"MASSSSS!" Rosa tersentak dari tidurnya. Ia langsung terduduk dengan nafas memburu, bulir keringat membasahi tubuh, "astagfirullah ... astagfirullah," lirihnya. Lagi-lagi perutnya terasa keram.
"Ya allah, mimpi apa itu," ucapnya sendiri. Rosa mencoba mengatur nafas, dan menenangkan diri. Ia tak boleh setres, karna hal itu akan berdampak pada bayi yang tengah di kandungnya, "kamu kaget ya? Maafkan Mamah, Sayang," lirih Rosa seraya mengelus perutnya yang kian membuncit. "Eum ... hoammm, tante kenapa?" tanya Chika yang ikut terbangun sebab suara gemerusuh di sebelahnya. "Tante kebelet pipis," jawab Rosa asal. Ia pun tersenyum, dan mengelus lengan keponakannya, "Chika bubuk lagi ya, ini masih gelep," ucapnya lembut. Bocah 3 tahun itu pun mengangguk lalu kembali memejamkan matanya, sedangkan Rosa ia semakin gelisah sebab kejadian malam ini begitu aneh menurutnya. Jam baru menunjukkan pukul 2 dini hari, itu artinya baru beberapa menit ia terlelap, dan sekarang kembali terjaga karna mimpi buruk. "Ya allah, sebenarnya apa yang akan terjadi? Mengapa kau terus-terusan memberiku petunjuk?" Rosa tak bisa tidur, pikirannya tak karuan, hatinya gelisah. Ia membuka ponsel, dan membaca primbon jawa tentang arti mimpi kebakaran, dan juga arti dari bingkai foto yang tiba-tiba terjatuh di satu situs yang cukup terkenal. Dalam primbon jawa, dan sebagian kalangan masih banyak yang mempercayai bahwa mimpi kebakaran itu melambangkan sebuah kehancuran. Sedangkan dalam primbon jawa, bila bingkai foto anda tiba-tiba terjatuh dengan sendirinya, itu artinya anda harus bersiap, bersiaplah ... bersiaplah untuk,--- Drrrttttt Rosa tersentak kala sedang fokus membaca tiba-tiba satu pesan masuk ke ponselnya, "astaga! kenapa Papah kirim pesan malam-malam begini," gerutu Rosa. Ia ingin melanjutkan membaca artikel itu, akan tetapi ia lebih penasaran dengan pesan yang baru saja di terima dari sang ayah, dan akhirnya ibu hamil itu keluar dari situs yang sedang di bacanya, dan masuk ke aplikasi w******p yang berwarna hijau. Papah Rosa mengklik nama itu, dan melihat isinya, "Papah sudah di pesawat, tapi karena cuaca malam ini buruk, jadi penerbangan di hentikan. Mungkin Papah tiba di Indonesia sekitar 1 atau 2 hari lagi. Maafkan Papah ya kalau terlambat datang ke acara nuju bulan, tapi kamu nggak perlu khawatir, Papah baik-baik saja. Tunggu Papah datang ya, Sayang." Degh. Hati Rosa semakin mencelos membaca isi pesan dari Papahnya. Lelaki itu kini berada di eropa, sangat jauh dari jangkauannya. Meski usianya tak lagi muda, tetapi semangat kerjanya masih membara. Pak Erik kerap kali ke liling dunia hanya untuk memperluas jangkauan proyeknya, "ya allah, lindungi Papah di mana pun dia berada," ucap Rosa. "Iya, Pah. Hati-hati, jangan lupa makan. Papah nggak usah mikir yang aneh-aneh. Nggak apa-apa terlambat, yang penting Papah sampai Indonesia dengan selamat. Rosa sayang papah." Send. Pesan pun terkirim, tetapi nomor yang baru saja terlihat online, kini memberi tanda ceklis satu, itu artinya nomor Pak Erik sedang tidak aktif atau mungkin sedang tidak ada sinyal. Begitulah pikir Rosa yang tak ingin berprasangka buruk dengan apa yang tengah terjadi sekarang. Rasa kantuk tiba-tiba menyerang dirinya, Rosa pun meletakkan ponselnya, dan kembali berbaring di sebelah putri kecil iparnya. Anak itu begitu pintar, dan penurut. Namun, sayang sekali nasib kedua orang tuanya tak begitu baik, sehingga mengharuskan dirinya ikut tinggal bersama Rosa yang berstatus sebagai bibi untuknya. Kukuruyukkkkk. Pagi datang, matahari bersinar. Chika yang sudah terjaga lebih dulu, memilih untuk ke kamar mandi, dan membersihkan diri. Pagi-pagi seperti ini biasanya ia sudah di mandikan oleh Rosa, tetapi Chika melihat