Sore itu, Nina dan Nathan baru saja kembali dari kantor, mereka bercengkrama di ruang keluarga sambil menunggu Olivia pulang. Sejak peristiwa kelam yang menimpa mereka dua puluh dua tahun silam, mereka memutuskan untuk tinggal di sebuah penthouse mewah di Midtown.
Setelah kehilangan putranya, Nina mengalami syok hebat dan trauma yang berkepanjangan, hingga memerlukan bantuan teraphy dari psikolog. Dan atas saran psikolog juga, akhirnya Nathan dan Nina meninggalkan mansion mewahnya di Upper East Side dan memilih tinggal di sebuah penthouse mewah di Midtown, yang dekat dengan kantor Nathan. Selain itu, Nina juga memindahkan kantor pusat Nithany dari Financial District ke Midtown, di gedung yang sama dengan penthouse mereka. Sehingga lebih aman untuk membesarkan putri mereka.
“Nathany, nggak terasa ya, Livy sudah 24 tahun,” ujar Nina sambil memberikan secangkir teh hangat untuk Nathan.
“Iya, honey. Rasanya baru kemarin kita menikah, tahu-tahu anak-anak sudah besar aja.” Nathan menjawab spontan sambil menyesap teh di cangkirnya, ia tidak menyadari jika satu kalimatnya membuat Nina tertegun.
“Anak-anak…” gumam Nina pelan.
Nathan tersentak, menyadari ucapannya akan membangkitkan luka lama istrinya, dia segera meletakan cangkir di meja dan mendekati Nina.
“Iya, my love. Maksudku Livy putri kita sekarang sudah besar.” Nathan mengoreksi ucapannya.
“Livy, dan Ollie Nathany. Ollie putra kita juga sekarang sudah besar, sudah 24 tahun. Pasti dia sangat tampan dan gagah seperti Daddy nya.”
Nina berkata sambil tersenyum, kedua matanya berkaca-kaca. Nathan menghela napas panjang, dia merutuki kesalahan lidahnya yang salah ucap sehingga membangkitkan kenangan lama Nina.
“Honey….”
Nathan segera merengkuh Nina ke pelukannya, kedua mata wanita itu mulai basah.
“Aku yakin Oliver masih hidup, Nathany. Aku sangat yakin….”
Nina mulai terisak, ia membenamkan wajahnya ke dada suami yang sangat dicintainya. Nathan tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya memeluk Nina dengan segenap cinta dan sayangnya. Dia menghela napas, pikirannya serasa buntu dan sakit manakala dia ingat kembali peristiwa menghilangnya putra mereka.
“Sshh, my love. Kemungkinan itu sangat besar, dan kita masih terus mengupayakan pencarian putra kita.”
“Apakah ada petunjuk baru, Nathany?” tanya Nina disela isaknya.
“Iya, hon. Tadi siang, aku mendapat telepon dari tuan Tom.”
“Bagaimana Nathany, apa ada jejak Oliver?” Nina mengangkat wajahnya, menatap suaminya dengan antusias.
“Sabar, my love. Masalah ini sangat rumit. Tuan Tom hanya menjelaskan kalau kemungkinan terbesar putra kita di culik oleh sindikat besar yang memang sudah terencana, sehingga jejak mereka sulit dilacak.”
Nina merasa ngeri mendengar penjelasan suaminya, ia kembali terkulai di pelukan Nathan.
“Oh Tuhan, apa mereka akan menjual Ollie, Nathany?”
“Itu sangat mungkin, honey. Memang banyak kasus-kasus penculikan bayi dengan berbagai motif, kebanyakan adalah untuk diperdagangkan.”
“Ya Tuhan, tolong selamatkan Ollie…” Nina bergumam lirih, air matanya tidak terbendung lagi.
“Ssst, my love, tenang…” Nathan berkata lembut untuk menenangkan istrinya, dia sendiri merasakan hatinya bagai dicabik-cabik ribuan belati. Bahkan dibalik ketenangannya, lelaki itu merasakan hidupnya hancur. Dia merasa telah gagal sebagai seorang ayah, karena tidak bisa menjaga putranya.
Dibalik ketegarannya, sesungguhnya Nathan sangat terguncang. Dia tidak kuasa menangis dan menumpahkan keputusasaannya pada kakek Wilson dan Mike.
“Aku sudah gagal, kek. Aku sudah gagal menjadi seorang ayah dan suami, aku nggak bisa melindungi keluargaku sendiri,” ujar Nathan saat itu, dia menangis dan tersungkur di pangkuan sang kakek. Nathan, boss yang terkenal dingin, angkuh dan keras itu, kini merasa sangat tidak berdaya.
“Hus, kamu bicara apa, Nathan. Jangan menyalahkan dirimu sendiri seperti ini. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga anak-anak dan istrimu, keamanan di mansion pun sangat ketat dan canggih.”
