"Aku yakin itu Reva! Dari samping, belakang, postur tubuh, rambut panjangnya, bahkan cara jalannya persis dia," gumam Eko penuh keyakinan, matanya masih terpaku ke arah sosok yang baru saja melintas.
Eko buru-buru menepikan truk boknya ke pinggir jalan, memastikan tidak membuat kemacetan atau diklaksonin pengendara lain. Begitu mesinnya mati, Eko langsung melompat turun dan ngibrit masuk ke gang, nyaris keseleo gara-gara sendal jepitnya kejepit aspal."Reva!! Reva...!!!" teriaknya, napas sudah ngos-ngosan.Matanya celingukan ke segala penjuru, tapi sosok yang tadi dilihatnya mendadak lenyap entah ke mana."Hadeh, kemana perginya bocah ini? Jalan kok bisa sekenceng maling ayam dikejar satu kampung?! Aku yakin seratus persen, tadi itu pasti Reva!" keluh Eko sambil menyeka keringat di jidat.Eko memang tidak sempat memastikan bajunya, tapi tas selempang yang dipakai gadis itu persis dengan yang Reva bawa malam tahun baru kemarin."Kriieet!Tiba-tiba, pintu kamar terbuka lebar tanpa ketukan lebih dulu."Woy!"Nathan terlonjak kaget. Matanya membulat begitu melihat Eko melangkah santai masuk."Elu kebiasaan banget sih! Masuk kamar orang nyelonong aja! Ketuk pintu dulu kek, biar gue nggak kaget. Dasar nggak punya akhlak," gerutu Nathan. Ia menatap sahabatnya itu dengan sebal, sebelum kembali fokus menyisir rambutnya yang masih basah.Eko nyengir, sama sekali tak merasa bersalah. Matanya melirik ke arah kasur, di mana pakaian akad nikah masih terlipat rapi. Lalu, ia menatap Nathan yang sudah berpakaian santai, lengkap dengan jaket."Bukannya elo mau nikah? Kok malah pakai baju mau pergi?" tanyanya, bingung.Nathan tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum berkata, "Biarin aja Ibu yang nikah, gue mau pergi.""Pergi ke mana?" Eko semakin penasaran. Ia bahkan belum mandi dan masih bau bantal, tapi sudah nekat meluncur ke rumah Na
Di kota Semarang,Pagi yang cerah secerah hati Reva, ia sudah bangun sejak subuh, sehabis menjalankan kewajiban dua raka'at ia memasak beras dan menggoreng telur.Meskipun Reva tak memiliki minyak goreng tetapi ia melihat masih ada stok minyak goreng entah milik siapa ia tak tahu."Minyak goreng, kamu punyanya siapa?? Aku minta dikit ya, nanti kalau aku udah bisa beli bakal aku ganti kok. Janji deh dikiiiit aja ya, Bismillah," gumam Reva sembari membuka botol minyak goreng lalu menuangkan ke dalam teflon yang sudah ia panaskan di atas kompor.Reva menggoreng dua butir telur, yang satu akan dia bawa bekal untuk makan siang nanti. Di rumah Reva sudah terbiasa makan tiga kali bahkan kadang empat kali dalam sehari maka dari itu ia terbiasa tidak bisa menahan lapar.Tepat jam setengah tujuh Reva sudah siap berangkat ia juga sudah selesai sarapan, dirinya asal mengambil kertas minyak untuk membungkus nasinya."Reva, kamu udah mau bera
"Ahh..." Reva terlonjak kaget. Karena tidak dipersilakan duduk, ia memilih tetap berdiri dengan canggung.Aaris terkekeh pelan, menikmati kepanikan yang tersirat di wajah gadis itu. "Duduklah," ucapnya akhirnya."Terima kasih, Pak," balas Reva sambil menarik kursi dengan hati-hati dan duduk di hadapan Aaris."Jadi, ada apa Bapak memanggil saya? Apa saya melakukan kesalahan?" tanyanya dengan nada waswas.Aaris menyandarkan tubuhnya ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. "Memangnya kalau saya memanggilmu, itu berarti kamu pasti punya kesalahan?" tanyanya santai.Reva mengerjap, lalu buru-buru menggeleng. "Ehh, bukan begitu, Pak. Saya hanya takut kalau saya tidak sengaja melakukan kesalahan, makanya Bapak memanggil saya. Kalau memang saya punya kesalahan, saya mohon maaf, Pak. Tapi, saya mohon… jangan pecat saya," ujarnya dengan suara nyaris berbisik, penuh harap.Melihat ekspresi takut-takut Reva, Aaris justru mendadak geli
