Share

4 | Tidak Baik-Baik Saja

Penulis: Lolly
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-27 10:58:08

Daisha ketuk pintu kamar suami, benar-benar sudah terpisah. Apa ini pengibaran bendera cerai?

Tidak.

Daisha akan mengembalikan kehangatan yang pernah dia rasakan di hari pertama menikah. Toh, cuma pisah kamar, bukan pisah rumah. Artinya masih bisa dibenahi. Garda cuma butuh waktu untuk sendiri.

"Kak?" Dipanggilnya sang suami. "Makan, yuk?"

Ini sudah malam. Daisha sudah memanaskan hidangan yang dibawa dari rumah orang tua. Dari sore tadi Garda tidak keluar, mungkin tidur atau ... entahlah. Daisha tidak berani mengganggu, selain sekarang karena jam makan malam sudah tiba.

Pintu dibuka, Daisha senyum. "Aku udah manasin makanan dan—"

"Duluan aja." Garda menutup pintu kamarnya. Ada kunci motor di tangan dan dompet yang dia kantongi. Menyuruh Daisha makan duluan.

"Kakak mau ke mana?" Daisha mengekor.

"Ke luar dulu." Acuh tak acuh.

"Ke?" Daisha percepat langkahnya demi menyetarai pijakan suami.

Tidak dijawab.

"Kak—" Ditepis. Juluran tangan Daisha tidak diizinkan menyentuhnya.

Hati Daisha berasa diiris.

Dilihatnya Garda melanjutkan langkah, memakai helm, lalu melenggang meninggalkan Daisha di tempat tanpa sepatah kata lagi.

Kok, jadi gini?

Daisha menatap kepergian itu.

Eh, jangan-jangan Garda mau ke rumah Papa Genta? Jangan-jangan mau dilaporkan soal ketidaksempurnaan Daisha? Jangan-jangan ... tidak!

Tidak boleh.

Papa dan mama adalah orang yang paling Daisha jaga dari kehancuran hidupnya. Selama ini Daisha sudah menjaganya sebaik mungkin.

Ah ... harusnya tadi Daisha tidak perlu mengakui. Harusnya tadi dia terus menutupi walau caranya berbohong sangat buruk. Pikiran Daisha kalut dan berkecamuk.

Diraihnya ponsel, Daisha menghubungi kontak suami. Jelas tak akan diangkat. Kan, sedang bawa motor. Daisha kirimkan pesan.

Daisha: [Kak, aku mohon jangan kasih tahu orang tuaku soal itu.]

Tangan Daisha agak gemetar.

Dingin.

Oh, dia susul sajakah?

Tapi kalau Daisha ke sana, lalu Garda tidak ada, nanti jadi masalah.

Terduduklah dia di teras. Daisha masih berusaha menghubungi kontak Garda. Mana tahu nanti pas turun dari motor, notifikasi dering telepon Daisha menyela. Kemudian ponselnya dilihat, minimal pesan yang Daisha kirim banyak-banyak dibaca.

Entah berapa lama, Daisha lalu melihat gerbang rumahnya dibuka. Dia pun berdiri. Senang bahwa itu suami. Walau tadi tak satu pun telepon Daisha diangkat, tak satu pun pesan digubris.

"Kak!" Daisha menghadang langkah putra Mama Gea. "Tadi ... nggak habis dari rumah Papa Genta, kan?"

Garda mendapati raut penuh pengharapan di wajah istrinya. "Nggak."

Daisha tampak lega. "Makasih."

Memercayai jawaban Garda dengan mudah, tetapi sejatinya itu hanya bentuk dari pengharapan yang dalam.

"Pokoknya ... jangan kasih tahu orang tuaku, ya, Kak?"

Rahang Garda agak mengetat. Kesal mendengarnya. "Udah, nggak usah dibahas."

"Makasih, Kak."

Makin kesal mendengar itu. Garda pun ngeluyur masuk. Dia langsung ke kamar.

"Eh, Kak! Nggak makan dulu?"

Sudah, Garda sudah makan. Dia keluar buat makan tadi. Sekarang mau rehat, capek. Pikiran dan hatinya sedang bertarung perihal kenakalan Daisha di masa lalu. Agak sulit dipercaya kalau itu pelecehan, dengan pacar pula. Karena jika benar dilecehkan, lalu kenapa orang tua tidak mau diberi tahu?

