Beranda / Rumah Tangga / Rahasia Suami dan Ibu Mertua / 6. Tanda Merah di Leher Ibu Mertua

Share

6. Tanda Merah di Leher Ibu Mertua

last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-17 23:50:02

"Boleh kalau mama setuju, tapi gak sekarang kan, Pa?"

"Alhamdulillah, makasih Gio. Papa udah khawatir kalau kamu gak setuju." Aku menatap suami dan papaku bergantian. Bukannya mas Gio menolak, kenapa sekarang berubah pikiran? Apa mama Sofi sudah membujuknya lagi?

"Sekarang kita harus kembali ke villa. Kayaknya pakai mobil masing-masing ya, Pa. Mama ikut saya dan Bunga. Papa nyetir sendiri gak papa?"

"Papa balik sama kalian saja. Mobil biar nanti diambil sama orang suruhan Papa. Ini orangnya udah Papa WA, minta ke sini jemput mobil. Ayo, kita pulang." Papa dengan begitu semangat mengeluarkan kartu ATM dari dompetnya. Membayar semua tagihan makan kami. Setelah itu, dengan mobil papan yang dikemudikan mas Gio, kami kembali ke villa. Niat hati mau liburan, malah ada saja kendala.

Mas Gio memang baru satu bulan ini bekerja lagi, sehingga ia sungguh-sungguh patuh pada perintah atasan. Dia disiplin dengan tugas. Walau gajinya masih lebih kecil dibandingkan dengan gajiku dulu saat aku masih bekerja menjadi manager di perusahaan travel.

"Bunga, bangun," suara mas Gio membuat mataku terbuka. Rupanya kami sudah sampai di rumah. Mama sedang memutar anak kunci, sedangkan papa berdiri di belakangnya sambil membawa tas jinjing dan juga kantung kresek putih.

"Lanjut tidur lagi di kamar ya." Aku mengangguk. Sekilas aku melirik jam dinding yang sudah berada di angka sembilan malam. Papa masuk ke kamar belakang yang seharusnya menjadi kamar pembantu, tetapi karena aku belum perlu punya pembantu karena ada mama Sofi di rumah, kamar belakang kosong. Kulihat papa masuk ke sana dan mama langsung ke dapur.

Aku tidak langsung tidur, melainkan cuci muka dan bersih-bersih. Paling tidak, aku mengganti pakaian. Rasanya begitu nyaman bisa berbaring di ranjang sendiri, meskipun ranjang di villa gak kalah empuk.

"Sayang, ini minum dulu. Mama buatkan kita teh. Papa juga. Barusan udah aku antar ke kamar papa. Kayaknya papa capek banget."

"Iya, Mas, papa tuh, sebenarnya ada sakit jantung, tapi gak parah sih. Pernah kena serangan satu kali pas kita baru pacaran. Alhamdulillah belum kena lagi sampai sekarang. Makanya papa gak bisa capek." Aku menyesap teh yang dibuatkan ibu mertuaku. Mas Gio pun sama.

"Waduh, gimana kalau nikah sama mamaku, kalau papa gak boleh capek? Aku gak mau mama nikah cuma buat urus orang sakit, loh!"

"Ish, hak gitu, Sayang! Papaku sehat, cuma gak boleh terlalu capek aja, hooaam! Tidur yuk, besok lagi ngobrolnya." Aku berbaring karena sudah tidak tahan kantuk. Air teh pun belum habis satu gelas, masih tersisa seperempat gelas lagi.

"Aku ada kerjaan, kamu tidur duluan ya, Sayang." Mas Gio menciyum bibirku pelan, lalu berjalan ke arah meja kecil, tempat ia biasa mengerjakan tugas dari kantor. Setelah itu, aku tidak ingat apapun lagi.

Keesokan harinya, aku terbangun karena mendengar bunyi sendok yang diadu dengan mangkuk. Pertanda tukang bubur ayam lewat. Sudah setengah enam pagi dan suamiku sudah tidak ada di kamar. Aku segera turun ke bawah untuk melihat suamiku. Rupanya mama sedang membeli bubur dan suamiku berdiri di sampingnya sambil merangkul pundak mama Sofi.

"Mas, aku mau juga! Jangan pakai kacang ya!" Seruku dari depan pintu. Mama dan mas Gio menoleh. Mama menyikut mas Gio, lalu suamiku menghampiriku.

"Udah bangun, Sayang. Baru aja mau aku bangunin."

"Mama tumben gak masak, Mas? Biasanya mama mana mau sarapan bubur ayam," tanyaku sedikit terheran.

"Katanya lagi pingin dan capek habis jalan-jalan kemarin." Aku mengangguk paham. Namun, untuk kesekian kalinya aku dibuat tak habis pikir karena ibu mertuaku lagi-lagi keramas.

"Gio, ini bantu bawain!" Mas Gio segera berlari menghampiri mama. Suamiku membawa dua mangkuk di tangannya dan langsung ia taruh di meja makan.

"Papa belum bangun ya."

