"Kau ini tidak tahukah bagaimana perasaanku? Aku ini istri dari pria yang bersimbah darah itu. Bagaimana bisa kau melarangku memastikan bahwa tubuh ini benar suamiku?" bentak Alana penuh kemarahan.
Wanita itu segera maju untuk bergerak mengangkat bantal yang menutupi setengah tubuh Ronald. Ia ingin melihat benar sosok yang terbujur kaku di hadapan mereka itu adalah Ronald.
Namun rupanya Rahman lebih cekatan. Pria itu segera maju mendahului Alana dan mengangkat bantal tersebut. Pemandangan yang selanjutnya mereka lihat sungguh membuat Alana syok hingga jatuh terduduk dan menangis meraung-raung.
"Ro-ro ... Ronald! Itu suamiku, Man!" seru Alana terkejut. "Ronald, ka-kau! Apa yang kau lakukan di tempat ini? Mengapa sampai harus meregang nyawa seperti ini?" jerit Alana di sela isak tangisnya.
Rahman mendekap tubuh sang Nyonya agar tidak bergerak menyentuh jasad sang suami yang sudah kaku dan membiru tersebut. Petugas hotel itu benar mereka tidak boleh menyentuh apa pun hingga polisi tiba.
"Sabar, Nyonya. Anda harus kuat, mungkin ini cobaan untuk Anda dan Tuan Roanld," ujar Rahman menguatkan Alana.
Alana masih menangis histeris dan tergugu sambil menepuk-nepuk jantungnya. Bagi Alana inii adalah pukulan berat dalam kehidupan rumah tangganya. Suami yang selama ini begitu mencintainya, ketahuan bermain api dan ditemukan tak bernyawa dalam sebuah kamar hotel dengan kondisi yang begitu tragis. Wanita mana yang tidak hancur hati dan mentalnya?
Setelah berhasil membawa Alena keluar dari kamar hotel yang sekarang merupakan tempat kejadian perkara pembunuhan tersebut, Rahman lalu menghubungi Om Prasodjo. Pria itu adalah paman bungsu sang tuan yang paling dekat dan akrab dengan majikan Rahman itu.
Sama seperti Alena, Om Prasodjo pun terkejut mendengar kabar itu dari Rahman. Pria paruh baya itu berkata pada Rahman akan segera tiba di lokasi. Rahman pun segera mengakhiri panggilan dan meminta petugas hotel memberikan air mineral pada Alana.
Situasinya sudah sangat kacau di lorong lantai delapan hotel mewah tersebut. Teriakan histeris Alana telah membuat semua tamu yang menginap keluar dari kamarnya dan mencari tahu apa yang terjadi. Mereka jadi ketakutan saat tahu ada pembunuhan di lantai delapan.
Beberapa dari mereka langsung meminta pindah lantai saat tahu kejadian itu. Kamar-kamar hotel di lantai delapan jadi tak berpenghuni. Alana diamankan pada salah satu kamar yang ditinggalkan penghuninya tersebut. Ia diminta menanti di sana sampai polisi tiba.
Petugas kepolisian tiba bersamaan dengan Om Prasodjo. Mereka sempat melihat ke dalam kamar 810 sebelum akhirnya polisi menjalankan tugasnya, sementara Om Prasodjo menuju tempat Alena ditenangkan.
"Lana, yang sabar. Ini mungkin cobaan besar untuk—"
"Om, semua ini seperti mimpi. Baru beberapa saat yang lalu saya mendapat pesan bahwa Ronald berselingkuh. Kemudian saya mendapati suami saya meninggal dengan cara sangat tragis di sebuah kamar hotel," isak Alana kembali meraung-raung dengan kondisi jiwa yang sangat terguncang.
"Tenang dan jangan emosi. Kau harus berusaha tegar. Jangan lupa bahwa Ronald adalah seorang CEO di perusahaan. Bisa saja ini semua jebakan atas sebuah kasus besar," bisik Om Prasodjo seperti menyimpan sesuatu.
Alana tak paham dengan urusan perusahaan. Namun sungguh ini adalah pukulan berat dalam hidupnya yang selama ini sangat tenang dan harmonis.
"Boleh om lihat nomor yang mengirimimu pesan tadi?" tanya Om Prasodjo seperti detektif.
Alana menyerahkan handphonenya pada Om Prasojo.
