Masuk"Garda selingkuh?"
Dikara mempertanyakan itu kepada suaminya, Daaron. Malah dibalas tanya yang persis. "Nggak mungkinlah!" imbuh Daaron. Dikara juga merasa begitu. Harusnya tidak mungkin. "Tapi aku lihat Garda sama perempuan lain tadi." "Biasanya sama klien dia, sih. Kan, lukisan Garda banyak diminati, Ra." "Gandengan tangan juga kalau sama klien, Bang?" "Oh. Itu mah sepupunya, kali. Soalnya sodara Garda juga banyak yang cewek dan kayak seumuran. Lagian Garda selingkuh itu nggak mungkin, apalagi udah nikah sama Ais. Kita tau sendiri senaksir apa Garda ke Daisha, kan? Dari SMP." Dikara manggut-manggut. Memang, sih. Itu yang membuatnya jadi serasa mustahil bagi seorang Garda selingkuh. "Lagian di antara kami berlima; Abang, Dodo, Marco, Garda, dan Jean. Garda itu yang paaaling saleh. Dia bahkan nggak pernah pacaran, lho. Demi siapa? Daisha. Garda pengin dirinya sebersih itu buat menghadap Om Genta pas ngelamar anaknya." "Jadi, ini aku nggak usah kasih tahu Mbak Ais soal penemuanku di kafe?" Yang melihat Garda digandeng lengannya oleh seorang perempuan. "Nggak usah, Ra." "Tapi kalau betulan selingkuh, gimana? Mbak Ais itu sepupuku. Masa aku simpan sendirian soal ini, padahal aku tahu sejak awal?" "Kalopun iya Garda sebejat itu, biar aja nanti diketahui sendiri sama Ais atau papa-mamanya. Ini, kan, masih baru banget menikah. Sebulan aja belum pernikahan mereka. Jadi, Abang rasa ... pokoknya mending kita biarin dulu aja." Tadinya Dikara mau langsung menelepon Daisha terkait apa yang dia lihat di kafe, tetapi memilih membahasnya dengan suami dulu. Kan, suami Dikara adalah sahabat dekat Garda. "Lagian kalo Garda selingkuh, Abang gak bakal tinggal diam. Sebagai sahabat." Sayangnya, yang mereka bicarakan itu terdengar sampai sini. Hal yang membuat langkah Daisha berhenti. Dia mendatangi kediaman sang sepupu. Lebih tepatnya, ingin bertanya sesuatu kepada Bang Daaron. Waktu ketuk pintu rumah mereka, ART yang membukanya. Saat bibi bilang mau memanggilkan sang nyonya, Daisha meminta agar dirinya saja yang langsung ke sana. Diberitahulah lokasi Dikara berada, pas sekali sedang bersama Bang Daaron. Mereka duduk di tepi kolam membelakangi Daisha. Tampak romantis dan manis. Harusnya Daisha juga bisa seperti mereka andai— "Garda selingkuh?" Itu yang paling menari-nari di kepala Daisha sekarang. Si bibi cuma mengantarkan Daisha sampai sudah terlihat sosok Dikara dan Daaron dari pintu kaca yang dibuka, kemudian bibi melenggang mau membuatkan minuman. Daisha dengan jilbab lilac-nya lantas berpamitan, tepat saat bibi selesai membuatkan jamuan. Hendak dibawa ke area kolam renang. "Saya cuma sebentar, Bi. Maaf, ya, repot-repot." Dengan ulasan senyum lembut, menahan gejolak tak keruan di dada. 