Share

Bab 2

Author: Wilda Akha
last update Huling Na-update: 2024-10-05 14:41:47

"Kamu!" pekik Mawar antara terkejut dan juga kesal, sedangkan Herlina tertawa lepas melihat ekspresi sang menantu yang berhasil ia kerjai.

"Ada apa sih, War?" tanya Kirana tanpa dosa membuat Mawar semakin kesal dan berbalik badan berlalu seraya menghentak-hentakkan kakinya. Bambang yang melihat tingkah ibu dan juga adik perempuannya itu hanya mampu membuang nafas panjang.

"Ibu kenapa, sih? Suka sekali mengerjai Mawar?" tanya Bambang tidak habis pikir dengan kelakukan sang ibu. Namun, wanita itu hanya mengangkat bahunya acuh.

Ketika Bambang ingin berlalu menyusul sang istri, tangannya di cegat oleh Karina membuat lelaki itu menatap sang adik lekat.

"Ada apa lagi?" tanyanya dengan dingin.

"Its, Mas Bambang gitu deh," balas Kirana manja seraya mengayun-ayunkan tangan Bambang seperti anak kecil yang tengah merajuk dan meminta dibelikan permen.

Herlina yang awalnya acuh kini menghampiri kedua anaknya itu.

"Kamu jangan kasar sama adikmu, Bang. Ibu gak suka,!" ucapnya dengan penuh penekanan. Namun, tidak merubah ekspresi Bambang sama sekali.

"Mas Bambang, aku pengen minta uang, bolehkan?" ucap Kirana setelah melihat sang ibu yang membelanya.

"Untuk apa?" tanya Bambang singkat.

Bagaikan lampu hijau di persimpangan jalan, Kirana langsung mengutarakan niatnya yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

"Aku mau kuliah!" teriaknya girang.

Bambang menarik pergelangan tangannya yang ditahan oleh Kirana dan mengusap lembut puncak kepala sang adik, apa yang dilakukan oleh lelaki itu disaksikan oleh sang ibu yang nampak begitu bahagia. Seakan-akan Bambang begitu menyayangi Kirana.

"Jadi, boleh, Mas?" tanya Kirana antusias dengan mata berbinar. Namun, sedetik kemudian perasaannya dibanting dan dihancurkan begitu saja.

"Tidak!" balas Bambang cepat dan hendak berlalu. Kali ini, sang ibu yang menahannya.

"Kamu gak boleh gitu, Bang! Kirana adikmu! Jangan pelit! Apa salahnya kalau dia ingin kuliah? Toh! Istri kamu saja bergelar sarjana!" Herlina meluapkan kekesalannya kepada Bambang, akan tetapi lelaki itu hanya tersenyum tipis dan menampakkan ekspresi yang datar kembali.

"Bukankah Ibu sendiri yang bilang? Kalau gelar sarjana Mawar tidak membuatnya menjadi pribadi yang sopan–santun? Jadi, untuk apa Kirana kuliah?"

Herlina hanya mampu bungkam seribu bahasa setelah mendengar kalimat pemungkas dari Bambang, walaupun di dalam hatinya mengumpat kesal kepada anak lelakinya yang kini telah berlalu.

Sebenarnya, tanpa Mawar ketahui. Selama ini Bambang sering membela sang istri dari ibu dan juga adiknya, walaupun hal itu tidak dilakukan didepan Mawar. Sebab, Bambang hanya ingin istrinya tetap patuh kepada ibu dan bisa menyayangi sang adik dengan baik.

Bambang yang kini sudah berada di dalam kamar segera naik ke atas ranjang dan menarik perlahan selimut sang istri yang ia yakini tengah merajuk. Di dalam diamnya Bambang memeluk tubuh wanita yang ia pilih sebagai penamping hidupnya itu.

"Dek, maafkan Mas ya? Mas belum bisa membuatmu bahagia, tapi ... Mas akan terus berusaha," kata Bambang dengan lirih.

