“Jadi bagaimana ini, Pak?” Budi menatap Beni yang matanya masih basah dan memerah. Ia langsung ke rumah sakit begitu urusannya selesai di kantor.
Aleta, calon menantunya melakukan percobaan bunuh diri di H-6 acara pesta pernikahan! Dan sekarang gadis dua puluh lima tahun itu koma karena komplikasi yang dia alami pasca operasi dan kehilangan banyak darah. Bagaimana ini tidak membuatnya sakit kepala dan jantungan kalau seperti ini?
Undangan sejumlah seribu orang sudah disebar. Vendor sudah di DP dan sudah laporan bahwa persiapan sudah cukup matang. Lantas sekarang mendadak calon pengantin perempuan dikabarkan koma setelah gagal bunuh diri? Apa yang harus Budi lakukan dan katakan pada kolega-koleganya yang notabene adalah orang-orang penting di negeri ini?
Beni mengusap wajahnya dengan tangan. Ia melirik istrinya yang nampak masih syok itu. Dengan kondisi seperti itu, Beni tidak bisa mengajak Desi barang sedikit saja membahas perihal masalah ini. Sebuah kenyataan yang membuat nyawa Beni rasanya seperti hendak lepas dari tubuh. Beni mendesah, ia hendak memalingkan wajah ketika dari sudut mata ia melihat sosok tinggi ramping dengan rambut sedikit ke-abuan melangkah ke arah mereka.
Dia adalah Aline, anak nomor dua Beni yang selisih umurnya hanya delapan menit dari Aleta, anak gadisnya yang terbaring koma seminggu sebelum acara pernikahan mereka berlangsung. Paras Aline sangat mirip dengan Aleta, mereka kembar identik. Yang membedakan mereka tentu hanyalah rambut Aline yang dia cat ash grey sedikir gelap dan tone kulit mereka yang sedikit berbeda beberap tingkat.
Sebuah visual yang lantas memunculkan ide brilian di otak Beni seketika itu juga. Ia mengalihkan pandangan ke arah calon besan yang juga partner bisnis yang selama ini bekerja sama dengan Beni dalam mengembangkan usaha dibidang perhotelan dan properti. Sama seperti yang lain, wajah itu nampak gusar dan tegang.
“Jangan khawatirkan tentang rencana pernikahan anak-anak kita, Pak. Semua akan tetap berjalan sebagaimana yang sudah direncanakan.” tegas Beni yang langsung membuat semua orang yang ada di sana terkejut luar biasa.
“Pa, tapi Aleta koma, Pa!” Desi memekik, tentu dia terkejut, calon pengantinnya koma dan suaminya ini bisa dengan enteng bilang kalau acara pernikahan akan tetap dilaksanakan sesuai rencana? Apa-apaan ini?
“Memang! Tapi ... bukankah kita punya copy-an Aleta?”
Kembali semua yang ada di sana terkejut. Pandangan mereka tertuju pada Aline yang tertegun dengan mulut setengah terbuka. Wajah itu terlihat sangat terkejut. Balas menatap Beni yang tidak memalingkan wajah dari wajah Aline. Aline menoleh ke kanan-kiri, menatap beberapa pasang mata yang menatapnya dengan saksama.
“Pa ... jangan bercanda!” tukas Aline setelah sadar dari keterkejutannya.
Beni tersenyum simpul, kepalanya menggeleng perlahan. Sebuah jawaban yang menegaskan bahwa Beni sama sekali tidak sedang bercanda. Aline membelalakkan matanya. Mulutnya bergetar, matanya memerah.
“Jangan bilang kalau ....” Aline bahkan tidak bisa melanjutkan kalimatnya, dan Beni langsung merespon dengan menganggukkan kepalanya perlahan.
“Nggak ... Papa bercandanya nggak lucu, Pa! Serius!” Aline menoba menepis semua itu, air matanya bahkan sudah mengambang di pelupuk mata.
“Mungkin kita bisa bicara di tempat lain? Akan banyak hal yang akan kita bicarakan sekeluarga!” Beni mengabaikan protes Aline, ia malah mendekati Aline dan mencengkeram lembut bahu anak kembarnya itu. “Tolong ... kali ini saja, Lin ... tolong bantu papamu ini!”