'Perihal Kak Garda .... Selingkuh?' *** Rumah tangga Daisha sudah berlangsung lebih dari dua minggu bila dihitung-hitung, tetapi tetap masih seumur jagung. Daisha sudah jujur, tetapi tak lantas membuat hubungan jadi kembali ke saat-saat masih hangat. Masih manis. Di dalam kuda besi yang dirinya tumpangi, Daisha tercenung. Tiba di rumah, dia lalu mendapati sosok yang saat ini sedang Daisha pikirkan. Iya, Garda baru saja pulang setelah semalam entah menginap di mana. Tujuan Daisha ke rumah Bang Daaron mau mencari tahu keberadaan suaminya dengan tanpa menunjukkan adanya keretakan. "Dari mana?" Tidakkah mestinya Daisha yang bertanya? "Kakak yang dari mana? Semalam nggak pulang." "Itu ada titipan." Pertanyaan Daisha tak dijawab. Garda mengedik pada sebuah bingkisan di meja. "Buat kamu." Daisha menggigit bibir bagian dalamnya. Paper bag-nya lucu, khas perempuan. Apa itu dari ... tapi kalau iya dari 'wanita' yang Dikara bahas selingkuhan Garda, buat apa kasih titipan untuknya? Ah, memangnya suami Ais selingkuh? Cuma karena dilihat gandengan tangan dengan wanita lain, lalu ngepasinnya semalam Garda tak pulang, kemudian menjelang siang ini datang bawa bingkisan dengan paper bag soft pink. "Makasih," ujar Daisha, sebelum Garda memutuskan untuk melenggang. Daisha lalu meraih titipan tersebut. Mengeluarkan isinya. Ada kotak ukuran sedang dan lumayan berat. Daisha buka. Entah kenapa Daisha ingin menangis. Itu mangkuk lucu. Ada motifnya. Bukan hal yang ingin Daisha tangisi, bukan soal mangkuk, tetapi tentang rumah tangganya. Ini bagaimana? Kenapa sudah berlalu hari di mana Daisha jujur soal keperawanan dan masalah keguguran, tidak ada perubahan baik dalam hubungannya dengan suami? Malah terasa makin dingin, makin jauh. *** Mau tahu? Hari-hari di sebelum hari ini, sebelum semalam Garda tidak pulang. Hari setelah Daisha dikata murahan. Paginya itu, Daisha bangun subuh. Dia mengetuk pintu kamar Garda. Sejenak berkilas balik. "Kak?" Soalnya pintu kamar suami dikunci. "Udah bangun, belum?" Sambil terus Daisha ketuk. "Salat jemaah—" Terpangkas, pintu dibuka. Daisha langsung mengulas senyum. Sangat berharap kalau setelah semalaman berlalu terkait kekecewaan Garda, paginya hubungan rumah tangga Daisha membaik. Berharap Garda— "Udah salat." —menerima ketidaksempurnaan Daisha. Tapi sepertinya belum, ya? Ah, iya. Benar juga. Butuh waktu lebih dari semalam untuk memaafkan, apalagi menerimanya, bukan? Daisha mengerti. Hal ini yang selalu dia tekankan. Garda butuh waktu yang lebih lama untuk itu, sampai nanti bisa memutuskan menerima Daisha atau ... mungkin hubungan pernikahan ini tak akan dilanjutkan. Dan sampai masa putusan itu tiba, Daisha punya waktu untuk berusaha mendapatkan hati plus kesediaan Garda atas dirinya. "Oh ... oke. Eh, iya. Kakak mau sarapan apa hari ini? Aku mau belanja habis salat." "Bebas." Dan Garda menutup pintu. "Pergi dulu. Joging." Daisha baru sadar kalau suaminya sudah rapi dengan setelan olahraga. Garda pun melintasi Daisha setelahnya. Daisha tidak bisa menahan langkah lelaki itu. Toh, cuma mau joging. Masih di hari yang sama, jam-jam setelah Daisha selesai masak sarapan. Dia membuat dua versi hidangan, ada sarapan non-nasi, ada pula yang dengan nasi. Dia tersenyum menatap hasil olahannya. Daisha cukup percaya diri kalau tentang masakan. Dia tinggal beres-beres dulu. Belum ada ART. Nanti Daisha bicarakan dengan Garda. Entah kapan, tetapi sepertinya Daisha bisa menghandel urusan