Seorang pria mengenakan jaket kulit coklat, kaca mata hitam dan topi baseball yang menutupi sebagian wajahnya berdiri di tempat yang tersembunyi. Namun, tempat itu cukup strategis untuk mengamati keseluruhan mansion mewah itu, sehingga ia bisa mengamati aktifitas keluar masuk kediaman Nathan.
Dan sesuai waktu yang dijanjikan, Aran dan lord Arthur pun tiba di New York, mereka datang dengan private jet milik lord Arthur, dan disambut dengan hangat oleh kakek Wilson dan keluarga Nathan. Iring-iringan mobil mewah pun bergerak dari bandara ke mansion Nathan, bak pawai, konvoi mereka mengundang banyak perhatian. Termasuk orang misterius yang hampir setiap hari berada di dekat mansion itu.
“Welcome Dad,” ujar Nina sambil memeluk sang ayah penuh kerinduan. Meskipun mereka selalu terhubung lewat videocall, namun baru sekarang Nina bertemu langsung dengan ayahnya setelah ia kembali ke New York.
Pada trimester pertama dan kedua, Nina memang tinggal di kastil Meiscill bersama ayah dan kakaknya serta Nathan tentunya. Namun setelah memasuki trimester ketiga ia dan Nathan kembali ke New York hingga Nina melahirkan.
Lord Arthur memeluk putri kesayangannya dengan segenap kasih sayang dan kerinduan. “Selamat ya, sayang. My baby Alice sekarang sudah menjadi seorang mommy,” ucap lord Arthur sambil tersenyum.
“Alice, di mana keponakan-keponakanku? Rasanya aku sudah tidak sabar untuk menggendong mereka.” Aran menimpali.
Nina segera membawa kakak dan ayahnya ke kamar bayi. Lord Arthur tertegun takjub melihat bayi yang terlihat mirip itu.
“Aku sudah punya cucu, mereka sangat rupawan,” gumam Lord Arthur. Nina segera mengangkat Oliver dan menyerahkannya pada ayahnya.
“Nah, Ollie gendong Granpa dulu ya.” Bagai mengerti, bayi itu membuka mata dan melihat pada sang kakek yang menggendongnya.
“Hmm, dia mewarisi mata Irish,” gumam lord Arthur sambil tersenyum. Ia mengamati wajah cucu lelakinya itu yang memiliki mata hijau, khas mata orang-orang Irlandia.
“Mungkin mereka takut tidak diakui,” seloroh Nina yang disambut tawa Aran dan Nathan, sedangkan Lord Arthur hanya tersenyum.
“Pasti diakui, Alice. Walaupun mereka memiliki mata hazel sepertimu, tapi dalam darah mereka mengalir darah O’Meisceall.” Aran menjelaskan sambil menggendong Olivia.
“Itu benar, sayang. Dan Daddy akan menyerahkan tanda khusus untuk mereka.”
“Tanda? Tanda apa, Dad?” tanya Nina bingung.
“Tanda bukti kalau dalam diri mereka mengalir darah O’Meisceall,” sahut Aran, “seharusnya dilakukan upacara untuk mereka, Alice. Tapi berhubung kamu baru melahirkan, tidak baik melakukan perjalanan jauh, jadi Dad akan memberikannya di sini. Tapi nanti saat mereka berusia 1 tahun, kamu harus membawa mereka ke kastil Meiscill.”
Nina hanya mengangguk, Aran segera memberikan Olivia pada Nina dan Oliver pada Nathan. Keduanya duduk berdampingan, disaksikan oleh keluarga lainnya.
Aran mengambil dua buah kotak mungil yang dibawa bersamaan dengan beragam hadiah lainnya. Lord Arthur membuka kotak-kotak itu, didalamnya terdapat kalung mungil dengan liontin safir biru yang berkilau indah.
“Ini bukan sekedar hadiah, tapi sebagai symbol bahwa kedua cucu saya ini telah resmi menjadi bagian keluarga O’Meisceall dan akan dicatatkan di pencatatan keluarga. Pada liontin ini juga terdapat lambang khas keluarga O’Meisceall.”
