Share

BUKAN ALASAN

Mahreen pulang setelah satu jam berada di suit tersebut bersama dengan Elvaro. Laki-laki itu mengizinkannya pulang karena bisa terlihat bahwa Elvaro masih sangat syok dengan semua yang keluar dari bibir Mahreen.

Terutama ketika Mahreen bertanya,”Apa kau pikir kau akan menikahi wanita suci yang tak pernah disentuh oleh siapapun? Kau mungkin terbawa hal-hal fiksi yang dibaca oleh wanita yang kau tiduri.”

Jelas sekali bagi Mahreen bahwa Elvaro sangat kecewa. Tapi, setelah Mahreen menawarkan untuk membatalkan saja perjodohan mereka jika Elvaro tak bisa menerima kondisinya, Elvaro mengatakan tidak.

“Aku punya banyak rencana dan menikah denganmu adalah satu-satunya cara untuk memulainya. Jadi, jika sebelum kemari kau sudah berpiki menjadikan semua ini sebagai alasan untuk membatalkan pernikahan, kau salah besar.”

Mahreen tertawa. Ia merasa aneh. Betapa pertemuan pertamanya dengan Elvaro adalah hal yang paling ditakutinya beberapa menit sebelum menginjakkan kaki ke hotel ini, namun setelah ke luar dari ruangan itu, Mahreen justru merasa lega dan senang

Sebuah jantung yang dibutuhkannya.

“Aku hanya ingin kau menjadi istri yang baik itu saja. Aku tak ingin memiliki anak, sebuah keuntungan untukmu. Aku takkan melarangmu melakukan pekerjaanmu, aku tau kau punya tanggungjawab yang besar."

Tapi Mahreen tak termakan dengan apa yang Elvaro katakan. Laki-laki itu mungkin bersikap seperti seseorang yang sangat menerimanya saat ini. Namun setelah membiarkannya berpikir, ia akan berubah pikiran. 

Laki-laki itu harus mempertimbangkan banyak hal terutama yang akan menimbulkan skandal pada keluarganya. Bukan hanya karena Mahreen dan laki-laki bernama Dimitri Ryuu memiliki anak bersama di luar pernikahan yang selama ini mereka sembunyikan.

Tapi penerimaan keluarganya pada Mahreen, dan juga kedua adiknya yang sebelumnya terang-terangan pernah berkencan dengan Mahreen. Ini lebih kepada hubungan internal keluarga.

Mahreen memutuskan untuk tinggal bersama dengan eyangnya. Mengingat betapa banyak waktu yang Mahreen sia-siakan dan ketika ia kembali, John sudah begitu tua.

“Kau mematikan ponselmu? Bagaimana kalau aku tiba-tiba mati dan kau yang merupakan satu-satunya keluargaku tak bisa dihubungi?!” keluh John dengan wajah berkerut, ia sedang menikmati irisan melon dan papaya yang disediakan oleh perawatnya.

“Jangan katakan hal yang aneh-aneh. Sekarang aku di sini, maka kau akan hidup setidaknya lima belas atau dua puluh tahun lagi.”

Mahreen tersenyum lalu mencium kedua pipi John yang sudah keriput. Bibirnya terus mengunyah perlahan. Kacamata yang bertengger di hidungnya ia rapikan karena merosot ketika ia memeluk Mahreen.

“Apa kau menikmati pertemuan pertama kalian? Ia berbeda dengan dulu, kan? Dulu ia terkesan galak dan tak peduli dengan sekitar. Tapi sekarang, Elvaro menjadi sangat manis, tapi dia tetap berhati-hati.”

Terkejut dengan kata yang digunakan sang kakek, Mahreen menertawakannya. 

“Bagaimana bisa manis dan berhati-hati digabungkan? Ia sama sekali tak manis dan justru terlihat begitu santai.”

John melepaskan kacamatanya. “Aku tak butuh kacamata ini jika melihat cucuku, wajahmu sudah sangat cemerlang hingga aku bisa melihatnya dengan sangat jelas.” Ucap John sambil membiarkan kacamatanya menggantung di dadanya karena ia menggunakan pengait kacamata.

Usianya yang sudah memasuki angka delapan puluh satu tahun membuat daya ingatnya tak setajam dulu untuk barang-barang kecil seperti pena atau kacamata yang sering digunakannya.

“Mungkin ia ingin membuat kesan yang sangat baik.”

Mahreen mengangguk. “Apa eyang tak memikirkan fakta bahwa aku pernah berkencan dengan kedua adik iparnya? Apakah eyang tak memikirkan kecemburuan yang mungkin terbangun antara aku dan kedua adik Elvaro?”

