Share

Cemohan Tetangga

Author: Sri_Eahyuni
last update Last Updated: 2025-01-31 21:02:36

Langkah Rindi terhenti di depan rumah. Sebuah motor asing terparkir di sana. Dahinya mengernyit. Bukan motor tetangga, bukan pula milik saudara. Dengan gerakan hati-hati, ia masuk lewat pintu belakang, mengintip dari dapur. Suara tawa lelaki terdengar dari dalam rumahnya.

Jantungnya berdegup lebih cepat. Sudah bisa ia tebak, pasti Reva lagi-lagi menerima tamu lelaki.

"Ibu sudah pulang?" tanya Reva saat Rindi melepas sepatu dengan gerakan sedikit kasar.

"Heemmm..." jawab Rindi, malas meladeni.

"Ada temanku yang main, Bu, tapi mereka belum dijamu. Aku mau beli ke warung, tapi nggak ada uang. Boleh minta duit?" Reva memasang wajah memohon, berharap ibunya luluh.

"Nggak boleh!" jawab Rindi tegas tanpa kompromi.

Sudah bukan sekali dua kali Reva membawa teman lelaki ke rumah. Selalu berbeda orang, berganti-ganti seperti baju. Rindi sampai malu diomongin para tetangga.

"Anakmu lho, Rin, laris manis. Setiap hari kok ada saja lelaki yang datang."

Rasanya telinganya sudah panas mendengar kalimat itu berkali-kali. Rindi yakin setelah ini, pasti bakal ada gunjingan baru.

Tanpa banyak bicara, ia langsung masuk kamar mandi untuk mandi. Tak perlu penasaran, karena ia sudah tahu siapa yang datang.

Usai mandi dan berganti pakaian, ia keluar. Kali ini, ia berniat menegur langsung tamu-tamu Reva. Di ruang tamu, dua lelaki duduk dengan santai, sementara Tina, adik Reva, asyik bermain HP.

Begitu Rindi muncul, kedua lelaki itu hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Tak ada salam, tak ada sapa.

"Siapa kalian dan apa tujuan kalian datang ke sini?" Rindi menatap tajam mereka, membuat keduanya sedikit gelagapan.

"Ma-main," jawab salah satu lelaki itu gugup.

"Memangnya kalian nggak punya kerjaan lain selain main? Kalau nggak ada urusan penting, jangan datang lagi ke sini. Pulang sekarang!" suara Rindi tajam, penuh ketegasan.

"Ibu, jangan gitu, ah. Nggak enak sama teman-temanku," bisik Reva, berusaha membela tamunya.

Namun Rindi tak menggubris. Ia terus menatap kedua lelaki itu dengan tajam, hingga akhirnya mereka berdiri dan pamit pulang tanpa banyak kata.

"Reva, kami pulang dulu ya," ujar salah satu dari mereka. Tak ada salam untuk Rindi. Benar-benar tak punya sopan santun.

Begitu pintu tertutup, Reva langsung mengeluh, "Ibu kok tega kayak gitu sih?"

Rindi menatap putrinya dengan garang.

"Tega kamu bilang?! Kuping Ibu ini makin hari makin kobong dengar omongan orang yang selalu ghibahin tentang kamu!"

"Ngapain sih, Bu, peduliin orang-orang yang nggak suka sama kita? Temen-temen aku cuma main ke sini, ngobrol biasa, nggak neko-neko kok. Mereka aja yang suka nambah-nambahin berita biar makin pedas!" Reva membalas berani.

"Kamu itu ya, makin hari makin membangkang! Kalau dibilangin orang tua nggak pernah nurut, mending nikah aja kamu! Ibu nggak mau tahu, kalau ada lelaki yang mau melamar kamu lagi, mau nggak mau kamu harus terima dan siap menikah!" suara Rindi penuh ancaman.

"Ibu jahat!! Udah nggak sayang sama aku!!" bentak Reva. Ia berlari masuk ke kamarnya dan membanting pintu.

