POV Nata“Aku yakin, setelah nanti Mama lihat anak kita, pasti hati Mama luluh.” Kugenggam erat tangan Nadia.Terlihat jelas sorot gelisah dari matanya. Kami sudah tiga bulan menikah, aku sama sekali tidak memberitahu Mama soal pernikahan ini karena dari awal Mama tidak suka pada Nadia. Mama bahkan tidak mengatakan dengan jelas apa yang tidak disukai dari Nadia.Aku nekat menikahi Nadia karena aku tidak mau kehilangannya.“Mas, kalau Mama masih nggak kasih restu. Apa kamu bakalan ninggalin aku?”“Sayang, kamu jangan bicara begitu dong. Sampai kapanpun aku nggak bakalan ninggalin kamu kok. Nggak ada wanita lain yang aku cintai selain kamu. Aku janji.”Kejadian belasan tahun lalu itu melintas dalam benak. Aku mengingkari janjiku pada Nadia karena sudah mencintai wanita selain dia. Hana, wanita yang Mama pilihkan untukku. Awalnya aku memang tidak mencintainya tapi seiring berjalannya waktu dengan kebersamaan kami, cinta itu tumbuh tanpa bisa dicegah apalagi ada kehadiran Yuna di tengah-t
POV Nata“Mas, makan dulu. Habis itu minum obat.”Nadia mengarahkan sendok ke mulutku. Membukanya saja rasanya sangat perih, tubuhku bahkan seperti remuk setelah dihajar habis-habisan abangnya Hana.Aku terima karena memang mengaku salah. Bahkan ini pasti tidak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit Hana.Kalau waktu bisa diputar kembali, aku akan mengambil jalan yang tidak membuat orang-orang tersayangku terluka seperti ini. Tapi aku sama sekali tidak menyesal mengenal Hana dan menikahinya.“Mas. Buka mulutnya pelan-pelan saja.”Suara Nadia membuat lamunanku buyar.Aku menurutinya, tapi hanya makan beberapa suap saja sebelum minum obat. Tadi saat bangun, aku sudah berada di sini. Seingatku sebelum semuanya gelap aku sempat melihat Hana dibawa pergi abangnya.Memikirkan itu membuatku takut, jangan sampai nanti dia tidak kembali. Kutepis semua pemikiran buruk itu. Tidak, Hana pasti kembali karena dia pasti akan merawat Mama.Karena kondisiku seperti ini, Nadia memaksaku untuk dirawat.
Perkataan Nadia masih terngiang di telinga, aku mengurungkan niat untuk bicara padanya. Aku baru tahu dia menyimpan rahasia dariku.Semua ini harus kucari tahu. Soal asal usul Nadia yang sebenarnya. Rasanya tidak percaya jika istri yang belasan tahun membersamaiku memiliki rahasia besar.Dan yang membuatku terganggu adalah kata balas dendam yang berulang kali diucapkan. Untuk sekarang aku akan pura-pura tidak tahu saja.[Cari tahu soal dia, aku ingin detail yang jelas.]Kukirimkan pesan beserta foto Nadia pada salah satu temanku. Yakin dia akan bisa mendapatkan informasi soal Nadia. Aku bisa lagi memakai kartuku sekarang tapi rasanya tetap saja hampa karena yang kubutuhkan bukan kartunya tapi Hana. Apa gunanya banyak harta kalau aku tidak bisa bahagia.Meski ada Nadia dan Laisa tetap saja kebahagiaanku tidak sempurna tanpa Hana dan Yuna.“Papa!”Aku tersentak mendengar Yuna berteria. Buru-buru berlari masuk ke dalam kamarnya.“Papa!” Dia menangis dan langsung berhambur memelukku.“Yuna
“Mas, mau makan apa?”Seperti biasanya, dia menyambutku penuh senyum meski sebelumnya aku pergi tanpa pamit. Nadia seperti tidak pernah marah dengan apa yang kulakukan ternyata karena memang dia menikah denganku bukan karena cinta tapi karena dendam. Rasanya masih seperti mimpi karena wanita yang kucintai dan kulindungi malah menusuk dari belakang dengan cara yang tidak terduga.“Nggak lapar.”“Kamu udah makan?”“Hm. Laisa mana?”“Baru aja pulang, masih mandi kayaknya. Biar nanti aku panggil.”“Kita bicara dulu.” Aku mengayunkan langkah masuk ke dalam kamar.Sandiwara yang dia jalankan harus segera dituntaskan. Aku tidak mau nanti ada lebih banyak orang yang menderita karena niat Nadia memang untuk itu. Tidak akan kubiarkan penderitaan keluargaku berlanjut.“Ada apa, Mas? Kenapa kayaknya serius banget. Mau aku bikinin kopi dulu?”“Nggak usah.”Aku mengeluarkan semua isi dari amplop coklat yang tadi kubawa. Nadia terbelalak saat melihat foto-foto terbarunya bertemu dengan sang ibu. Set
“Bagaimana mau mengurus anak-anak kalau urus diri sendiri nggak bisa,” komentar Mama.Mama pasti melihat penampilanku sekarang yang terlihat sangat tidak terurus. Tentu saja, karena biasanya Hana yang paling rajin. Dia yang mengambil alih tugas Nadia 7 tahun ke belakang.Sekarang aku harus mengurus diri sendiri. Laisa sudah besar, dia bisa mengurus dirinya sendiri.“Maafin aku, Ma.”“Perbaiki hidup kamu, Nat. Mama juga terluka melihat kamu begini.”Aku tahu, meski Mama terlihat kejam tapi hatinya ikut terluka melihat anaknya begini. Mama belum tahu soal Nadia dan balas dendam ibunya. Biarlah itu hanya aku yang tahu, aku tidak mau menambah beban pikiran Mama lagi.Kunci mobil, kartu kredit dan kartu debit kutaruh di atas meja.“Aku pulang, Ma.”“Ambil ini. Ada anak-anak kamu yang harus dinafkahi, tapi jangan mengandalkan ini karena kamu juga harus belajar cari kerja sendiri.” Mama menyerahkan satu kartu debit padaku.“Ma-”“Ambil. Mama cuman kasihan sama anak-anak kamu.”“Makasih, Ma.”
