“Dad, Mom…Aku sudah dengar semuanya,” ujar Olivia tiba-tiba. Gadis itu melihat kepada kedua orang tuanya dengan tatapan bingung dan menuntut penjelasan.
Nathan dan Nina tersentak, mereka larut dengan emosi dan perasaan sakit akan luka masa lalu, sehingga tidak menyadari kedatangan putri mereka yang memang sedang ditunggu.
Nathan segera berdiri mendekati putrinya, dia mencium kening Olivia dan menuntut gadis itu untuk duduk, sedangkan Nina menunduk menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, tangisnya sudah terhenti tapi dia belum bisa bicara apa-apa, masih terlihat sesenggukan.
“Dad, Mom. Mengapa kalian menyembunyikan rahasia besar ini padaku? Mengapa kalian tidak mau menceritakannya? Apakah kalian tidak menganggap aku ada di keluarga ini?”
Olivia melontarkan sederet pertanyaan yang membuat Nathan dan Nina terkejut. Nathan segera menjawab pertanyaan putrinya, dia menjadi serba salah.
“Tidak sayang, bukan begitu, maksud kami….”
“Lalu mengapa aku tidak boleh tahu kalau aku punya saudara kandung. Aku bahkan tidak tahu Oliver itu adikku atau kakakku? Dan bagaimana dia bisa menghilang?” Olivia memotong ucapan Nathan. Gadis itu memang sangat cerdas dan lugas seprti ibunya tapi juga tegas seperti ayahnya.
Nathan menghela napas ditodong pertanyaan demi pertanyaan dari putrinya.
“Maafkan kami Livy, kami tidak bermaksud menyembunyikan hal ini selamanya darimu. Kami menyadari kalau kamu juga berhak tahu tentang Ollie. Hanya, kami belum siap menceritakannya dan tidak tahu harus bagaimana? Kami sangat takut kamu akan sedih dan terguncang.”
“Dad, aku sekarang sudah dewasa. Aku bukan anak-anak lagi, usiaku sudah 24 tahun. Aku sudah cukup bisa memahami suatu masalah.”
“Baik… baik, sayang. Kami akan menceritakan padamu.” Nathan kembali menghela napas panjang, apa boleh buat, sekarang dia harus menceritakan semuanya, tidak ada yang harus dirahasiakan lagi. Olivia memang berhak tahu.
“Oliver adalah saudara kembarmu. Dia kakakmu. Kalian lahir di hari yang sama, jam yang sama, hanya berbeda menit.”
Nathan pun mulai bercerita.
Setelah melalui berbagai rintangan dan permasalahan yang menguji ketangguhan cinta mereka, akhirnya setahun setelah pernikahan, Nina dan Nathan pun menuai buah cinta mereka, dengan kehadiran sepasang bayi kembar. Sebenarnya itu bukan kehamilan pertama Nina, karena sebelumnya Nina sempat hamil, sayangnya dia mengalami keguguran akibat insiden penabrakan yang disengaja oleh orang bayaran Richard.
Nina dan Nathan merasa menjadi pasangan yang paling berbahagia dan beruntung. Karena setelah melewati berbagai ketegangan, perlahan-lahan semua keberuntungan menghampiri. Mulai dari bertemunya Nina dengan ayah kandungnya yang ternyata seorang bangsawan dari Irlandia utara, yaitu Arthur Evans O'Meisceall yang bergelar Baron ke enam Maxwell.
Ayah Nina dan kakaknya Brian Aran sangat baik kepada Nina dan Nathan. Nathan dianugerahi gelar Sir Nathan O’Mesceal dan Nina Lady Alice O’Mesceal. Dan disaat yang bersamaan, Nina pun hamil bukan hanya satu bayi, tapi dua bayi sekaligus.
Setelah kelahiran anak kembar mereka. Nathan memboyong anak dan istrinya ke sebuah mansion mewah di Upper East Side, tempat ekslusif yang merupakan simbol keluarga kaya mapan, dengan keamanan ketat dan dilengkapi system canggih. Mansion ini sudah disiapkan oleh kakek Wilson lengkap dengan dua orang pengasuh bayi, dan beberapa pelayan.
Baik keluarga Wilson maupun keluarga O’Meisceall sangat bersuka cita dengan kehadiran bayi kembar itu. Mereka adalah cicit dan cucu pertama kakek Wilson dan paman-paman Nathan. Dan juga cucu pertama bagi lord Arthur, ayah Nina.