***
“Adam tidak setuju!”
Aline yang sejak tadi menundukkan wajah, kini mengangkat wajahnya dengan sedikit perasaan suka cita yang menguasai hatinya. Apa tadi Adam bilang? Dia tidak setuju dengan rencana kedua orang tua mereka yang sepakat meminta Aline menggantikan posisi Aleta? Selamat! Aline selamat!
“Tapi, Dam, han--.”
“Adam tidak setuju kalau Aline hanya menjadi boneka di acara besok itu.”
Mata Aline membelalak, kalimat itu dengan cepat bisa Aline tengkap apa maksudnya. Ia menatap tidak percaya lelaki yang duduk tepat di depannya ini. Wajah Adam nampak sangat tenang dan serius, membuat Aline merasa bahwa harapannya untuk bisa selamat dan meloloskan diri dari ide gila ini agaknya hanya angan dan harapan semu semata.
“Maksud kamu bagaimana sih, Dam?” Budi menatap anak lelakinya dengan tatapan tidak mengerti. Bukan hanya dia saja, semua yang ada di sana memfokuskan pandangan mata pada Adam, tidak terkecuali Aline.
Adam nampak menghela napas, ia meraih gelas berisi es jeruk yang dia pesan. Meneguk isinya tanpa bantuan sedotan lalu kembali meletakkan gelas itu di meja. Kini Adam yang menatap satu persatu orang-orang di sekitarnya, membuat suasana yang sudah mencekam sejak penemuan tubuh Aleta yang bersimbah darah tadi, terasa lebih mencekam.
“Maksud Adam ... Adam mau Aline gantikan Aleta bukan cuma di acara ijab sama resepsi. Adam mau Aline yang gantikan Aleta jadi istri Adam!”
APA?
WHAT THE F*CK!
Aline hampir saja berteriak mendengar apa yang keluar dari mulut Adam barusan. Kalau ide pura-pura jadi Aleta di acara pernikahan mereka seminggu lagi saja Aline keberatan apa lagi ini? Adam meminta dia menggantikan Aleta untuk menjadi istri Adam? Ide gila dari mana lagi ini!
“Dam, kamu serius?” Budi tercengang, ia menatap Adam dengan tatapan terkejut.
Adam menghela napas panjang, kepala terangguk pelan.
“Tentu, Adam sangat serius!” jawabnya mantab. “Adam sudah lihat kondisi Aleta tadi, sudah bicara dan bahas banyak hal dengan dokter penganggun jawabnya juga. Kesimpulannya sama, kita berdua bahkan tidak bisa menebak kapan Aleta akan bangun. Jadi mau sampai kapan Adam disuruh menunggu Aleta?”
Apa-apaan ini? Kenapa sekarang jadi Aline yang kena begini sih? Yang mau dinikahkan dengan Adam itu Aleta, bukan dirinya! Dan kenapa juga dia yang harus kena dan jadi istri Adam? Kan bisa ijab tanpa harus menghadirkan pengantin perempuan? Yang penting ada penghulu, wali dan maharnya, kenapa malah jadi Aline yang harus kena dan menumbalkan diri?
“Loh tapi kan ....” otak Aline mendadak blank. Ia terlampau syok sampai otaknya sama sekali tidak bisa dia gunakan untuk berpikir lagi.
Semua mata tertuju pada Aline, hal yang makin membuat otak Aline sama sekali tidak bisa bekerja tidak peduli bahwa pasokan oksigen dalam darah dan otak Aline dalam kondisi yang cukup dan memadai.
“Cuma kamu satu-satunya yang bisa menolong mama dan papamu ini, Lin. Menjaga nama baik keluarga besar kita juga.” Desi mengelus lembut bahu Aline, sebuah tindakan yang bukannya menguatkan Aline malah makin membuat Aline lemas tidak berdaya.
“Ta-tapi .... tapi ....”
“Aku tahu ini mendadak, Lin. Tapi percayalah all it`s gonna be alright!” Adam memotong, matanya bahkan menatap serius ke arah Aline, sebuah tatapan yang makin membuat Aline merasa begitu kerdil dan lemah di depan orang-orang ini.
