"Chika, Ibu udah bangun?" tanya Bi Wiwid, wanita yang juga menginap di rumah Rosa karna bekerja sebagai ART.
"Belum, Bi. Semalem tante nggak tidur," jawab Chika seadanya. "Ooo, ya sudah kalau gitu jangan di ganggu ya," "Iya, Bi." Bi Wiwid pun langsung menghampiri Bu Wati yang sejak tadi begitu riuh menekan bel. Ceklek ... Ceklek ... Pintu besi itu saling bertumburan menimbulkan suara yang cukup bising, tetapi suasana akan terdengar lebih bising lagi apa bila wanita tua yang ada di depan pagar tak segera di temui, "maaf Ibu cari siapa?" tanya Bi Wiwid yang memang belum pernah bertemu dengan sosok mertua majikannya. "Kamu yang siapa? Kamu tidak tahu saya siapa?" Bu Wati sedikit nyolot sebab rasa kesal telah menghantui hatinya, "kamu pasti pemb*ntu di rumah ini, 'kan! Kerja tu yang becus! Ada orang datang bukannya langsung di bukain pintu! 2 jam saya berdiri di sini!" cecar Bu Wati tanpa jeda. "Rosa juga kemana! Mertua datang bukannya di sambut!" lanjutnya mengomel seraya masuk ke dalam rumah itu tanpa di persilahkan terlebih dahulu. "Ooo jadi Ibu itu mertuanya Ibu," gumam Bi Wiwid, "aduh, matilah aku kalau sampai ibu itu mengadu kalau aku lama membuka pintu!" Bergegas Bi Wiwid menutup pintu, dan menyusul Bu Wati yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Sesampainya di dalam Bi Wiwid melihat mertua majikannya itu tengah bicara dengan Chika, tetapi raut wajahnya sedikit kesal. Bi Wiwid bahkan melihat tangan itu menyubit perut Chika. "Astaga!" pekik Bi Wiwid yang tak menyangka bila wanita tua itu akan bersikap kasar pada anak kecil. Sedangkan Chika hanya meringis menahan sakit. Ia selalu ingat akan perkataan Tantenya, bahwa kita tidak boleh cengeng. "Bu," tegur Bi Wiwid. Ia tak ingin bila wanita itu diam-diam terus menyakiti Chika. "Ada apa! Jangan panggil saya, Bu! Saya bukan Ibu kamu! Panggil saya Nyonya! Kamu ngerti!" ungkap Bu Wati. "Ba-baik, Nyonya." Bi Wiwid tergugup, ia sedikit bingung dengan keangkuhan wanita tua itu, sedangkan majikannya saja tidak mau di panggil Nyonya, majikannya itu lebih nyaman di panggil dengan sebutan, Ibu karena itu lebih nyaman, tetapi tidak dengan wanita tua ini, bisa-bisa dia memerintah Bi Wiwid untuk di panggil Nyonya, apa dia Pemiliki rumah ini? Apa dia berkuasa atas segala yang ada di sini? Bi Wiwid tak habis pikir, kenapa ada manusia seperti mertua majikannya ini. "Kenapa bengong disitu? Apa kamu di bayar hanya untuk memperhatikan saya? Sana kembali ke dapur! Tempatmu itu di dapur bukan disini!" kata Bu Wati, "o ya, buatkan saya jus buah, sama saya mau sarapan roti," lanjutnya memerintah. Hari ini Bu Wati ingin menjadi orang kaya seperti yang ada di film-film, sarapan roti dengan jus. Tidak ada nasi goreng, dan kerupuk. Ia ingin perutnya sedikit di manja hari ini. "Ba-baik, Bu," sahut Bi Wiwid yang sudah terbiasa memanggil siapa saja dengan panggilan, Ibu. "Apa kamu bilang? Ibu? Kamu pikir saya Ibu kamu? Denger ya!" Bu Wati mendekati Bi Wiwid lalu menarik kasar telinga wanita itu, "panggil saya Nyonya!" ucap Bu Wati penuh penekanan. Namun, belum semat Bi Wiwid menjawab, Chika yang tadi di selematakan Bi Wiwid kini berlari ke kamar, dan dengan terpaksa membangunkan Tantenya untuk segera menghentikan aksi ganas Neneknya. "Tante ayo bangun di depan ada nenek. Nenek lagi marahin Bi Wiwid," celoteh Chika seraya menggoyangkan tubuh Rosa. Dengan segera Rosa membuka kedua matanya, silau ... itulah yang di rasakannya sekarang, "eumm, sayang ada apa?" tanya Rosa dengan