Share

ANAK MANIS

Di sisi lain, laki-laki yang menjadi bahan perbincangan sedang duduk nyaman di atas kasur sambil memilih film yang akan ditonton olehnya. Ini hari ketiga ia berada di apartemen miliknya yang begitu jarang ia kunjungi. Namun karena seminggu ke belakang ia sibuk melihat progress investasinya, ia memilih untuk tinggal lebih lama sembari menunggu jadwal rapat penunjukkan direktur pengembangan.

Ia tak tau bahwa di tempat lain namanya disebut dan menjadi topik yang begitu mengejutkan. Saat menekan tombol play, mendadak ponsel yang berada sedikit jauh darinya berbunyi.

“Apakah itu kau, anak manis?”

Dengan semangat, ia melihat panggilan yang dikiranya berasal dari Louis. Namun yang muncul bukanlah nama orang yang begitu ingin ia lihat wajahnya. Melainkan Jayden, asisten pribadinya.

“Halo,” sapa Dimitri.

“Selamat siang. Seorang dokter torakoplastik dari Methodist Hospital menghubungi saya dan ingin bicara dengan Anda segera setidaknya dua jam dari sekarang. Apakah saya harus mengiyakan?”

Dimitri mengangkat alisnya. 

Sepertinya berita bagus, pikir Dimitri. “Baiklah. Minta kontak pribadinya dan aku akan menelpon langsung dengan ponsel pribadiku tepat pukul 15.40, dua jam dari sekarang.” ucap Dimitri. Setelah mengiyakan apa yang diperintahkan olehnya, asisten pribadinya yang berada tepat di apartemen unit sebelahnya mematikan sambungan.

“Haaa.. Mengapa rasanya satu minggu begitu lama.” keluhnya kemudian segera menekan tombol play dan menikmati film.

Durasi film itu hanya satu jam empat puluh menit, Dimitri akan menggunakan dua puluh menit sisanya dengan menghubungi kembali pengasuh, yang saat ini sedang menemani anaknya berenang bersama teman-teman sekolahnya.

Sebelum ia berangkat, Louis meminta izin untuk ikut berkemah di salah satu rumah temannya, dan berenang di kolam renang umum kota, tapi Dimitri melarangnya. Itu membuat Louis terang-teranngan memusuhi ayahnya. Dimitri mengakui, sifat keras kepala yang Louis miliki benar-benar menurun dari ibu dan ayahnya. Mau tak mau, Dimitri menerimanya.

Ia bahkan mengingat anaknya itu mengatakan,”Kalau aku tak boleh bermain dengan teman-teman, maka minggu depan Ayah tak boleh bekerja. Ayah harus menemaniku berkemah dan berenang selama satu minggu penuh.”

Lucu sekali melihat anak itu menggerutu. Terutama ketika bibirnya dikerucutkan dan alisnya bertemu. Tangan-tangannya yang pandai melempar dan menangkap bola itu dilipatkan begitu saja seolah menunjukkan bahwa ia tak bisa diajak bernegosiasi lagi jika Dimitri melarangnya kali ini.

Tapi akhirnya, Dimitri merasa kekhawatirannya berlebihan. Ia meminta pengasuh anaknya untuk mengizinkan Louis menikmati waktu bersama teman-temannya. Itulah yang sangat diinginkan anaknya, ia mengganti perintah melarang menjadi mengizinkannya bermain dengan penjagaan maksimal.

Louis yang biasa hidup bersama dengan pengasuh dan penjaga yang menemaninya ke mana pun tak pernah mengatakan bahwa ia merasa terganggu. Ia bahkan memamerkannya. Ia bisa memahami bahwa penjagaan seperti itu adalah bentuk rasa sayang Dimitri kepadanya.

Hari kedua Dimitri di kota ini, sebuah pesan masuk ke ponselnya berupa pesan suara yang Louis kirimkan.

“Terimakasih, Ayah! Hari ini aku memukul softball dengan teman-teman. Berkat latihan dengan Ayah, tak ada bola yang terlewat. Aku sangat senang. Semoga pekerjaan Ayah cepat selesai dan bisa segera pulang. Sampaikan salamku pada Tante Mahreen, aku menunggu janjinya yang datang akhir tahun ini.”

