Daisha ketuk pintu kamar suami, benar-benar sudah terpisah. Apa ini pengibaran bendera cerai?
Tidak. Daisha akan mengembalikan kehangatan yang pernah dia rasakan di hari pertama menikah. Toh, cuma pisah kamar, bukan pisah rumah. Artinya masih bisa dibenahi. Garda cuma butuh waktu untuk sendiri. "Kak?" Dipanggilnya sang suami. "Makan, yuk?" Ini sudah malam. Daisha sudah memanaskan hidangan yang dibawa dari rumah orang tua. Dari sore tadi Garda tidak keluar, mungkin tidur atau ... entahlah. Daisha tidak berani mengganggu, selain sekarang karena jam makan malam sudah tiba. Pintu dibuka, Daisha senyum. "Aku udah manasin makanan dan—" "Duluan aja." Garda menutup pintu kamarnya. Ada kunci motor di tangan dan dompet yang dia kantongi. Menyuruh Daisha makan duluan. "Kakak mau ke mana?" Daisha mengekor. "Ke luar dulu." Acuh tak acuh. "Ke?" Daisha percepat langkahnya demi menyetarai pijakan suami. Tidak dijawab. "Kak—" Ditepis. Juluran tangan Daisha tidak diizinkan menyentuhnya. Hati Daisha berasa diiris. Dilihatnya Garda melanjutkan langkah, memakai helm, lalu melenggang meninggalkan Daisha di tempat tanpa sepatah kata lagi. Kok, jadi gini? Daisha menatap kepergian itu. Eh, jangan-jangan Garda mau ke rumah Papa Genta? Jangan-jangan mau dilaporkan soal ketidaksempurnaan Daisha? Jangan-jangan ... tidak! Tidak boleh. Papa dan mama adalah orang yang paling Daisha jaga dari kehancuran hidupnya. Selama ini Daisha sudah menjaganya sebaik mungkin. Ah ... harusnya tadi Daisha tidak perlu mengakui. Harusnya tadi dia terus menutupi walau caranya berbohong sangat buruk. Pikiran Daisha kalut dan berkecamuk. Diraihnya ponsel, Daisha menghubungi kontak suami. Jelas tak akan diangkat. Kan, sedang bawa motor. Daisha kirimkan pesan. Daisha: [Kak, aku mohon jangan kasih tahu orang tuaku soal itu.] Tangan Daisha agak gemetar. Dingin. Oh, dia susul sajakah? Tapi kalau Daisha ke sana, lalu Garda tidak ada, nanti jadi masalah. Terduduklah dia di teras. Daisha masih berusaha menghubungi kontak Garda. Mana tahu nanti pas turun dari motor, notifikasi dering telepon Daisha menyela. Kemudian ponselnya dilihat, minimal pesan yang Daisha kirim banyak-banyak dibaca. Entah berapa lama, Daisha lalu melihat gerbang rumahnya dibuka. Dia pun berdiri. Senang bahwa itu suami. Walau tadi tak satu pun telepon Daisha diangkat, tak satu pun pesan digubris. "Kak!" Daisha menghadang langkah putra Mama Gea. "Tadi ... nggak habis dari rumah Papa Genta, kan?" Garda mendapati raut penuh pengharapan di wajah istrinya. "Nggak." Daisha tampak lega. "Makasih." Memercayai jawaban Garda dengan mudah, tetapi sejatinya itu hanya bentuk dari pengharapan yang dalam. "Pokoknya ... jangan kasih tahu orang tuaku, ya, Kak?" Rahang Garda agak mengetat. Kesal mendengarnya. "Udah, nggak usah dibahas." "Makasih, Kak." Makin kesal mendengar itu. Garda pun ngeluyur masuk. Dia langsung ke kamar. "Eh, Kak! Nggak makan dulu?" Sudah, Garda sudah makan. Dia keluar buat makan tadi. Sekarang mau rehat, capek. Pikiran dan hatinya sedang bertarung perihal kenakalan Daisha di masa lalu. Agak sulit dipercaya kalau itu pelecehan, dengan pacar pula. Karena jika benar dilecehkan, lalu kenapa orang tua tidak mau diberi tahu? Sementara, Daisha menatap daun pintu. Dia