"Aku gak perlu janji! Aku perlu bukti!" balas Mawar yang memang belum tidur dengan cepat, bukannya marah Bambang malahan senang dengan apa yang diucapkan oleh sang istri dan menghadiahi wanita itu dengan ribuan ciuman mesra.

Namun, apa yang dilakukan oleh Bambang tidak mampu meluluhkan hati sang istri yang masih saja merajuk sampai pagi.

Mawar lebih banyak diam dan menghindari Bambang, walaupun semua pekerjaannya tetap wanita itu lakukan seperti biasa.

"Dek, Mas antar ke kantor, ya?" Bambang masih berusaha membujuk sang istri yang begitu dingin kepadanya seraya mengikuti langkah wanita itu sampai ke depan.

"Jangan biasakan memanjakan istrimu, Bang! Dia harus bisa mandiri!" celetuk Herlina yang kebetulan baru saja datang dari berbelanja. Akan tetapi, Bambang buru-buru menarik tangan sang istri dan mengajak Mawar naik ke atas motornya meninggalkan omelan sang ibu yang seperti kereta ekspres itu.

Ketika di motor Bambang berusaha untuk menarik tangan sang istri yang berada di belakang, hal itu membuat Mawar menjadi geram.

"Apa sih, Mas?" tanya Mawar seraya menarik kembali tangannya, akan tetapi Bambang mengeggamnya dengan begitu erat.

"Biarkan seperti ini ya, Dek?" pinta Bambang yang membuat Mawar mengalah dan membiarkan tangannya melingkar di pinggang sang suami. Walaupun di dalam hatinya begitu dongkol.

Ketika berada di lampu merah, Bambang menatap sekilas ke belakang. Untuk memastikan bahwa sang istri tidak menekuk wajahnya lagi.

"Dek," panggil Bambang pelan.

"Iya, ada apa?" jawab Mawar dengan malas.

"Dek," panggil Bambang lagi yang berhasil membuat Mawar makin kesal.

"Gak usah panggil-panggil! Kalau gak punya pulsa!"

Bambang terkekeh mendengar ucapan Mawar tersebut, hal sederhana seperti ini yang nanti akan ia rindukan.

"Dek, jika suatu hari nanti Mas gak ada lagi di dunia ini? Bisa tidak kamu menjaga Ibu?"

Mawar yang mendengar permintaan aneh sang suami mendelik, "Mas jangan kasih wasiat yang aneh-aneh! Mana sanggupn aku jaga Ibu, Mas yang seperti Ibu tiri itu," jelas Mawar apa adanya dan membuat Bambang terdiam. Hingga tidak terasa mereka sudah sampai di halaman sebuah gedung sederhana.

Bambang menyodorkan tangannya dan disambut dengan wajah masam dari Mawar yang ingin segera pergi.

"Mas, lepaskan! Nanti aku terlambat! Hari ini ada tamu," kata Mawar setengah berteriak, sebab sang suami yang mengeggam erat tangannya seolah tidak ingin berpisah.

"Hati-hati, Dek," balas Bambang yang tidak ditimpali oleh Mawar yang kini berjalan dengan tergesa-gesa menuju lapangan di mana teman-temannya sudah berbaris dan sang kepala desa telah membuka acara apel hari ini.

"Kamu terlambat lagi, War," kata Aprilia yang membuat Mawar hanya mampu tersenyum kecut setelah mendengar pernyataan temannya itu.

Namun, setelah kepala desa memanggil nama seseorang yang menjadi tamu penting mereka hari ini membuat semua perhatian kini teralihkan kepada sosok pemuda yang memiliki alis tebal itu.

Mata Mawar yang melihat sosok pemuda tersebut membulat sempurna dengan mulut yang terbuka lebar, begitupun dengan Aprilia yang berada di sampingnya dan semua wanita yang ikut berbaris di sana.

"Saya ucapkan terimakasih atas sambutan yang diberikan, kedatangan saya ke sini seperti yang sebelumnya telah disampaikan—" ucapan pemuda itu terhenti. Ketika manik matanya menangkap sosok yang tidak asing.

