Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan.
Reva terbangun karena suara orang berbicara di luar kamarnya. Biasanya, bapak dan ibunya sudah membangunkannya sejak subuh. Tapi kali ini, tidak ada suara yang memanggilnya, tidak ada ketukan di pintu kamarnya. Ia melirik jam dinding. Setengah enam. Jantungnya mencelos. Sudah nyaris kesiangan. Reva bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Setelah itu, ia berdiri di ruang tengah, siap menunaikan salat subuh. Tapi suara sinis tiba-tiba menyelusup ke telinganya. "Oalah, anak perawan jam segini baru bangun? Baru mau salat subuh?" Reva menoleh, mendapati Imam—kakak sepupunya—menatapnya dengan seringai usil. "Lihat jam, udah hampir jam enam. Salatmu itu nggak bakal diterima," lanjut Imam, tertawa mengejek. Reva mengembuskan napas kasar. "Nyebelin banget sih, Mas! Pagi-pagi udah di sini, mau minta sarapan?!" Imam terkekeh, tapi Reva tak lagi memperdulikannya. Ia segera masuk ke ruang salat, buru-buru melaksanakan kewajibannya. "Ya ampun, Rev. Beneran salat nggak sih? Kok nggak sampai lima menit?" Imam kembali menyela. "Eh, mata kamu bengkak, habis nangis ya?" "Bisa diam nggak sih?!" bentak Reva, kesal. Namun, hatinya semakin mencelos ketika menyadari sesuatu. Bapak dan ibunya masih ada di rumah. Biasanya, mereka sudah pergi ke kebun sejak pagi. Tapi kali ini, mereka masih berlalu lalang di dalam rumah. Yang membuat Reva lebih terpukul, mereka bahkan tidak menatapnya. Tidak menyapa. Seolah-olah dia tak ada. Seolah-olah, dia bukan lagi bagian dari keluarga ini. "Ibu, aku nggak tahu kenapa aku mengecewakanmu seperti ini ketika aku dewasa." "Bapak, katanya seorang anak perempuan bisa bersandar di bahu bapaknya. Tapi kenapa bahumu terasa begitu jauh?" Reva menahan napas, mencoba menghalau air mata yang kembali menggenang. Apa hanya karena satu kesalahan kecil, ia harus diperlakukan seperti ini? Reva masuk kembali ke kamarnya. Ia membaringkan diri di kasur dengan tengkurap, tubuhnya terasa berat. Ia tak tahu lagi bagaimana hubungan selanjutnya dengan Nathan. Rindi menatap kamar Reva yang tertutup rapat, hatinya terasa berat. Pandangannya kosong, seolah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Anak gadis yang ia besarkan penuh kasih sayang ternyata diam-diam melanggar larangannya. Rindi tidak pernah menyangka, Reva yang sudah ia didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, malah memilih untuk menyimpan rahasia besar. Sejak Reva duduk di kelas tiga SMP dan Nathan di kelas tiga SMA, Rindi sudah mewanti-mewanti anaknya. Ia meminta Reva untuk tidak jatuh cinta kepada Nathan, karena Rindi tahu, saat Reva tumbuh menjadi remaja, perasaan cinta terhadap lawan jenis pasti muncul. Namun, Rindi khawatir jika itu terjadi, akan menimbulkan masalah. "Memangnya kenapa, Bu?" tanya Reva dengan polosnya. "Kata nenek moyang kita, gak boleh kalau besanan belah jalan. Nanti bakal ada petaka dalam rumah tangga mereka. Ibu cuma nggak mau kamu terlanjur," jawab Rindi waktu itu, penuh perhatian. Reva hanya mengangguk, seolah mengerti, meskipun usianya masih sangat labil. Tapi ternyata, tanpa sepengetahuannya, Reva dan Nathan diam-diam bertemu. Bahkan