suara serak karna baru terjaga. "Tante maaf Chika mengganggu, tapi di depan ada nenek. Bi Wiwid sedang di marahi oleh nenek," adu Chika. "Nenek? Maksud kamu?" Rosa segera bangun, dan mengikat rambutnya. Tanpa mencuci wajah, atau pergi ke kamar mandi, Rosa langsung menghampiri Bi Wiwid yang ternyata telinganya sedang di jewer oleh wanita yang hampir 7 bulan tak ia jumpai. Wanita tua itu ... kini berulah di dalam istananya. "Ada apa ini, Bu?" tanya Rosa, ia pun menarik ART-nya agar menjauh dari sang mertua. "Eh, Rosa ... kamu baru bangun, Nak?. O ya, gimana kabar kamu? Sehat, 'kan;" kata Bu Wati, suaranya lembut seperti sutra, sangat berbeda dengan tadi yang bagaikan mak lampir. "Bu, tolong jangan kasar dengan Bi Wiwid!" kata Rosa. "Kasar? Ibu tidak kasar, Nak. Di telinganya ada semut, tadi Ibu lagi ambil semut di telinganya, bukan menjewernya," elak Bu Wati. "Apa pun alasan Ibu, tolong jaga sikap, dan jangan kasar di rumah saya!" ungkap Rosa. ***"Sayang, tenang! Jangan begini, pikirkan anak kita! Kasihan dia pasti semakin terguncang!" ungkap Hasan mengingatkan. Sedangkan Pak Erik, ia buru-buru keluar, dan memanggil dokter sebelum putrinya semakin menggila, dan semua menjadi kacau. "Anak? Apa kau memikirkan itu saat kau berada di sana, Mas! Saat kau bersenang-senang dengannya! Saat aku minta kau untuk kembali! Tutup mulutmu, dan jangan pernah singgung soal anak! Ini anakku! tidak ada hakmu atas dirinya! Sekarang juga pergi dari hadapanku!" bentak Rosa. Tak ada lagi benda di dekatnya yang bisa di lempar, yang tersisa hanya tiang infus yang berada di sebelah bankarnya. Rosa menatap nyalang suaminya, tanpa pikir panjang ia mengangkat tingan itu, dan akan ia lemparkan pada suaminya. Namun, belum sempat Rosa meluapkan emosinya, sang ayah datang bersama dokter, dan dua suster berdiri di belakang. Krekkkk! "Astaghfirullah, Nak! Sadar!" teriak Pak Erik ketika masuk ke dalam kamar, dan menyaksikan putrinya tengah mengangkat tiang
"Aku mau kita pisah!" "Tidak, Sayang. Mas mohon, jangan!" "Lepaskan aku, Mas! Kita bukan suami-istri lagi!" "TIDAK, SAYANG! TIDAK!"Hasan tersentak dari tidurnya, dan keringat dingin menyapa tubuhnya, "astagfirullah, astagfirullah," ucapnya seraya bernafas lega saat sadar bahwa dirinya masih berada di rumah sakit, dan istrinya masih terbaring di sebelahnya tak sadarkan diri. "Hanya mimpi," gumam Hasan, ia pun mengusap lembut jemari istrinya yang masih terpaut erat dengan jemarinya. Lelaki itu kembali menangis mengingat betapa menderita istrinya selama ia tinggal berdinas ke Padang. "Maafkan, Mas ... Sayang," gumamnya lagi. Hasan mencium jemari istrinya dengan lembut, ia merasa sangat berdosa. Namun, mau bagaimana lagi, kepergiannya ke Padang bukan untuk bersenang-senang, ia ke Padang untuk merintis usaha baru, memperluas jangkauan bisnis keluarga istrinya, tetapi yang di dapat sekarang, rumah tangganya berada di ambang kehancuran. Lelaki itu tak tahu harus berbuat apa untuk me
Astaghfirullah, Pah. Sungguh ... aku tidak mengenal wanita itu." "Huffff!" Lagi, Pak Erik hanya bisa menarik nafasnya dalam. Ia merasa percuma terus bertanya, karena jawaban Hasan tetap sama, "tapi ... bila tidak mengenal kenapa dia bisa hamil?" tanya Pak Erik lagi. "Aku yakin, aku di jebak oleh dia, Pah," ungkap Hasan. Pak Erik menatap dalam manik mata menantunya. Ia berusaha mencari kebohongan di sana. Namun, yang terlihat hanyalah kesungguhan, tak ada kedustaan apalagi kecurangan. Pak Erik melihat mata itu masih sama seperti beberapa tahun yang lalu, mata yang memancarkan kejujuran, kasih sayang, dan juga tanggung jawab. Kini Pak Erik menjadi ragu akan kebenaran yang di katakan Mawar. "Akan Papah cari tahu kebenarannya," kata Pak Erik. Ia berjalan mendekati sofa yang ada di sudut ruangan. Tubuhnya lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, ia butuh istirahat ia butuh tidur, agar bisa berfikir jernih, dan tidak salah langkah dalam mengambil keputusan. Bu Wati, wanita tua itu mengi