Lord Arthur mengangkat satu kalung, dan memberikan penjelasan. “Kalung ini dirancang khusus, terbuat dari batu safir langka koleksi leluhur O’Meisceall, dan talinya bisa disesuaikan sehingga dapat mereka pakai sampai dewasa nanti.”
Usai berkata lord Arthur memakaikan satu kalung pada Oliver dan satu lagi pada Olivia. Semua yang menyaksikan berdecak kagum, kalung itu terlihat sangat istimewa, aura keagungan berpendar membuat kedua bayi itu terlihat berbeda.
Acara dilanjutkan dengan santap jamuan dan ramah tamah, mereka bercengkrama dengan hangat dan akrab, terutama kakek Wilson dan tuan Arthur. Sementara kedua bayi Nina, kembali tertidur dengan nyenyak.
“Kakak, bentuk kalung Ollie dan Livy sama dengan kalungku,” gumam Nina sambil memperhatikan kedua buah hatinya.
“Tentu Alice, semua keturunan langsung O’Meisceall memang memilikinya, aku juga.” Aran menunjukan kalungnya yang tersembunyi di balik pakainnya. Nina mengangguk, kalung itu memang sangat indah, dan nilainya tentu sangat tinggi.
Setelah acara selesai, kakek Wilson dan keluarga Nathan lainnya kembali ke Phily, sedangkan Aran dan lord Arthur masih tinggal di mansion Nathan selama beberapa hari.
Keesokan harinya, lord Arthur dengan ditemani Nina dan tante Shofie berziarah ke makam nyonya Chaterine Thompshon, ibu kandung Nina. Mata pria bangsawan itu memerah, menahan kesedihan yang mendalam.
“Honey, maafkan aku…Aku terlambat menjemputmu…” Lord Arthur berkata lirih, dia berlutut di depan makam itu, tubuhnya bergetar menahan gejolak di hatinya.”
“Dad, mommy pasti ngerti kok, kalau daddy tidak bermaksud menyia-nyiakan kami.” Nina mengusap-usap punggung ayahnya dan memeluknya.
Setelah beberapa hari berada di New York, lord Arthur dan Aran kembali ke Irlandia Utara. Nina dan Nathan pun kembali menjalankan aktifitas secara normal dengan kedua buah hati mereka.
Di saat weekend mereka biasa mengajak bayi kembar mereka jalan-jalan di sekitar taman, bersama dua orang pengasuh bayi: Lara pengasuh Olivia dan Hannah pengasuh Oliver.
Namun, mereka tidak pernah menyadari jika bahaya mengintai mereka. Orang misterius itu terus mengawasi gerak-gerik Nina dan Nathan.
Hingga di satu saat, Emmy dan Bill yang memiliki intuisi tajam dapat mencium pergerakan orang misterius itu. Mereka pun mengingatkan Nathan.
“Boss, sebaiknya jalan-jalan dengan anak-anak di sekitar taman di stop dulu,” ujar Bill, yang diikuti anggukan Emmy.
“Loh, kenapa memangnya, Bill? Bukankah keluarga lain juga banyak yang jalan-jalan menikmati udara segar dengan anak-anak mereka?” tanya Nathan bingung. Merasa semua aman dan lancar, Nathan jadi kurang kewaspadaan, ia hanya fokus pada anak dan istrinya, tidak pernah memperhatikan sekeliling.
Berbeda dengan Bill dan Emmy, selain asisten, mereka adalah orang-orang terlatih, yang memiliki kepekaan yang tinggi akan bahaya.
“Begini boss, kami menangkap sinyal, ada orang misterius yang selalu stalking aktifitas boss dan keluarga.” Emmy menjelaskan.
Nathan membeku, seketika dia melihat kepada anak dan istrinya yang sedang bersantai. Nathan segera mendekati Nina, dan meminta mereka untuk segera kembali ke rumah. Semula Nina sedikit bingung, karena mereka baru saja datang, namun Nathan membisikan sesuatu yang membuat Nina ketakutan.