mengulas senyum tipis. Agak getir di situ. Pernah terlintas untuk selamanya melajang. Andai tidak memikirkan papa dan mama. Takut ketahuan juga kalau Daisha hidup secara tak normal. Ya, dia takut. Sejak hari di mana Daisha tidak berselaput dara lagi, hingga membuat alat tes kehamilan bergaris dua, sampai akhirnya gugur karena mental Daisha tidak pernah baik-baik saja saat itu ... dia ketakutan. Untuk memilih mati pun takut. Meski tidak lebih takut daripada nodanya diketahui orang tua, lalu mencemarkan nama baik papa dan mama. Apalagi, kan, tahu sendiri siapa sosok Papa Genta. Makin tua papa Daisha makin dikenal cukup agamis, padahal dulunya saat masih bujang tidak begini-begini amat. Poinnya, sekarang Papa Genta dibanding keluarga lain; beliau memiliki istri berjilbab hingga ke anaknya ini, sedari Daisha kecil diajarkan menutup aurat. Nah, yang seperti itu ... masa Daisha punya aib sudah bukan perawan, sempat hamil di luar nikah pula. Betapa dia sangat menodai kebersihan nama papanya, pun serasa melempar kotoran ke wajah mereka. Terlepas dari dirinya dilecehkan. Dan kalau Daisha menceritakan detail kejadiannya kepada Garda, yakin seratus persen akan bocor ke orang tua. Daisha belum siap. Untuk saat ini maunya, Garda 'cukup tahu' dan 'mari lupakan itu.' Sayangnya, sepertinya Garda tidak bisa. Begitu mendengar kejujuran Daisha soal membenarkan isi pesan si peneror saja respons Garda tidak sesuai dengan yang diucap saat subuh pertama. Lelaki itu tidak bisa benar-benar 'menerima ketidaksempurnaannya.' Daisha lantas melahap makanan—sendirian—sambil menyeka air mata. Dia juga mempertanyakan hatinya, kalau Garda yang tidak perjaka dan pernah hampir punya anak, apa Daisha bisa untuk tidak mempermasalahkannya? *** Gawat, semakin hari semakin buruk. Meski begitu, Daisha tak patah arang. Dia akan terus berjuang hingga mendapat titik penerimaan. Yakin bisa, apalagi Garda mencintainya. Kalau sudah cinta, biasanya hati bisa terbujuk, kan? Tinggal tunggu waktu, yang penting Daisha tahan banting dulu. Lagi pula ini berawal dari kesalahannya. Tapi bagaimana dengan sekarang, sampai pukul dua dini hari suaminya belum pulang. Daisha bolak-balik mengecek ke luar jendela, barangkali sudah datang, hanya memang Daisha tidak mendengar suara deru motornya. Nihil. Daisha cek ponsel. Pesan-pesannya bahkan belum dibaca, panggilan darinya tidak diangkat. Ada sesak yang menyergap. Itu semua sengajakah? Daisha duduk di sofa ruang tamu, lampu dibiarkan menyala, hingga tidak terasa dia terlelap. Tahu-tahu sudah pagi, Daisha bahkan hampir melewati subuhnya. Dia bergegas. Tapi sebelum itu, ada satu hal yang Daisha lakukan, yakni mengecek ke luar apakah sudah ada motornya? Tidak ada. Ataukah sudah di kamar dan pulang tanpa bawa kendaraan? Mengingat kunci pintu rumah ini yang serep dipegang oleh suami, sedang Daisha pegang kunci utama. Namun, pintu kamar Garda juga masih terkunci dan Daisha panggil-panggil pun tidak ada sahutan. Artinya, Garda tidak pulang. Daisha menahan gemuruh tidak menyenangkan di dalam dadanya. Dia menarik napas panjang, lalu embuskan. Oh, tapi ada satu pesan dari kontak suami. Daisha plong walau cuma berisi: [Tidur duluan aja.] Pukul setengah tiga pagi. Digigitnya bibir yang menjadi