Sigap Om Prasodjo menerima handphone dan mulai membaca. Ia memeriksa nomor tersebut dengan teliti. Dicobanya menghubungi nomor tersebut lewat handphone Alana. Namun rupanya dang pengirim pesan sudah memblokir nomor Alana.
"Nomormu langsung di blokir, Lana. Ada yang tidak beres dengan orang yang memberimu informasi ini," jelas Om Prasodjo setengah berbisik. Pria itu lalu mencatat nomor telepon asing tersebut dalam handphone pribadi miliknya.
Salah satu petugas polisi datang untuk meminta keterangan pada Alana. Om Prasodjo mundur, pria itu lalu membiarkan petugas kepolisian menjalankan tugasnya untuk mulai mengumpulkan keterangan dari Alana.
Ada tiga orang perugas yang datang awalnya. Mereka memeriksa tempat kejadian perkara, kemudian meminta keterangan dari saksi-saksi. Namun tak berapa lama setelahnya, datang beberapa petugas lain termasuk seorang detektif dan intel. Semuanya bekerja mengumpulkan bukti-bukti dan memoteret tempat kejadian perkara.
"Kapan saya bisa membawa pulang jenazah suami saya, Pak?" tanya Alana di sela isak tangisnya setelah memberikan keterangan.
"Tunggu, Bu. Akan kami jalankan prosedur pemeriksaan dan visum dahulu karena ini kasus pembunuhan. Ibu silahkan pulang untuk beristirahat karena kami akan membawa jenazah Pak Ronald. Kami butuh seorang dokter ahli forensik untuk memeriksa dan menentukan penyebab kematiannya," jelas petugas kepolisian tersebut.
"Lana, ayo pulang dulu. Om antarkan kau pulang dengan mobil om ya. Biar Rahman tetap di sini mengurus semuanya," ujar Om Prasodjo sembari memapah Alana menuju lift dan meninggalkan lorong di lantai delapan tersebut.
Saat itu pukul 04.00 dini hari dan tumbuh Alana sudah sangat lelah karena tidak tidur semalaman. Wanita itu berjalan gontai dalam dekapan Om Prasodjo. Namun Alana sempat berhenti beberapa saat ketika berada tepat di depan kamar 810. Wanita itu menatap pintu kamar yang masih terbuka lebar dengan ceceran darah di mana-mana tersebut.
Air mata Alana kembali menetes dan terisak untuk kesekian kalinya. Wanita itu lalu memalingkan wajahnya ke pundak Om Prasodjo. Membuat pria paruh baya itu gegas memapah Alana menuju lift agar bisa segera diantar pulang.
"Sabar, Lana. Kau harus tabah, ini ujian berat untukmu," bisik Om Prasodjo di telinga Alana.
"Ba-bagaimana aku bisa sabar, Om. Su-suamiku meninggal dengan cara tak wajar setelah aku menerima kabar perselingkuhannya. Padahal selama ini rumah tangga kami baik-baik saja," isak Alana di dalam lift.
"Ronald bukan orang seperti itu, Lana. Om paham betul bagaimana keponakanku itu. Bisa saja ini sebuah konspirasi jahat yang sengaja dibuat untuk membunuh Ronald," bisik Om Prasodjo lirih.
Paman bungsu sang suami itu, seperti menyembunyikan sesuatu. Sejak awal pria itu terlihat sangat berhati-hati dengan tindakannya. Alana sedikit merasa aneh dengan sikap paman bungsu suaminya tersebut. Apakah ada hubungannya Om Prasodjo dengan kematian Ronald?