Prabu juga melaporkan kalau mereka hampir berciuman. Hati Rindi bagai disambar petir. Jika hal itu terus berlanjut, ia tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. "Ibu nggak curiga apa sama Reva? Akhir-akhir ini dia sering banget duduk di teras sambil senyum-senyum, mandangin rumah Nathan," kata Prabu yang lebih mencurigai anak gadisnya ketimbang Rindi. "Ah, masa sih, Pak?" jawab Rindi dengan ragu. "Iya, Bu, coba deh perhatiin. Kamu kan lebih sering di rumah. Sekarang kalau malam dia pasti lebih sering di kamar, mungkin lagi kirim pesan sama Nathan," kata Prabu. Rindi mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu cuma perasaan suaminya. "Iya, nanti Ibu coba perhatiin lebih jelas. Semoga aja cuma perasaan Bapak aja," jawab Rindi, berharap itu tidak benar-benar terjadi. Namun, setelah lebih memperhatikan, ternyata apa yang dibilang Prabu itu benar. Bahkan, tengah malam saat Rindi mengintip dari lubang pintu kamar Reva, ia melihat putrinya masih memegang HP sambil senyum-senyum, bahkan cekikikan. Kemarin siang, Rindi juga tidak sengaja mendengar percakapan Reva di depan pintu kamar. Reva mengucapkan setuju untuk bertemu Nathan malam itu. Malam harinya, Rindi mencoba mencari cara untuk menggagalkan pertemuan itu. Ia memutuskan untuk meminta Reva menggoreng kerupuk opak, berharap itu bisa menunda atau menggagalkan rencana Reva. "Mau kemana, Rev?" tanya Rindi saat Reva selesai mengantarkan gorengan opak. "Cuci tangan, Bu," jawab Reva singkat. Rindi mendengar suara air mengalir dari kamar mandi, dan ia dengan sengaja memperkecil volume TV agar bisa mendengar langkah kaki Reva. Kriettt! "Bapak?" Rindi menoleh ke suaminya, memberi isyarat. Prabu melihat ke arah rumah Mbah Jasemo dan memberi isyarat dengan jarinya, menunjuk ke arah sana. Rindi segera mengendap-endap menuju dapur untuk memastikan kalau Reva masih ada di sana. Ternyata Reva sudah tidak ada di dalam. Pintu dapur yang terbuat dari kayu itu terbuka sedikit, menandakan bahwa Reva benar-benar keluar. "Bapak, Reva nggak ada. Coba cegat di luar!" ujar Rindi dengan panik. Prabu segera bergegas keluar tanpa berkata apa-apa, meninggalkan Tina yang masih asyik menonton TV. Rindi mengikuti suaminya, yang memberi isyarat menuju rumah Mbah Jasemo. Saat mereka tiba di sana, Rindi melihat Reva berjalan ke arah rumah Mbah Mo. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala, tak tahu harus berkata apa, dan kembali masuk ke dalam rumah menunggu suaminya pulang. Setelah beberapa waktu, Reva masuk ke rumah dengan langkah terburu-buru dan wajah cemberut, langsung menuju kamar. "Reva?" gumam Rindi dengan nada penuh kekhawatiran. "Dia benar-benar ketemu Nathan, bahkan mereka hampir ciuman di belakang rumah Mbah Mo. Benar-benar keterlaluan anak itu. Susah banget dinasehatin," kata Prabu dengan raut wajah kecewa dan marah. "Astagfirullah, separah itukah Reva, Pak?" tanya Rindi, terkejut dan sangat kecewa. Prabu hanya mengangguk dan berkata, "Nasehatilah dia." Rindi mengusap wajahnya, napasnya berat. Ia menatap pintu kamar Reva yang tertutup rapat. "Tidak bisa dibiarkan," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. "Kalau dia tetap