Di awal kelahiran, sepasang bayi kembar itu banjir hadiah, baik dari keluarga Wilson maupun keluarga O’Meisceall. Setiap hari, mansion Nathan selalu ramai dengan kedatangan keluarga Wilson yang datang silih berganti. Suasana hangat, derai tawa dan canda selalu menghiasi kediaman mewah itu.
“Wah Nate, gimana sih caranya supaya punya bayi kembar?” seloroh Mike yang merasa sangat takjub pada keponakan kembarnya.
“Ada triknya Mike, nanti aku ajarin,” jawab Nathan sambil terkekeh.
“Aku juga mau punya anak kembar,” timpal Christy tanpa sadar, tapi kemudian dia tertegun dan menutup mulutnya. “Oops…” Gadis itu menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Haha, makanya cepat nikah biar cepat punya anak kembar, ya, kan, Bob?” goda Mike sambil melirik Bob. Mike memang sangat suka menggoda adiknya itu.
“Ck, apa sih Mike, dasar mulut bau,” Christy menutup wajahnya yang memerah, dia segera berlari ke ruang dalam yang disambut derai tawa keluarga yang lain. Sedangkan Bob hanya tersenyum. Saat itu, hubungan Bob Charter dan Christy sudah semakin dekat, yang membuat kakek Wilson dan tuan Charter sangat senang.
Dulu, kedua sahabat itu bersepakat menjodohkan Nathan dan Sonya, tapi gagal total dan menyisakan berbagai masalah dan penyesalan dari keduanya. Disaat mereka sudah menyerah, justru cucu-cucu terkecil mereka, Bob dan Christy menjalin hubungan secara alami. Keduanya saling mencintai dari dasar hati, tanpa ada paksaan siapapun. Tentu saja keluarga mereka menyambut antusias dan berencana akan menikahkan mereka setelah Christy selesai kuliah.
“Oya, aku juga ada kabar gembira nih,” ujar Mike sambil merangkul Laura. Wajah keduanya tampak bahagia. Saat itu, semua keluarga Wilson hadir di situ, sedangkan keluarga Nina belum datang, hanya bibi Sofie yang memang mendampingi Nina saat persalinan.
“Kabar apa, Mike? Apa kamu akan punya bayi kembar juga?” tebak Nathan.
“Iya, lah Nate. memangnya kamu aja yang bisa jadi daddy, aku juga.” Mike menjawab dengan senyum bangga.”Soal kembar atau tidak, nggak masalah buat kami.”
“Kalau ngasih pengumuman yang jelas Mike. Apa benar istrimu juga sedang hamil?” sela kakek Wilson tak sabar.
“Benar, kek. Hari ini kami baru saja melakukan pemeriksaan, dan istriku positif hamil.”
Seketika ruangan itu diwarnai kegembiraan yang tak terhingga. Bahkan nyonya Barbara Wilson, ibu Mike sampai menitikkan air mata karena bahagianya, begitu pula dengan kakek Wilson. Satu per satu mereka memeluk dan menyalami Laura dan Mike, memberikan ucapan dan rasa syukur.
“Selamat ya, Rah. Semoga kandunganmu sehat sampai melahirkan nanti. Berapa usianya?”
“Terima kasih, Nina. Baru dua minggu.” Kedua sahabat yang kini sama-sama menjadi menantu keluarga Wilson itu berangkulan saling support.
Tiba-tiba, ponsel Nina berdering, panggilan masuk dari kakanya, Aran.
“Selamat ya, Alice. Akhirnya keponakanku datang juga.” Aran berkata dengan suka cita, wajah bangsawan muda itu berseri-seri.
“Terima kasih, kak. Kapan kakak dan daddy akan ke mari?”
“Segera, Alice. Ini kami sedang bersiap-siap. Jika tidak ada halangan lusa aku dan dad akan tiba di New York.”
“Baik kak, Oliver dan Olivia sudah tidak sabar ingin bertemu paman dan kakeknya.”
Setelah menutup panggilan Nina memeluk Nathan, ia merasa hidupnya sangat lengkap.
“Apa daddy juga akan datang, honey?”
“Iya, Nathany. Lusa mereka akan tiba. Sekarang masih siap-siap, karena ada beberapa tugas yang harus didelegasikan pada Fred dan paman Harry.”