“Si-siapa mereka, Nathany?”
“Hallo, siapa ini—”“Malam, Liv. Apa aku mengganggu?” terdengar jawaban seorang wanita di ujung sana.“Ini dengan….”“Vla. Apa kamu tidak mengenali suaraku?”“Oh, iya. Aku memang baru menebak kamu. Kamu dan Pedro sudah sampai di tempat?”“Ya, ini lagi santai juga. Kamu belum tidur? Apa aku mengganggu?”“Oh nggak. Sama sekali nggak mengganggu kok, Vla. Santai aja.”“Uhm, gini Liv. Aku ingin ketemu sama kamu, berdua aja. Tapi ini rahasia, hanya kita berdua.”“Rahasia? Apa sangat penting?”“Ya sangat penting. Tapi kamu harus janji dulu untuk merahasiakan ini, termasuk pada kedua orang tuamu. Apa kamu bisa?”“Hmm, oke. Tapi soal apa?”“Nanti akan aku jelaskan. Yang penting kamu atur supaya pengawalmu juga tidak tahu.”Livy terdiam sejenak. “Kalau di kampusku bagaimana? Biasanya mereka nggak masuk kedalam. Kita bisa ketemu di taman belakang kampus.”“Oke, aku setuju.”Setelah berbincang-bincang ringan keduanya pun menutup panggilan. Livy tertegun, rahasia apa yang dimaksud Vla? Mengapa ked
Pedro menatap Vla dengan penuh rasa penasaran. Sesuatu yang sudah lama ingin dia tanyakan, namun selalu terbentur hal-hal lain yang lebih mendesak.“Jangan sembunyikan apapun dariku, Vale.”Vla tersenyum, dia kembali menyesap kopinya. “Aku tidak akan menyembunyikan apapun darimu, Pedro. Bukankah kita sudah berjanji untuk saling terbuka satu sama lain dan tidak ada hal apapun yang kita sembunyikan?”Vla menatap sekeliling, lalu berdiri dan menarik tangan Pedro. Keduanya pun pindah ke kamar. “Maaf Pedro, ini sangat penting dan rahasia. Aku hanya mengantisipasi dari dinding bertelinga.” Vla berbisik. Pedro mengangguk, ia duduk di sofa. “Di kamar ini aman, tidak ada yang bisa masuk, tidak juga Victor. Karena aku selalu menguncinya.”Vla melangkah ke jendela, menatap kelap-kelip pemandangan kota di kejauhan. Cukup lama terdiam sebelum akhirnya dia berkata pelan. “Sebenarnya nama Lucas adalah Antonio Luca Russo.”Pedro mengernyitkan kening, mencoba mengingat. “Russo? Apa hubungannya dia d
Pedro segera melempar wig dan mencuci wajahnya dari make-up tebal yang terasa seperti topeng. Ia juga segera mengganti pakaian yang menggelikan itu.“Huh, akhirnya wajahku bisa terbebas dari makeup menjijikkan itu,” ujar Pedro lega, dia segera ke pantry untuk membuat kopi.Vla hanya tersenyum melihat sikap Pedro. “Makeup kok menjijikkan, itu kan bisa membuat wajah cantik dan menutupi kekurangan.”Pedro menoleh pada Vla. “Iya kalau makeup yang normal dan yang memakai wanita. Kalau tadi, aku sudah seperti mayat hidup.” Ia terdiam sebentar dan menatap Vla. “Sana bersihkan makeup horormu itu. Bibirmu malah jadi hitam gitu, seperti hantu.”Vla terkekeh mendengar ucapan Pedro, namun dia segera ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya.Tidak lama berselang Vla keluar dengan wajah yang sudah bersih, dia juga sudah mengganti bajunya dengan pakaian santai. Pedro sedang duduk di sofa sambil menikmati kopi.“Nah begini lebih baik, lebih fresh lebih menggairahkan, dibanding tadi seperti zombie.”