membangkang, kita harus mengambil keputusan tegas, Pak," imbuh Rindu menatap suaminya sekilas yang hanya bisa mengangguk pasrah. Rindi memejamkan mata sejenak. Hatinya terasa seperti diremas. Ia ingin anak gadisnya patuh, tapi Reva malah memilih jalan yang dilarangnya. Dari dalam kamar, Reva menempelkan telinganya ke pintu. Matanya membulat ketakutan. Tangannya mengepal, jantungnya berdegup kencang. "Apa yang mereka maksud dengan 'keputusan tegas'?" Reva menggigit bibir bawahnya, tubuhnya bergetar. Apa orang tuanya akan menjauhkannya dari Nathan? Atau lebih buruk lagi… menikahkannya dengan orang lain? Ketakutan itu membuatnya sulit bernapas. ---Dua bulan telah berlalu, Zahra serta Ustadz Husain kini telah resmi menjadi sepasang suami istri. Meski baru menikah, Zahra merasa bahagia dan nyaman dengan keputusan yang diambilnya. Ia rela meninggalkan kehidupan yang semula ia kenal di Jakarta, termasuk keluarganya yang kini berantakan. Setelah ayahnya meninggal akibat kecelakaan empat tahun lalu, harta peninggalannya dirampas oleh ibu dan saudara tirinya. Mama Zahra telah menikah lagi dan kini tinggal bersama suaminya, meninggalkan Zahra yang merasa kesepian dan terlupakan.Namun, Zahra tidak pernah haus akan harta. Meski kehilangan banyak hal, ia merasa jauh lebih kaya dengan cinta dan kebahagiaan yang ia temukan bersama Ustadz Husain. Ia memilih untuk tinggal di rumah suaminya yang sederhana, yang terletak di samping pondok pesantren tempat mereka berdua beraktivitas. Meski hidup di lingkungan yang jauh dari kemewahan, Zahra merasa tenang dan bahagia.Pemasukan Zahra dari melukis lebih dari cukup untuk memenu
Zahra dan Ustadz Husain saling melempar pandang dengan senyum kecil saat melihat ekspresi Ali yang mendelik menatap mereka."Hayo ngaku aja. Pasti kalian punya apa-apa nih," ujar Ali penuh rasa ingin tahu.Zahra menyipitkan matanya ke arah Ali, lalu dengan nada santai menjawab, "Kepo banget, sih, Gus."Husain tertawa kecil. "Iya, Gus, kepo banget," sahutnya, seakan mereka sudah sepakat menggodanya.Ali mendengus, pura-pura kesal. "Ih, enggak sopan banget kalian ngegas gitu. Kalau kalian lagi ngomongin hal penting, ya udah, aku pergi aja, deh!" ucapnya sambil mengangkat tangan menyerah."Ya udah, pergi aja, Gus," goda Zahra sambil terkekeh, membuat Husain tertawa lebih keras.Ali pura-pura cemberut, tetapi akhirnya ikut tersenyum. "Dasar kalian ini, cocok banget. Udah, aku doa’in aja biar kalian berdua langgeng kalau memang ada apa-apa," kata Ali berlalu menjauh sambil melambaikan tangan.Setelah kepergian Ali, Ustad
Ali tampak canggung di hadapan Nisa, mencoba mengatur kata-kata agar tidak menyakitinya lebih dalam. Namun, ketegangan di ruangan itu semakin terasa.Nisa menatapnya tajam, suaranya mulai meninggi. "Kamu munafik, Ali! Kamu dulu berjanji... Tapi sekarang, apa? Kamu menikah dan bahkan punya anak? Apa janji itu cuma ucapan kosong?""Nisa, tolong..." Ali mencoba menenangkan, tapi suaranya terdengar lemah."Tolong? Kamu bicara soal tolong?!" Nisa memotong dengan nada penuh emosi. "Bertahun-tahun aku menjaga hati ini, Ali. Bertahun-tahun! Banyak laki-laki yang menginginkanku tetapi, aku menolaknya karena di hati ini hanya ada kamu. Dan sekarang... ini yang aku dapatkan? Ini buah dari janjimu!"Suaranya menggema ke seluruh ruangan. Dari arah belakang, suara langkah pintu terdengar terbuka. Seorang wanita muda dengan tubuh mungil keluar dari dalam, menggunakan kursi roda. Ia tampak bingung melihat suasana tegang di ruang tamu."Abi, ada