rumah sendirian, apalagi saat suaminya sedang mode acuh tak acuh. Menyibukkan diri supaya pikiran dan perasaannya tidak melulu habis memikirkan rumah tangga yang—sayangnya, tidak bisa. Daisha menghela napas. Dadanya sesak. Masalahnya, dulu perjuangan Garda membuat Daisha semakin jatuh cinta. Itu yang lantas membuatnya tidak kuasa jujur sejak awal. Daisha meraih ponsel. Dia menelepon laki-laki yang joging itu. Sudah jam sembilan. Kok, lama sekali? Joging di mana memang? Tidak diangkat. Daisha kirim pesan. Daisha: [Kak, di mana?] Daisha lapar, jujur. Kalau makan duluan, takutnya Garda pulang. Jadi, Daisha menunggu. Waktu puasa juga dia kuat, kok, sampai magrib. Tapi bukankah keterlaluan kalau Daisha sebegitunya menunggui suami buat sarapan bareng? Untungnya, jam sepuluh Garda datang. Daihsa semringah. Tapi Garda datang sambil teleponan, sementara telepon dan pesan dari Daisha tadi tidak digubris. "Bisa. Oke, saya jalan sekarang." Ke mana lagi? Daisha bertanya-tanya dalam hati selepas mendengar tutur kata suami kepada si penelepon. Garda pun melirik sang istri. "Udah sarapan, Kak?" "Udah." Daisha senyum. Dia menunggu untuk sarapan bersama sejak pagi. Rupanya yang ditunggu sudah makan lebih dulu. Ya, tidak apa-apa, sih. Saat makan malam juga begitu. "Kamu juga kalo sekiranya nungguin lama, mending langsung makan. Gak usah nunggu." "Iya. Aku udah makan juga, kok. Cuma barangkali Kak Garda belum, ya, ayo. Aku bisa makan dua kali." Daisha berdusta, kali ini supaya tidak terlihat menyedihkan. Hari itu .... "Ini mau ke mana lagi, Kak?" "Kerja." Memang membawa seperangkat alat lukis. Eh, benar juga. Garda pulang bawa mobil. Daisha baru lihat mobil itu. Mungkinkah tadi pulang ke rumah Mama Gea, terus sarapan di sana sekalian ambil mobil? "Kak!" Daisha menahan sebelum Garda benar-benar masuk mobil. "Nanti pesan sama telepon dari aku tolong dijawab, ya? Aku kepikiran dan khawatir." "Iya. Tadi gak keangkat, mau balas pesan juga tanggung udah deket rumah." Cuma alasan, kan? Karena bukan sekali ini, semalam juga gitu. "Makasih." Daisha lalu mempersilakan Garda pergi. Itu baru soal satu hari, belum hari-hari sesudahnya. Meski di hari selepas itu, akhirnya Daisha dan Garda makan malam bersama. Dan saat malam itu .... Terlalu sunyi. Heningnya mencekam. Daisha sampai merasa sangsi bisa membuat rumah tangga ini dipertahankan oleh Garda. Refleks dia menangis saat makan malam itu. Air matanya jatuh begitu saja. Membuat hening yang hanya diisi bunyi denting dari sendok dan piring terlengkapi dengan suara isakan tertahan dari Daisha. Mungkin Garda jadi menatapnya, tetapi bukan ini yang Daisha inginkan. Bukan malah menangis dan terkesan seolah dirinya korban. Kan, jelas-jelas Daisha sendiri yang membuat ketidakharmonisan itu merengkuh hubungan rumah tangganya yang baru seumur jagung. "M-maaf ...." Bibir Daisha menggetarkan untai kata. "Maaf, Kak." Dia meraih tisu. Kemudian beranjak ke kamar mandi. Lama. Daisha menangis dan berusaha agar tak ada suara dari tangisnya. Dia pupus-pupus air mata. Takut dikira sedang caper atau ... malah jadi makin menjijikkan