"Coba kamu lihat saja, Bunga. Sekalian bangunkan. Biar kita sarapan sama-sama," titah suamiku. Aku pun berjalan menuju kamar papa. Aku ketuk daun pintu itu sebanyak dua kali, tetapi tidak ada sahutan dari dalam.

"Pa, udah siang, bangun!" Karena tidak ada jawaban, aku pun menekan kenop pintu kamar. Papa rupanya sedang tidur pulas. Kamar sangat berantakan, sampai-sampai bantal terlempar ke bawah.

"Pa, bangun!" Aku mengguncang sedikit tubuhnya.

"Pa!"

"Papa masih ngantuk. Capek, nanti saja bangunnya." Papa menjawab dengan mata terpejam. Aku pun akhirnya keluar dari kamar papa dan langsung menuju meja makan. Mama dan mas Gio sudah ada duduk di sana, tetapi belum makan.

"Mana papa?" tanya mas Gio.

"Ngantuk, Mas, katanya capek banget. Kita disuruh sarapan duluan."

"Oh, ya sudah. Ayo, kita makan."

"Kamu pesen dua mangkuk?" tanyaku saat menyadari ada dua mangkuk penuh bubur ayam di depan suamiku.

"Iya, aku lapar banget, Sayang. Habis begadang semalam ngerjain tugas."

"Tapi kelar gak?"

"Kelar dong!" suamiku tersenyum puas. Mama diam saja sambil menikmati sarapannya. Tumben sekali, biasanya mama suka menimpali percakapan aku dan mas Gio.

"Mama sakit?" tanyaku sambil terus memperhatikannya. Mama menggelengkan kepala.

"Itu, Mama masuk angin ya?" tanyaku.

Mama menggelengkan kepala.

"Itu, merah di situ, bukan karena habis dikerik?" tanyaku sambil menunjuk tanda merah, saat bagian kerah daster mama yang turun, hingga sedikit bagian lipatan dad4 mertuaku kelihatan. Ada tanda merah di sana, bukan satu, tapi tiga dan aku yakin itu bukan merah karena dikerik, tetapi karena di...

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahasia Suami dan Ibu Mertua   12. Mertuaku dan Papaku

    "I-ni, Ma, t-tadi saya mau cari kartu keluarga yang seingat saya ada di lemari ini. Terus pas saya nyari, saya gak sengaja jatuhin tas Mama. Maaf ya, Ma." Mama langsung cemberut. Wajahnya antara panik dan juga kesal. "Mama memang selama ini gak pernah cerewet sama kamu, Bunga. Mungkin kamu termasuk menantu yang beruntung karena Mama mau bekerja seperti pembantu di rumah kamu ini, tetapi bukan berarti kamu bisa tidak sopan. Apalagi kamu bukan hanya menjadi menantu, tetapi akan jadi anak sambung Mama, jdi tolong kamu sopan!""Iya, Ma, maaf ya. Saya permisi, Ma. Kartu keluarganya gak ada di kamar Mama rupanya." Aku segera keluar dari kamar. Jantung ini rasanya sedikit nyeri. Kaki dan tanganku mendadak dingin hingga terasa ke perut. Masih ada hari esok. Jika nanti mama pergi ke suatu tempat, maka aku baru memeriksa kembali. Ada bukti apa yang bisa aku temukan di kamar itu. Aku tidak keluar lagi sampai langit berubah gelap. Aku rasa, mama pun juga. Makanan yang aku pesan online, sudah t

  • Rahasia Suami dan Ibu Mertua   11. Mencari Bukti di Kamar Mertua

    "Bunga, hey! Kenapa, Sayang?" "Lepas, Mas! Aku dengar semua apa yang kamu katakan pada mama. Oh, jadi selama ini, kamu memiliki perasaan lain sama mama. Itu dosa besar! Kamu gila, Mas! Kamu sakit, kamu kelainan! Aku benci kamu, Mas! Ceraikan aku! Aku gak mau hidup dengan pria sakit seperti kamu! Ceraikan aku, ceraikan, Mas!" "Bunga, ada apa? Kamu mimpi apa? Kenapa mimpinya serem, Sayang?" aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Ternyata aku masih berada di kamarku. Bola mataku bergerak liar memastikan bahwa aku benar-benar aku tidak sedang bermimpi. Namun, mimpi itu sangat jelas aku alami. Tapi.... "Mas, ini jam berapa? A-aku mimpi apa? M-maksudnya aku bilang apa?" tanyaku masih setengah tidak percaya. "Kamu minta cerai. Kamu meracau tidak jelas. Tunggu, aku ambilkan air." Mas Gio meraih gelas di atas meja kecil yang ada di samping ranjang, lalu ia berikan padaku. "Mas, ini hari apa?""Senin, kenapa?""Mama dan papa udah pulang?" "Udah, aku yang bukain pintu tadi. Ini sudah jam dua. M

