan selamat kepada Nisa atas kemenangannya. Tetap semangat, dan jangan pernah berubah untuk menjadi anak yang rendah hati
_Allah hu Akbar Allahu Akbar La ilahhaillah_"Astaghfirullah...!! Udah selesai qomat..!" Pekik Nisa. Ia tak sadar telah larut dalam adzan yang di kumandangkan Ali."Haduh telat aku," ucap Nisa. Ia segera berlari menuju masjid sambil memakai mukena.Nisa tergesa-gesa berlari menuju masjid, tak ingin mendapat hukuman karena telat sholat berjamaah . Hatinya masih bergetar karena adzan yang dikumandangkan Ali tadi begitu menyentuh. Suara Ali yang lembut namun tegas, membuatnya larut hingga tanpa sadar ia hampir saja tertinggal shalat."Suara siapa tadi ya?" gumam Nisa bertanya-tanya.Sesampainya di masjid, Nisa menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Dengan langkah ringan, ia segera masuk dan mencari tempat di shaf perempuan, menyelip di antara jamaah yang sudah bersiap melaksanakan shalat. Tepat pada saat ia selesai mengatur mukenanya, imam memulai takbir, dan Nisa pun tenggelam dalam kekhusyukan shalat, menc
Semua orang sedang menunggu Nisa berbicara dengan cemas, hanya Bapak Aisyah yang nampak acuh."Syaratnya harus menunggu Aisyah lulus sekolah. Biarlah, Ais, menyelesaikan pendidikannya agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Izinkan juga Aisyah untuk mempersiapkan hati berumah tangga Tante, Om," ujar Nisa mengeluarkan pendapatnya.Umi Kulsum menatap Nisa dengan bangga dan tersenyum haru. Ia salut dengan keberanian dan kecerdasan gadis itu. Selain cantik fisik, Nisa juga berhati baik, selalu memikirkan keadaan orang lain."Menurut saya, pendapat Nisa patut dipertimbangkan, Bu, Bapak. Kasihan Aisyah, biarkan dia menyiapkan mental untuk menghadapi hari-hari selanjutnya. Pernikahan bukan hanya tentang menyatukan dua insan, tetapi juga mempertemukan dua keluarga besar, dua pandangan hidup, dan dua jiwa yang harus siap dalam segala hal. Waktu yang cukup akan membuat semua pihak lebih matang dan siap menjalani amanah ini," ujar Umi Kulsum, suaranya penuh ketulusan.Bapak Aisyah tetap ter
Hari Jum'at pun telah tiba, beruntung Ibunya Nisa tak dapat datang apalagi uang saku Nisa masih cukup membuat dirinya lega. Setidaknya sang Ibu tak mengkuatirkan kondisi luka-lukanya yang belum begitu pulih."Loh, Ais, kenapa kamu mau pulang?" tanya Nisa saat melihat Aisyah memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. Apalagi wajah sahabatnya itu memamerah menahan tangis."A-aku, akan boyong, Nis. Aku juga harus putus sekolah," balas Aisyah semakin terisak."Loh, kenapa? Kamu akan menikah?" desak Zahra.Aisyah tak menjawab, hanya anggukan kepala yang ia berikan sambil terus mengemas baju-bajunya ke dalam tas, setiap lipatan terasa berat, seperti menambah beban di hatinya. Begitu semua pakaian sudah rapi tersusun, Aisyah tak bisa lagi menahan perasaannya. Tubuhnya bergetar, dan akhirnya ia terduduk di lantai. Ia menelangkupkan wajahnya di telapak tangan, membiarkan air mata yang ia tahan sejak tadi mengalir deras.Isakannya terdengar pilu, memenu
Para santri berdiri terpaku, menahan napas di tengah keheningan malam. Di sekeliling mereka, hanya terdengar suara angin yang menggoyang dedaunan, membawa hawa dingin yang membuat bulu kuduk meremang.“Eh, tunggu-tunggu. Kalian dengar kan ada yang minta tolong,” ujar salah satu santri dengan nada ragu, sambil memandang teman-temannya.“Tolong…!!” teriak lirih suara wanita dari kejauhan, memecah kesunyian.Para santri saling bertatapan, kecemasan tersirat di mata mereka. Detik berikutnya, mereka serentak menoleh ke arah asal suara, memastikan bahwa mereka tidak salah dengar.“Tuh... Dari sana,” tunjuk seorang santri, wajahnya tegang.Mereka menyoroti senter ke arah gelap, mencoba mengintip apa yang tersembunyi di balik bayang-bayang pohon besar.“Iya, itu suara Zahra,” sahut santri lain, menguatkan dugaannya.Mereka semua semakin waspada, tubuh-tubuh mereka terasa kaku dalam ketegangan yang tak kunjung reda.“Zah
Matno dan Rahmat menyusul berdiri untuk menenangkan sang Ustadz. "Sabar, Tadz, pasti Nisa ketemu kok," ujar Rahmat.Matno yang menyadari tatapan Ustadz Mahfud tertuju pada Ali segera berbisik, "Tenang, Ustadz, jangan kebawa emosi apalagi menuduh Ali. Bisa-bisa kita ketahuhan kalau sudah menjebak dia."Nafas ustadz Mahfud tersengal-sengal menahan emosi yang sudah bergejolak.Para santri dan ustadz masih riuh di masjid, kebingungan dan khawatir dengan hilangnya Nisa dan Zahra. Ustadz Husain menenangkan suasana riuh tersebut."Tenang, semua harap tenang ya," ucap Ustadz Husain. Ia juga berdiri untuk memberi instruksi."Kita berbagi untuk mencari keseluruh pondok, sampai belakang pondok dan di setiap sudutnya. Kalau belum ketemu terpaksa kita harus mencari keluar area pondok, tapi ini berlaku untuk santri putra saja. Santri putri tidak di perkenankan mencari di luar pondok ya. Semoga Zahra dan Nisa ketemu di area pondok saja jadi ki