"Bukan gitu, Sayang. Maksud aku ya jelas gak mungkin! Mama itu maunya single aja. Dia cinta berat sama almarhum papa dan dia bilang gak mau nanti di surga pasangannya malah orang lain. Udahlah, kamu, mah, aneh-aneh aja tanyanya. Ayo, kita sarapan yuk! Oh, iya, papa itu usianya lebih muda tiga tahun dari mama. Jadi udah bisa aku pastikan kalau mama senang sama yang lebih muda. Mungkin lebih mudah diarahkan ha ha ha.... "
"Gak lucu, Mas!" Aku mencebik. Mama Sofi dan papaku sedang tertawa saat kami tiba di dapur. Entah apa yang mereka bicarakan yang jelas mama Sofi nampak begitu bahagia dengan tawa lepas. Memang ibu mertuaku ramah, sering senyum dan juga tertawa, tetapi ia malah bisa tertawa lebar di depan papa. Aku benar-benar curiga kalau papa dan mama mertuaku ada something. "Mama, ketawanya gede banget. Semalam aja masuk angin. Minta dijambak rambutlah, dipijetlah, dikeriklah! Susah kalau udah nenek!" suamiku mengomel. "Dih, datang-datang malah ngomel! Udah duduk di situ, biar sarapan. Kalian berdua pasti lapar ya'kan? Mama juga. Papa kalian juga." Mama tersenyum pada papa. Senyuman yang menurutku tidak biasa. Sepanjang sarapan, mas Gio banyak diam. Hanya sesekali saja ia menyahut pertanyaan dari papaku dan juga mama. Ia terlihat sangat tidak mood. Aku punya firasat tidak enak dengan mama mertua dan juga papaku. "Biar saya yang cuci piring, Ma," kataku sembari menahan tangan mama yang hendak meraih sponge cuci piring. "Okelah, maaf kalau cucian piring agak banyak ya. Siang ini, kata papa kamu, Mama gak usah masak. Mau makan di luar saja." "Oh, gitu, oke, Ma." Mama masuk ke kamarnya, sedangkan aku melanjutkan mencuci piring. Lalu mas Gio dan papa ada di mana? Tentu saja keduanya sednag bercakap-cakap di teras. Ada buah jambu biji kesukaan papa. Ia yang membelinya. Tentu saja papa ingin aku buatkan jus jambu. Untung saja semua perabotan di dapur villa sangatlah lengkap. Mulai dari oven, microwave, setrikaan, juicer, blender, pembakar roti, kompor gasnya saja yang model kompor gas tanam. Villa yang menurutku cukup eksklusif dengan harga terjangkau. Setelah empat gelas jus berada di ats nampan, aku pun langsung membawanya menuju teras. "Loh, Pa, mana mas Gio?" "Udah masuk daritadi. Katanya mau menelepon sebentar. Ada client yang mau diskusi." Aku mengangguk paham. Jika sedang berbincang tentang urusan pekerjaan, suamiku sangat tidak mau diganggu. Oleh karena itu, aku memilih menunggu mas Gio sambil bercakap-cakap dengan papa. "Jadi begini, Bunga." Papa menjeda ucapannya. Aku mengerutkan kening. Ekspresi papa sangatlah tidak santai. "Kenapa, Pa? Papa mau cerita apa?" tanyaku penasaran. "Jika Papa dekat dengan ibu mertua kamu, gimana?" "Papa naksir?" tanyaku balik. "Ya, sepertinya. Bagaimana juga Papa butuh seseorang yang mengurus Papa'kan? Dua anak-anak Papa sudah punya kehidupan sendiri. Papa sendirian aja di rumah sama bibik. Makanya Papa mungkin bisa dapat istri lagi untuk hari tua Papa." Aku terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa. "Masa mertua Bunga jadi ibu sambung, Pa! Aneh banget itu! Jika Papa mau menikah, biar Bunga bantu carikan. Mungkin bisa dengan wanita yang lebih muda. Kalau sama tuanya dengan mama Sofi, kalau sakit dua-duanya gimana?" papaku malah tertawa. "Mama Sofi gak setua itu, Nak." "Pa, mama Sofi itu gak mau cari suami lagi. Mama cinta berat sama almarhum papa Andi." "Kata siapa? Pagi tadi, saat kamu di kamar sama Gio, kami banyak bercakap-cakap." "Oh, iya, pantesan Papa dan mama Sofi ketawa