Rindi hanya bisa mengelus dada dan menggeleng, bibirnya tak henti-henti melafazkan istighfar untuk meredakan emosinya.

Seperti biasa, sepulang dari rumah majikan, Rindi harus belanja sayuran untuk dimasak. Meski hatinya masih dongkol dengan Reva, ia tak bisa mengabaikan kewajibannya sebagai ibu. Dengan langkah cepat, ia berjalan kaki menuju warung Umi.

Sesampainya di sana, ia langsung memilih sayuran dan lauk seadanya.

"Baru pulang dari rumah Bu RT ya, Rin?" tanya salah satu tetangga yang juga ada di warung.

"Iya, Yu. Ini kok tinggal sawi doang, ya? Mau masak apa kok jadi bingung," balas Rindi sambil memikirkan menu yang pas dengan uang di tangannya.

Setiap hari, Rindi bekerja sebagai tukang cuci dan gosok di tiga rumah tetangganya. Pagi di rumah Bu RT, lalu pulang sebentar untuk memasak. Setelah itu, ia lanjut ke rumah Bu Saodah dan terakhir di rumah Bu Mursi hingga sore.

"Kamu tuh punya anak gadis, mbok ya disuruh belanja pagi-pagi. Sayuran masih banyak, pilihannya enak. Reva juga suruh masak sekalian, jangan nungguin kamu pulang. Orang tua pulang kerja capek, perut lapar, sampai rumah masih harus mikirin masak apa?! Belanja apa?! Makanya, punya anak gadis tuh jangan dibiarkan pacaran saja. Percuma cantik kalau masak aja nggak becus. Cantik doang bisa bikin perut laki kenyang apa?!" cerocos Munti panjang lebar.

"Kayak aku nih, urusan rumah udah beres semua sama Mus tanpa aku minta. Aku ke sini cuma cari buah. Asih, anakku, tiap bulan selalu kirim gajinya. Meski cuma lulusan SD, tapi dia pintar cari duit. Buat apa sekolah tinggi kalau cuma pandai pacaran doang?! Masak aja nggak bisa, gimana mau cari duit!" tambah Munti, makin merembet ke topik lain.

"Ooh, ternyata Reva nggak bisa masak, toh!" celetuk Siti, ibu kandung Nathan, dengan sinis.

"Lah kamu tuh gimana, Ti? Tetangga depan rumah aja nggak tahu. Aku kasih tahu ya, jangan biarkan anak-anak lelakimu punya istri yang nggak bisa masak. Ntar yang ada malah minta dimasakin ibunya terus tiap hari. Istrinya cuma ngatong minta duit buat dandan!" Munti semakin semangat menghasut.

"Nggak lah! Aku pastikan anak-anakku dapat mantu perempuan yang paket lengkap. Sorry deh kalau cuma modal cantik doang," balas Siti dengan gaya angkuhnya.

"Mbak Umi, aku beli ini ya." Rindi akhirnya menyerahkan belanjaannya untuk dihitung. Dua papan tempe, ikan asin, dan satu plastik kerupuk.

"Totalnya delapan ribu, Lek Rin," ucap Umi sambil menyodorkan belanjaan yang sudah masuk plastik.

Rindi memberikan uang sepuluh ribuan dan menerima kembalian dua ribu. Namun, sebelum ia sempat pergi, Munti kembali membuka mulut.

"Tau nggak kalian semua? Kemarin ada bocah-bocah laki datang ke rumah Prabu, mungkin pacarnya Reva. Dari pagi sampai siang! Anak muda zaman sekarang tuh kalau lagi berdua-duaan di rumah nggak ada orang, pasti grepe-grepe lah! Ntar tahu-tahu bunting duluan dan bapaknya nggak jelas lagi!"

Tawa beberapa orang pecah.

Hati Rindi mencelos. Tangannya menggenggam plastik belanjaan erat-erat, berusaha menahan air mata. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah cepat, meninggalkan warung Umi dan ocehan orang-orang di belakangnya.