Hujan di luar sepertinya mulai mereda, dan Rosa ... ia belum juga sadarkan diri. Selang infus menempel di tangannya, obat yang di suntik melalui infus mengalir ke seluruh penjuru tubuhnya. Di samping, dengan setia Hasan duduk menemani istrinya. Rasa penyesalan itu masih ada, sebab banyak waktu yang terbuang hanya untuk mempelajari sebuah materi yang tak ada habisnya.7 bulan dia pergi berdinas. Selama 7 bulan juga mereka hanya berkomunikasi melalui sambungan telfon. Istrinya selalu tersenyum bila mereka tengah melakukan panggilan Vidio, wanita itu juga mengatakan bahwa dia baik-baik saja meski mereka sedang berjauhan. Namun, pada kenyataannya, seperti di hantam bebatuan keras saat ia mengetahui berat bayi yang di kandung tidak normal, padahal usia kandungan sudah menginjak 7 bulan, apa bayinya kurang nutrisi? atau mungkin istrinya yang dengan sengaja tak menjaga pola makan serta memperhatikan kebutuhan sang bayi? Entahlah, Hasan hanya bisa menarik rambutnya kasar, merasa bodoh atas t
Jauh-jauh dari Padang ia datang ke Palembang hanya untuk meminta keadilan dari lelaki incarannya. Namun yang di dapat, ia malah di acuhkan begini, bahkan tak di anggap sama sekali. Sakit .... Namun, bukankah cinta membutuhkan pengorbanan? Maka dari itu, dirinya harus lebih keras lagi dalam berjuang demi bisa mencapai tujuannya. "Tujuanmu apa datang kesini, dan menghancurkan segalanya!" tanya Hasan saat mereka berdua berada di dapur tadi. "Aku hanya ingin hidup bersamamu," jawab Mawar. Wanita itu begitu puas bisa memandang wajah Hasan sedekat ini, dekat, bahkan sangat dekat. Dan di belakang, tak sengaja Bi Wiwid melihat kedekatan antara dua insan yang tak ada ikatan apapun. Namun, Bi Wiwid langsung pergi begitu saja sebab takut dikira tengah mengintip. Itulah mengapa Bi Wiwid mendadak gagu saat Rosa bertanya di mana suaminya. "Kasihan, Ibu ... dia wanita baik, kenapa hidupnya begitu berliku," lirih Bi Wiwid. Ia terus memandang mobil yang di kendarai oleh majikannya. "Namanya juga h
"Astagfirullah, bukan itu. Ayo kita bicara di dalam saja," ajak Hasan, lalu menarik istrinya masuk ke dalam kamar. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!" bentak Rosa lalu menjauh dari lelaki yang amat di bencinya. Ya ... yang tersisa sekarang hanyalah kebencian. Entah mengapa setelah melihat foto b-ugi-L suaminya bersama wanita itu, hati Rosa seakan tercabik-cabik, dan sekarang melihat langsung wajah suaminya Rosa merasa ingin melenyapkan lelaki ini dari muka bumi. "Mas di jebak, Sayang." "Kamu pikir ini sinetron, Mas?" "Sumpah!" "Sudah ku bilang jangan bermain dengan sumpah! Badai di luar belum usai, dan kamu ingin mengundangnya datang lagi!" "Dia orang pertama yang mau bekerja sama dengan cabang Nuansa. Saat itu, sebelum Mas menerima tawaran kerja sama dengannya, Mas menghubungi Papah dulu, dan saat itu Papah meng'iya,'kan, dan Mas langsung bertemu dengannya siang itu juga, tapi ... setelah itu entah mengapa Mas tidak sadar,---" "Tidak sadar kalau sampai kebablasan?