Sementara, Daisha menatap daun pintu. Dia mengulas senyum tipis. Agak getir di situ.

Pernah terlintas untuk selamanya melajang. Andai tidak memikirkan papa dan mama. Takut ketahuan juga kalau Daisha hidup secara tak normal.

Ya, dia takut.

Sejak hari di mana Daisha tidak berselaput dara lagi, hingga membuat alat tes kehamilan bergaris dua, sampai akhirnya gugur karena mental Daisha tidak pernah baik-baik saja saat itu ... dia ketakutan.

Untuk memilih mati pun takut.

Meski tidak lebih takut daripada nodanya diketahui orang tua, lalu mencemarkan nama baik papa dan mama. Apalagi, kan, tahu sendiri siapa sosok Papa Genta. Makin tua papa Daisha makin dikenal cukup agamis, padahal dulunya saat masih bujang tidak begini-begini amat.

Poinnya, sekarang Papa Genta dibanding keluarga lain; beliau memiliki istri berjilbab hingga ke anaknya ini, sedari Daisha kecil diajarkan menutup aurat. Nah, yang seperti itu ... masa Daisha punya aib sudah bukan perawan, sempat hamil di luar nikah pula. Betapa dia sangat menodai kebersihan nama papanya, pun serasa melempar kotoran ke wajah mereka. Terlepas dari dirinya dilecehkan.

Dan kalau Daisha menceritakan detail kejadiannya kepada Garda, yakin seratus persen akan bocor ke orang tua. Daisha belum siap.

Untuk saat ini maunya, Garda 'cukup tahu' dan 'mari lupakan itu.' Sayangnya, sepertinya Garda tidak bisa.

Begitu mendengar kejujuran Daisha soal membenarkan isi pesan si peneror saja respons Garda tidak sesuai dengan yang diucap saat subuh pertama. Lelaki itu tidak bisa benar-benar 'menerima ketidaksempurnaannya.'

Daisha lantas melahap makanan—sendirian—sambil menyeka air mata.

Dia juga mempertanyakan hatinya, kalau Garda yang tidak perjaka dan pernah hampir punya anak, apa Daisha bisa untuk tidak mempermasalahkannya?

***

Gawat, semakin hari semakin buruk. Meski begitu, Daisha tak patah arang. Dia akan terus berjuang hingga mendapat titik penerimaan.

Yakin bisa, apalagi Garda mencintainya. Kalau sudah cinta, biasanya hati bisa terbujuk, kan? Tinggal tunggu waktu, yang penting Daisha tahan banting dulu. Lagi pula ini berawal dari kesalahannya.

Tapi bagaimana dengan sekarang, sampai pukul dua dini hari suaminya belum pulang. Daisha bolak-balik mengecek ke luar jendela, barangkali sudah datang, hanya memang Daisha tidak mendengar suara deru motornya.

Nihil.

Daisha cek ponsel. Pesan-pesannya bahkan belum dibaca, panggilan darinya tidak diangkat.

Ada sesak yang menyergap.

Itu semua sengajakah?

Daisha duduk di sofa ruang tamu, lampu dibiarkan menyala, hingga tidak terasa dia terlelap.

Tahu-tahu sudah pagi, Daisha bahkan hampir melewati subuhnya. Dia bergegas. Tapi sebelum itu, ada satu hal yang Daisha lakukan, yakni mengecek ke luar apakah sudah ada motornya?

Tidak ada.

Ataukah sudah di kamar dan pulang tanpa bawa kendaraan? Mengingat kunci pintu rumah ini yang serep dipegang oleh suami, sedang Daisha pegang kunci utama. Namun, pintu kamar Garda juga masih terkunci dan Daisha panggil-panggil pun tidak ada sahutan.

Artinya, Garda tidak pulang.

Daisha menahan gemuruh tidak menyenangkan di dalam dadanya. Dia menarik napas panjang, lalu embuskan.

Oh, tapi ada satu pesan dari kontak suami. Daisha plong walau cuma berisi: [Tidur duluan aja.]

Pukul setengah tiga pagi.

Digigitnya bibir yang menjadi kebiasaan saat Daisha menekan perasaan.

Sepertinya andaipun Daisha cerita dengan detail rahasianya, untuk sekarang belum tentu Garda bisa percaya.

