Hai, makasih udah mampir baca. Cus, langsung aja baca bab 5
** "Hush! Kamu ini, bicara jangan sembarangan! Gak boleh gitu sama orang tua. Papa juga tahu aturan, Bunga. Bu Sofi juga seperti belum yakin seratus persen dengan Papa. Makanya, bantuin Papa deketin ibu mertua kamu." Wajah papa benar-benar memohon. "Mas Gio gak bakalan setuju, Pa." "Kita coba dulu. Papa juga gak buru-buru mau jadi pengantin, kok. Bisa pendekatan dulu." Aku mengangkat bahu tidak paham. Jika papa menikahi mama Sofi, itu tandanya prasangka ku selama ini, salah. Mungkin firasatku sudah diikuti oleh set4n sehingga berpikir yang jelek pada ibu mertua dan juga suamiku. Mas Gio tak kunjung kembali. Aku pun mulai curiga. Aku pamit masuk ke dalam rumah, sedangkan papa masih asik menonton youtub. "Mas." Aku menekan kenop pintu kamar dan tidak melihat ada suamiku. Di mana dia? Aku berjalan ke arah jendela untuk melihat ke area kolam renang. Sepi juga, tidak ada suamiku. Apa di kamar mama? Aku pun berjalan menuju kamar mama Sofi. Samar-samar, aku mendengar keduanya seperti sedang berdebat. Sengaja aku menempelkan telinga ini di daun pintu. Aku ingin mendengar percakapan ibu dan anak itu. "Iya, Mama tahu. Pak Aji gak macam-macam, kok. Kami bercakap-cakap layaknya sesama besan aja. Kamu terlalu berlebihan." "Gio gak setuju kalau papa Aji deketin Mama. Apa kata orang? Apa kata temen-temen kantor? Aneh, dong!" "Iya, nggak. Udah sana, Mama mau di kamar. Nanti kalau udah mau berangkat, panggil aja Mama." Aku mendengar percakapan suami dan mertuaku. Tidak ada yang aneh, berarti aku yang terlalu over thinking. Aku pun kembali ke teras luas itu menunggu mas Gio. "Jus kamu sampe adem," kataku setelah mas Gio duduk bersama aku dan papa. "Iya, Sayang, maaf ya. Tadi ngobrol sebentar dengan mama." "Urusan kantornya beres, Io?" "Beres, Pa. Oh, iya kita mau jalan cari makan jam berapa?" "Boleh, kita siap-siap sekarang aja." Aku dan mas Gio pun masuk ke kamar. Begitu pintu kamar aku tutup. Aku pun memeluknya dari belakang karena jujur saja, udara di luar dan suasana kamar yang luas membuatku sebenarnya ingin bermalas-malasan saja di ranjang bersama suamiku. Namun, kedatangan mama dan papa merusak semuanya. "Kenapa, Bunga?" tanya mas Gio yang sudah berbalik menatap wajahku. Rasanya sangat senang saat tatapan itu begitu tulus. "Pengennya sih, kita di kamar aja. Biarin papa dan mama yang cari makan di luar. Kita pesan saja untuk makan di rumah. Gimana?" aku menggoda suamiku dengan ciuman. "Emang gak durhak4?" mas Gio tertawa. Aku pun jadinya ikut tertawa juga. "Ya, nggak, mama dan papa pasti tahu tujuan kita ke sini untuk bulan madu. Malah mereka ikutan juga. Ya, risiko kalau ditinggal anak-anaknya ngamar. Kita di kamar aja, Mas. Bilangin papa, ajak mama aja cari makannya." "Sayang, kita tetap ikut wisata kuliner, setelah itu baru kita tempur. Gimana?" "Ya, sudah, deh." Aku pun menghela napas. Akhirnya kami berempat keluar dari villa untuk mencari tempat makan yang suasananya nyaman. Ada beberapa tempat makan kami singgahi, tetapi papa malah memilih makan di salah satu resto dekat dengan taman Safari. "Apa mau masuk ke taman safari?" tanya papa. "Boleh, Mas. Saya udah lama gak healing. " Mama Sofi menyahut dengan begitu bersemangat. "Mas, sepertinya kita malah nganterin orang tua pacaran," komentarku meledek. Papa tertawa, begitu juga mama, sedangkan mas Gio masih fokus pada suapan nasinya. Demi orang tua, akhirnya kami pun masuk ke taman Safari. Tentu saja papa sebagai donaturnya. Mama Sofi terlihat gembira. Begitu juga aku yang akhirnya menikmati jalan-jalan bersama papa dan juga mertua. Mungkin