"Duh, Rev, kok elo nolak tawaran Pak Aaris sih? Harusnya elo terima aja. Lumayan kan, dapat tumpangan gratis daripada jalan kaki mulu. Gue nggak nyangka, lho, Pak Aaris nawarin elo pulang bareng. Di dalam tadi kalian ngobrolin apa aja sih? Gue kepo," ujar Keysa dengan antusias."Nggak lah, Kak, aku nggak enak sama Pak Aaris. Tadi kita nggak ngobrolin apa-apa kok, cuma bahas soal hadiah dan aku ngucapin terima kasih. Udah gitu doang," balas Reva, berusaha menutupi kegugupannya."Elo pakai pelet apa sih sampai Pak Aaris bisa nyantol sama elo?" Nita menyela dengan nada geram, matanya menatap tajam ke arah Reva.Reva hanya tersenyum tipis, sudah mulai terbiasa dengan sikap Nita yang selalu sinis padanya."Udah nyadar belum kalau Pak Aaris nggak pernah ngelirik elo, Nit? Justru malah nyantol sama Reva yang orang baru! Kesaing, kan? Kasihan!" ledek Keysa sambil tertawa kecil."Udah, kalian nggak usah ngomongin Pak Aaris terus. Ntar kuping Pak A
Nathan membawa Reva keluar dari area restoran. Sejak bertemu kekasihnya, ia sampai lupa kalau perutnya sudah lama meronta minta diisi."Sayang, kita beli makan dulu, ya? Aku laper banget, dari pagi belum makan," ucap Nathan sambil mengelus perutnya. Ia tahu betul akibat telat makan bisa bikin tubuhnya drop. Sekarang hatinya sudah lega setelah berhasil kabur dari rumah dan bertemu Reva. Baginya, ini anugerah luar biasa. Ia harus tetap sehat agar bisa terus menjaga gadisnya."Mau, tapi aku nggak punya uang," sahut Reva polos.Nathan terkekeh, lalu mengacak pelan rambut Reva. "Yang ngajak kan aku, jadi ya aku yang bayar, Sayang. Masa iya aku suruh kamu bayar sendiri? Aku ini pacar kamu, lho."Reva tersenyum. "Ya udah deh, makasih ya.""Iya, Sayang."Nathan menoleh ke kanan dan kiri, mencari tempat makan yang nyaman, bersih, dan nggak terlalu ramai."Mas, kelewat! Tadi ada kedai penjual nasi, lho," ujar Reva sambil menepuk p
Suasana Panik di Rumah Jeki"Mungkin dia lagi di kamar mandi, atau keluar sebentar. Memangnya kamu udah mencarinya?" tanya salah satu kerabat yang lain.Siti menggeleng. "Aku cuma lihat di kamarnya, nggak sempat cari ke tempat lain."Kakak Jeki, Warsih, yang mendengar kegaduhan itu langsung berseru lantang, "Coba cari lagi! Kalian yang di luar ada lihat Nathan nggak?"Sekejap suasana berubah semakin riuh. Semua orang yang ada di rumah mulai berhamburan ke luar, mencari Nathan di setiap sudut rumah dan halaman."Nathan...!!""Nathan...!!!""Kamu di mana, Nathan? Kita semua udah siap, tinggal nunggu kamu aja!"Beberapa tamu yang baru datang ikut kebingungan melihat keluarga Jeki berteriak-teriak mencari seseorang. Para tetangga yang sedang berkumpul di depan rumah pun mulai ikut mencari, memeriksa ke pekarangan, ke belakang rumah, bahkan ke jalanan sekitar.Di tengah kekacauan itu, Suri—adik Nathan—berlar