“Jadi bagaimana keputusannya? Aline beneran akan gantiinAleta menikah sama Adam?” Budi menatap semua orang secara bergantian, Aline hendak menoba kembali mengutarakan penolakan ketika suara itu lebih dulu menjawab dan mengunci jawaban dari pertanyaan itu.
“YA! Aline yang akan menikah sama Adam!” tegas suara itu serius. “Line, maharnya kamu mau minta berapa? Sama dengan mahar Aleta atau kamu punya nominal sendiri?”
"Kamu serius?"Bukan pertanyaan lain yang Kelvin lemparkan, ia langsung mencecar Aleta begitu mereka bertemu di depan kantor Aleta. Tidak salah kalau sampai Kelvin masih tidak percaya dengan keputusan yang Aleta buat, pasalnya sejak dulu Aleta selalu menolak permintaan Beni untuk bergabung di perusahaan keluarga dan sekarang? "Bisa kita pending nanti untuk interview-nya? Bantuin dulu dong!" Aleta langsung menarik tangan Kelvin masuk ke gedung. Kelvin pun menurut saja, ia membiarkan Aleta membawanya masuk ke dalam gedung, melangkah ke sofa yang ada di loby gedung. "Tolong bantuin bawa ke mobil, ya?" pinta Aleta dengan seulas senyum manis. Sejenak Kelvin tertegun, ada dua kardus di sana. Kelvin mengalihkan pandangan, menatap Aleta yang masih mengukir senyum manis di wajah. "Ka-kamu beneran resign?" tanya Kelvin seolah masih tidak percaya. Kini tawa Aleta tergelak, ia mencubit gemas pipi Kelvin, membuat Kelvin memekik antara terkejut dan kesakitan dibuatnya. "Kamu pikir aku tadi h
"Vin, kamu handle proyek yang ini, ya?"Berkas-berkas itu dihantarkan Beni secara langsung ke mejanya, membuat Kelvin segera meraih dan membacanya dengan saksama. Nilai proyek ini sangat jauh di bawah proyek dengan Irfan, tapi bagi Kelvin, itu bukan masalah yang serius. Selama ia tidak harus sering bertemu dengan lelaki itu, semua lebih dari cukup. "Deal! Kelvin sangat berterimakasih sama Papa." ucap Kelvin sembari tersenyum. Beni balas tersenyum, ia menepuk bahu Kelvin dengan lembut."Sebenarnya Papa ingin kamu tetap di sana, Vin. Nilai proyek dan prospek ke depannya sangat menjanjikan untuk kariermu, tapi sayang...."Kelvin tersenyum, "Tidak apa, Pa. Bukankah ini yang Kelvin minta? Setidaknya keputusan ini tidak membuat Aleta terus menerus khawatir."Beni kembali tersenyum, setuju dengan apa yang Kelvin katakan barusan. Misi visi mereka sama, yaitu membuat Aleta bahagia dan itu sudah mutlak. "Baiklah kalau begitu, Vin. Kamu bisa pelajari dulu untuk proyek baru mu, kalau ada pert
"Ke kantor pak Beni, Pak?"Hendra terkejut, hari ini tidak ada jadwal meeting dengan perusahaan Beni, lantas untuk apa Irfan meminta untuk diantarkan ke sana. "Iya, kesana. Emangnya tadi saya bilang kita mau kemana, Hen?"Kalimat tanya yang dilemparkan balik pada Hendra adalah sebuah penegasan bahwa Irfan tidak main-main dengan ucapannya. Hendra menghela napas panjang, ia mengangguk pelan sembari mempersilahkan Irfan melangkah lebih dulu. Hendra kembali teringat pada sosok Kelvin. Apakah Irfan minta diantar ke sana hanya agar bisa melihat Kelvin? Hendra terus memunculkan siluet wajah Kelvin dalam pikiran, memang kalau diperhatikan, ada beberapa bagian wajah yang mirip dengan Irfan. Kalau hanya sekilas, tidak akan ditemukan kemiripan itu, namun kalau diperhatikan dengan saksama, ada wajah Irfan di sana. "Kok ngelamun, Hen? Kenapa?"Pertanyaan itu kontan membuat Hendra tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati mata itu dengan memperhatikan dirinya. "Saya teringat putra Bapak, Pak
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di