"Baiklah kalau begitu, oh ya maaf kalau boleh tahu dengan Kakak siapa ya??" tanya karyawan itu.
"Saya Paijo," balas Nathan.Seketika wajah karyawan itu pun berubah. "Paijo??" Ulangnya."Iya, kenapa?? Itu nama pemberian orang tuaku looh," ujar Nathan menahan senyum."Heee... Nggak apa-apa, Kak, kakak kan keren saya kira namanya siapa gitu," balas wanita itu mengangguk dan tersenyum."Ya sudah kalau gitu silakan duduk di sana ya," imbuh wanita itu memerintahkan Nathan untuk duduk di loby."Baiklah terima kasih," balas Nathan.Sembari menunggu Nathan melihat-lihat foto Reva yang ada di katalog di atas meja. Ia tak pernah menyangka kalau Reva bisa sebagus itu saat berpose dalam foto sudah seperti model yang jam terbangnya tinggi.Nathan benar-benar sudah tak sabar menunggu Reva.Satu jam kemudian samar-samar Nathan mendengar orang yang sedang mengobrol."Selamat siang anak-anak. Assalamualaikum." Suasana di kelas tiba-tiba senyap saat seorang guru muda memasuki ruangan, suaranya lembut namun tegas."Selamat siang, Pak Reza. Walaikumsalam," balas semua siswa siswi serempak sembari berhamburan duduk di kursi masing-masing.Kedatangan pak Reza, membuat Nisa menghela napas lega. Ia merasa terselamatkan dari pertanyaan Zahra yang mengimitasinya. Ia menundukkan kepala, pura-pura sibuk mengambil buku catatan di dalam tasnya, sementara Zahra mendengus kesal sebab rasa penasarannya belum tuntas.Kedatangan guru muda itu memberi kesempatan bagi Nisa untuk mengalihkan fokus dan meredakan kegugupannya. Guru yang baru datang itu bernama Pak Reza, guru mata pelajaran bahasa Inggris yang baru beberapa bulan ini mengajar di sekolah mereka. "Sebelum kita memulai pelajaran, Bapak ingin mengucapkan selamat kepada Nisa atas kemenangannya. Tetap semangat, dan jangan pernah berubah untuk menjadi anak yang rendah hati
_Allah hu Akbar Allahu Akbar La ilahhaillah_"Astaghfirullah...!! Udah selesai qomat..!" Pekik Nisa. Ia tak sadar telah larut dalam adzan yang di kumandangkan Ali."Haduh telat aku," ucap Nisa. Ia segera berlari menuju masjid sambil memakai mukena.Nisa tergesa-gesa berlari menuju masjid, tak ingin mendapat hukuman karena telat sholat berjamaah . Hatinya masih bergetar karena adzan yang dikumandangkan Ali tadi begitu menyentuh. Suara Ali yang lembut namun tegas, membuatnya larut hingga tanpa sadar ia hampir saja tertinggal shalat."Suara siapa tadi ya?" gumam Nisa bertanya-tanya.Sesampainya di masjid, Nisa menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Dengan langkah ringan, ia segera masuk dan mencari tempat di shaf perempuan, menyelip di antara jamaah yang sudah bersiap melaksanakan shalat. Tepat pada saat ia selesai mengatur mukenanya, imam memulai takbir, dan Nisa pun tenggelam dalam kekhusyukan shalat, menc
Semua orang sedang menunggu Nisa berbicara dengan cemas, hanya Bapak Aisyah yang nampak acuh."Syaratnya harus menunggu Aisyah lulus sekolah. Biarlah, Ais, menyelesaikan pendidikannya agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Izinkan juga Aisyah untuk mempersiapkan hati berumah tangga Tante, Om," ujar Nisa mengeluarkan pendapatnya.Umi Kulsum menatap Nisa dengan bangga dan tersenyum haru. Ia salut dengan keberanian dan kecerdasan gadis itu. Selain cantik fisik, Nisa juga berhati baik, selalu memikirkan keadaan orang lain."Menurut saya, pendapat Nisa patut dipertimbangkan, Bu, Bapak. Kasihan Aisyah, biarkan dia menyiapkan mental untuk menghadapi hari-hari selanjutnya. Pernikahan bukan hanya tentang menyatukan dua insan, tetapi juga mempertemukan dua keluarga besar, dua pandangan hidup, dan dua jiwa yang harus siap dalam segala hal. Waktu yang cukup akan membuat semua pihak lebih matang dan siap menjalani amanah ini," ujar Umi Kulsum, suaranya penuh ketulusan.Bapak Aisyah tetap ter