Alana terbangun dengan kondisi kepala pening. Ia baru bisa tidur sebentar setelah salat subuh tadi. Sekarang tubuhnya terasa begitu berat.Untungnya ada asisten rumah tangga yang membantu Alana untuk menyiapkan kebutuhan anak-anak Alana. Jadi meskipun Alana tak turun tangan, anak-anak masih ada yang menyiapkan kebutuhan mereka sebelum berangkat sekolah. "Ronald," desis Alana sambil menahan air mata. Alana sebetulnya berharap, kejadian semalam hanyalah mimpi buruk saja. Namun sebuah panggilan telepon membuat Alana harus meyakini bahwa Ronald memang benar-benar mati terbunuh dengan sangat tragis."Dengan Ibu Alana?" sapa sang penelepon dengan sopan."Ya benar, Pak," jawab Alana sambil mengerjapkan mata."Bu Alana, bisakah Ibu ke kantor polisi segera untuk memberikan keterangan lebih lanjut? Kami membutuhkan itu untuk membuat BAP," jelas sang penelepon yang sepertinya dari kepolisian tersebut.Alana menghela napas berat sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan si penelepon. Seluruh d
"Aku sudah bilang pada Kak Lana. Aku ini Maria, istri kedua Mas Ronald!" tegas Maria tak gentar. Wanita muda berpakaian seksi itu terlihat berani menghadapi Alana yang terlihat gusar dan emosional. Maria justru lebih tenang dibanding Alana. "Mana buktinya kalau kau adalah istri kedua suamiku? Aku tak bisa mempercayaimu begitu saja," pinta Alana pada Maria. "Ada, aku punya bukti! Tunggu akan kutunjukkan pada Kak Lana!" tegas Maria sambil membuka ponsel smartphone miliknya dan mulai menggulirkan layar untuk mencari foto-foto yang menunjukkan kedekatannya dengan Ronald. Alana meremas jemarinya kesal. Belum juga reda kesedihan dan rasa penasaran atas kematian Ronald. Kini muncul masalah baru yang dibawa wanita bernama Maria itu. "Ini, lihatlah! Ini foto pernikahan siriku dengan Bang Ronald," ujar Maria kemudian. Alana memperhatikan layar smartphone milik Maria dengan saksama dan teliti, mencoba mencari kebenaran dalam deretan gambar digital di dalamnya. "Foto itu tidak menunjukka
Bab 7 "Halo, Bik. Saya masih repot di luar rumah. Ada apa ya?" tanya Alana menyapa. "Nyonya, ada situasi genting di rumah. Tuan Muda Milan mengamuk dan menghancurkan perabotan di ruang tamu," jelas sang asisten rumah tangga yang tengah menelepon Alana tersebut. "A-ada apa, Bik? Kenapa putraku melakukan itu?" tanya Alana seketika menjadi panik. "Tuan Muda Milan su-sudah tahu bahwa Tuan Ronald meninggal, Nyonya," jawab sang asisten rumah tangga terbata-bata. Alana melirik Rahman yang nampak kikuk berada di sampingnya. Pria itu seperti menunggu perintah dari sang Nyonya untuk bergerak. "Ya sudah, coba tenangkan Milan. Saya akan segera pulang," ujar Alana yang kemudian menutup telepon. "A-ada apa, Nyonya? Apa ada masalah?" tanya Rahman seolah bisa membaca gurat kekhawatiran di wajah Alana. Alana menghela napas berat sebelum memerintah Rahman untuk bertindak. Wanita itu terlihat lelah namun tak punya waktu untuk beristirahat. "Jalan, Man. Kita pulang ke rumah. Milan sudah tahu ba
"Lana sepertinya kau harus segera berangkat ke rumah sakit sekarang. Ada beberapa hal yang harus kau setujui sebelum jenazah Ronald bisa di bawa pulang," ujar Om Prasodjo sangat baik hati. "Oh ... apakah harus sekarang, Om? Saya masih akan menemani Milan makan siang dulu. Kebetulan ini Lana ada di rumah," sahut Alana meminta sedikit penundaan. "Baiklah kalau begitu. Tapi jika kau terlambat itu tandanya kau tak bisa melihat wajah suamimu untuk yang terakhir kali loh," jelas Om Prasodjo pada Alana. Alana jadi berpikir ulang untuk menunda-nunda lagi. "Baiklah, Om Pras. Lana segera berangkat ke sana saja. Bilang petugasnya untuk menunggu Lana dulu sebelum mengambil tindakan selanjutnya," ujar Alana sambil segera bersiap. "Mami mau ke mana? Katanya mau makan siang dengan Milan," protes Milan saat melihat Alana sudah akan pergi."Ada urusan yang sangat penting di rumah sakit, Milan. Mami harus segera ke sana untuk memberi persetujuan. Maafkan Mami tidak bisa menemanimu makan siang. Tap