di mata suaminya. Dan sekarang, Daisha masuk kamar membawa paper bag isi mangkuk lucu. Titipan dari seseorang yang belum Daisha tanyakan siapa gerangan. Tanya atau tidak usah, ya? Daisha takut dengan jawabannya. ***"Kenapa, Kak?"Sudah cukup banyak hari berlalu, sampai kini tak terasa Adya mulai bisa berjalan, mulai bisa diajak ngobrol dan nyambung. Di mana selama itu, Garda telah mempersiapkan bisnis galeri seninya di Coffee U. Namun, Daisha melihat Garda seperti termenung. Mungkin ada sesuatu yang menimpanya? Maka dari itu Daisha tanya kenapa."Ais ....""Hm?"Tuh, kan. Suaminya terlihat resah, seperti ada hal yang ingin dibicarakan, tetapi Garda bingung bagaimana bilangnya sampai-sampai termenung."Kenapa, Kak?""Kakak rasa ... pendapatan Kakak menurun." Garda sudah menggunakan seluruh tabungannya untuk perwujudan galeri tersebut. Saat itu dia yakin-yakin saja bila stok pundi-pundi dunia yang ada di rekening tabungannya akan mudah terisi lagi, mengingat penghasilan Garda sebagai konten kreator lukis tak bisa dikatakan sedikit.Awal terasa penurunannya tidaklah signifikan hingga di bulan-bulan itu Garda rasa 'wajar', nanti juga naik lagi. Namun, bulan ke bulan ... sampai satu tahun Garda ama
"Ais. Kamu inget, gak?" Garda bertanya, tetapi tatapannya di Adya, sedangkan pertanyaannya untuk Daisha.Mami Adya pun menoleh, dia sedang berbenah memasukkan pakaian ke dus, bersiap-siap mau pindahan. Furnitur sudah dikirim dan langsung dengan pengerjaan desain interior. Mungkin lusa atau besok juga selesai, sudah dari kemarin soalnya. Rencana pindahan juga diputuskan mundur beberapa hari sampai rumah benar-benar sudah tertata sampak ke isi-isinya."Ingat apa, Kak?"Adya tengkurap, Garda usap-usap punggungnya, sesekali dia juga jawil pipi si kecil. Gemas, jujur. Menatap Adya tak pernah bosan karena inilah hasil karya Garda yang sesungguhnya bersama Daisha. Bukan sekadar lukisan, tetapi buah hati mereka."Pas SMP kita camping. Tepatnya, waktu angkatan kamu kemah dan Kakak jadi seniornya."Gerak tangan Daisha henti untuk sepersekian detik, kembali menoleh menatap Garda yang tidur menyamping menghadap Adya—juga menghadap ke arah Daisha yang lesehan di dekat lemari."Ingat." Saat camping
[Kak.][Bagusan yang mana warna birunya buat langit?][Sore, Kak. Kalau buat lukis abstrak ....]Dan masih banyak lagi kiriman pesan lain dari nomor Leona, hanya saja kontak itu sudah tidak disimpan di ponsel Garda—sedang Daisha lihat-lihat, inspeksi suka-suka. Tahu bahwa itu nomor Leona karena namanya tercantum di profil.[Sedih banget Kak Garda udah nggak open jasa lukis buatku lagi, padahal langganan sejak Kak Garda baru netes. :( ]Kalau itu dari Ayla.Nomornya sudah dihapus juga di ponsel Garda. Tahu ini kontak Ayla karena dari riwayat chat sebelumnya.Garda: [Terima kasih, ya, Ayla. Selama ini udah jadi pelanggan tetap dan ....]Ungkapan macam itu kira-kira yang Garda kirim terakhir kali. Ke sini-sininya pesan Ayla tidak pernah Garda balas lagi.Kalau begini sama saja dengan memutus tali silaturahmi tidak, sih? Tapi kalau mereka masih kontakan, Daisha juga kurang senang. Salahkah? Atau sudah benar seperti ini?Suami tidak berkontak dengan lawan jenis mana pun yang berpotensi mem