“Apa yang kakek bilang benar, Nate. Sepertinya si pelaku memang sudah merencanakan dan mengawasi hal ini sejak lama. Sehingga memanfaatkan celah-celah mereka bisa masuk.” Mike menimpali ucapan kakeknya.
Nathan tertegun mendengar penjelasan Mike, dia mengangkat kepalanya dari pangkuan sang kakek, lalu menatap sepupu sekaligus sahabatnya itu.
“Kamu benar, Mike. Dan celah itu adalah masuknya pengasuh gadungan yang memanfaatkan cuti nya pengasuh Oliver.”
“Sekarang kamu kembali Nathan, temani dan dampingi Nina, sebagai seorag ibu, dia pasti jauh lebih terpukul. Dia membutuhkanmu, juga putrimu, Olivia. Kamu harus kuat dan tegar.”
Kakek Wilson menepuk bahu cucu kebanggaannya itu, memeberikan semangat dan dukungan. Sejak saat itu, mereka mengerahkan berbagai upaya untuk mencari Oliver.
“Nathany… Apa ada hal lain yang disampaikan tuan Tom?” tanya Nina membuyarkan lamunan Nathan.
Nathan menghela napas dalam sambil mengelus rambut istrinya.
“Menurut tuan Tom kasus penculikan Ollie berbeda dengan kasus-kasus penculikan bayi pada umumnya.”
“Maksudnya… bagaimana Nathany?”
Nina mengangkat wajahnya, ia menatap suaminya dengan penasaran. Nathan juga menatap sang istri lekat-lekat, dia sendiri masih sangat kacau bagaimana harus menjelaskan pada Nina.
“Nathany…” panggil Nina lirih.
“I-iya, my love. Menurut analisa tuan Tom, kemungkinan terbesarnya adalah, pelaku yang menculik putra kita adalah orang yang sama yang pernah menculik Victoria.”
“A-apa? Ri-Richard…?”
Suara Nina bergetar saat menyebut nama itu, apa mungkin dia? Nathan mengangguk pelan.
“Dia mempunyai dendam yang sangat dalam pada kita, terutama padamu.”
Nina terdiam, sangat masuk akal jika Richard yang melakukan. Mantan rekan kerja Nina itu sangat membenci Nina. Dia sangat ingin membunuh dan menghancurkan Nina. Berbagai upaya telah dia lakukan, dari mulai menyewa pembunuh bayaran, memanfaatkan Rebeca hingga menculik Victoria.
“Tapi Nathany, bukankah Richard sudah lama menghilang? Kalau memang benar dia, mengapa sangat sulit dilacak jejaknya? Dan, sasaran kebencian dia padaku, mengapa dia tidak menculikku atau membunuhku, bukan putraku Nathany. Aku rela ditukar dengan nyawa putraku.”
Nina berkata dengan penuh emosi, hatinya kembali tersayat-sayat. Sakit, marah, semua tumpah jadi satu. Nathan segera memeluknya erat, tangis wanita itu pecah tak terbendung lagi.
“Sst, my love, tenang honey. Tolong kendalikan dirimu, demi Olivia putri kita,” bisik Nathan membujuk Nina. “Mengenai motifnya apa dan mengapa, tuan Tom dan orang-orang kita masih terus mengusut. Kamu tenang, ya, My love. Jangan sampai putri kita tahu, dia pasti akan ikut sedih kalau tahu masalah ini.”
Tanpa mereka sadari, seorang gadis sejak lama berdiri memperhatikan mereka dengan bingung dan tatapan penuh tuntutan.
“Dad, Mom…Aku sudah dengar semuanya….”