Yang harus Daisha lakukan adalah mengembalikan kepercayaan lelaki itu dulu, baru bisa dia usahakan kehangatan di rumah tangganya.

Daisha: [Sekarang lagi di mana, Kak?]

Lagi-lagi sampai Daisha beres salat, mandi, berbenah rumah, sarapan, dan menjelang siang ... tidak ada jawaban. Pun, Garda masih belum pulang.

Daisha mengambil tas selempang, dimasukkannya ponsel dan dompet, lalu keluar.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahasia di Ranjang Malam Pertama   81 | Adik?

    "Kenapa, Kak?"Sudah cukup banyak hari berlalu, sampai kini tak terasa Adya mulai bisa berjalan, mulai bisa diajak ngobrol dan nyambung. Di mana selama itu, Garda telah mempersiapkan bisnis galeri seninya di Coffee U. Namun, Daisha melihat Garda seperti termenung. Mungkin ada sesuatu yang menimpanya? Maka dari itu Daisha tanya kenapa."Ais ....""Hm?"Tuh, kan. Suaminya terlihat resah, seperti ada hal yang ingin dibicarakan, tetapi Garda bingung bagaimana bilangnya sampai-sampai termenung."Kenapa, Kak?""Kakak rasa ... pendapatan Kakak menurun." Garda sudah menggunakan seluruh tabungannya untuk perwujudan galeri tersebut. Saat itu dia yakin-yakin saja bila stok pundi-pundi dunia yang ada di rekening tabungannya akan mudah terisi lagi, mengingat penghasilan Garda sebagai konten kreator lukis tak bisa dikatakan sedikit.Awal terasa penurunannya tidaklah signifikan hingga di bulan-bulan itu Garda rasa 'wajar', nanti juga naik lagi. Namun, bulan ke bulan ... sampai satu tahun Garda ama

  • Rahasia di Ranjang Malam Pertama   80 | Naksir Ala Garda

    "Ais. Kamu inget, gak?" Garda bertanya, tetapi tatapannya di Adya, sedangkan pertanyaannya untuk Daisha.Mami Adya pun menoleh, dia sedang berbenah memasukkan pakaian ke dus, bersiap-siap mau pindahan. Furnitur sudah dikirim dan langsung dengan pengerjaan desain interior. Mungkin lusa atau besok juga selesai, sudah dari kemarin soalnya. Rencana pindahan juga diputuskan mundur beberapa hari sampai rumah benar-benar sudah tertata sampak ke isi-isinya."Ingat apa, Kak?"Adya tengkurap, Garda usap-usap punggungnya, sesekali dia juga jawil pipi si kecil. Gemas, jujur. Menatap Adya tak pernah bosan karena inilah hasil karya Garda yang sesungguhnya bersama Daisha. Bukan sekadar lukisan, tetapi buah hati mereka."Pas SMP kita camping. Tepatnya, waktu angkatan kamu kemah dan Kakak jadi seniornya."Gerak tangan Daisha henti untuk sepersekian detik, kembali menoleh menatap Garda yang tidur menyamping menghadap Adya—juga menghadap ke arah Daisha yang lesehan di dekat lemari."Ingat." Saat camping

  • Rahasia di Ranjang Malam Pertama   79 | Rumah Tangga Impian

    [Kak.][Bagusan yang mana warna birunya buat langit?][Sore, Kak. Kalau buat lukis abstrak ....]Dan masih banyak lagi kiriman pesan lain dari nomor Leona, hanya saja kontak itu sudah tidak disimpan di ponsel Garda—sedang Daisha lihat-lihat, inspeksi suka-suka. Tahu bahwa itu nomor Leona karena namanya tercantum di profil.[Sedih banget Kak Garda udah nggak open jasa lukis buatku lagi, padahal langganan sejak Kak Garda baru netes. :( ]Kalau itu dari Ayla.Nomornya sudah dihapus juga di ponsel Garda. Tahu ini kontak Ayla karena dari riwayat chat sebelumnya.Garda: [Terima kasih, ya, Ayla. Selama ini udah jadi pelanggan tetap dan ....]Ungkapan macam itu kira-kira yang Garda kirim terakhir kali. Ke sini-sininya pesan Ayla tidak pernah Garda balas lagi.Kalau begini sama saja dengan memutus tali silaturahmi tidak, sih? Tapi kalau mereka masih kontakan, Daisha juga kurang senang. Salahkah? Atau sudah benar seperti ini?Suami tidak berkontak dengan lawan jenis mana pun yang berpotensi mem

