LOGIN"Masak apa?"
Daisha terkesiap. Dia sedang ambil minum di dapur saat tenggorokan serasa tercekat, perihal mangkuk lucu entah pemberian siapa. Daisha belum berani menanyakannya. Dan di sini, tiba-tiba suara itu terdengar. Dapat Daisha lihat suaminya menghampiri. Hanya dengan satu tanya itu hati Daisha melahirkan begitu banyak harapan, mungkinkah sudah mulai membaik rumah tangga yang baru seumur jagung ini? "Ayam kecap, ada sayur bening juga. Atau Kakak mau aku masakin yang lain?" Semringah Daisha menjawab, dia pun lekas-lekas menyudahi tegukannya. Daisha berdiri selepas meletakkan gelas di meja dapur. "Yang ada aja." Singkat, sih, memang. Namun, percayalah ... begitu saja Daisha senang mendengarnya. "Oke, Kak. Aku siapin." Makin senang karena Garda memilih duduk manis di kursi makan. Daisha bertanya-tanya dalam batinnya di tiap pergerakan. Ini pertanda baik, kan? Mungkin Kak Garda sudah mulai bisa menerima ketidaksempurnaannya, kan? Mungkin kemarin saat tidak pulang itu Kak Garda butuh ruang yang betul-betul sendirian, tanpa melihatnya. Namun, lalu apa maksud dari penemuan Dikara soal Garda yang gandengan bersama wanita lain? Soal perselingkuhan .... Sayang, Daisha masih belum berani mengangkat topik itu untuk dibicarakan langsung kepada suaminya. Sekali pun jika kini sudah membaik. Diletakkannya hidangan yang semula Daisha simpan dalam rak. Dia juga menyendokkan nasi untuk lelaki itu, meski ternyata sejak tadi Garda sibuk dengan ponsel. Tanpa bisa dicegah, hati Daisha serasa diiris. Perih. Cuma karena fokus suami di ponsel. Daisha berikan air mineralnya juga, lalu duduk. "Silakan, Kak." Barulah saat itu Garda letakkan ponselnya. Cuci tangan dulu. Dan dalam dudukannya yang tidak jauh dari ponsel itu, Daisha melihat ada notifikasi yang masuk. Dua kali. Yang kedua ini Daisha agak mencondong. Boleh, kan, tengok notif di ponsel suami? Tapi benda persegi dengan segala kecanggihannya itu keburu diambil sang empu. Garda kantongi. Duduk lagi. Daisha kontan menggigit bibir bagian dalamnya. Menahan perih yang tadi, semakin terasa jelas, dan berusaha Daisha tepikan. Keduanya lantas melahap makanan dalam diam. Daisha juga ikut makan. Karena untuk bisa makan berdua seperti ini rasanya sangat jarang, jadi tak mau Daisha lewatkan. Ah, lisannya gatal ingin bertanya, "Pesan dari siapa tadi?" Tidak apa-apa, kan? Namanya juga istri ke suami. Dan lagi, status itu masih bertakhta kini. "Klien." Setidaknya dijawab walau super singkat. Daisha menatap wajah tampan yang beberapa hari ini dicintainya, bahkan dulu waktu sekolah Daisha sempat menaruh rasa. Sama-sama cinta dalam diam, apalagi dulu Daisha patuh pada wejangan papa untuk tidak pacar-pacaran, makanya cuma bisa menyukai dalam keheningan. Garda yang sekarang telah Daisha buat kecewa, jadi wajar bila tadi saat bicara pun sama sekali tidak meliriknya. "Perempuan?" Begitu saja vokal Daisha mengalun. Lidahnya tergelincir tanpa bisa dicegah. Rasa penasaran mendorongnya, bahkan melampaui titik pertahanan untuk tidak bertanya karena takut dengan jawabannya. Namun, tidak dijawab. Haruskah Daisha ulangi? Tidak masalah, kan? "Kak?" Lelaki itu berdecak. Daisha kontak meremas sendok. Hatinya sakit, dari decakan yang dia dengar seolah ada jarum kecil yang menancap. Daisha menunduk. Kali ini yang ditahan bukan cuma perih dalam