Aku menghela pelan nafasku, menatap gawai yang masih menyala sejak tadi untuk beberapa waktu. Suara di balik headset masih bisa aku dengar saat ini."Apa dia baik-baik saja?" Suara ku terdengar pelan, bertanya pada sang pemilik suara di ujung sana. Mata ku mulai mengantuk tapi telepon di ujung sana tidak bisa aku abaikan saat ini."Sejauh ini baik, dia menjalankan semua aktivitas nya seperti biasa, Dev."Itu suara kakak perempuan Aisyah.Apa aku lupa bercerita? ahhh aku pernah menyebutkan nya di beberapa hari yang lalu pada kalian bukan? Aisyah sahabatbaik ku dari taman kanak-kanak, gadis cantik yang selalu menggunakan hijab berwarna kalem. Pembawaan nya sederhana meskipun dia anak orang yang sangat kaya raya, hanya saja aku tidak pernah tahu dia jatuh cinta pada ku untuk waktu yang sangat lama. Memendam perasaan nya sendiri di balik persahabatan kami selama berpuluh-puluh tahun ini. Aku baru tahu perasaan Aisyah saat aku menyeselesaikan akad nikah dengan Hanin, dalam hati yang hancur
"Gempa bumi kah?" Aku mengernyitkan kening, merasakan guncangan hebat di atas kasur ku, mencoba bangun dari tidur lelap ku dan sial nya aku tidak bisa melakukan nya.Seolah-olah kesadaran ku di tekan mati-matian, tidak mengizinkan tubuh ini bangun sesuai dengan kemauan. Aku khawatir sebab guncangan yang terjadi persis seperti gempa bumi, dan yang aku pikirkan di mana Hanin, istri ku. Aku memaksa diri untuk terus bangun di mana aku mencoba memulainya dengan menggerakkan jemari-jemari ku tapi,"Hmpppp."Suara apa itu? Aku mengernyitkan dahi, samar-samar terdengar di balik telinga, seperti suara kesakitan di mana seseorang menyumpal mulut orang lain dengan sesuatu."Akhhh."Lagi suara lain terdengar, kali ini lebih mirip sebuah jeritan. Aku merasa ada yang mencengkram lengan ku tapi siapa? Apa itu Hanin?. "Ya Allah bangunkan aku sekarang juga." Dalam perjuangan sulit untuk bangun dari drama tidur panjang aku membatin.Hingga akhirnya suara deru nafas dan saling sahut menyahut terdengar
"Serius? Soal apa pa?" Aku bertanya sambil mengernyitkan dahi, ekspresi papa terlihat terlalu serius menurut ku."Ekspresi wajah papa tidak seperti biasanya," Ucap ku lagi kemudian.Papa terlihat diam, menatap netra ku untuk beberapa waktu, pandangannya memang benar menyiratkan ada sesuatu yang ingin dia bicarakan di antara kami berdua. Terlihat maju mundur dan sedikit ragu-ragu."Aku harap ini tidak menyinggung perasaanmu akan membuatmu tidak nyaman dengan pembicaraan papa," laki-laki itu berkata dengan cepat mencoba untuk meyakinkanku jika aku tidak akan tersinggung atau marah."Tergantung apa yang akan dibicarakan oleh papa padaku, jika itu cukup merusak harga diriku mungkin aku tidak akan memberikan respon biasa-biasa saja." Entah apa yang aku pikirkan saat aku menjawab kata-kata papa dengan kata seperti itu.Laki-laki yang masih berwajah segar dan bertubuh atletis dihadapan ku ini terlihat terkekeh kecil, seolah-olah menertawakan apa yang kuucapkan."Padahal papa begitu serius in
Dalam kegelisahan mendalam aku bergegas masuk ke kamar mandi, bergerak cepat membersihkan diri. Mencoba mengabaikan sejenak degub jantung yang tidak baik-baik saja. Pikiran berkelana, ingat dengan apa yang diucapkan Satrio kemarin pada ku.Apa yang sebenarnya terjadi? Apa kah benar seperti kata almarhum mama jika Hanin bukan perempuan baik yang pantas untuk diriku. Apa Hanin sebelumnya bukan anak baik-baik yang terbiasa berpetualang. Tapi tunggu, seingat ku di malam pertama aku benar-benar mendapatkan Hanin dalam keadaan suci belum tersentuh. Aku laki-laki pertama yang mengambil keperawa**n nya dengan sejuta keyakinan. Aku laki-laki pertama yang memiliki Hanin, menyentuhnya dan menyempurnakan dia dari seorang gadis menjadi perempuan seutuhnya. Jadi sangat aneh dan tidak mungkin jika Hanin bisa di sentuh oleh siapapun selain aku.Seketika aku meremas rambut untuk beberapa waktu, membiarkan air shower terus mengguyur tubuh ditengah pemikiran yang berkacamuk menjadi satu. Aku terlalu bin