“Apa? Rencana apa, Vale?”Pedro menatap Vla penuh tanda tanya. Nadanya terdengar mendesak, seolah ia takut Vla akan menahan sesuatu darinya.Vla menghela napas, kemudian duduk lebih dekat, menatap Pedro dengan serius. “Rencanaku sederhana, Pedro. Kita harus bicara langsung dengan Livy. Tentu bukan dalam pertemuan biasa, melainkan untuk menyocokkan kalung kalian berdua. Dari sana, kita bisa lanjut ke tahap berikutnya—tes DNA. Diam-diam. Tidak ada yang tahu, bahkan Nathan dan Nina sekalipun.”Pedro menegang. Kata-kata itu seolah menohok tepat di dadanya. “Tes DNA? Vale… apa kau tahu apa risikonya? Kalau ternyata aku bukan Oliver, apa yang akan terjadi? Bagaimana dengan Livy? Dia mungkin akan kecewa, atau bahkan membenciku karena sudah menaruh harapan.”Vla menggeleng, ekspresinya penuh keyakinan. “Justru sebaliknya. Kalau memang bukan, maka rasa penasaranmu akan berhenti. Kamu tidak akan terus dihantui kemungkinan yang tak berujung. Dan bagi Livy, dia akan mengerti bahwa semua ini hanyal
“Putar arah, kita ke Hudson Yards Hotel.” Vla memberikan intruksi kepada sopir. Ucapan Vla mengejutkan dan membuyarkan lamunan Pedro.“Ada apa? Bukannya harusnya kita ke Broklyn?” tanya Pedro heran.Alih-alih menjawab Vla menatap rear vision mirror, Pedro mengikuti arah tatapan Vla. Seketika wajahnya menjadi serius sambil terus melihat. Dari spion dalam itu, jelas terlihat gerak-gerik mobil di belakang yang mencurigakan.“Ada yang membuntuti kita,” gumam Pedro pelan. Vla mengangguk. “Mereka sudah mengikuti begitu kita keluar dari N&N Hotel.”“Hmm, berarti banyak yang pasang mata saat kita di gala tadi,” sahut Pedro, matanya menyipit namun tak berpindah dari spion itu. “Kita jebak, dan cari tahu siapa mereka.”“Tidak perlu,” sahut Vla sambil tersenyum.“Maksudmu,” tanya Pedro menatap Vla.“Mereka hanya orang-orang yang penasaran tentang siapa sebenarnya kita, terutama kamu. Kemunculanmu dan OIL malam ini cukup membuat banyak pihak yang penasaran.”“Hmm, jadi kita akan menginap di hote
"Pedro, maukah kamu menjadi kakakku?" tanya Livy sambil menatap Pedro. Tatapannya sendu, penuh luka dan kerinduan, matanya berkaca-kaca. Ada gumpalan awan yang siap tumpah di kedua mata cantik kehijauan itu.Pedro dan Vla terkejut mendengar perubahan sikap Livy. Pedro merasakan hantaman besar di dadanya, bukan hanya karena ucapan Livy tapi melihat gadis itu yang terlihat merasakan kesedihan dan luka yang dalam. Entah mengapa hatinya merasakan sakit dan teriris.“A-apa? Kamu bercanda, Liv. Aku Pedro bukan Oliver kakakmu.” Pedro menjawab dengan gugup, namun dia segera mengalihkan tatapannya ke arah lain, merasa tidak sanggup jika menatap wajah cantik yang sedang menatapnya dengan penuh kesedihan dan harapan.“Aku tahu. Aku tidak peduli siapa kamu. Tapi, hatiku mengatakan kalau kamu mirip Ollie.” Livy terdiam sejenak, matanya tak lepas dari menatap Pedro, meskipun Pedro telah membuang pandangannya. “Dan, secara fisik, kamu mirip daddy sewaktu muda.”Pedro menegang, ia mengepalkan tangann