dada, tetapi panas di matanya juga. Berkaca-kaca. Daisha jejalkan nasi beserta jajaran lauk ke mulut. Menyumpal agar tidak banyak tanya. Sementara itu, Garda berdiri. Daisha kontan melirik. Nasi di piring suami masih bersisa, tetapi lelaki itu sudah melenggang cuci tangan di wastafel. Jantung Daisha berdebar kencang, di ujung lidah sudah bergelayut pertanyaan baru. Kali ini soal mangkuk kecil yang tadi. Namun, sebentar. "Nggak dihabisin makanannya, Kak?" Dan alih-alih dijawab dengan omongan, Daisha melihat Garda mengambil piring itu, lalu membuang sisa makanannya ke tong sampah, termasuk sayur di mangkuk. Sebelum berikutnya melenggang meninggalkan Daisha sendirian di ruang makan. *** Daisha menarik napas panjang, lalu dia embuskan. Makan siang berakhir kurang menyenangkan, padahal awalnya Daisha sudah senang. Soal mangkuk kecil pun belum sempat Daisha tanyakan, dan sedang ditatapnya sekarang. Daisha menyimpannya dengan apik di bufet kamar. Daisha menunduk, menatap cincin di jari manis. Ada lengkung senyum yang lantas terukir mengingat sosok Garda di sebelum subuh pertama tiba. Waktu cincin ini dipasangkan, lalu sesudahnya ada kecup hangat di kening, Daisha merindukan hal-hal manis yang baru dicecapnya kemarin. Oh, pintu kamar Daisha dibuka dari luar. Memang sengaja tak pernah dia kunci, beda dengan kamar suami. Gegas Daisha sambut lelaki itu walau di sini dia sedang tidak berpakaian, hanya dililit handuk. Maklum, baru banget keluar dari kamar mandi. "Eh, Kak? Ada—" Terpangkas. Detik itu. Kalian tahu? Daisha tidak yakin ini bisa dikatakan hal baik, saat Garda mendekat dan meraup bibirnya sambil menekan tengkuk. Dua tangan Daisha mengepal di depan dada, dia mendapati dirinya bingung untuk memberi respons balasan atau perlawanan. Daisha, kan, sedang mode berusaha agar mendapatkan hati suami dan menjadikan hubungan rumah tangga ini menghangat macam awal-awal akad. Maka dari itu, sudah seyogyanya Daisha balas pagutan Garda dengan sukarela. Sukahati malah. Karena yang menciumnya adalah suami. Iya, kan? Namun, sisi lainnya memberi seruan untuk mundur, mendorong, atau apa pun yang berkaitan dengan berontak. Hanya saja, pilihan Daisha jatuh di yang pertama. Siapa tahu ini 'baik' walau dirinya sendiri sangsi. Daisha memberi akses agar ciuman Garda bisa jadi semakin intens, bahkan Daisha mulai menggerakkan bibirnya. Coba dulu saja, begitu suara batin Daisha. Dan dia rasa handuknya dilepaskan. Punggung Daisha mulai merasakan terpaan dingin AC. Itu berarti tubuhnya sekarang ... tanpa sehelai kain menutupi. Aneh. Batinnya berperang. Hati kecilnya tidak menginginkan ini, tetapi ada hal lain yang membuat Daisha menolak memberi perlawanan. Seketika tubuh Daisha dibuat rebah di ranjang. Jantungnya berdegup kencang. Bibir Garda kembali menjatuhkan kecup, bahkan kali ini ragam isapan. Dari leher hingga ... oh! Daisha menahan-nahan desahan, tetapi lolos juga. Kala dadanya ditingkahi. Daisha refleks meremas sprei. Ada kelembapan dari mulut Garda di sana, juga permainan jarinya. Daisha gelisah. Di samping itu, sejujurnya Daisha masih malu untuk tampil tidak berpakaian di depan Garda. Namun, beginilah yang ada sekarang. "Kak ...." Lirih suara Daisha, wajahnya juga mungkin sudah memerah, dengan tangan agak ragu-ragu mencekal rambut suaminya. Di mana kepala Garda berposisi