"Sebentar lagi usia kandunganku 7 bulan, Mas. Apa kamu belum bisa pulang juga?" tanya Rosa yang kini duduk di depan jendela menikmati udara malam.
["Akan Mas usahakan, Sayang. Mas pasti pulang, tapi tidak sekarang,"] jawab Hasan dari seberang sana. Sejak istrinya hamil 2 minggu, ia sudah pergi melakukan perjalanan bisnis ke Padang. Karena yang di kelolanya sekarang adalah anak perusahaan yang pertama, jadi Hasan membutuhkan waktu yang lama untuk mengembangkan cabang Nuansa (ada di season 1 asal-usul Nuansa.) Mereka selalu bertukar kabar lewat panggilan vidio. Siang malam, siang malam datang silih berganti hingga sekarang tak terasa 7 bulan waktu telah berlalu. "Apa tidak bisa di serahkan dulu sama yang lain? Ini penting, Mas. Acara anak pertama kita, lo. Papah aja pulang, meski dia sedang di eropa." "Iya, iya ... Sayang, insyaallah ya. Akan Mas usahakan." "Dari kemarin jawabamu itu-itu mulu, Mas! Bosen aku dengarnya!" rajuk Rosa, bibirnya cemberut memenuhi layar ponsel suaminya. Lelaki itu menjadi gemas, rindu, semua bercampur menjadi satu. Namun, saat ini ada hal yang membuatnya tak bisa meninggalkan Padang. Bukan hanya sekedar anak perusahaan yang baru di bangun, akan tetapi ... ada tamu yang tak di undang yang mengharuskannya untuk tetap berada di sana. "Emuach," kata Hasan, ia hanya bisa melakukan sun jauh untuk menenangkan sang istri. Seperti biasa, wanita itu akan luluh, dan berhenti merengek. Akan tetapi tidak berlaku untuk malam ini. Rosa, dia semakin jadi melipat wajahnya, sepertinya rasa rindu sudah tak bisa di tahannya lagi. "Aku ngantuk, Mas. Sudah dulu," ucap Rosa, tanpa menunggu jawaban ia langsung mematikan panggilan itu secara sepihak. Tut ... Tut ... Tut .... "Iya-iya-iya-iya aja terus dari kemarin!" omelnya seraya menutup jendela dan bergegas naik ke tempat tidur menyusul keponakannya yang sudah terlelap sejak tadi. Gadis itu adalah Chika, anak dari kakak suaminya. Ponsel Rosa bergetar, memberi tanda bahwa ada satu pesan masuk. Sekilas ia melihat nama si pengirim, dan isi dari pesan tersebut, 'Maafkan Mas, Sayang. Mas janji akan cepat pulang,' ucapnya dalam hati membaca pesan yang ternyata dari sang suami. Tak ada niat untuk membalas, Rosa kembali meletakkan ponselnya di nakas, lalu mematikan lampu bersiap untuk tidur. Sunyi ... Rosa pun mulai berlabuh ke alam mimpi. Pyarrrrr! "Astagfirullah," ibu hamil itu langsung membuka kedua matanya kala mendengar benda terjatuh di kamarnya, "eummm, apa itu?" gumamnya sendiri. Ia pun menyalakan lampu, dan melihat ke sekeliling takut bila suara itu berasal dari jendela atau ada maling yang masuk menerobos rumahnya, "jam 1 malem," lirihnya. Rosa pun turun dari tempat tidur. Degh. Tubuhnya mematung kala melihat bingkai yang berisi foto pernikahannya tergeletak di lantai, jadi suara benda terjatuh tadi berasal dari sana. Namun, bukan pecahan kaca atau hancurnya bingkai itu yang membuatnya jadi mematung, melainkan arti dari jatuhnya benda tersebut. "Astagfirullah," Rosa meraba perutnya yang terasa keram, berulang kali ia menarik nafas guna mencari ketenangan di dalam dirinya, "huffff ... huffff ... huffff. Ya allah, lindungi keluarag hamba," lirihnya lagi. Perlahan tapi pasti, kakinya mulai melangkah mendekati serpihan kaca yang sudah tak lagi berbentuk. Rosa mengambil kertas yang masih melekat di bingkai yang berwarna hitam itu. Senyum bahagia jelas terukir di sana. Foto pernikahan yang di ambil saat satu tahun yang lalu. Meskipun awalnya mereka menikah karna terpaksa. Namun, Rosa begitu yakin bahwa ikrar suci yang di ucapkan oleh lelaki pilihan Papahnya, itu sungguh tulus, dan tak mungkin ternodai. Akan tetapi, kejadian malam ini membuat hatinya menjadi risau. Yang Rosa tahu, bila bingkai foto apalagi foto