Cukup lama sunyi, sampai kepala desa menepuk pelan pundak pemuda itu dan menyadarkannya. Begitupun dengan Mawar yang masih tidak percaya dengan sosok yang kini tengah berdiri di atas podium sederhana itu.

Bagaikan mimpi disiang bolong, hati Mawar yang sejak semalam terasa perih dan hambar. Kini terasa segar, seolah tanaman yang layu dan kembali segar setelah disiram oleh embun dipagi hari.

Di saat hati Mawar yang tengah menghangat setelah melihat sosok yang begitu ia kenal dan kagumi, ada perasaan yang kini tengah gelisah dengan tangan yang mengempal kuat.

"Mau apa lagi dia ada di sini?" tanya Bambang yang masih berada di sana dan melihat sosok yang sangat ia kenal dengan perasaan yang begitu terbakar api cemburu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Rahasia Suami Pelitku   Bab 70: Janji di Atas Pusara

    Angin sore berhembus pelan di pemakaman, membawa aroma khas tanah basah yang bercampur dengan harumnya bunga mawar putih yang bertabur di atas makam Bambang. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menciptakan pendar jingga keemasan yang meliputi seluruh area. Di sana, di depan pusara yang sederhana namun penuh makna, berdiri Mawar dan Rendy. Mawar mengenakan pakaian serba hitam yang sederhana, wajahnya terlihat sendu tetapi menenangkan. Di tangannya tergenggam buket bunga mawar putih, simbol cinta dan penghormatan untuk Bambang. Rendy, dengan wajah penuh keyakinan, berdiri di sampingnya mengenakan kemeja berwarna hitam dan sarung hijau tua. Di depannya, seorang pembuka agama dan beberapa keluarga serta teman dekat berkumpul dalam suasana yang penuh keharuan. “Apa kamu sudah siap, Dek?” bisik Rendy pelan, menoleh ke arah wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya. Mawar mengangguk kecil, matanya berkaca-kaca

  • Rahasia Suami Pelitku   Bab 69 Kebahagiaan yang Tertunda

    Sore itu, rumah Mawar dipenuhi suasana yang begitu asing. Di ruang tamu, beberapa tamu yang terdiri dari kerabat dekat dan tetangga duduk dalam hening. Tidak ada gemerlap dekorasi atau pesta besar. Hanya meja sederhana yang dihiasi bunga mawar putih, seolah menjadi simbol kebersahajaan acara yang berlangsung hari itu. Mawar duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh emosi yang sulit diartikan. Gaun putih sederhana yang ia kenakan terasa berat, bukan karena bahan kainnya, tetapi karena beban di dalam hatinya. Di sampingnya, Rendy berdiri dengan wajah tenang, meski ada sedikit kegugupan di mata tegas pria itu. "Apa kamu yakin ingin melakukannya, Dek?" tanya Rendy pelan, nyaris berbisik. Mawar mengangguk tanpa menoleh, matanya masih menatap ke arah lantai. "Ini yang Bambang inginkan. Aku hanya mencoba memenuhi permintaannya." Mendengar itu, Rendy hanya bisa menghela napas. Ia tahu Mawar tidak benar-benar melakukan ini untuk dirinya

  • Rahasia Suami Pelitku   Bab 68 Kepergian yang Tak Terelakkan

    Malam itu terasa begitu sunyi di ruang perawatan Bambang. Hanya suara alat monitor jantung yang terus berdetak lambat, menjadi penanda bahwa waktu Bambang di dunia ini semakin menipis. Mawar duduk di sisi ranjang suaminya, menggenggam erat tangan Bambang yang terasa semakin dingin. Wajahnya pucat, tetapi matanya tetap menatap Bambang penuh harap, seolah berusaha menyangkal kenyataan yang semakin nyata di depannya. "Mas, jangan tinggalkan aku," bisik Mawar, suaranya bergetar. "Aku butuh kamu. Aku nggak tahu bagaimana caranya menjalani hidup tanpa kamu." Bambang tersenyum tipis. Meski tubuhnya semakin lemah, ia berusaha memberikan ketenangan untuk Mawar. "Sayang, kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan. Mas percaya kamu bisa melewati ini. Kamu harus percaya pada dirimu sendiri." Air mata Mawar mengalir deras. Ia menggenggam tangan Bambang semakin erat, seolah berusaha menahan kepergiannya. "Tapi aku nggak mau kehilangan kamu, Ma