Tanpa aba-aba, Siti mendorong tubuh Rindi dengan kasar."Bu, awas!!" seru beberapa orang saat Rindi kehilangan keseimbangan.Tangannya refleks memeluk Tina lebih erat, melindungi gadis kecilnya agar tidak terjatuh. Wajahnya memucat, napasnya memburu."Astaghfirullah, Siti! Kamu sudah gila?!" suara Jeki meledak, membuat ruangan semakin sunyi.Di luar, beberapa tetangga mulai berkumpul, penasaran dengan kegaduhan yang terjadi. Mereka berbisik-bisik, membahas kaburnya Nathan yang kini menjadi perbincangan seluruh kampung.Angin siang bertiup pelan, menggoyangkan daun-daun di halaman. Namun, hawa di dalam rumah tetap terasa panas, bukan karena cuaca, tetapi karena emosi yang semakin membara.Rumah Jeki semakin riuh. Bisikan para tetangga semakin kencang, membentuk lingkaran gosip yang mengelilingi keluarga itu. Wajah-wajah penuh rasa ingin tahu menatap Rindi yang masih berdiri di tempatnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Seketika semua orang memandang ke arah Nandra yang melongo. Ada yang merasa kasihan, sementara yang lain hanya bisa geleng-geleng kepala."Ya sudah kalau begitu, ayo segera berangkat! Tunggu apalagi?" seru Parto dengan semangat."I-iya, ayo semuanya berangkat. Nandra, cepat! Kasihan mereka yang sudah menunggu lama," ujar Jeki.Namun, bukannya bergegas, Nandra justru memprotes. "Bapak, kenapa nggak minta persetujuanku dulu? Aku nggak mau, ya, nikah sekarang! Apalagi sama Kinez! Kalau Bapak mau, Bapak aja yang nikah sama Kinez!""Heh! Jangan ngadi-ngadi kamu, Le! Bapak itu sudah punya Ibu! Bisa-bisanya kamu nyuruh Bapak menikahi Kinez!" seru Siti geram."Ya sudah, kalau gitu jangan paksa aku!" balas Nandra keras kepala.Ibu dan anak itu kini saling beradu pandang dengan sengit. Dalam hati, Nandra merasa seperti berada di posisi Nathan yang selalu menurut dan tak pernah membantah, sehingga mendapat lebih banyak kasih sayang dari ora
Hari sudah beranjak siang, angin sepoi-sepoi sesekali berhembus membawa aroma makanan dari kantin sekolah. Nisa, Aisyah, dan Zahra duduk santai di bangku panjang, menikmati jajanan mereka. Nisa memegang segelas es teh, Aisyah dengan pisang goreng di tangannya, dan Zahra sibuk membuka bungkus cilok sambil menatap teman-temannya."Aku selalu heran kenapa banyak orang yang merasa malu kalau punya cita-cita sederhana," Nisa membuka obrolan sambil mengaduk es tehnya perlahan. "Kayak misalnya cuma pengen jadi ibu rumah tangga atau kerja di tempat yang dekat rumah. Padahal itu juga nggak kalah mulianya, kan?"Zahra mengangguk setuju. "Iya, kayak ada tekanan dari lingkungan buat punya karier yang dianggap keren. Padahal nggak semua orang cocok dengan definisi sukses yang sama. Aku sih pengen jadi pelukis aja," katanya dengan santai. "Meskipun dibilang nggak menjanjikan, tapi kalau itu bikin aku bahagia, kenapa enggak?"Aisyah, yang selama ini mendengarkan, te
Pagi-pagi keadaan pesantren tak seramai pada siang hingga malam, sebab kebanyakan para santri dan santriwati bersekolah umum. Rata-rata mereka sekolah di tingkatan MTs dan MA. Para mbak-mbak yang ngandi ndalem sibuk dengan kegiatan ibu rumah tangga, seperti menyapu, memasak, dan mencuci pakaian keluarga Kiyai. Sementara itu, kang-kang yang membantu di pesantren terlihat sibuk merawat halaman, menyiram tanaman, atau memperbaiki peralatan yang rusak.Rahmat, Matno, dan Ridwan sedang menjalankan hukuman membersihkan masjid. Pagi itu, ketiganya sibuk menyapu lantai, mengepel, dan mengatur sajadah yang berantakan. "Ya Allah, kalau begini tiap hari bisa-bisa kita jadi marbot masjid, nih," keluh Matno sambil mengusap peluh di dahinya.Ridwan hanya tertawa kecil. "Itung-itung belajar, Mat. Kita harus jadi orang yang berani berbuat harus berani bertanggung jawab," balas Ridwan santai sambil terus menyapu.Rahmat menghela napas. "Sudahlah, kita s