Hari Jum'at pun telah tiba, beruntung Ibunya Nisa tak dapat datang apalagi uang saku Nisa masih cukup membuat dirinya lega. Setidaknya sang Ibu tak mengkuatirkan kondisi luka-lukanya yang belum begitu pulih."Loh, Ais, kenapa kamu mau pulang?" tanya Nisa saat melihat Aisyah memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. Apalagi wajah sahabatnya itu memamerah menahan tangis."A-aku, akan boyong, Nis. Aku juga harus putus sekolah," balas Aisyah semakin terisak."Loh, kenapa? Kamu akan menikah?" desak Zahra.Aisyah tak menjawab, hanya anggukan kepala yang ia berikan sambil terus mengemas baju-bajunya ke dalam tas, setiap lipatan terasa berat, seperti menambah beban di hatinya. Begitu semua pakaian sudah rapi tersusun, Aisyah tak bisa lagi menahan perasaannya. Tubuhnya bergetar, dan akhirnya ia terduduk di lantai. Ia menelangkupkan wajahnya di telapak tangan, membiarkan air mata yang ia tahan sejak tadi mengalir deras.Isakannya terdengar pilu, memenu
Para santri berdiri terpaku, menahan napas di tengah keheningan malam. Di sekeliling mereka, hanya terdengar suara angin yang menggoyang dedaunan, membawa hawa dingin yang membuat bulu kuduk meremang.“Eh, tunggu-tunggu. Kalian dengar kan ada yang minta tolong,” ujar salah satu santri dengan nada ragu, sambil memandang teman-temannya.“Tolong…!!” teriak lirih suara wanita dari kejauhan, memecah kesunyian.Para santri saling bertatapan, kecemasan tersirat di mata mereka. Detik berikutnya, mereka serentak menoleh ke arah asal suara, memastikan bahwa mereka tidak salah dengar.“Tuh... Dari sana,” tunjuk seorang santri, wajahnya tegang.Mereka menyoroti senter ke arah gelap, mencoba mengintip apa yang tersembunyi di balik bayang-bayang pohon besar.“Iya, itu suara Zahra,” sahut santri lain, menguatkan dugaannya.Mereka semua semakin waspada, tubuh-tubuh mereka terasa kaku dalam ketegangan yang tak kunjung reda.“Zah
Matno dan Rahmat menyusul berdiri untuk menenangkan sang Ustadz. "Sabar, Tadz, pasti Nisa ketemu kok," ujar Rahmat.Matno yang menyadari tatapan Ustadz Mahfud tertuju pada Ali segera berbisik, "Tenang, Ustadz, jangan kebawa emosi apalagi menuduh Ali. Bisa-bisa kita ketahuhan kalau sudah menjebak dia."Nafas ustadz Mahfud tersengal-sengal menahan emosi yang sudah bergejolak.Para santri dan ustadz masih riuh di masjid, kebingungan dan khawatir dengan hilangnya Nisa dan Zahra. Ustadz Husain menenangkan suasana riuh tersebut."Tenang, semua harap tenang ya," ucap Ustadz Husain. Ia juga berdiri untuk memberi instruksi."Kita berbagi untuk mencari keseluruh pondok, sampai belakang pondok dan di setiap sudutnya. Kalau belum ketemu terpaksa kita harus mencari keluar area pondok, tapi ini berlaku untuk santri putra saja. Santri putri tidak di perkenankan mencari di luar pondok ya. Semoga Zahra dan Nisa ketemu di area pondok saja jadi ki