wanita pengganti Ibunya itu masih terlelap, ia pun berinisiatif untuk melakukan semuanya sendiri. Sinar mentari masuk melalui celah-celah jendela, Rosa yang semalaman tidurnya terganggu kini belum juga bangun. Sedangkan di luar pagar rumahnya, Bu Wati, Ibu mertua yang terkenal akan sikap bunglonnya, sudah berdiri dengan wajah penuh senyum. Wanita itu terus menekan tombol bel, berharap menantu yang dulu sering di hinanya dengan segera membukakan pintu untuknya. Ting-tong Ting-tong Ting-tong "Duh ... kemana sih ni anak. Kok lama sekali nggak muncul-muncul," gerutu Bu Wati yang mulai kesal sebab sejak dari setengah jam yang lalu ia berdiri di depan pagar. Ting-tong Ting-tong Ting-tong Ia tahu hari ini, akan di adakan acara nuju bulan cucu ketiganya, maka dari itu ia datang untuk menghadiri acara ini. Namun, hanya datang dengan tangan kosong, sebab pikir Bu Wati menantunya itu sudah kaya, jadi tak perlu lagi bawakan apa pun untuk acara nuju bulannya. "Rumah sebesar ini, hanya Rosa yang menempati. Chika, anak itu sekarang pasti hidupnya nyaman bersama Rosa tinggal disini. Hasan juga pasti perutnya kenyang karna sekarang banyak uang, lalu aku ... apa harus aku bersimpati, dan mengambil hati Rosa agar aku juga bisa hidup nyaman, dan tinggal di rumah mewah ini?" gumam Bu Wati seorang diri. *** Yang penasaran gimana sikap bunglon Bu Wati, bisa di baca pada season 1 ya, kak dengan judul "Ku Sembunyikan Identitas Dari Mertua.""Sayang, tenang! Jangan begini, pikirkan anak kita! Kasihan dia pasti semakin terguncang!" ungkap Hasan mengingatkan. Sedangkan Pak Erik, ia buru-buru keluar, dan memanggil dokter sebelum putrinya semakin menggila, dan semua menjadi kacau. "Anak? Apa kau memikirkan itu saat kau berada di sana, Mas! Saat kau bersenang-senang dengannya! Saat aku minta kau untuk kembali! Tutup mulutmu, dan jangan pernah singgung soal anak! Ini anakku! tidak ada hakmu atas dirinya! Sekarang juga pergi dari hadapanku!" bentak Rosa. Tak ada lagi benda di dekatnya yang bisa di lempar, yang tersisa hanya tiang infus yang berada di sebelah bankarnya. Rosa menatap nyalang suaminya, tanpa pikir panjang ia mengangkat tingan itu, dan akan ia lemparkan pada suaminya. Namun, belum sempat Rosa meluapkan emosinya, sang ayah datang bersama dokter, dan dua suster berdiri di belakang. Krekkkk! "Astaghfirullah, Nak! Sadar!" teriak Pak Erik ketika masuk ke dalam kamar, dan menyaksikan putrinya tengah mengangkat tiang
"Aku mau kita pisah!" "Tidak, Sayang. Mas mohon, jangan!" "Lepaskan aku, Mas! Kita bukan suami-istri lagi!" "TIDAK, SAYANG! TIDAK!"Hasan tersentak dari tidurnya, dan keringat dingin menyapa tubuhnya, "astagfirullah, astagfirullah," ucapnya seraya bernafas lega saat sadar bahwa dirinya masih berada di rumah sakit, dan istrinya masih terbaring di sebelahnya tak sadarkan diri. "Hanya mimpi," gumam Hasan, ia pun mengusap lembut jemari istrinya yang masih terpaut erat dengan jemarinya. Lelaki itu kembali menangis mengingat betapa menderita istrinya selama ia tinggal berdinas ke Padang. "Maafkan, Mas ... Sayang," gumamnya lagi. Hasan mencium jemari istrinya dengan lembut, ia merasa sangat berdosa. Namun, mau bagaimana lagi, kepergiannya ke Padang bukan untuk bersenang-senang, ia ke Padang untuk merintis usaha baru, memperluas jangkauan bisnis keluarga istrinya, tetapi yang di dapat sekarang, rumah tangganya berada di ambang kehancuran. Lelaki itu tak tahu harus berbuat apa untuk me