hanya mas Gio yang tidak terlalu bersemangat diantara kami berempat. Ponsel mas Gio berdering saat kami sedang menikmati baso di foodcourt yang ada di dalam taman Safari. "Halo, iya, Wi, ada apa?" "Oh, gitu, bukannya lusa? Gue masih honeymoon he he he... ya sudah kalau begitu. Aku balik deh. Makasih infonya. Aku cek lagi data base baru aku kirim ke lu ya." "Ada apa, Mas?" tanyaku heran. "Ada meeting besok, Sayang. Kita harus pulang hari ini juga. Maaf ya. Ada kerjaan yang harus aku bereskan malam ini juga," jawab mas Gio dengan suara kecewa. "Loh, bukannya masih satu hari lagi. Katanya kamu masuk selasa." Suara mama terdengar protes. "Kerjaan lebih penting saat ini, Ma. Nanti kalau Gio dipecat gimana? Bunga mau makan apa, Mama makannya nanti gimana?" aku mendesah kesal. Liburan berdua suamiku benar-benar gagal. "Jangan khawatir, Gio. Ada Papa yang siap back up mama kamu. Mau skincare, mau jalan-jalan atau mau umroh? Biar Papa yang urus, kamu fokus pada Bunga saja." Jawaban papa membuat aku, mas Gio, dan juga mama ikut tercengang. "Maksudnya, Pa?" tanya mas Gio. "Maksudnya, mm... Papa ini ingin bu Sofi bukan hanya sebagai besan, tetapi juga istri Papa, boleh kan?" "Gak, bisa!" Bersambung"I-ni, Ma, t-tadi saya mau cari kartu keluarga yang seingat saya ada di lemari ini. Terus pas saya nyari, saya gak sengaja jatuhin tas Mama. Maaf ya, Ma." Mama langsung cemberut. Wajahnya antara panik dan juga kesal. "Mama memang selama ini gak pernah cerewet sama kamu, Bunga. Mungkin kamu termasuk menantu yang beruntung karena Mama mau bekerja seperti pembantu di rumah kamu ini, tetapi bukan berarti kamu bisa tidak sopan. Apalagi kamu bukan hanya menjadi menantu, tetapi akan jadi anak sambung Mama, jdi tolong kamu sopan!""Iya, Ma, maaf ya. Saya permisi, Ma. Kartu keluarganya gak ada di kamar Mama rupanya." Aku segera keluar dari kamar. Jantung ini rasanya sedikit nyeri. Kaki dan tanganku mendadak dingin hingga terasa ke perut. Masih ada hari esok. Jika nanti mama pergi ke suatu tempat, maka aku baru memeriksa kembali. Ada bukti apa yang bisa aku temukan di kamar itu. Aku tidak keluar lagi sampai langit berubah gelap. Aku rasa, mama pun juga. Makanan yang aku pesan online, sudah t
"Bunga, hey! Kenapa, Sayang?" "Lepas, Mas! Aku dengar semua apa yang kamu katakan pada mama. Oh, jadi selama ini, kamu memiliki perasaan lain sama mama. Itu dosa besar! Kamu gila, Mas! Kamu sakit, kamu kelainan! Aku benci kamu, Mas! Ceraikan aku! Aku gak mau hidup dengan pria sakit seperti kamu! Ceraikan aku, ceraikan, Mas!" "Bunga, ada apa? Kamu mimpi apa? Kenapa mimpinya serem, Sayang?" aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Ternyata aku masih berada di kamarku. Bola mataku bergerak liar memastikan bahwa aku benar-benar aku tidak sedang bermimpi. Namun, mimpi itu sangat jelas aku alami. Tapi.... "Mas, ini jam berapa? A-aku mimpi apa? M-maksudnya aku bilang apa?" tanyaku masih setengah tidak percaya. "Kamu minta cerai. Kamu meracau tidak jelas. Tunggu, aku ambilkan air." Mas Gio meraih gelas di atas meja kecil yang ada di samping ranjang, lalu ia berikan padaku. "Mas, ini hari apa?""Senin, kenapa?""Mama dan papa udah pulang?" "Udah, aku yang bukain pintu tadi. Ini sudah jam dua. M