“Dad, Mom…Aku sudah dengar semuanya,” ujar Olivia tiba-tiba. Gadis itu melihat kepada kedua orang tuanya dengan tatapan bingung dan menuntut penjelasan.Nathan dan Nina tersentak, mereka larut dengan emosi dan perasaan sakit akan luka masa lalu, sehingga tidak menyadari kedatangan putri mereka yang memang sedang ditunggu.Nathan segera berdiri mendekati putrinya, dia mencium kening Olivia dan menuntut gadis itu untuk duduk, sedangkan Nina menunduk menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, tangisnya sudah terhenti tapi dia belum bisa bicara apa-apa, masih terlihat sesenggukan.“Dad, Mom. Mengapa kalian menyembunyikan rahasia besar ini padaku? Mengapa kalian tidak mau menceritakannya? Apakah kalian tidak menganggap aku ada di keluarga ini?”Olivia melontarkan sederet pertanyaan yang membuat Nathan dan Nina terkejut. Nathan segera menjawab pertanyaan putrinya, dia menjadi serba salah.“Tidak sayang, bukan begitu, maksud kami….”“Lalu mengapa aku tidak boleh tahu kalau aku punya saud
Midtown Manhattan, New YorkSore itu, Nina dan Nathan baru saja kembali dari kantor, mereka bercengkrama di ruang keluarga sambil menunggu Olivia pulang. Sejak peristiwa kelam yang menimpa mereka dua puluh dua tahun silam, mereka memutuskan untuk tinggal di sebuah penthouse mewah di Midtown. Setelah kehilangan putranya, Nina mengalami syok hebat dan trauma yang berkepanjangan, hingga memerlukan bantuan teraphy dari psikolog. Dan atas saran psikolog juga, akhirnya Nathan dan Nina meninggalkan mansion mewahnya di Upper East Side dan memilih tinggal di sebuah penthouse mewah di Midtown, yang dekat dengan kantor Nathan. Selain itu, Nina juga memindahkan kantor pusat Nithany dari Financial District ke Midtown, di gedung yang sama dengan penthouse mereka. Sehingga lebih aman untuk membesarkan putri mereka.“Nathany, nggak terasa ya, Livy sudah 24 tahun,” ujar Nina sambil memberikan secangkir teh hangat untuk Nathan.“Iya, honey. Rasanya baru kemarin kita menikah, tahu-tahu anak-anak suda
Pedro berjalan menyusuri koridor markas yang sepi, berkas misi itu masih tergenggam di tangannya. Langkahnya berhenti di ruangannya sendiri. Ia menjatuhkan diri ke kursi, menatap foto Nina di meja. Matanya kembali kepada kilau safir di leher perempuan itu. Ia mengangkat tangannya, tanpa sadar menyentuh bagian dadanya sendiri—tempat kalung yang selalu tersimpan di bawah pakaian. Ia menariknya keluar: liontin safir tua, sedikit tergores, tapi bentuknya identik dengan yang ada di foto.Pedro membalik liontin itu perlahan. Di baliknya, terukir samar satu kata: O’Meisceall.Jantung Pedro berdetak keras. "Apa...?" bisiknya pelan, matanya membelalak, napasnya tercekat.Tiba-tiba pintu diketuk, Marcus masuk. Sejenak ia terdiam memperhatikan boss sekaligus sahabatnya itu. “Belum pulang, Pedro?” tanya Marcus sambil duduk di sofa. Pedro menghela napas, alih-alih menjawab dia balik bertanya. “Apa Victor sudah balik?”“Sudah, baru saja,” jawab Marcus, tatapannya masih lekat pada sosok yang suda
Londons DocklandsHujan tipis menetes di dermaga London yang sunyi. Lampu gudang tua berpendar redup, menyorot sosok tegap yang berdiri mematung. Pedro, 24 tahun, tampan, nyaris sempurna—garis wajah tegas warisan sang ayah, mata kehijauan tajam khas keluarga O’Meisceall, dan rambut coklat terang berkilau basah di bawah lampu jalan.Ketampanannya memancarkan aura bangsawan, tapi tatapan dinginnya mematikan, mencerminkan didikan keras dunia kelam.'Berapa banyak darah lagi yang harus kutumpahkan?' Pedro membanthin. Malam ini dia kembali akan memimpin misi berdarah yang ditugaskan oleh Victor. Nama yang selalu membawa tekanan. Sebuah nama yang disembah dengan ketakutan, tapi tak pernah dipahami siapa sosok di baliknya.Sore tadi Victor memanggil Pedro. Seperti biasa, ia duduk santai di kursi kulit, jari-jarinya mengetuk ringan permukaan meja, nada yang selalu menandakan pikirannya sedang menghitung sesuatu."Target bergerak malam ini," suara Victor terdengar dalam, tenang namun menusuk.
Hujan deras mengguyur New York malam itu. Lampu-lampu kota memantul di kaca besar mansion keluarga Sir Nathan Wilson.Nina sedang menerima panggilan telepon dari Nathan yang masih berada di kantor. Dia sendiri jarang masuk kantor, terlebih setelah mempunyai bayi, Nina ingin fokus pada sepasang bayi kembarnya. Sehingga urusan kantor Nithanny, ia serahkan pada Emily asisten terpercayanya dan team C-level.“Nathany apa rapatnya sudah selesai?”“Iya my love, baru saja selesai, ini aku sedang bersiap-siap untuk pulang. Anak-anak gimana, sayang? Gak rewel, kan?”“Semuanya baik-baik saja, Nathany. Ollie juga sudah nggak rewel lagi. Sepertinya pengasuh baru pengganti Hanna cukup bisa diandalkan.”“Syukurlah. Jadi kamu dan Lara nggak kerepotan. Oke, honey, aku beres-beres dulu, love you.”Sementara itu, di kamar bayi, suara napas halus terdengar dari dua boks kecil. Oliver dan Olivia, bayi kembar Nina dan Nathan yang berusia dua tahun, tidur nyenyak dengan kalung safir biru mungil di leher mer