Yuna mengajakku dan Laisa untuk menghampiri Hana.“Kalau tahu Papa ke sini, harusnya tadi Papa yang jemput Yuna sama Mama. Bukannya Om Sam.” Yuna mulai berceloteh.Apa mereka sudah sedekat itu? Bahkan datang ke acara pernikahan bersama. Dan pakaiannya ….“Tante kenal juga sama Bang Samudra?”Aku melirik Laisa.“Dia temen Tante.”“Temen apa temen, Tan. Temen kok dikasih baju keluarga sih?”Bisa-bisanya Laisa mengatakan itu. Tidakkah dia tahu kalau papanya ini cemburu?“Wajarlah, dia 'kan calon anggota keluarga juga.” Lelaki bernama Samudra itu langsung menyahut sambil menyenggol pundak Hana.Ingin sekali aku menjauhkan mereka, tapi aku tahu diri dan tahu malu. Jangan sampai membuat Hana malu apalagi membuat keributan di acara orang lain.“Papa, Bang Sam ini Abangnya Kak Retta juga.” Laisa menjelaskan padaku.Aku hanya membalas dengan anggukan dan seulas senyum. Ada rasa bahagia juga, rindu yang terobati saat melihat Hana secara langsung. Dia terlihat tambah cantik dan mempesona. Berbed
POV Hana“Sudah jadi mantan kok masih posesif.”Aku melirik Samudra yang fokus menyetir. “Ngapain juga kamu ngurusin, Sam? Nggak ada kerjaan banget.”“Ya wajarlah, aku ‘kan salon kamu.”“Calon gundulmu!”Tawanya pecah dengan sebelah tangan menepuk pundakku. “Masih belum move on?”“Aku males kalo harus ngomongin soal hubungan. Aku cuman mau fokus kerja sama urus Yuna.”“Jadi, aku ditolak lagi?”“Sam-”“Iya, iya. Aku ngerti, semua ini nggak mudah buat kamu.”Memang benar, aku sudah berulang kali menolaknya karena memang aku belum siap untuk membuka hati untuk orang lain karena trauma dengan yang sebelumnya. Jadi daripada mengecewakan pasanganku nanti lebih baik fokus untuk diri sendiri dan anak dulu saja.Bahkan Ibu dan Ayah saja sudah memberi restu padahal aku belum ada niat untuk lebih jauh. Aku dan Samudra hanya sebatas teman saja. Aku saja bingung kenapa dia tiba-tiba begini? Padahal sikapnya sangat menyebalkan. Mungkin saja rasanya disembunyikan dengan itu.Waktu itu, kalau bukan T
Mataku memanas, napasku tersengal.“Nggak, Yuna nggak mungkin sakit, Mas.” Aku menggeleng, menepis semua fakta yang sudah ada di depan mata.“Mas juga maunya semua ini cuman mimpi tapi apa? Kamu lihat sendiri hasil tesnya ‘kan? Kalau masih nggak percaya silakan tes di tempat lain.”Tubuhku lemas seketika. Kenapa harus Yuna? Dia terlalu kecil untuk mengidap penyakit seberat ini.“Aku nggak becus jadi ibu, kenapa bisa Yuna sakit tanpa aku tahu, Mas.” Tangisku tidak terbendung lagi.Melihat putriku sakit jelas aku pun ikut sakit.Mas Nata bangkit, menghampiri, Mendekap pundakku yang bergetar dengan erat.“Maaf, Mas nggak maksud menyakiti kamu dengan kata-kata tadi. Mas cuman terbawa emosi, Han. Yuk kita balik lagi ke rumah sakit, takutnya nanti Yuna bangun.”Tubuhku lemas rasanya, jika Mas Nata tidak membantuku berjalan mungkin aku tidak akan mampu melangkah. Ditampar kenyataan begini membuat duniaku hancur seketika. Ibu mana yang akan baik-baik saja saat tahu anaknya sakit begini.“Kala