tepat di depan dada Daisha. Ini terlalu .... Sulit dia jabarkan. Apalagi di detik bagian tubuh lain yang Daisha rasa mulai Garda sapu dengan tangannya. Di sana. Area paling intim. Tunggu dulu! Tapi Garda tidak bisa dikendali, apalagi oleh Daisha. Sekali pun kini mata ke mata saling berjumpa. Daisha mencoba mencari makna dari apa yang sedang Garda ingini. Namun, terlalu abu-abu. Dan saat Daisha sibuk mencari arti dari apa yang suaminya lakukan, Garda telah membenamkam diri. Membuat Daisha tersentak. Satu hal yang pasti, hanya Daisha yang tidak tertutup sehelai kain pun. Lain dengan Garda, lelaki itu cuma menurunkan celananya, tanpa benar-benar dilepas. ***"Pindah bentar, yuk?" Daisha terkesiap, menoleh dan mendapati putra Mama Gea di belakangnya. Posisi Daisha rebah menyamping menghadap Adya. Malam itu minta bobok di kamar mami katanya. Anak sekecil itu sudah dilatih tidur sendiri, di kamar sendiri pula. Lagi pula kamar Adya berada tepat di sebelah kamar Garda."Ais ...." Garda bisik-bisik lagi.Jangan bilang serius mau bikin adik? Selama ini Daisha KB, sih, jujur. Garda tahu, kok. Diizinkan, asal KB pil katanya biar kalau mau anak, tinggal tidak usah diminum.Tadinya sempat mau KB alami saja, tetapi setelah Daisha pikir-pikir ... tak apalah KB medis. Dibicarakannya dengan pak suami, syukur Garda langsung membolehkan.Oh, ya, ketidakjujuran Daisha di awal pernikahan itu menjadi sebuah pelajaran paling berharga bagi dirinya sendiri. Yang mana sekarang ini, mau apa-apa juga Daisha bilang dulu ke suami. Lapor, cerita, izin, dan diskusi.Tidak jauh beda dengan Daisha, Garda juga sekarang mengedepankan komunikasi. Tak lagi mendewakan emos
"Kenapa, Kak?"Sudah cukup banyak hari berlalu, sampai kini tak terasa Adya mulai bisa berjalan, mulai bisa diajak ngobrol dan nyambung. Di mana selama itu, Garda telah mempersiapkan bisnis galeri seninya di Coffee U. Namun, Daisha melihat Garda seperti termenung. Mungkin ada sesuatu yang menimpanya? Maka dari itu Daisha tanya kenapa."Ais ....""Hm?"Tuh, kan. Suaminya terlihat resah, seperti ada hal yang ingin dibicarakan, tetapi Garda bingung bagaimana bilangnya sampai-sampai termenung."Kenapa, Kak?""Kakak rasa ... pendapatan Kakak menurun." Garda sudah menggunakan seluruh tabungannya untuk perwujudan galeri tersebut. Saat itu dia yakin-yakin saja bila stok pundi-pundi dunia yang ada di rekening tabungannya akan mudah terisi lagi, mengingat penghasilan Garda sebagai konten kreator lukis tak bisa dikatakan sedikit.Awal terasa penurunannya tidaklah signifikan hingga di bulan-bulan itu Garda rasa 'wajar', nanti juga naik lagi. Namun, bulan ke bulan ... sampai satu tahun Garda ama
"Ais. Kamu inget, gak?" Garda bertanya, tetapi tatapannya di Adya, sedangkan pertanyaannya untuk Daisha.Mami Adya pun menoleh, dia sedang berbenah memasukkan pakaian ke dus, bersiap-siap mau pindahan. Furnitur sudah dikirim dan langsung dengan pengerjaan desain interior. Mungkin lusa atau besok juga selesai, sudah dari kemarin soalnya. Rencana pindahan juga diputuskan mundur beberapa hari sampai rumah benar-benar sudah tertata sampak ke isi-isinya."Ingat apa, Kak?"Adya tengkurap, Garda usap-usap punggungnya, sesekali dia juga jawil pipi si kecil. Gemas, jujur. Menatap Adya tak pernah bosan karena inilah hasil karya Garda yang sesungguhnya bersama Daisha. Bukan sekadar lukisan, tetapi buah hati mereka."Pas SMP kita camping. Tepatnya, waktu angkatan kamu kemah dan Kakak jadi seniornya."Gerak tangan Daisha henti untuk sepersekian detik, kembali menoleh menatap Garda yang tidur menyamping menghadap Adya—juga menghadap ke arah Daisha yang lesehan di dekat lemari."Ingat." Saat camping
