"Kenapa, Mas? Ada apa pak Aji menjumpai kamu? Mau ngasih uang?" aku masuk ke rumah dalam keadaan kusut. Ya jelas kusut, tanda merah perbuatan Sofi malah membuat calon mertuaku curiga. Meskipun aku beralasan karena digigit binatang, tapi aku gak yakin dia percaya. "Mas, kenapa? Muka kamu kusut banget.""Sofi, ini karena kamu. Kamu cup4ng aku di leher dan pak Aji lihat. Pak Aji juga tebak ini bukan dikerik, tapi dicup4ng. Kamu, sih!""Waduh, jadi gimana, pernikahannya batal?" "Semoga aja nggak. Ya udah, ayo tidur biar besok gak kesiangan!" Aku masuk ke kamar mandi untuk mandi hadas besar, sebelum pergi tidur. Keesokan paginya, aku pun bersiap-siap dengan beskap yang sudah dipesankan oleh Bunga. Istri yang mulai hari ini akan menjadi mamaku pun dirias sangat cantik. Aslinya istriku cantik, hanya kurang modal saja. Empat orang yang terdiri dari lelaki dan perempuan yang aku bayar untuk mengantar acara pernikahanku hari ini pun sudah siap. Aku mencari mereka yang rumahnya cukup jauh d
"Kamu aku ijinkan, asalkan kamu menyetujui persyaratan yang aku ajukan," kata Sofi saat malam sebelum hari H pernikahanku dengan Bunga. "Sayang, kita gak bisa mundur lagi. Udah tinggal besok. Kamu udah janji'kan?""Aku akan bilang pada Bunga kalau aku adalah istri kamu, bukan ibu kamu. Bagaimana? Mau setuju dengan syaratku atau tidak?!" inilah salah satu sifat Sofi. Dia wanita yang keras kepala. Dia juga akan nekat memberitahu Bunga yang sebenarnya tanpa memikirkan risiko yang nantinya akan kami hadapi bersama. Tentu saja karena kami memang sama-sama butuh uang untuk menyelesaikan semua persoalan hidup. "Apa syaratnya, Sayang?" tanyaku lembut. Aku berharap syarat yang diminta Sofi tidak berat. "Pertama, aku gak mau tinggal di rumah kontrakan ini sendirian. Kamu enak-enakan indehoy dengan Bunga. Bagaimana caranya kamu harus kasih alasan masuk akal agar aku bisa tinggal sama kamu dan Bunga. Kedua, ini adalah hal penting. Aku tetap dapat nafkah lahir dan batin dari kamu. Kalau nafkah
PoV Gio"Permisi, saya baru saja duduk di sini, apa Mbak melihat kunci motor saya," tanyaku pada wanita muda cantik yang baru saja duduk di kursi tempat aku duduki sebelumnya. "Oh, tidak lihat, Mas," jawab wanita itu ramah. Ia bahkan ikut menunduk mencari kunci motorku. "Ke mana ya, saya kira jatuh di sini. Duh, ada-ada saja! Maaf sudah menganggu waktu makan siangnya, Mbak." Aku pun bergegas menghampiri pelayan yang mengangar makanan untuk bertanya apakah mereka melihat kunci motorku, tetapi tidak ada satu pun yang melihatnya. Tentu saja, kunci motor itu ada di saku celanaku. Aku hanya berakting saja agar mendapatkan perhatian dari wanita cantik yang turun dari mobil sedan mini koper. Aku duduk di kursi kosong, lalu berpura-pura kebingungan sambil menekan-nekan tombol. Wajah ini aku buat sepanik mungkin sampai-sampai orang yang berlalu-lalang, merasa iba dan berempati padaku. Termasuk wanita itu yang kini melihat ke arahku. "Mas, masih belum ketemu kuncinya?" tanyanya ramah. "Bel
"Maaf sekali, Pak. Bagaimana juga, saya dan putra saya harus menghormati Bapak dan Bunga. Bunga wanita baik-baik yang juga berpendidikan, serta dari keluarga terpandang. Meskipun kami bukan orang berada, tapi kami punya niat baik untuk menghalalkan Bunga sebagaimana mestinya. Saya tidak setuju jika malam ini dilangsungkan pernikahan. Saya ingin Bunga dan Gio, menikah resmi secara agama dan negara. Mungkin malam ini, kedatangan saya dan Gio ke sini, bisa saja dianggap sebagai lamaran untuk Nak Bunga. Bukan begitu, Gio?" wajah suamiku yang tadinya sempat semringah karena akan menikahi Bunga malam ini, mendadak kaku dengan senyum yang dibuat-buat. Enak saja dia mau langsung ijab qobul! Tidak bisa! Batinku kesal. "Jadi, apakah lamaran anak saya diterima, Pak?" tanyaku pada papa dari Bunga yang sejak tadi memperhatikanku dengan sedikit berani. "Saya serahkan pada Bunga, Bu. Saya setuju saja selagi anak saya bahagia." Pria itu menoleh pada Bunga. Tiba-tiba, suamiku mengeluarkan sesuatu d
PoV SofiFlash back 6 bulan yang lalu"Kita harus melakukannya. Tidak ada cara lain lagi, Sofi. Kamu harus paham kondisi kita saat ini," kata mas Gio suamiku. Ia terus membujuk ku agar mau merelakannya melakukan poligami. Tentu saja aku tidak langsung setuju karena aku tidak mau cinta suamiku terbagi pada anak orang kaya yang bernama Bunga itu. "Aku takut kamu nanti malah jatuh cinta beneran dengan Bunga," balasku masih tidak rela. Mas Gio merenggangkan pelukannya. Ia menaikkan selimut yang sempat meluncur turun hingga bagian dada sampai perutku bisa ia sentuh perlahan dengan jemari tangannya yang kokoh. Aku tidak rela suami kuat dan tampanku membagi sentuhannya pada Bunga. "Aku mencintai kamu, Sofi, tapi saat ini kita harus bisa memilih. Bunga sangat menyukaiku dan ini adalah kesempatan emas. Kamu harus yakin bahwa apa yang kita lakukan saat ini adalah hal yang paling tepat dan paling aman." Aku tetap menggelengkan kepala. "Mas, tapi nanti gimana? Aku juga butuh nafkah dari kamu."
Aku berusaha membuka mata, walau terasa sangat berat sekali. Mata ini bagaikan ditindih baru besar, sehingga jika aku paksakan, maka kepalaku terasa amat sangat sakit. Rasa kaki di tangan kiriku membuat aku menoleh. Tanganku diinfus. "Alhamdulillah, Bunga, lo udah sadar," suara Helmi. "Gue pingsan ya, Hel," tanyaku. "Iya, lu pingsan lama banget. Ini udah ashar. Infus udah mau habis, lu baru bangun. Gimana, masih pusing?" tanyanya cemas. Aku mengerti raut wajah lelaki itu tulus."Aku tadi dari tempat fitnes?" "Iya, ini minum dulu! Habis minum, makan ya." Aku mengangguk. Tenggorokanku sangat kering sehingga untuk mengeluarkan kalimat lagi rasanya sangat sulit. Helmi membantuku minum sampai air putih di gelas bening itu habis tidak bersisa. "Gue tadi ke rumah lo, tapi rumah lo tutup. Maksudnya gue mau ngabarin pembantu lo atau siapa kek yang ada di rumah lo, kalau lo dirawat. Tapi malah gak ada orang.""Ada bik Uti, Hel. Dia pasti gak ke mana-mana." "Gak ada orang, Bunga. Mungkin l