bahagia. Rupanya udah ada rasa." Papa kembali tertawa pelan. "Mama Sofi emang mau sama Papa juga?" entah aku harus senang atau sedih. Tapi jika mama Sofi tidak menikah, maka selamanya aku terus menduga-duga bahwa ada hubungan terlarang antara ibu mertua dengan suamiku. Jikalau memang iya, maka harusnya mama Sofi menolak. "Bunga, kenapa bengong?" aku tersentak dari lamunanku. "Bukan apa-apa, Pa. Rasanya aneh saja, jika Papa kemudian malah ikut jadi mertuaku. Mas Gio pasti gak setuju, Pa." Aku benar-benar kehabisan kalimat untuk menahan rasa yang harusnya tidak pernah ada apa papa untuk mama Sofi. "Gio bisa apa kalau mamanya mau sama Papa kamu ini," komentar papa tegas. "Hah, mama Sofi mau dengan Papa?" papa mengangguk dengan senyuman amat lebar. Wajahnya merah berseri-seri layaknya orang yang sedang dimabuk cinta. "Makanya nanti siang kita makan di luar saja. Papa akan sampaikan niat baik ini pada Gio. Suami kamu pasti setuju dan... " "Dan apa, Pa? Tunggu, a-apa Papa udah t-tidur dengan mama Sofi?" Bersambung"Permisi." Hanya itu yang bisa terucap dari bibirku saat berpapasan dengan Bunga dan suaminya. Rasa malu hati ini sangat tinggi bila mengingat apa yang telah aku lakukan pada Bunga di masa lalu. Bunga sudah bahagia dan aku tidak boleh mengusiknya. Jika suami Bunga menoleh sekilas ke arahku, maka Bunga langsung membuanh muka. Aku sadar dan mengerti ia tidak sudi melihat wajahku lagi. Langsung saja aku masuk menemui pemilik bengkel. Jantung ini yang sempat berdetak cepat, perlahan normal kembali saat pintu ditutup oleh pak Hutama. "Om saya udah cerita tentang kamu. Staf administrasi saya resign karena melahirkan. Bengkel ini butuh staf baru yang bisa mengatur dan melaporkan semua kegiatan serta kinerja bengkel. Karena saya di sini ada dua bengkel, motor dan mobil, saya gak mau asal-asalan mengelolanya. Harus tepat dan bagus seperti bengkel resmi lainnya.""Iya, Pak, saya mudah-mudahan bisa belajar. Saya sudah kirim CV by email.""Ah,iya, saya memang lihat ada email masuk, tapi belum
PoV GioDua Tahun KemudianHari ini tiba waktunya. Setiap detik yang berjalan sejak aku membuka mata pagi tadi, hari inilah yang paling aku nantikan. Bisa menghirup udara bebas di luar jeruji besi. Aku tersenyum pada petugas lapas yang mengantarku sampai pintu depan. "Jalani hidup baik, maka kebaikan akan datang padamu. Jangan lupa pergi ke alamat yang saya kasih." Aku terharu. Sekali lagi aku menyalami Pak Farid. Satu-satunya petugas lapas yang tegas padaku, tetapi juga baik. Bahkan ia memberikan kartu nama sebuah bengkel mobil, di mana keponakannya pemilik di sana. "Makasih Pak Farid. Nanti saya pergi ke sini. Makasih atas nasihat Bapak selama saya dibina di sini. Semoga hidup saya bisa lebih baik." Aku pun melangkah dengan penuh harap masa depan yang akan aku jalani nanti. Pria itu baik sekali. Ia bahkan menyelipkan uang tiga ratus lima puluh ribu di tasku. Uang yang akan aku gunakan untuk ongkos pulang ke kampung. Aku menyetop angkot. Tujuanku saat ini salah pemakanan. Aku rind