"Bunga, hey! Kenapa, Sayang?" "Lepas, Mas! Aku dengar semua apa yang kamu katakan pada mama. Oh, jadi selama ini, kamu memiliki perasaan lain sama mama. Itu dosa besar! Kamu gila, Mas! Kamu sakit, kamu kelainan! Aku benci kamu, Mas! Ceraikan aku! Aku gak mau hidup dengan pria sakit seperti kamu! Ceraikan aku, ceraikan, Mas!" "Bunga, ada apa? Kamu mimpi apa? Kenapa mimpinya serem, Sayang?" aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Ternyata aku masih berada di kamarku. Bola mataku bergerak liar memastikan bahwa aku benar-benar aku tidak sedang bermimpi. Namun, mimpi itu sangat jelas aku alami. Tapi.... "Mas, ini jam berapa? A-aku mimpi apa? M-maksudnya aku bilang apa?" tanyaku masih setengah tidak percaya. "Kamu minta cerai. Kamu meracau tidak jelas. Tunggu, aku ambilkan air." Mas Gio meraih gelas di atas meja kecil yang ada di samping ranjang, lalu ia berikan padaku. "Mas, ini hari apa?""Senin, kenapa?""Mama dan papa udah pulang?" "Udah, aku yang bukain pintu tadi. Ini sudah jam dua. M
Part 9"Mbak, papa nginep di rumah Mbak Bunga?""Iya, Dre. Masih betah, kenapa?""Rumah sepi banget, Mbak. Cuma aku sama bibik. Bibik juga ngetem di kamar. Aku mau ajak temen nginep. Bilangin papa, boleh gak? Aku telepon papa, HP-nya gak aktif. Emang papa ke mna, Mbak?" aku melihat jam dinding yang sudah berada di angka sepuluh. Suamiku belum pulang, begitu juga papa dan mama Sofi yang sejak ijin pergi ke rumah sakit, belum ada pulang ke rumah dan belum juga kasih kabar. "Papa lagi keluar. Ada urusan katanya. Nanti Mbak bilangin. Temen kamu cowok'kan?""Iya, Mbak, temen kampus dua orang. Makasih Mbak-ku Sayang. Udah dulu ye." Panggilan dari Andre terputus. Aku kembali menelepon papa, masih sama, nada sambungnya sibuk. Ke mana sih? Pintu pagar terbuka. Rupanya mas Gio yang pulang dengan motornya. Aku membuka pintu rumah untuk menyambut suamiku. "Loh, aku kirain kamu udah tidur, Sayang. Tumben, jagain pintu!" Ia tersenyum begitu lebar setelah itu berhasil membuka hem full cap yang ia
Part 8"Bunga, ada apa? Kenapa HP Mama ada di tangan kamu?" aku sontak melemparkan ponsel logo apel digigit itu ke atas ranjang mama karena benar-benar kaget dengan suara mama. "Oh, itu, anu, ponsel Mama tadi jatuh di lantai, jadinya maksud saya mau dinaikin lagi ke ranjang. Itu, Ma, saya ada beli sop iga kalau Mama mau makan." Mama sudah menggenggam ponselnya dengan kuat. "Iya, nanti Mama turun makan. Kamu siapkan saja.""Baik, Ma." Aku segera pamit undur diri. Kali ini bukan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk mama, melainkan pergi ke kamar papa. Aku ketuk dua kali, lalu aku tekan kenop pintu. Papa malah asik berdiskusi di depan laptopnya. Apa pesan tadi dari papa? Kenapa manggil sayang? Apakah sudah sedekat itu? Aku menutup pintu kembali, lalu bergegas ke dapur. Aku menyiapkan nasi dan juga sayur sop iga untuk mama. Jujur aku sangat penasaran siapa yang nama kontaknya Sayang. Apa mama punya pacar lain selain papa? Maksudku apa ada lelaki lain yang mendekati mama selain
Mama segera menaikkan kerah bajunya. "Iya, kecapean dan kedinginan waktu di puncak. Airnya dingin sekali. Badan Mama yang udah jompo ini, gak tahan rupanya. Jadi masuk angin deh!" Aku tersenyum tipis. Bukannya kata mama di kamar mandinya ada shower air hangat? Duh benar-benar memusingkan. "Kalian teruskan makannya ya. Mama gak enak badan beneran. Mau tiduran aja." Mama sudah berdiri dari duduknya, tetapi mama sempoyongan. Aku dan mas Gio segera membantu mama berjalan menuju kamar. "Ma, Gio bakalan sibuk banget minggu ini. Mama jangan sakit ya." Ibu mertua mengangguk lemas. "Sayang, mama agak demam nih, tolong ambilkan obat demam dan air hangat ya.""Oke, Mas." Aku pun segera ke dapur. Papa baru keluar kamar dengan mata panda. Jelas sekali papa baru banget bangun tanpa cuci muka lebih dulu. "Tumben sepi, pada ke mana?" tanya papa terheran. "Mama Sofi sakit, Pa. Ini air dan obat untuk mama." Belum lagi aku tuntaskan ucapanku, papa langsung berlari menghampiri kamar mama Sofi. Inik