  • Rahasia Suami dan Ibu Mertua   10. Hubungan Terlarang

    "Bunga, hey! Kenapa, Sayang?" "Lepas, Mas! Aku dengar semua apa yang kamu katakan pada mama. Oh, jadi selama ini, kamu memiliki perasaan lain sama mama. Itu dosa besar! Kamu gila, Mas! Kamu sakit, kamu kelainan! Aku benci kamu, Mas! Ceraikan aku! Aku gak mau hidup dengan pria sakit seperti kamu! Ceraikan aku, ceraikan, Mas!" "Bunga, ada apa? Kamu mimpi apa? Kenapa mimpinya serem, Sayang?" aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Ternyata aku masih berada di kamarku. Bola mataku bergerak liar memastikan bahwa aku benar-benar aku tidak sedang bermimpi. Namun, mimpi itu sangat jelas aku alami. Tapi.... "Mas, ini jam berapa? A-aku mimpi apa? M-maksudnya aku bilang apa?" tanyaku masih setengah tidak percaya. "Kamu minta cerai. Kamu meracau tidak jelas. Tunggu, aku ambilkan air." Mas Gio meraih gelas di atas meja kecil yang ada di samping ranjang, lalu ia berikan padaku. "Mas, ini hari apa?""Senin, kenapa?""Mama dan papa udah pulang?" "Udah, aku yang bukain pintu tadi. Ini sudah jam dua. M

  • Rahasia Suami dan Ibu Mertua   9. Panggilan Sayang

    Part 9"Mbak, papa nginep di rumah Mbak Bunga?""Iya, Dre. Masih betah, kenapa?""Rumah sepi banget, Mbak. Cuma aku sama bibik. Bibik juga ngetem di kamar. Aku mau ajak temen nginep. Bilangin papa, boleh gak? Aku telepon papa, HP-nya gak aktif. Emang papa ke mna, Mbak?" aku melihat jam dinding yang sudah berada di angka sepuluh. Suamiku belum pulang, begitu juga papa dan mama Sofi yang sejak ijin pergi ke rumah sakit, belum ada pulang ke rumah dan belum juga kasih kabar. "Papa lagi keluar. Ada urusan katanya. Nanti Mbak bilangin. Temen kamu cowok'kan?""Iya, Mbak, temen kampus dua orang. Makasih Mbak-ku Sayang. Udah dulu ye." Panggilan dari Andre terputus. Aku kembali menelepon papa, masih sama, nada sambungnya sibuk. Ke mana sih? Pintu pagar terbuka. Rupanya mas Gio yang pulang dengan motornya. Aku membuka pintu rumah untuk menyambut suamiku. "Loh, aku kirain kamu udah tidur, Sayang. Tumben, jagain pintu!" Ia tersenyum begitu lebar setelah itu berhasil membuka hem full cap yang ia

  • Rahasia Suami dan Ibu Mertua   8. Baju Wanita di Tas Suamiku

    Part 8"Bunga, ada apa? Kenapa HP Mama ada di tangan kamu?" aku sontak melemparkan ponsel logo apel digigit itu ke atas ranjang mama karena benar-benar kaget dengan suara mama. "Oh, itu, anu, ponsel Mama tadi jatuh di lantai, jadinya maksud saya mau dinaikin lagi ke ranjang. Itu, Ma, saya ada beli sop iga kalau Mama mau makan." Mama sudah menggenggam ponselnya dengan kuat. "Iya, nanti Mama turun makan. Kamu siapkan saja.""Baik, Ma." Aku segera pamit undur diri. Kali ini bukan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk mama, melainkan pergi ke kamar papa. Aku ketuk dua kali, lalu aku tekan kenop pintu. Papa malah asik berdiskusi di depan laptopnya. Apa pesan tadi dari papa? Kenapa manggil sayang? Apakah sudah sedekat itu? Aku menutup pintu kembali, lalu bergegas ke dapur. Aku menyiapkan nasi dan juga sayur sop iga untuk mama. Jujur aku sangat penasaran siapa yang nama kontaknya Sayang. Apa mama punya pacar lain selain papa? Maksudku apa ada lelaki lain yang mendekati mama selain

  • Rahasia Suami dan Ibu Mertua   7. Panggilan Sayang

    Mama segera menaikkan kerah bajunya. "Iya, kecapean dan kedinginan waktu di puncak. Airnya dingin sekali. Badan Mama yang udah jompo ini, gak tahan rupanya. Jadi masuk angin deh!" Aku tersenyum tipis. Bukannya kata mama di kamar mandinya ada shower air hangat? Duh benar-benar memusingkan. "Kalian teruskan makannya ya. Mama gak enak badan beneran. Mau tiduran aja." Mama sudah berdiri dari duduknya, tetapi mama sempoyongan. Aku dan mas Gio segera membantu mama berjalan menuju kamar. "Ma, Gio bakalan sibuk banget minggu ini. Mama jangan sakit ya." Ibu mertua mengangguk lemas. "Sayang, mama agak demam nih, tolong ambilkan obat demam dan air hangat ya.""Oke, Mas." Aku pun segera ke dapur. Papa baru keluar kamar dengan mata panda. Jelas sekali papa baru banget bangun tanpa cuci muka lebih dulu. "Tumben sepi, pada ke mana?" tanya papa terheran. "Mama Sofi sakit, Pa. Ini air dan obat untuk mama." Belum lagi aku tuntaskan ucapanku, papa langsung berlari menghampiri kamar mama Sofi. Inik

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status