Rindi mengepalkan tangannya erat, menekan dadanya yang terasa sesak. Matanya mulai panas, tapi ia menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah.

"Ya Allah... kuatkan aku," batinnya, meneguk ludah dengan susah payah.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera mengambil belanjaannya dan melangkah pergi. Namun, sebelum benar-benar menjauh, telinganya masih bisa menangkap suara Munti yang terus mengompori gosip.

Rindi menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir pecah. Langkahnya semakin cepat, ingin segera sampai rumah dan menumpahkan semua yang ia tahan sejak tadi.

----

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Panas Cinta Terlarang   Ekstra Part

    Dua bulan telah berlalu, Zahra serta Ustadz Husain kini telah resmi menjadi sepasang suami istri. Meski baru menikah, Zahra merasa bahagia dan nyaman dengan keputusan yang diambilnya. Ia rela meninggalkan kehidupan yang semula ia kenal di Jakarta, termasuk keluarganya yang kini berantakan. Setelah ayahnya meninggal akibat kecelakaan empat tahun lalu, harta peninggalannya dirampas oleh ibu dan saudara tirinya. Mama Zahra telah menikah lagi dan kini tinggal bersama suaminya, meninggalkan Zahra yang merasa kesepian dan terlupakan.Namun, Zahra tidak pernah haus akan harta. Meski kehilangan banyak hal, ia merasa jauh lebih kaya dengan cinta dan kebahagiaan yang ia temukan bersama Ustadz Husain. Ia memilih untuk tinggal di rumah suaminya yang sederhana, yang terletak di samping pondok pesantren tempat mereka berdua beraktivitas. Meski hidup di lingkungan yang jauh dari kemewahan, Zahra merasa tenang dan bahagia.Pemasukan Zahra dari melukis lebih dari cukup untuk memenu

  • Rahasia Panas Cinta Terlarang   Ending

    Zahra dan Ustadz Husain saling melempar pandang dengan senyum kecil saat melihat ekspresi Ali yang mendelik menatap mereka."Hayo ngaku aja. Pasti kalian punya apa-apa nih," ujar Ali penuh rasa ingin tahu.Zahra menyipitkan matanya ke arah Ali, lalu dengan nada santai menjawab, "Kepo banget, sih, Gus."Husain tertawa kecil. "Iya, Gus, kepo banget," sahutnya, seakan mereka sudah sepakat menggodanya.Ali mendengus, pura-pura kesal. "Ih, enggak sopan banget kalian ngegas gitu. Kalau kalian lagi ngomongin hal penting, ya udah, aku pergi aja, deh!" ucapnya sambil mengangkat tangan menyerah."Ya udah, pergi aja, Gus," goda Zahra sambil terkekeh, membuat Husain tertawa lebih keras.Ali pura-pura cemberut, tetapi akhirnya ikut tersenyum. "Dasar kalian ini, cocok banget. Udah, aku doa’in aja biar kalian berdua langgeng kalau memang ada apa-apa," kata Ali berlalu menjauh sambil melambaikan tangan.Setelah kepergian Ali, Ustad

  • Rahasia Panas Cinta Terlarang   Setelah Pertemuan

    Ali tampak canggung di hadapan Nisa, mencoba mengatur kata-kata agar tidak menyakitinya lebih dalam. Namun, ketegangan di ruangan itu semakin terasa.Nisa menatapnya tajam, suaranya mulai meninggi. "Kamu munafik, Ali! Kamu dulu berjanji... Tapi sekarang, apa? Kamu menikah dan bahkan punya anak? Apa janji itu cuma ucapan kosong?""Nisa, tolong..." Ali mencoba menenangkan, tapi suaranya terdengar lemah."Tolong? Kamu bicara soal tolong?!" Nisa memotong dengan nada penuh emosi. "Bertahun-tahun aku menjaga hati ini, Ali. Bertahun-tahun! Banyak laki-laki yang menginginkanku tetapi, aku menolaknya karena di hati ini hanya ada kamu. Dan sekarang... ini yang aku dapatkan? Ini buah dari janjimu!"Suaranya menggema ke seluruh ruangan. Dari arah belakang, suara langkah pintu terdengar terbuka. Seorang wanita muda dengan tubuh mungil keluar dari dalam, menggunakan kursi roda. Ia tampak bingung melihat suasana tegang di ruang tamu."Abi, ada