John menggelengkan kepalanya. “Celine dan Lyla justru memberikan respon yang menyenangkan. Terutama Lyla, ia mengatakan hubunganmu dan suaminya di masa lalu justru bisa di bangun kembali, kali ini sebagai keluarga.”

Keluarga, ya?

Bagi Mahreen, kata keluarga tak bisa digunakan semudah itu. Ia yang sejak usia sepuluh tahun sudah menjadi yatim piatu, menjalani hidupnya hanya dengan sang kakek hingga usia dua belas. Setelahnya, Mahreen dikirim untuk menjalani studi yang diinginkan sang kakek.

“Apa aku terlalu banyak meminta sesuatu darimu?” John yang akhir-akhir berpikir mungkin saja Mahreen tak merasa senang dengan semua yang dilakukannya.

Mahreen berusia tiga puluh. Tak mungkin seumur hidupnya ia hanya berkencan dengan dua orang yang saat ini akan menjadi iparnya.

Sepengetahuan John, hubungan Mahreen dengan kedua mantannya pun lebih cocok sebagai pertemanan dibandingkan pasangan masa remaja.

“Aku baik-baik saja. Tak sedang menjalani hubungan dengan siapapun.”

John mengangguk dan mengucapkan rasa syukur. “Apa kau punya rahasia yang tak aku ketahui, Mahreen?”

Mahreen menggelengkan kepalanya. “Aku tak punya rahasia apapun. Mengapa aku harus memiliki rahasia dari satu-satunya orang yang ku punya?” tanya Mahreen.

Ia mengambil kunciran yang cukup besar di dalam tasnya dan mengikat rambutnya sembarangan. Yang penting rambutnya itu tak menjuntai di lehernya dan beterbangan di tiup angin selama mereka bicara di ruangan yang seluruh jendelanya saat ini sedang terbuka.

“Ah, semakin lama kau semakin cantik.” puji John ketika melihat cucunya itu selesai mengikat rambutnya dan menyingkirkan anak-anak rambut di dahinya. “Apa Elvaro memujimu cantik ketika kalian bertemu?”

Mahreen mengangguk. “Aku rasa begitu. Tapi pujian darimu terasa lebih menyenangkan.”

John tertawa. “Elvaro mengirim pesan bahwa kau setuju untuk mempercepat pernikahan. Ada apa?”

“Tak ada apapun.”

“Kau seperti memiliki sesuatu yang kau incar?”

Mahreen mengangguk, ia duduk di sebelah John. “Memang ada. Tapi aku takkan memberitahukannya pada eyang.” Mahreen mengedipkan mata nakal dan itu membuat John terkekeh.

“Seandainya kau punya anak dengan Elvaro pun, aku takkan sempat melihat anak kalian.” John mulai membawa topik yang paling Mahreen hindari. Sebisa mungkin ia tak ingin John mengingat-ingat penyakitnya dan vonis masa hidup yang didengarnya dari dokter.

Tiba-tiba sebuah ide muncul begitu saja di kepala Mahreen. Ia mengambil ponselnya,

“Eyang, lihat! Saat aku di Boston, temanku melahirkan! Saat hamil, ia selalu kesal padaku, beberapa kali jika aku dtaang menjenguknya, ia akan menarik rambutku dan mengacaknya, semua yang aku lakukan salah di matanya. Tapi lihat, bayinya justru memiliki kemiripan denganku.” 

John melihat foto yang diperbesar oleh Mahreen. Mata John terbuka lebar. “Astaga, benar-benar seperti kau saat bayi. Lihat lesung pipinya! Lucu sekali…” ujar John. “Kau ternyata sering menggendong bayi temna-temanmu, ya?”

Mahreen mengangguk.

“Baguslah, melihat foto kau menggendong bayi ini, aku bisa membayangkan kau benar-benar menggendong anakmu dan Elvaro setelah aku tiada.”

Mahreen mengerjapkan matanya berkali-kali, ia menarik napas sedalam-dalamnya dan menghembuskannya dengan begitu perlahan. “Anggap saja ini fotomu dan anakmu dari mana depan yang bisa ku intip sedikit.” John terkekeh.

Itu bukan masa depan, Eyang. Tak ada di masa depan yang seperti itu. Hal-hal seperti itu hanya ada di masa lalu, batin Mahreen. Ia kemudian menceritakan kehidupannya selama di Boston lebih banyak kepada John.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status