[Kak.][Bagusan yang mana warna birunya buat langit?][Sore, Kak. Kalau buat lukis abstrak ....]Dan masih banyak lagi kiriman pesan lain dari nomor Leona, hanya saja kontak itu sudah tidak disimpan di ponsel Garda—sedang Daisha lihat-lihat, inspeksi suka-suka. Tahu bahwa itu nomor Leona karena namanya tercantum di profil.[Sedih banget Kak Garda udah nggak open jasa lukis buatku lagi, padahal langganan sejak Kak Garda baru netes. :( ]Kalau itu dari Ayla.Nomornya sudah dihapus juga di ponsel Garda. Tahu ini kontak Ayla karena dari riwayat chat sebelumnya.Garda: [Terima kasih, ya, Ayla. Selama ini udah jadi pelanggan tetap dan ....]Ungkapan macam itu kira-kira yang Garda kirim terakhir kali. Ke sini-sininya pesan Ayla tidak pernah Garda balas lagi.Kalau begini sama saja dengan memutus tali silaturahmi tidak, sih? Tapi kalau mereka masih kontakan, Daisha juga kurang senang. Salahkah? Atau sudah benar seperti ini?Suami tidak berkontak dengan lawan jenis mana pun yang berpotensi mem
Bangun tidur, habis mandi, lalu bertatapan dengan Garda menjadi hal yang membuat perut Daisha digelitiki sayap kupu-kupu imaji. Ini pasti karena kejadian semalam. Ah, tidak mau Daisha jabarkan dengan rinci. Terlalu intim, Daisha malu. Garda tersenyum-senyum, masih di kasur. Oh, azan Subuh sudah berkumandang. Makanya itu Daisha bangun dan mandi suci lekas-lekas. "Aku udah wudu, Kak," tukas Daisha saat Garda hendak menempel. Takutnya bersentuhan dengan iringan nafsu sisa semalam. Garda mengerti. "Tunggu, ya? Jangan salat duluan. Kakak imamin." "Iya ...." Lagi, pipi Daisha memanas. Ini baru benar. Ini baru rumah tangga sungguhan, serasa malam pertama yang sebenarnya, tanpa ada kekhawatiran apa pun karena tak ada kebohongan yang dirawat. Lekas Daisha siapkan alat salatnya. Hal-hal kecil macam ini jadi terasa manis, menyiapkan seperangkat alat salat untuk suami. Di sisi lain, Baby Adya masih terpejam. Oh, tentu di jam-jam tertentu Daisha sempatkan bangun untuk menyusui putranya.
Rasanya seperti yang pertama. Debarannya sama. Saat ada tatapan Garda yang tidak biasa menjamah mulai dari wajahnya, tampak berkabut, seperti ada hasrat yang perlahan berkobar. Daisha merasakan semua itu sekadar dari sorot mata dan embusan napas papi Adya. Bayi kecil mereka sudah lelap, tetapi sejujurnya Daisha masih khawatir. Bagaimana jika Adya bangun saat dirinya dan Garda sedang di puncak keintiman? Kini ... kerudung Daisha sudah dilepas, jarak wajah ke wajah juga tak sampai satu jengkal, dapat Daisha rasakan buruan napas panas pria di atasnya. Oh, tentu. Adya tidur di dalam boks bayi. Agak tercekat napas Daisha kala bibir Garda mengecup-ngecup pipi hingga ke sekitaran daun telinga. Mulai intens. Lengan Daisha juga diusap-usap. Kecupan itu turun ke rahang, Daisha agak mendongak. Meremas sprei. Jantung makin heboh saja berdetak. Betul-betul seperti sedang malam pertamaan lagi. Di mana sekarang ... bibir dan bibir yang berjumpa. Daisha memejamkan mata, pun dengan Garda. Ada