  • Rahasia Panas Cinta Terlarang   Kembalinya Nisa

    Kembalinya NisaAli mendorong kursi roda Mauty perlahan meninggalkan puskesmas. Farhan dan Sabrina memutuskan untuk pulang ke Bandung dua hari yang lalu dan berpesan kepada putra tunggalnya untuk menjalani takdir dengan ikhlas.Langit sore terlihat teduh, seolah menyambut langkah baru dalam kehidupan rumah tangga mereka. Hubungan mereka yang awalnya dingin kini mulai mencair, meski belum diwarnai cinta.Setiba di kediaman, Ali mempersiapkan ruang sederhana untuk Mauty. "Kamu istirahat dulu. Kalau ada yang dibutuhkan, panggil aku," ucap Ali, meletakkan tas di sudut kamar.Mauty mengangguk. "Terima kasih, Bang," jawabnya lirih. Ada kehangatan dalam cara Ali berbicara, sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya.Malam itu, Ali mengetuk pintu kamar. Di tangannya, ia membawa Al-Qur'an dan sehelai mukena. "Mauty, mari kita mulai belajar sholat dan mengaji. Aku ingin kita sama-sama memperbaiki diri," kata Ali, duduk di lantai tak jauh d

  • Rahasia Panas Cinta Terlarang   Siapa Kamu?

    Takdir yang Mengetuk "Astaghfirullah, Mauty!" Ali berteriak panik. Ia segera berlari menghampiri istrinya, mengguncang tubuhnya penuh kecemasan.Ali menemukan botol obat-obatan yang sudah kosong di lantai. Ia segera mengambil salah satunya."Astaghfirullah, apa Mauty meminum semua obatnya. Dan dia over dosis? Apa dia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya?" batin Ali bertanya-tanya. Ia segera membuang botol tersebut dengan asal lalu segera fokus kepada sang istri."Mauty, bangun! Ini aku, Ali!" Namun, Mauty tetap tak bergerak. Nafas Ali memburu."Tolong... Tolong....!"Suara teriakan Ali menggemparkan rumah.Nathan segera datang dari ruang tamu dan bertanya dengan nada kawatir, "Ada apa ini, Ali? Mauty kenapa?"Tak berapa lama Reva datang dari arah dapur bersama ustadzah Lutfi dan ustadzah Uut. "Ya Allah, Mauty. Apa yang terjadi, Li?" tanya Reva cemas."Ali tidak tahu, Ma," balas Ali panik. Ia s

  • Rahasia Panas Cinta Terlarang   Fitnah

    Fitnah di Balik Pusaran TakdirPagi itu, langit di atas Pondok Pesantren Al-Hikmah tampak mendung, seakan mengiringi suasana hati para santri yang gelisah. Di dalam masjid, setelah sholat Dhuha sekelompok pengurus pondok dan para santri berkumpul, mendengarkan ceramah ustad Mahfud yang tampak begitu serius. Ustad Mahfud, yang dikenal cukup berpengaruh di kalangan pengurus pondok, berdiri di depan mereka, wajahnya penuh dengan ketegasan, namun ada sesuatu yang tampak berbeda dalam sorot matanya. Ada kebencian yang terpendam."Saudara-saudara sekalian, hari ini saya ingin berbicara tentang seorang yang tidak layak kita percayakan untuk memimpin pesantren ini," kata Ustad Mahfud sembari melirik ke arah Ali yang masih duduk di tempat imam, suaranya keras dan memecah kesunyian."Gus yang kita anggap sebagai penerus pesantren ini, ternyata memilih jalan yang tidak pantas. Dia menikahi seorang perempuan yang cacat dan tak punya kaki! Apa yang akan terjadi jika k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status