Astaghfirullah, Pah. Sungguh ... aku tidak mengenal wanita itu." "Huffff!" Lagi, Pak Erik hanya bisa menarik nafasnya dalam. Ia merasa percuma terus bertanya, karena jawaban Hasan tetap sama, "tapi ... bila tidak mengenal kenapa dia bisa hamil?" tanya Pak Erik lagi. "Aku yakin, aku di jebak oleh dia, Pah," ungkap Hasan. Pak Erik menatap dalam manik mata menantunya. Ia berusaha mencari kebohongan di sana. Namun, yang terlihat hanyalah kesungguhan, tak ada kedustaan apalagi kecurangan. Pak Erik melihat mata itu masih sama seperti beberapa tahun yang lalu, mata yang memancarkan kejujuran, kasih sayang, dan juga tanggung jawab. Kini Pak Erik menjadi ragu akan kebenaran yang di katakan Mawar. "Akan Papah cari tahu kebenarannya," kata Pak Erik. Ia berjalan mendekati sofa yang ada di sudut ruangan. Tubuhnya lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, ia butuh istirahat ia butuh tidur, agar bisa berfikir jernih, dan tidak salah langkah dalam mengambil keputusan. Bu Wati, wanita tua itu mengi
Hujan di luar sepertinya mulai mereda, dan Rosa ... ia belum juga sadarkan diri. Selang infus menempel di tangannya, obat yang di suntik melalui infus mengalir ke seluruh penjuru tubuhnya. Di samping, dengan setia Hasan duduk menemani istrinya. Rasa penyesalan itu masih ada, sebab banyak waktu yang terbuang hanya untuk mempelajari sebuah materi yang tak ada habisnya.7 bulan dia pergi berdinas. Selama 7 bulan juga mereka hanya berkomunikasi melalui sambungan telfon. Istrinya selalu tersenyum bila mereka tengah melakukan panggilan Vidio, wanita itu juga mengatakan bahwa dia baik-baik saja meski mereka sedang berjauhan. Namun, pada kenyataannya, seperti di hantam bebatuan keras saat ia mengetahui berat bayi yang di kandung tidak normal, padahal usia kandungan sudah menginjak 7 bulan, apa bayinya kurang nutrisi? atau mungkin istrinya yang dengan sengaja tak menjaga pola makan serta memperhatikan kebutuhan sang bayi? Entahlah, Hasan hanya bisa menarik rambutnya kasar, merasa bodoh atas t
Jauh-jauh dari Padang ia datang ke Palembang hanya untuk meminta keadilan dari lelaki incarannya. Namun yang di dapat, ia malah di acuhkan begini, bahkan tak di anggap sama sekali. Sakit .... Namun, bukankah cinta membutuhkan pengorbanan? Maka dari itu, dirinya harus lebih keras lagi dalam berjuang demi bisa mencapai tujuannya. "Tujuanmu apa datang kesini, dan menghancurkan segalanya!" tanya Hasan saat mereka berdua berada di dapur tadi. "Aku hanya ingin hidup bersamamu," jawab Mawar. Wanita itu begitu puas bisa memandang wajah Hasan sedekat ini, dekat, bahkan sangat dekat. Dan di belakang, tak sengaja Bi Wiwid melihat kedekatan antara dua insan yang tak ada ikatan apapun. Namun, Bi Wiwid langsung pergi begitu saja sebab takut dikira tengah mengintip. Itulah mengapa Bi Wiwid mendadak gagu saat Rosa bertanya di mana suaminya. "Kasihan, Ibu ... dia wanita baik, kenapa hidupnya begitu berliku," lirih Bi Wiwid. Ia terus memandang mobil yang di kendarai oleh majikannya. "Namanya juga h
"Astagfirullah, bukan itu. Ayo kita bicara di dalam saja," ajak Hasan, lalu menarik istrinya masuk ke dalam kamar. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!" bentak Rosa lalu menjauh dari lelaki yang amat di bencinya. Ya ... yang tersisa sekarang hanyalah kebencian. Entah mengapa setelah melihat foto b-ugi-L suaminya bersama wanita itu, hati Rosa seakan tercabik-cabik, dan sekarang melihat langsung wajah suaminya Rosa merasa ingin melenyapkan lelaki ini dari muka bumi. "Mas di jebak, Sayang." "Kamu pikir ini sinetron, Mas?" "Sumpah!" "Sudah ku bilang jangan bermain dengan sumpah! Badai di luar belum usai, dan kamu ingin mengundangnya datang lagi!" "Dia orang pertama yang mau bekerja sama dengan cabang Nuansa. Saat itu, sebelum Mas menerima tawaran kerja sama dengannya, Mas menghubungi Papah dulu, dan saat itu Papah meng'iya,'kan, dan Mas langsung bertemu dengannya siang itu juga, tapi ... setelah itu entah mengapa Mas tidak sadar,---" "Tidak sadar kalau sampai kebablasan?