Pagi-pagi para santri setelah selesai mengaji akan di sibukkan dengan rutinitas sekolah umum. Bagi yang tidak bersekolah umum mereka bisa bersantai, termasuk kegiatan mencuci baju dan mandi."Eh, keren banget loh tubuh Ali. Perutnya kotak-kotak,""Iya, kotaknya ada berapa tadi ya?""Enggak tahu, enggak sempet ngitung. Malu.""Andaikan enggak dosa, udah ku lihat terus tuh keindahan Allah yang sangat subhanallah,"Haa.... Haaa..."Astaghfirullah hilladzim,"Haaa haaa....Tawa kelima santri yang baru memasuki gotaan itu membuat atensi Zahra, Nisa, dan Aisyah teralihkan."Kalian ngapain ketawa-ketawa gitu?" tanya Zahra penasaran."Itu loh, kang santri baru, lagi buat tontonan gratis," balas Ginah dengan tertawa."Iya, mana cuma pakai boxer lagi," sahut Bella."Ali?" tanya Zahra penasaran."Iya, siapa lagi. Btw, sumpah ganteng banget kalau kek gitu, pasti di
"Kalian sembunyikan dimana baju-baju gue!" tuduh Ali kepada semua santri, bahkan tatapan tajamnya ia tunjukkan kepada ustadz Husain."Astaghfirullah, saya enggak pernah punya niatan buruk seperti itu, Ali. Bagaimana bisa hilang baju-bajumu?" tanya ustadz Husain."Gue enggak tahu, pasti semalam ada yang ngambil. Karena saat bangun tidur tiba-tiba semua baju gue hilang," sungut Ali."Sudah, sudah. Sebaiknya kamu segera kembali ke kamar. Nanti biarkan ustadz Husain ngantar baju ganti buat kamu, Nak," ujar Abah Kiyai dengan lembut."Benar?" tanya Ali menyakinkan."Benar, Ali. Percayalah, kami akan membantu mencari tahu siapa yang melakukannya," ujar Abah Kiyai sambil mengangguk mantap.Ali mendesah panjang, lalu mulai berjalan perlahan kembali ke kamarnya, masih membungkus tubuhnya dengan selimut. Para santri yang semula ramai mulai bubar, namun beberapa dari mereka masih memperbincangkan kejadian itu dengan suara pelan.
Zahra menunggu dengan antusias, tidak sabar mendengar penjelasan. "Yuk, ceritakan, Nis! Jangan bilang kamu sedang mengadakan pertemuan rahasia dengan makhluk halus ya!" ucapnya dengan nada menggoda, membuat Aisyah tersenyum geli. Nisa menggigit bibirnya, mencoba menahan tawa. "Eh, enggak kok. Aku sebenarnya... mungkin terlalu lelah setelah berdoa semalam. Aku agak pusing, dan akhirnya... ya, pingsan deh," jawabnya dengan jujur, walaupun sedikit malu. Nisa teringat betul, dengan kejadian semalam bahwa yang ia lihat adalah sosok Ali yang hanya memakai celana boxer, namun ia tak mungkin menceritakan ini kepada orang lain. Sungguh ia sangat malu sendiri, dan memilih untuk mengarang cerita lain. Tetapi entah kenapa semalam ia bisa bermimpi bertemu almarhum sang ayah yang sudah lima tahun berpulang. "Ah, dasar! Ternyata bukan makhluk halus! Aku sudah siap-siap mau kasih tahu Ustadz Mahfud supaya dia hati-hati sama kamu!" Zahra tertawa terbahak-bahak, menggelengkan kepala. "Tapi, habis it