kebiasaan saat Daisha menekan perasaan. Sepertinya andaipun Daisha cerita dengan detail rahasianya, untuk sekarang belum tentu Garda bisa percaya. Yang harus Daisha lakukan adalah mengembalikan kepercayaan lelaki itu dulu, baru bisa dia usahakan kehangatan di rumah tangganya. Daisha: [Sekarang lagi di mana, Kak?] Lagi-lagi sampai Daisha beres salat, mandi, berbenah rumah, sarapan, dan menjelang siang ... tidak ada jawaban. Pun, Garda masih belum pulang. Daisha mengambil tas selempang, dimasukkannya ponsel dan dompet, lalu keluar. ***"Buat apa mesin espresso itu?" Daisha menoleh. Sudah lewat satu minggu dari apa yang dia lihat di video call dan hingga detik ini belum Daisha bicarakan, sengaja. "Bikin kopi." Garda tahu. Lagi pula mesin espresso, kan, mesin untuk membuat kopi. "Kamu suka ngopi?" Soalnya Garda tidak terlalu. "Suka." Singkat jawaban Daisha. Dia sedang mencoba mesin baru. Ada rencana untuk buka kafe, tetapi masih sekadar rencana. "Ini aku beli pakai uang sendiri, kok." Barangkali maksud Garda menyinggungnya adalah karena terpikir menggunakan uang nafkah. Sama sekali tidak. Uang nafkah yang jadi terkesan seperti gaji itu mulai tidak Daisha senangi, tetapi tak protes. "Uang apa pun kalo adanya di dompet dan rekening kamu, ya, emang uang kamu sendiri." Daisha senyum. Sebatas itu. Garda pun berlalu. Kalau Daisha tidak banyak bicara maka rumah ini serasa tidak benar-benar ada penghuninya. Obrolan yang terajut cuma sepatah dua patah, habis itu sudah. Seringnya Garda diam di kamar, mungkin melukis
"Kak." Daisha menahan langkah suaminya yang hendak beranjak dari ruang makan. "Kakak cukup dengan ngatain aku murahan, nggak harus bikin aku jadi bener-bener kayak perempuan murahan, kan?" Mata Daisha berembun, tetapi tak dia izinkan ada setitik pun air yang menetes dari pelupuknya. "Aku yang nggak jujur dari awal, bukan berarti sampai sekarang semua yang kuomongin itu kebohongan." Untai kata Daisha dilisankan dengan suara pelan, ada desakkan perih di dada yang takutnya membuat air mata terpancing meluruh. "Aku salah, aku tahu. Aku ...." Henti di situ, Daisha melihat Garda meneruskan langkahnya. Seolah tak mau mendengar penuturan apa pun lagi darinya. Gegas saja Daisha susul. Mau sampai kapan seperti ini, ya, kan? Dan pergelangan tangan lelaki itu berhasil Daisha pegang, dia genggam erat-erat, dibuatnya langkah Garda kembali berhenti. Daisha berdiri di depan sang suami. Agak mendongak karena Garda lebih tinggi. Percayalah, telapak tangan Daisha mendingin. Tatapan keduanya b
Daisha menahan keras suara desahnya, bahkan sekadar lenguhan pun tidak dia biarkan lolos. Tak mau terkesan menikmati saat cara Garda mendatanginya tidak seperti di malam pertama yang Daisha kagumi. Kali ini berbeda, sangat. Cengkeramannya di sprei kian menguat. Daisha memalingkan wajah. Baru kali ini dia ingin rungunya tak berfungsi, karena bunyi perjumpaan kulit yang dihantam-hantam tak ada unsur mesra. Daisha pejamkan mata, tak mau melihat bagaimana raut Garda detik ini. Tak mau meninggalkan jejak buruk dari yang namanya bercinta. Meski dulu pernah disenggama, tetapi Daisha tak pernah benar-benar tahu bagaimana kejadiannya. Garda masih yang pertama walau bukan si nomor satu. Ah, ya ... bukankah Daisha pernah bilang bahwa dirinya dilecehkan oleh si peneror? Daisha sudah jujur satu poin kepada suaminya di subuh itu. Sayangnya, karena ketidakjujuran di awal, kejujuran Daisha diragukan. Karena sempat menutupi, keterbukaan Daisha tidak mudah dipercayai. Lantas, yang Garda lakukan