pernikahan tiba-tiba terjatuh itu menandakan pertanda buruk akan terjadi, tetapi ia tak tahu kejadian buruk apa yang akan menimpa dirinya. Rosa hanya mampu berserah diri pada sang pencipta. Tak ingin berprasangka buruk, wanita 36 tahun itu bergegas menyimpan foto pernikahannya, dan membersihkan serpihan kaca, lalu mengambil wudhu bersiap untuk melakukan sholat malam. Ia tak ingin terus di hantui oleh pikiran buruk, mengingat sang suami yang hampir 7 bulan tak kunjung pulang. "Assalamualaikum warahmatulahiwabarakatuh." "Assalamualaikum warahmatulahiwabarakatuh." Selesai tahiyat akhir, Rosa menumpahkan segala keluh kesahnya. Segala hal buruk yang menghantui pikirannya, ingin ia ceritakan pada sang pemilik nadi. Tenang, ia hanya ingin tenang, dan damai meski sebenarnya ia pun gelisah. "Aku percaya padamu, Mas. Kamu tidak mungkin bermain di belakangku," gumam Rosa sebelum menutup mata, dan kembali berlabuh ke alam mimpi. "Bismillahirrahmanirrahim," setelah selesai melakukan sholat malam, wanita itu ingin kembali memejamkan matanya karena saat ini masih tengah malam. "Panas-panas! Tolong! Api ada api! Tolong, kebakaran-kebakaran!" "Mas, kamu di dalam?" "Sayang, tolong! Panas-panas!" "Mas!" Tok-tok-tok "Buka pintunya, Mas!" "Jangan kesini, Rosa! Menjauhlah! Selamatkan putri kita!" "Mas! Buka pintunya!" "Pergi Rosa! Pergi! Bawa anak kita pergi!" "Masss! Buka pintunya, Mas!" Brakkkk! "Aaaaaa panassss!" "Tolong kebakaran!" "Kebakaran!" "Kebakaran!" "MASSSSSSSS!" ***"Sayang, tenang! Jangan begini, pikirkan anak kita! Kasihan dia pasti semakin terguncang!" ungkap Hasan mengingatkan. Sedangkan Pak Erik, ia buru-buru keluar, dan memanggil dokter sebelum putrinya semakin menggila, dan semua menjadi kacau. "Anak? Apa kau memikirkan itu saat kau berada di sana, Mas! Saat kau bersenang-senang dengannya! Saat aku minta kau untuk kembali! Tutup mulutmu, dan jangan pernah singgung soal anak! Ini anakku! tidak ada hakmu atas dirinya! Sekarang juga pergi dari hadapanku!" bentak Rosa. Tak ada lagi benda di dekatnya yang bisa di lempar, yang tersisa hanya tiang infus yang berada di sebelah bankarnya. Rosa menatap nyalang suaminya, tanpa pikir panjang ia mengangkat tingan itu, dan akan ia lemparkan pada suaminya. Namun, belum sempat Rosa meluapkan emosinya, sang ayah datang bersama dokter, dan dua suster berdiri di belakang. Krekkkk! "Astaghfirullah, Nak! Sadar!" teriak Pak Erik ketika masuk ke dalam kamar, dan menyaksikan putrinya tengah mengangkat tiang
"Aku mau kita pisah!" "Tidak, Sayang. Mas mohon, jangan!" "Lepaskan aku, Mas! Kita bukan suami-istri lagi!" "TIDAK, SAYANG! TIDAK!"Hasan tersentak dari tidurnya, dan keringat dingin menyapa tubuhnya, "astagfirullah, astagfirullah," ucapnya seraya bernafas lega saat sadar bahwa dirinya masih berada di rumah sakit, dan istrinya masih terbaring di sebelahnya tak sadarkan diri. "Hanya mimpi," gumam Hasan, ia pun mengusap lembut jemari istrinya yang masih terpaut erat dengan jemarinya. Lelaki itu kembali menangis mengingat betapa menderita istrinya selama ia tinggal berdinas ke Padang. "Maafkan, Mas ... Sayang," gumamnya lagi. Hasan mencium jemari istrinya dengan lembut, ia merasa sangat berdosa. Namun, mau bagaimana lagi, kepergiannya ke Padang bukan untuk bersenang-senang, ia ke Padang untuk merintis usaha baru, memperluas jangkauan bisnis keluarga istrinya, tetapi yang di dapat sekarang, rumah tangganya berada di ambang kehancuran. Lelaki itu tak tahu harus berbuat apa untuk me