Kembalinya NisaAli mendorong kursi roda Mauty perlahan meninggalkan puskesmas. Farhan dan Sabrina memutuskan untuk pulang ke Bandung dua hari yang lalu dan berpesan kepada putra tunggalnya untuk menjalani takdir dengan ikhlas.Langit sore terlihat teduh, seolah menyambut langkah baru dalam kehidupan rumah tangga mereka. Hubungan mereka yang awalnya dingin kini mulai mencair, meski belum diwarnai cinta.Setiba di kediaman, Ali mempersiapkan ruang sederhana untuk Mauty. "Kamu istirahat dulu. Kalau ada yang dibutuhkan, panggil aku," ucap Ali, meletakkan tas di sudut kamar.Mauty mengangguk. "Terima kasih, Bang," jawabnya lirih. Ada kehangatan dalam cara Ali berbicara, sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya.Malam itu, Ali mengetuk pintu kamar. Di tangannya, ia membawa Al-Qur'an dan sehelai mukena. "Mauty, mari kita mulai belajar sholat dan mengaji. Aku ingin kita sama-sama memperbaiki diri," kata Ali, duduk di lantai tak jauh d
Takdir yang Mengetuk "Astaghfirullah, Mauty!" Ali berteriak panik. Ia segera berlari menghampiri istrinya, mengguncang tubuhnya penuh kecemasan.Ali menemukan botol obat-obatan yang sudah kosong di lantai. Ia segera mengambil salah satunya."Astaghfirullah, apa Mauty meminum semua obatnya. Dan dia over dosis? Apa dia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya?" batin Ali bertanya-tanya. Ia segera membuang botol tersebut dengan asal lalu segera fokus kepada sang istri."Mauty, bangun! Ini aku, Ali!" Namun, Mauty tetap tak bergerak. Nafas Ali memburu."Tolong... Tolong....!"Suara teriakan Ali menggemparkan rumah.Nathan segera datang dari ruang tamu dan bertanya dengan nada kawatir, "Ada apa ini, Ali? Mauty kenapa?"Tak berapa lama Reva datang dari arah dapur bersama ustadzah Lutfi dan ustadzah Uut. "Ya Allah, Mauty. Apa yang terjadi, Li?" tanya Reva cemas."Ali tidak tahu, Ma," balas Ali panik. Ia s
Fitnah di Balik Pusaran TakdirPagi itu, langit di atas Pondok Pesantren Al-Hikmah tampak mendung, seakan mengiringi suasana hati para santri yang gelisah. Di dalam masjid, setelah sholat Dhuha sekelompok pengurus pondok dan para santri berkumpul, mendengarkan ceramah ustad Mahfud yang tampak begitu serius. Ustad Mahfud, yang dikenal cukup berpengaruh di kalangan pengurus pondok, berdiri di depan mereka, wajahnya penuh dengan ketegasan, namun ada sesuatu yang tampak berbeda dalam sorot matanya. Ada kebencian yang terpendam."Saudara-saudara sekalian, hari ini saya ingin berbicara tentang seorang yang tidak layak kita percayakan untuk memimpin pesantren ini," kata Ustad Mahfud sembari melirik ke arah Ali yang masih duduk di tempat imam, suaranya keras dan memecah kesunyian."Gus yang kita anggap sebagai penerus pesantren ini, ternyata memilih jalan yang tidak pantas. Dia menikahi seorang perempuan yang cacat dan tak punya kaki! Apa yang akan terjadi jika k