  • Rahasia di Ranjang Malam Pertama   78 | Bebas Mengekspresikan

    Bangun tidur, habis mandi, lalu bertatapan dengan Garda menjadi hal yang membuat perut Daisha digelitiki sayap kupu-kupu imaji. Ini pasti karena kejadian semalam. Ah, tidak mau Daisha jabarkan dengan rinci. Terlalu intim, Daisha malu. Garda tersenyum-senyum, masih di kasur. Oh, azan Subuh sudah berkumandang. Makanya itu Daisha bangun dan mandi suci lekas-lekas. "Aku udah wudu, Kak," tukas Daisha saat Garda hendak menempel. Takutnya bersentuhan dengan iringan nafsu sisa semalam. Garda mengerti. "Tunggu, ya? Jangan salat duluan. Kakak imamin." "Iya ...." Lagi, pipi Daisha memanas. Ini baru benar. Ini baru rumah tangga sungguhan, serasa malam pertama yang sebenarnya, tanpa ada kekhawatiran apa pun karena tak ada kebohongan yang dirawat. Lekas Daisha siapkan alat salatnya. Hal-hal kecil macam ini jadi terasa manis, menyiapkan seperangkat alat salat untuk suami. Di sisi lain, Baby Adya masih terpejam. Oh, tentu di jam-jam tertentu Daisha sempatkan bangun untuk menyusui putranya.

  • Rahasia di Ranjang Malam Pertama   77 | Menyempurnakan

    Rasanya seperti yang pertama. Debarannya sama. Saat ada tatapan Garda yang tidak biasa menjamah mulai dari wajahnya, tampak berkabut, seperti ada hasrat yang perlahan berkobar. Daisha merasakan semua itu sekadar dari sorot mata dan embusan napas papi Adya. Bayi kecil mereka sudah lelap, tetapi sejujurnya Daisha masih khawatir. Bagaimana jika Adya bangun saat dirinya dan Garda sedang di puncak keintiman? Kini ... kerudung Daisha sudah dilepas, jarak wajah ke wajah juga tak sampai satu jengkal, dapat Daisha rasakan buruan napas panas pria di atasnya. Oh, tentu. Adya tidur di dalam boks bayi. Agak tercekat napas Daisha kala bibir Garda mengecup-ngecup pipi hingga ke sekitaran daun telinga. Mulai intens. Lengan Daisha juga diusap-usap. Kecupan itu turun ke rahang, Daisha agak mendongak. Meremas sprei. Jantung makin heboh saja berdetak. Betul-betul seperti sedang malam pertamaan lagi. Di mana sekarang ... bibir dan bibir yang berjumpa. Daisha memejamkan mata, pun dengan Garda. Ada

  • Rahasia di Ranjang Malam Pertama   76 | Mulai dari Nol

    Tanpa terasa, tiba waktu di mana Daisha mulai menyiapkan MPASI pertama untuk sang anak. Ada Mama Nuni yang memberi tahu variasi menunya. Di sisi lain, Garda sudah mulai nego harga terkait rumah. Untuk kali ini segalanya benar-benar dimulai dari nol. Dari awal lagi. Perihal rumah tangga. "Mama ... kok, dilepeh terus, ya? Susah banget nyuapinnya," ucap Daisha. Padahal tadi waktu membuatkan hidangan pertama untuk si kecil, Daisha sudah yakin pol bayi enam bulannya akan lahap menyantap. Namun, lihatlah itu. "Belum terbiasa dia," kata Mama Nuni. Oh, ya, katanya mama mertua Daisha juga sedang di perjalanan mau ke sini. Adya yang duduk di kursi makan khusus bayi itu menepuk-nepuk bagian mejanya. "Coba kasih minum dulu," sambung mama. Daisha pun menyodorkan sesendok air mineral kepada bayinya. Eh, eh, malah sendoknya digigit-gigit. Air minumnya tumpah meluber. Asli, celemotan dia—sampai ke dada-dada yang dilapisi celemek. "Ini, lho ... ini yang dimakan, Nak. Bukan sendoknya.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status