"Om Pras, saya tahu Om adalah orang yang paling dekat dengan Mas Roanld. Mas Ronald juga banyak cerita tentang Om Pras. Jadi aku mohon jangan kejam padaku, Om," rengek Maria mencoba mencari simpati.Wanita itu lalu mulai menangis sesenggukan dengan bersimpuh di kaki Om Prasodjo. Om Prasodjo yang diperlakukan begitu oleh Maria jadi tak tega. Pria itu lalu mengangkat tubuh Maria. "Sudah, diamlah dulu. Urusanmu nanti akan aku pikirkan. Tapi untuk saat ini jangan mengacau, jangan mencari perhatian dengan dramamu dan jangan dulu muncul selama proses pemakaman Ronald," pinta Om Prasodjo pada Maria. "Om, saya ini istrinya. Bagaimana bisa Om berbuat demikian pada saya? Apa kalian memang bersekongkol untuk tidak mengakui saya sebagai istri kedua almarhum Mas Ronald?" protes Maria sambil beruraian air mata. "Wanita ini sepertinya memang sengaja tampil di saat kekacuan ini terjadi, Om. Kita suruh saja Rahman mengusirnya!" tegas Alana tak sabar. Wanita itu segera berdiri di antara Maria dan O
Tuan, mobil yang dikemudikan Rahman diikuti dari belakang. Sepertinya ada yang menjaga wanita yang dibawa Rahman tersebut] Om Prasodjo membagikan pesan yang dikirim orangnya pada Alana. Membuat wanita itu seketika menegang duduk di samping Om Prasodjo. "Bagaimana, Om? Apa Rahman akan baik-baik saja?" tanya Alana khawatir pada sopir suaminya itu. "Semoga, Lana. Kita tak bisa menghubungi Rahman. Rahman sedang bersama Maria. Berbahaya kalau kita berbicara dengannya," ujar Om Prasodjo sepertinya juga sedang berpikir bagaimana memberi instruksi pada Rahman. Dalam kondisi masih tegang tiba-tiba saja ponsel Alana yang berdering. Mereka saling berpandangan sejenak sebelum Alana akhirnya memilih mengangkat telepon di handphone miliknya. "Halo, Bik. Ada apa lagi" tanya Alana yang tahu siapa peneleponnya dari nama kontak di handphonenya. "Nyonya, ada tamu dari ibu-ibu kompleks. Mereka ingin melayat karena mendapat informasi jenazah Tuan Ronald tiba dari rumah sakit hari ini," jelas asisten
Maria melirik Alana dengan senyum licik tersungging di bibirnya. Sayangnya wanita itu begitu pandai menyembunyikan senyuman dibalik tangisnya yang dibuat-buat itu. Sepertinya kali ini Maria memang sengaja memancing keributan. Entah apa motif wanita yang mengaku istri kedua Ronald tersebut. "Kak Lana, salahkah aku melihat jenazah suamiku untuk terakhir kalinya?" isak Maria sungguh tak tahu malu. Ya wanita itu memang sungguh ingin menarik perhatian semua orang hingga membuat Alana geram. Sikapnya seperti ingin membuat Alana semakin menderita. "Siapa dia, Bu Ronald? Apakah masih saudara Pak Ronald?" "Sepertinya bukan, aku tidak pernah melihatnya muncul di rumah ini." "Sepertinya bukan model wanita berkelas. Lihat saja tingkahnya begitu memalukan!" "Suami, dia bilang suami terhadap Pak Ronald. Apa mungkin dia adalah ...!" Orang- orang mulai berbisik sumbang. Para pelayat telah mempertanyakan keberadaan Maria. Siapa dia dan untuk apa wanita itu berada di sana? "Suruh saja dia masuk
Alana lalu undur diri dari kerumunan ibu-ibu. Wanita itu memisahkan diri agar bisa mengangkat telepon dengan tenang. Suara-suara gaduh para pelayat juga pastinya membuat alamat tidak bisa mendengarnya dengan jelas obrolan si penelepon. "Halo, selamat sore," sapa Alana ketika ia pertama kali mengangkat telepon. Tidak ada nama tertera di layar handphonenya. Hanya sebuah nomor baru yang entah siapa pemiliknya. "Dengan Ibu Alana? Apa benar ibu pemilik mobil dengan nomor polisi B xxx LS?" tanya seseorang di seberang sana. "Iya, betul. Itu mobil saya, Pak," jawab Alana yang hafal nomor polisi mobilnya. "Kami dari kepolisian, Bu," ujar si penelepon. Deg! Detak jantung Alana serasa mencelos saat mendengar yang menghubunginya adalah dari petugas kepolisian. Tidak mungkin tidak ada masalah jika petugas kepolisian meneleponnya. "I-iya, Pak. Ada apa?" tanya Alana terbata-bata. "Ibu kenal dengan saudara Rahman Aditya?" tanya suara di sana. "Itu sopir saya, Pak. Ada apa ya?" tanya Alana mul