Seketika, Matno dan Rahmat menutup mulut Ustadz Mahfud dengan telapak tangan kanan mereka. Lalu, dengan cepat mereka menarik sang ustadz keluar dari gotaan. "Plak! Plak!" Dua pukulan mendarat di kepala mereka. "Aduh...!" Matno dan Rahmat menjerit kesakitan sambil mengelus kepala mereka. "Kurang ajar kalian ya!" omel Ustadz Mahfud dengan wajah kesal. "Maaf, Ustadz, tapi kita hampir ketahuan," bisik Rahmat. "Lihat itu, dia cuma mengigau, bukan bangun!" Ustadz Mahfud menunjuk ke arah Ali di dalam gotaan dengan wajah kesal. Mereka menengok lagi ke dalam gotaan. Ali masih tertidur lelap, namun mulutnya terus bergumam tak jelas. "Maaf ustadz," ucap Matno dan Rahmat berbarengan. Mereka merasa bersalah, sedangkan Ridwan hanya tertawa cekikikan dan mendapat pelototan dari ustad Mahfud. "Maaf, Tadz," ucap Ridwan masih dengan menahan tawa.. "Papa… tolong aku… jangan tinggalkan aku… Mama tunggu…" Ucapan itu membuat suasana menjadi hening. Matno, Rahmat, dan Ridwan saling bertukar panda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Dia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh membiarkannya (dalam bahaya). Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa yang menghilangkan kesusahan seorang Muslim, maka Allah akan menghilangkan kesusahannya di hari kiamat." (HR. Bukhari dan Muslim) _______ Terdengar suara tarhim bacaan Al-Qur'an yang dikumandangkan melalui pengeras suara dari masjid, membangunkan umat Islam agar bersiap melaksanakan shalat Subuh. Suara merdu itu mengalun lembut, mengisi udara pagi dengan keheningan yang mendamaikan. Petugas keamanan mulai membangunkan satu per satu para santri, suasana di asrama mulai hidup. Karena Ali susah dibangunkan mereka memilih membiarkan Ali menerima hukuman lagi. Para santri menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu setelah itu mereka berbondong-bondong menuju masjid. Berbeda dengan Ali yang masi
Setelah beberapa kali mencoba mengguncang, namun tak ada respon dari gadis itu kang Mus terpaksa membalikkan badan gadis tersebut yang meringkuk hampir tengkurap."Astaghfirullah, Nisa?" Mereka semua terkejut saat menyadari bahwa santriwati tersebut adalah Nisa, yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Ketiga pengurus itu segera berkerumun di sekelilingnya, wajah-wajah mereka dipenuhi kebingungan dan kekhawatiran."Sepertinya yang tadi beneran bayangan setan deh, Kang. Makanya Nisa pingsan karena bertemu penampakan. Hihi... Ngeri aku," kata Dul sambil menggigil, bergidik ngeri sembari bersembunyi di balik tubuh Kang Toha."Ngawur kamu, Dul! Itu pasti orang jahat yang menyelinap masuk pondok," jawab Kang Mus dengan nada tegas. "Mungkin dia punya niat buruk dan berusaha berbuat tak senonoh pada santriwati. Makanya dia ada di sekitar gotaan putri, bisa saja Nisa jadi korbannya karena kebetulan dia keluar kamar mungkin mau ke kamar mandi. Mending
Ali bangkit dari ranjang dan mengambil buku untuk mengipasi tubuhnya. "Udah gerah, banyak nyamuknya lagi. Bisa-bisa gue kena demam berdarah kalau lama-lama di sini!" omelnya sambil melepas kaos dan celananya karena merasa terlalu panas. Kini, ia bertelanjang dada, hanya mengenakan celana boxer.Dia kembali merebahkan diri, tapi tetap merasa tidak nyaman. "Dua hari enggak ngerokok, pahit banget mulut ini. Mana sepi banget, nggak ada HP lagi!" gerutunya.Ali sudah terbiasa merokok sejak usia empat belas tahun, tapi di pesantren ini, dia terpaksa meninggalkan kebiasaan itu dan segala kenyamanan yang biasanya ia nikmati. Sejak lulus SMA, Ali memang tidak mau kuliah. Dia kerap membuat onar di lingkungan perumahan atau di jalanan, bersama gengnya. Dimana ada Ali, di situ pasti ada kericuhan, membuat orang tuanya merasa malu.Insiden terakhir yang membuat kesabaran keluarganya habis adalah saat dia menabrak seorang penjual gorengan keliling, menyebabkan gadis itu