"Masak apa?" Daisha terkesiap. Dia sedang ambil minum di dapur saat tenggorokan serasa tercekat, perihal mangkuk lucu entah pemberian siapa. Daisha belum berani menanyakannya. Dan di sini, tiba-tiba suara itu terdengar. Dapat Daisha lihat suaminya menghampiri. Hanya dengan satu tanya itu hati Daisha melahirkan begitu banyak harapan, mungkinkah sudah mulai membaik rumah tangga yang baru seumur jagung ini? "Ayam kecap, ada sayur bening juga. Atau Kakak mau aku masakin yang lain?" Semringah Daisha menjawab, dia pun lekas-lekas menyudahi tegukannya. Daisha berdiri selepas meletakkan gelas di meja dapur. "Yang ada aja." Singkat, sih, memang. Namun, percayalah ... begitu saja Daisha senang mendengarnya. "Oke, Kak. Aku siapin." Makin senang karena Garda memilih duduk manis di kursi makan. Daisha bertanya-tanya dalam batinnya di tiap pergerakan. Ini pertanda baik, kan? Mungkin Kak Garda sudah mulai bisa menerima ketidaksempurnaannya, kan? Mungkin kemarin saat tidak pulang itu Kak Garda
"Garda selingkuh?" Dikara mempertanyakan itu kepada suaminya, Daaron. Malah dibalas tanya yang persis. "Nggak mungkinlah!" imbuh Daaron. Dikara juga merasa begitu. Harusnya tidak mungkin. "Tapi aku lihat Garda sama perempuan lain tadi." "Biasanya sama klien dia, sih. Kan, lukisan Garda banyak diminati, Ra." "Gandengan tangan juga kalau sama klien, Bang?" "Oh. Itu mah sepupunya, kali. Soalnya sodara Garda juga banyak yang cewek dan kayak seumuran. Lagian Garda selingkuh itu nggak mungkin, apalagi udah nikah sama Ais. Kita tau sendiri senaksir apa Garda ke Daisha, kan? Dari SMP." Dikara manggut-manggut. Memang, sih. Itu yang membuatnya jadi serasa mustahil bagi seorang Garda selingkuh. "Lagian di antara kami berlima; Abang, Dodo, Marco, Garda, dan Jean. Garda itu yang paaaling saleh. Dia bahkan nggak pernah pacaran, lho. Demi siapa? Daisha. Garda pengin dirinya sebersih itu buat menghadap Om Genta pas ngelamar anaknya." "Jadi, ini aku nggak usah kasih tahu Mbak Ais s
Daisha ketuk pintu kamar suami, benar-benar sudah terpisah. Apa ini pengibaran bendera cerai? Tidak. Daisha akan mengembalikan kehangatan yang pernah dia rasakan di hari pertama menikah. Toh, cuma pisah kamar, bukan pisah rumah. Artinya masih bisa dibenahi. Garda cuma butuh waktu untuk sendiri. "Kak?" Dipanggilnya sang suami. "Makan, yuk?" Ini sudah malam. Daisha sudah memanaskan hidangan yang dibawa dari rumah orang tua. Dari sore tadi Garda tidak keluar, mungkin tidur atau ... entahlah. Daisha tidak berani mengganggu, selain sekarang karena jam makan malam sudah tiba. Pintu dibuka, Daisha senyum. "Aku udah manasin makanan dan—" "Duluan aja." Garda menutup pintu kamarnya. Ada kunci motor di tangan dan dompet yang dia kantongi. Menyuruh Daisha makan duluan. "Kakak mau ke mana?" Daisha mengekor. "Ke luar dulu." Acuh tak acuh. "Ke?" Daisha percepat langkahnya demi menyetarai pijakan suami. Tidak dijawab. "Kak—" Ditepis. Juluran tangan Daisha tidak diizinkan menyent