"Kapan tante pulang?" Sekali lagi aku melesatkan tanya pada Hanin sambil terus mengernyitkan kening.Hanin mengembangkan senyumannya saat mendengar pertanyaan ku, dia menoleh ke arah sosok perempuan yang bergerak mendekati kami."Tante pulang semalam," jawab Hanin cepat.Semalam? Kapan? Kenapa aku tidak tahu?.Bola mata ku kembali menatap kearah sosok perempuan dengan dandanan sedikit cetar dihadapan kami tersebut. Yah perempuan ini tante Hanin, aku pernah cerita sebelumnya bukan? Tante Hanin tinggal bersama kami sejak pertama kali kami menikah hingga saat ini. Kemarin tante Hanin pergi ke luar kota karena katanya ada urusan yang harus dia kerjakan. Aku hampir lupa dengan keberadaan perempuan tersebut saat ini. Karena kesibukan dan berbagai macam pemikiran yang berkacamuk menjadi satu aku lupa ada anggota keluarga lain yang ada bersama kami."Mau kopi apa teh tante?" Suara Hanin memecah pemikiran, dia menawarkan tante nya kopi atau teh."Teh boleh." Tante Hanin menjawab cepat."Biar b
"Maksud nya bagaimana?" Jelas saja aku melesatkan tanya pada papa.Agak terkejut mendengar penuturan papa, meminta ruang kerja Hanin pindah ke kamar mendiang mama, apa aku tidak salah dengar atas keputusan papa? Kamar itu tidak pernah diizinkan terbuka sejak dulu, bahkan beberapa anggota keluarga pernah menginap dan mau tinggal di sana namun di tolak mentah-mentah. Jangan kan keluarga, adik ku Amira dan aku sendiri tidak pernah benar-benar diizinkan sering-sering berkunjung ke kamar mama lalu bagaimana tiba-tiba ada pembicaraan seperti ini di pagi ini?."Aku tidak mengerti." Lanjut ku lagi bicara dengan papa.Hanin sendiri tidak mengeluarkan ekspresi apapun, hanya menatap ku dan papa secara bergantian. Aku tidak bisa membaca raut wajah istri ku sendiri saat ini, tiba-tiba aku seperti tidak mengenali nya saat ini. Hanin bersikap begitu tenang, tidak protes atas inisiatif papa atau menolak, juga tidak terlihat ekspresi bahagia di balik wajah nya. Ekspresi Hanin terlalu tenang dan datar
Aku mencoba memijat kepala untuk beberapa waktu, menatap lurus kearah depan sejenak. Perdebatan di meja makan cukup memanas, papa agaknya marah dengan pertanyaan besar ku tadi soal apakah dia jatuh cinta pada Hanin."Apa kau gila?" Papa bertanya sambil mengerutkan keningnya."Bagaimana pikiran mu bisa seburuk itu soal papa?" Nada bicara papa sedikit meninggi, raut wajah nya menampilkan kemarahan luar biasa, aku tahu dia sangat tersinggung mendengar ucapan ku."Jangan menyalahkan pikiran ku, tapi siapa yang tidak tahu dengan sikap buruk papa selama ini." Tersulut emosi, aku bicara mencoba mengingatkan papa atas watak buruknya.Apalagi apa yang aku rasakan semalam dan yang aku lalui membuat pemikiran ku mulai menari-nari tidak menentu. Di satu sisi aku tidak bisa mempercayai papa, di sisi lain hati meronta dan berkata Hanin tidak mungkin semurahan itu. Demi apapun aku mendapatkan Hanin seorang perawan di malam pertama ku, dia suci dan belum terjamah mana mungkin ada main dengan papa ku
"Ada hal yang harus aku lakukan, ini cukup mendesak dan genting." Aku bicara dengan salah satu teman sejawat nya, kini bergerak menarik tas kerja dan kunci mobil milikku dengan cepat. Tidak menunggu jawaban laki-laki berusia hampir paruh baya berkepala botak tersebut, aku melesat turun dengan cepat menuju ke arah kamar elevator.Sejak pagi sudah terlalu gelisah setelah mendapatkan telepon dari seseorang di seberang sana, apa yang diucapkan oleh laki-laki di ujung telepon membuat seluruh konsentrasi pada pekerjaan ku kacau balau. Benar atau tidak aku harus membuktikan nya sendiri, bergerak pergi dari perusahaan setelah jam pulang kerja berdendang. Untungnya malam ini urung lembur, aku bisa pergi tanpa harus mengukur waktu. "Aku lembur malam ini, sayang." Aku bicara dari handphone nya pada Hanin, tidak mengeluarkan suara mencurigakan pada nya agar tidak menjadi tanda tanya besar."Tidak masalah makan malam tanpa aku dan pergilah tidur lebih awal. Ada tante May, kamu tidak harus khawati