Bangun tidur, habis mandi, lalu bertatapan dengan Garda menjadi hal yang membuat perut Daisha digelitiki sayap kupu-kupu imaji. Ini pasti karena kejadian semalam. Ah, tidak mau Daisha jabarkan dengan rinci. Terlalu intim, Daisha malu. Garda tersenyum-senyum, masih di kasur. Oh, azan Subuh sudah berkumandang. Makanya itu Daisha bangun dan mandi suci lekas-lekas. "Aku udah wudu, Kak," tukas Daisha saat Garda hendak menempel. Takutnya bersentuhan dengan iringan nafsu sisa semalam. Garda mengerti. "Tunggu, ya? Jangan salat duluan. Kakak imamin." "Iya ...." Lagi, pipi Daisha memanas. Ini baru benar. Ini baru rumah tangga sungguhan, serasa malam pertama yang sebenarnya, tanpa ada kekhawatiran apa pun karena tak ada kebohongan yang dirawat. Lekas Daisha siapkan alat salatnya. Hal-hal kecil macam ini jadi terasa manis, menyiapkan seperangkat alat salat untuk suami. Di sisi lain, Baby Adya masih terpejam. Oh, tentu di jam-jam tertentu Daisha sempatkan bangun untuk menyusui putranya.
Rasanya seperti yang pertama. Debarannya sama. Saat ada tatapan Garda yang tidak biasa menjamah mulai dari wajahnya, tampak berkabut, seperti ada hasrat yang perlahan berkobar. Daisha merasakan semua itu sekadar dari sorot mata dan embusan napas papi Adya. Bayi kecil mereka sudah lelap, tetapi sejujurnya Daisha masih khawatir. Bagaimana jika Adya bangun saat dirinya dan Garda sedang di puncak keintiman? Kini ... kerudung Daisha sudah dilepas, jarak wajah ke wajah juga tak sampai satu jengkal, dapat Daisha rasakan buruan napas panas pria di atasnya. Oh, tentu. Adya tidur di dalam boks bayi. Agak tercekat napas Daisha kala bibir Garda mengecup-ngecup pipi hingga ke sekitaran daun telinga. Mulai intens. Lengan Daisha juga diusap-usap. Kecupan itu turun ke rahang, Daisha agak mendongak. Meremas sprei. Jantung makin heboh saja berdetak. Betul-betul seperti sedang malam pertamaan lagi. Di mana sekarang ... bibir dan bibir yang berjumpa. Daisha memejamkan mata, pun dengan Garda. Ada
Tanpa terasa, tiba waktu di mana Daisha mulai menyiapkan MPASI pertama untuk sang anak. Ada Mama Nuni yang memberi tahu variasi menunya. Di sisi lain, Garda sudah mulai nego harga terkait rumah. Untuk kali ini segalanya benar-benar dimulai dari nol. Dari awal lagi. Perihal rumah tangga. "Mama ... kok, dilepeh terus, ya? Susah banget nyuapinnya," ucap Daisha. Padahal tadi waktu membuatkan hidangan pertama untuk si kecil, Daisha sudah yakin pol bayi enam bulannya akan lahap menyantap. Namun, lihatlah itu. "Belum terbiasa dia," kata Mama Nuni. Oh, ya, katanya mama mertua Daisha juga sedang di perjalanan mau ke sini. Adya yang duduk di kursi makan khusus bayi itu menepuk-nepuk bagian mejanya. "Coba kasih minum dulu," sambung mama. Daisha pun menyodorkan sesendok air mineral kepada bayinya. Eh, eh, malah sendoknya digigit-gigit. Air minumnya tumpah meluber. Asli, celemotan dia—sampai ke dada-dada yang dilapisi celemek. "Ini, lho ... ini yang dimakan, Nak. Bukan sendoknya.