Astaghfirullah, Pah. Sungguh ... aku tidak mengenal wanita itu." "Huffff!" Lagi, Pak Erik hanya bisa menarik nafasnya dalam. Ia merasa percuma terus bertanya, karena jawaban Hasan tetap sama, "tapi ... bila tidak mengenal kenapa dia bisa hamil?" tanya Pak Erik lagi. "Aku yakin, aku di jebak oleh dia, Pah," ungkap Hasan. Pak Erik menatap dalam manik mata menantunya. Ia berusaha mencari kebohongan di sana. Namun, yang terlihat hanyalah kesungguhan, tak ada kedustaan apalagi kecurangan. Pak Erik melihat mata itu masih sama seperti beberapa tahun yang lalu, mata yang memancarkan kejujuran, kasih sayang, dan juga tanggung jawab. Kini Pak Erik menjadi ragu akan kebenaran yang di katakan Mawar. "Akan Papah cari tahu kebenarannya," kata Pak Erik. Ia berjalan mendekati sofa yang ada di sudut ruangan. Tubuhnya lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, ia butuh istirahat ia butuh tidur, agar bisa berfikir jernih, dan tidak salah langkah dalam mengambil keputusan. Bu Wati, wanita tua itu mengi
Hujan di luar sepertinya mulai mereda, dan Rosa ... ia belum juga sadarkan diri. Selang infus menempel di tangannya, obat yang di suntik melalui infus mengalir ke seluruh penjuru tubuhnya. Di samping, dengan setia Hasan duduk menemani istrinya. Rasa penyesalan itu masih ada, sebab banyak waktu yang terbuang hanya untuk mempelajari sebuah materi yang tak ada habisnya.7 bulan dia pergi berdinas. Selama 7 bulan juga mereka hanya berkomunikasi melalui sambungan telfon. Istrinya selalu tersenyum bila mereka tengah melakukan panggilan Vidio, wanita itu juga mengatakan bahwa dia baik-baik saja meski mereka sedang berjauhan. Namun, pada kenyataannya, seperti di hantam bebatuan keras saat ia mengetahui berat bayi yang di kandung tidak normal, padahal usia kandungan sudah menginjak 7 bulan, apa bayinya kurang nutrisi? atau mungkin istrinya yang dengan sengaja tak menjaga pola makan serta memperhatikan kebutuhan sang bayi? Entahlah, Hasan hanya bisa menarik rambutnya kasar, merasa bodoh atas t
Jauh-jauh dari Padang ia datang ke Palembang hanya untuk meminta keadilan dari lelaki incarannya. Namun yang di dapat, ia malah di acuhkan begini, bahkan tak di anggap sama sekali. Sakit .... Namun, bukankah cinta membutuhkan pengorbanan? Maka dari itu, dirinya harus lebih keras lagi dalam berjuang demi bisa mencapai tujuannya. "Tujuanmu apa datang kesini, dan menghancurkan segalanya!" tanya Hasan saat mereka berdua berada di dapur tadi. "Aku hanya ingin hidup bersamamu," jawab Mawar. Wanita itu begitu puas bisa memandang wajah Hasan sedekat ini, dekat, bahkan sangat dekat. Dan di belakang, tak sengaja Bi Wiwid melihat kedekatan antara dua insan yang tak ada ikatan apapun. Namun, Bi Wiwid langsung pergi begitu saja sebab takut dikira tengah mengintip. Itulah mengapa Bi Wiwid mendadak gagu saat Rosa bertanya di mana suaminya. "Kasihan, Ibu ... dia wanita baik, kenapa hidupnya begitu berliku," lirih Bi Wiwid. Ia terus memandang mobil yang di kendarai oleh majikannya. "Namanya juga h
"Astagfirullah, bukan itu. Ayo kita bicara di dalam saja," ajak Hasan, lalu menarik istrinya masuk ke dalam kamar. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!" bentak Rosa lalu menjauh dari lelaki yang amat di bencinya. Ya ... yang tersisa sekarang hanyalah kebencian. Entah mengapa setelah melihat foto b-ugi-L suaminya bersama wanita itu, hati Rosa seakan tercabik-cabik, dan sekarang melihat langsung wajah suaminya Rosa merasa ingin melenyapkan lelaki ini dari muka bumi. "Mas di jebak, Sayang." "Kamu pikir ini sinetron, Mas?" "Sumpah!" "Sudah ku bilang jangan bermain dengan sumpah! Badai di luar belum usai, dan kamu ingin mengundangnya datang lagi!" "Dia orang pertama yang mau bekerja sama dengan cabang Nuansa. Saat itu, sebelum Mas menerima tawaran kerja sama dengannya, Mas menghubungi Papah dulu, dan saat itu Papah meng'iya,'kan, dan Mas langsung bertemu dengannya siang itu juga, tapi ... setelah itu entah mengapa Mas tidak sadar,---" "Tidak sadar kalau sampai kebablasan?