  • Rahasia Suami Pelitku   Bab 67 Wasiat Terakhir

    Di ruang perawatan rumah sakit, suasana begitu sunyi. Hanya suara detak alat monitor jantung yang terus berdetak pelan, seolah menjadi pengingat waktu yang kian menipis. Bambang terbaring di atas ranjang dengan tubuh lemah. Napasnya tersengal-sengal, tetapi matanya tetap memancarkan tekad yang tidak pernah pudar. Di sisi ranjangnya, Mawar duduk dengan tangan menggenggam jemari Bambang yang mulai dingin. Wajahnya nampak begitu lelah dengan mata yang sembap karena kurang tidur. Sejak Bambang dirawat kembali, ia hampir tidak pernah meninggalkan suaminya dan terus berada di sisi sang suami. Rasa takut yang terus menghantui membuatnya tidak ingin membuang sedetik pun waktu bersama Bambang. “Mas …” Mawar memanggil pelan, suaranya bergetar. “Tolong jangan tinggalkan aku. Aku nggak tahu harus bagaimana kalau kamu pergi.” Bambang tersenyum tipis, meski itu hanya memperlihatkan rasa lelah di wajahnya. “Sayang, Mas nggak akan pernah benar

  • Rahasia Suami Pelitku   Bab 66 Di Ambang Keputusan

    Malam itu, Mawar duduk di samping tempat tidur dengan mata sembap. Wajahnya terlihat lelah, bukan karena fisik, tetapi karena hatinya yang terus-menerus digempur rasa sakit. Di depannya, Bambang terbaring dengan tubuh lemah, napasnya sesekali terengah-engah. Namun, meski raganya mulai menyerah, tekad di dalam dirinya tetap kokoh. Ia tahu ia tidak punya banyak waktu, dan ini adalah kesempatan terakhir untuk berbicara dengan Mawar. “Dek,” Bambang memanggil pelan, suaranya serak. “Kita harus bicara.” Mawar menggelengkan kepala. "Aku nggak mau dengar, Mas. Tolong jangan bicarakan hal itu lagi." Tapi Bambang tidak menyerah. Ia mengulurkan tangannya, mencoba menggenggam jemari Mawar. "Sayang, tolong dengarkan Mas. Ini penting!" Mawar memejamkan matanya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah lagi. "Mas, kenapa kamu memaksa aku untuk melakukan sesuatu yang begitu menyakitkan? Kita baru saja memperbaiki semuanya. Kita bar

  • Rahasia Suami Pelitku   Bab 65 Wasiat di Ujung Waktu

    Suasana rumah terasa sunyi malam itu, hanya suara detak jam dinding yang terdengar di ruang tamu. Mawar sedang tertidur di samping Bambang, menggenggam tangan suaminya yang semakin kurus. Wajah Bambang pucat, matanya redup, tapi pikirannya tak bisa tenang. Ia tahu waktunya tidak lama lagi. Dokter sudah memberitahu bahwa kondisinya semakin memburuk, dan operasi yang sebelumnya menjadi harapan kini tidak lagi mungkin dilakukan. Namun, bukan kematian yang membuatnya gelisah malam ini, melainkan Mawar. Ia tidak bisa membayangkan Mawar hidup sendirian setelah dirinya pergi. Dengan hati yang berat, Bambang memutuskan sesuatu. Ia harus menemukan Rendy. Rendy adalah mantan istrinya, seseorang yang pernah mengisi masa lalu Mawar sebelum mereka menikah. Bambang tahu betapa dalam hubungan Mawar dengan Rendy dulu. Meskipun Mawar tidak pernah menceritakannya secara rinci, Bambang bisa merasakan bahwa ada bagian dari hati istrinya yang pern

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status