“Oh, lord Arthur akan datang?” tanya kakek Wilson menyela.
“Benar, kek. Daddy akan datang bersama kakak, sekalian ziarah ke makam mommy. Kemungkinan lusa mereka baru tiba di New York.”
“Kita harus melakukan penyambutan yang meriah, aku memang ingin sekali bertemu dengan Baron Maxwell.”
Kakek Wilson menjadi gugup, dia segera memerintahkan asisten kepercayaannya melakukan persiapan. Nina dan Nathan hanya geleng-geleng kepala melihat kakek mereka. Meskipun Nina sudah menjelaskan agar tidak perlu berlebihan, tapi sang kakek berkeras. Besannya bukanlah orang biasa, jadi harus disambut dengan istimewa.
“Oya Nate, apa keponakan-keponakanku sudah diberi nama?” tanya Christy sambil tak lepas memandang dua malaikat kecil di boks nya itu.
Sebagai respon, Nathan menoleh pada istrinya untuk menjelaskan. Nina mengangguk, dia mendekati salah satu bayinya.
“Sudah Chris, ini si kakak, yang tertua. Namanya Oliver Luke Nathan Wilson O’Meisceall. Panggilannya Ollie.”
“Hai, Ollie, kamu tampan sekali.”
“Terima kasih auntie, siapa dulu dong daddy nya,” seloroh Nathan sambil menirukan suara anak kecil.
“Ck, lihat tuh Ollie, daddy kamu narsis.”
Nina hanya tersenyum melihat kedua saudara yang saling berseloroh itu. Ia melanjutkan mendekati bayinya yang lain.
“Dan yang ini, si adik, namanya Olivia Lauren Nathan Wilson O’Meisceall. Panggilannya Livy.”
“Halo, Livy, kamu sangat cantik seperti Mommy Nina. Nanti kalau sudah besar, kamu belajar karate sama auntie Chris ya.”
“Ooh, nggak bisa. Putriku nggak boleh barbar seperti auntie nya.” Nathan menyela.
“Apa sih, Nate. Anak cewek itu juga harus kuat, minimal harus bisa membela diri dari orang-orang jahat, dari cowok-cowok brengsek.”
Kedua saudara itu kembali berdebat, Mike pun ikutan sehingga menjadi seru, mereka saling lontar kata, tapi kemudian tertawa terbahak-bahak. Hal yang sudah biasa di keluarga Wilson yang hangat itu.
Namun tanpa ada yang mengetahui, di kejauhan, di luar mansion itu, seorang pria memperhatikan kediaman Nathan dari tempat yang cukup tersembunyi, matanya menatap tajam ke arah mansion mewah itu.
“Dad, Mom…Aku sudah dengar semuanya,” ujar Olivia tiba-tiba. Gadis itu melihat kepada kedua orang tuanya dengan tatapan bingung dan menuntut penjelasan.Nathan dan Nina tersentak, mereka larut dengan emosi dan perasaan sakit akan luka masa lalu, sehingga tidak menyadari kedatangan putri mereka yang memang sedang ditunggu.Nathan segera berdiri mendekati putrinya, dia mencium kening Olivia dan menuntut gadis itu untuk duduk, sedangkan Nina menunduk menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, tangisnya sudah terhenti tapi dia belum bisa bicara apa-apa, masih terlihat sesenggukan.“Dad, Mom. Mengapa kalian menyembunyikan rahasia besar ini padaku? Mengapa kalian tidak mau menceritakannya? Apakah kalian tidak menganggap aku ada di keluarga ini?”Olivia melontarkan sederet pertanyaan yang membuat Nathan dan Nina terkejut. Nathan segera menjawab pertanyaan putrinya, dia menjadi serba salah.“Tidak sayang, bukan begitu, maksud kami….”“Lalu mengapa aku tidak boleh tahu kalau aku punya saud