"Heh, kamu, buka pintunya! Majikan pulang malah bengong aja!" Uti tentu saja tidak paham maksud Sofi. Apalagi dengan bibik yang berdiri di belakang Uti, lebih tidak paham lagi. "Ya ampun, kamu pembantu di rumah ini'kan? Aku lupa nama kamu, Bik. Tolong buka pintunya. Aku mau masuk. Suamiku mana?" cecar Sofi lagi seolah-olah tidak ada masalah. Bibik hendak membukakan pintu, tapi ragu. "Kayaknya Ibu salah alamat. Di sini, saya majikannya." Uti masuk ke dalam rumah, foto pernikahan besar yang belum sempat dipajang, ia bawa ke depan. "Ini, saya nyonya di sini. Ibu jangan mengaku-ngaku ya! Sudah sana pergi sebelum saya panggil satpam! Dasar wanita stres!" Sofi yang tidak tahu apa-apa tentu saja terkejut. Kapan suaminya menikah? Menikah dengan pembantu? Saat pintu rumah dibanting keras oleh Uti, disitulah Sofi tersadar bahwa ia tidak sedang bermimpi. Dari yang ia tahu, hanya Bunga yang menikah lagi, bukan dengan Aji. Aku harus ke kantornya. Sofi pun memesan ojek online. Tujuannya adalah
Bunga baru saja selesai mandi. Setelah acara resepsi yang berlangsung sangat meriah, Bunga dan Helmi memutuskan untuk berbulan madu di rumah saja. Alias di rumah orang tua Helmi. Karena jika di rumah orang tuanya, tidak memungkinkan.Tidak masalah, Bunga mengerti posisi Helmi yang sekarang menjadi orang sibuk. Ia pun bisa menyusui baby Z sampai kenyang. Setelah itu, barulah ia bisa mandi. Baby Z sendiri sudah diangkut oleh ibu sambungnya, ibu mertuanya untuk tidur di kamar yang lain. Memang sudah langsung disediakan baby sitter untuk mengasuh baby Z agar Bunga tidak terlalu kerepotan. Notifikasi begitu banyak masuk ke ponselnya yang berisikan ucapan selamat. Sambil menunggu Helmi balik ke kamar, Bunga memutuskan untuk membaca semua pesan yang datang. Termasuk via WA dan sosial media seperti instagram dan Facebook. Ia tahu kehebohan ini pasti karena acara pernikahannya diliput salah satu televisi swasta Indonesia. Namun, sebuah akun yang mengirimkan DM di media sosialnya adalah akun
"Halo, Helmi, kamu di mana, Nak?""Di kasur, Pa, ini masih jam dua malam. Ada apa, Pa? Bunga baik-baik aja'kan? Papa masih di kampung apa udah di---""Bunga mau melahirkan, Helmi. Apa kamu bisa ke rumah sakit Budi Asih. Cepat ya.""Hah, melahirkan? B-bukannya baru tujuh bulan, Pa?""Nanti aja Papa jelaskan. Kamu ke sini dulu." Aji memutus panggilannya. Di rumah sakit ada Andre yang menemaninya malam ini, sedangkan Uti di rumah bersa bayi dan ART mereka. Sanak famili yang lain sudah pulang begitu jam sembilan malam. "Kok lama ya, Pa?" kata Andre gugup. "Iya, Papa juga gak tahu. Semoga aja semuanya lancar. Papa mules, keringat dingin.""Pa, Andre!" Helmi sudah ada di dekat ayah dan anak itu. Lelaki itu menyalami keduanya. Di belakang Helmi ada sopir sekaligua bodyguard yang memang disediakan pihak kantor untuk mengawal ke mana saja Helmi pergi. "Gimana, Pa?""Masih di dalam. Masih tindakan.""Papa jangan khawatir. Bunga wanita yang kuat. Bayinya juga," ucap Helmi memberikan semangat
"Angga kenapa belum tidur, Dek? Kasihan Papa nih!" Aji merengek pada putranya. Bayi berusia empat bulan itu belum ingin tidur, padahal sudah jam sebelas malam. Bayangan malam pengantin berisik dengan suara istrinya, pupus sudah, yang ada berisik suara celotehan Angga. Aji menimang Angga dengan kain gendongan jarik, berharap bayinya nyaman dan cepet tidur, tetapi yang ada, Angga malah mengajak ayahnya bercakap-cakap. "Anak bayi boleh dikasih obat tidur gak, Ti?" sontak pertanyaan Aji membuat Uti mendelik kaget. "Ya, gak boleh, Pa. Sabar aja. Sini, biarin saya yang kelonin. Mungkin mau ASI." Uti mengambil Angga dari gendongan Aji, lalu kembali membawanya ke ranjang. Ranjang dengan taburan kelopak mawar itu sudah bersih sekarang. Aji yang membersihkannya atas permintaan Uti karena istrinya gak mau kalau sampai kelopak bunga itu malah masuk ke dalam mulut Angga tanpa sengaja. "Jangan menghadap ke tembok, sini aja lihat ke saya saat m3nyusu!" Uti bersemu merah. Wanita itu tahu hal ini