Dimitri tersenyum ketika mendengarkan suara Louis yang benar-benar dipenuhi dengan rasa senang. Namun topik terakhir justru membuat dadanya merasa sesak. Anaknya begitu ingin bertemu dengan Mahreen. Bagaimanapun, kehadiran Mahreen memang memberikan atmosfer lain. Mahreen adalah sosok yang tak bisa tergantikan untuk Louis bahkan sejak ia lahir.

Pesan suara itu dibalas olehnya dengan janji bahwa jika bertemu dengan Mahreen, ia akan menelpon Louis. Namun sayangnya, ia masih belum bisa bertemu dengan wanita itu. 

Kabar mengenai perjodohannya dengan Elvaro sudah terdengar hingga ke telinganya, namun ia tak bisa memberikan respon apapun. Saat salah satu investor yang merupakan salah satu ipar jauh dari keluarga Zaire mengatakan bahwa pernikahan itu akan dilaksanakan awal tahun. Tepatnya dua bulan dari sekarang. Dimitri hanya tersenyum dan mengatakan,”Semoga hal itu membawa keberuntungan dan kebaikan untuk kita semua.”

Mahreen.

Wanita itu selalu mempertimbangkan segala hal dengan matang. 

“Aku akan melakukan apapun untuk kesehatan Louis. Apapun. Dan kau tak bisa membatasiku.”

Itulah kata-kata terakhir yang didengar olehnya dari bibir Mahreen ketika mereka berdiskusi mengenai kesehatan Louis.

Film yang ditonton Dimitri saat ini berkisah tentang seorang wanita yang menjadi mata-mata sekaligus penembak jarak jauh untuk salah satu organisasi keamanan negara. Ditugaskan untuk hidup di daerah musuh dan semua hal yang terjadi berada di luar harapan. Ia akhirnya mengandung bayi musuhnya sendiri dan hidup dalam pelarian karena dianggap berkhianat pada organisasi namun ayah bayi itu pun justru mengingikan kematian bayi yang dikandungnya.

Sedikit-sedikit ia merasa alur cerita itu mirip kehidupan seseorang.

“Aku bersyukur karena pada akhirnya kau bersedia untuk mempertahankannya, Mahreen.” gumam Dimitri seorang diri tepat ketika film itu habis.

Film itu di akhiri dengan adegan di mana sang anak memeluk erat sang ibu. Mereka menangis setelah anak itu mengetahui bahwa wanita yang selama ini melindunginya secara diam-diam adalah ibunya sendiri. Adegan itu membuat mata Dimitri terasa panas. Ia membayangkan apakah Mahreen akan menciumi Louis seperti wanita dalam film itu? Apakah Louis akan menangis karena rasa senang atau justru menangis karena ia marah ditinggalkan begitu saja oleh Mahreen?

Dimitri ingin sesekali mengajak Louis ke sini, terutama untuk bertemu dengan adik kandung dari neneknya. Louis akan diperkenalkan sebagai penerusnya ketika ia berusia sepuluh tahun nanti. Masih ada banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal kepada Louis.

Anak itu tak pernah sekalipun bertanya, di mana ibu kandungnya atau pa alasan mengapa ia hanya tinggal dengan Dimitri. Tak sekalipun pula Louis menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan ibunya.

Satu kali Louis pernah menanyakan,”Apa ibu yang melahirkanku saat ini masih hidup?” 

Dan Dimitri menjawabnya dengan tenang. Louis bahkan mengatakan,”Syukurlah jika ia masih hidup. Aku harap ibu sehat dan hidup bahagia, karena aku juga bahagia dengan Ayah seperti ini.”

Sesekali pengasuhnya akan melaporkan bahwa beberapa kali Louis akan bertanya mengenai ibu yang melahirkannya. Pertanyaan yang sebenarnya tak berani anak itu tanyakan kepada Dimitri.

Apakah ibu yang melahirkanku cantik?

Apakah ibu kesulitan saat mengandungku?

Apakah aku merepotkan sekali? Pasti ibu tak bisa tidur karena aku sering menendang perutnya sama seperti para ibu dari teman-temanku saat mengandung adik-adik mereka.

Atau, pertanyaan mendalam yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh anak berusia empat tahun saat itu. 

Apakah ibu menangis bahagia saat melahirkanku?

Dimitri merasa lega karena pengasuh Louis dan Darez, bodyguard mereka, bisa memberikan jawaban yang menyenangkan putranya. Jawaban yang membuat Louis merasa dicintai oleh kedua orangtuanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status