Midtown Manhattan, New YorkSore itu, Nina dan Nathan baru saja kembali dari kantor, mereka bercengkrama di ruang keluarga sambil menunggu Olivia pulang. Sejak peristiwa kelam yang menimpa mereka dua puluh dua tahun silam, mereka memutuskan untuk tinggal di sebuah penthouse mewah di Midtown. Setelah kehilangan putranya, Nina mengalami syok hebat dan trauma yang berkepanjangan, hingga memerlukan bantuan teraphy dari psikolog. Dan atas saran psikolog juga, akhirnya Nathan dan Nina meninggalkan mansion mewahnya di Upper East Side dan memilih tinggal di sebuah penthouse mewah di Midtown, yang dekat dengan kantor Nathan. Selain itu, Nina juga memindahkan kantor pusat Nithany dari Financial District ke Midtown, di gedung yang sama dengan penthouse mereka. Sehingga lebih aman untuk membesarkan putri mereka.“Nathany, nggak terasa ya, Livy sudah 24 tahun,” ujar Nina sambil memberikan secangkir teh hangat untuk Nathan.“Iya, honey. Rasanya baru kemarin kita menikah, tahu-tahu anak-anak suda
Pedro berjalan menyusuri koridor markas yang sepi, berkas misi itu masih tergenggam di tangannya. Langkahnya berhenti di ruangannya sendiri. Ia menjatuhkan diri ke kursi, menatap foto Nina di meja. Matanya kembali kepada kilau safir di leher perempuan itu. Ia mengangkat tangannya, tanpa sadar menyentuh bagian dadanya sendiri—tempat kalung yang selalu tersimpan di bawah pakaian. Ia menariknya keluar: liontin safir tua, sedikit tergores, tapi bentuknya identik dengan yang ada di foto.Pedro membalik liontin itu perlahan. Di baliknya, terukir samar satu kata: O’Meisceall.Jantung Pedro berdetak keras. "Apa...?" bisiknya pelan, matanya membelalak, napasnya tercekat.Tiba-tiba pintu diketuk, Marcus masuk. Sejenak ia terdiam memperhatikan boss sekaligus sahabatnya itu. “Belum pulang, Pedro?” tanya Marcus sambil duduk di sofa. Pedro menghela napas, alih-alih menjawab dia balik bertanya. “Apa Victor sudah balik?”“Sudah, baru saja,” jawab Marcus, tatapannya masih lekat pada sosok yang suda
Londons DocklandsHujan tipis menetes di dermaga London yang sunyi. Lampu gudang tua berpendar redup, menyorot sosok tegap yang berdiri mematung. Pedro, 24 tahun, tampan, nyaris sempurna—garis wajah tegas warisan sang ayah, mata kehijauan tajam khas keluarga O’Meisceall, dan rambut coklat terang berkilau basah di bawah lampu jalan.Ketampanannya memancarkan aura bangsawan, tapi tatapan dinginnya mematikan, mencerminkan didikan keras dunia kelam.'Berapa banyak darah lagi yang harus kutumpahkan?' Pedro membanthin. Malam ini dia kembali akan memimpin misi berdarah yang ditugaskan oleh Victor. Nama yang selalu membawa tekanan. Sebuah nama yang disembah dengan ketakutan, tapi tak pernah dipahami siapa sosok di baliknya.Sore tadi Victor memanggil Pedro. Seperti biasa, ia duduk santai di kursi kulit, jari-jarinya mengetuk ringan permukaan meja, nada yang selalu menandakan pikirannya sedang menghitung sesuatu."Target bergerak malam ini," suara Victor terdengar dalam, tenang namun menusuk.
Hujan deras mengguyur New York malam itu. Lampu-lampu kota memantul di kaca besar mansion keluarga Sir Nathan Wilson.Nina sedang menerima panggilan telepon dari Nathan yang masih berada di kantor. Dia sendiri jarang masuk kantor, terlebih setelah mempunyai bayi, Nina ingin fokus pada sepasang bayi kembarnya. Sehingga urusan kantor Nithanny, ia serahkan pada Emily asisten terpercayanya dan team C-level.“Nathany apa rapatnya sudah selesai?”“Iya my love, baru saja selesai, ini aku sedang bersiap-siap untuk pulang. Anak-anak gimana, sayang? Gak rewel, kan?”“Semuanya baik-baik saja, Nathany. Ollie juga sudah nggak rewel lagi. Sepertinya pengasuh baru pengganti Hanna cukup bisa diandalkan.”“Syukurlah. Jadi kamu dan Lara nggak kerepotan. Oke, honey, aku beres-beres dulu, love you.”Sementara itu, di kamar bayi, suara napas halus terdengar dari dua boks kecil. Oliver dan Olivia, bayi kembar Nina dan Nathan yang berusia dua tahun, tidur nyenyak dengan kalung safir biru mungil di leher mer