Pagi itu, hotel mewah yang biasanya sibuk dengan kegiatan para tamu VIP, mendadak menjadi kacau. Aria, yang tengah membersihkan lobi, merasa ada sesuatu yang berbeda. Beberapa staf terlihat berlarian, dan suasana di sekitar meja resepsionis tampak tegang.
Rina yang melihat Aria berjalan, menghampirinya dengan wajah cemas. Rina: "Aria, kamu harus ke ruang VIP sekarang. Ada masalah besar." Aria merasa kaget dan khawatir. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi ia mengikuti instruksi Rina tanpa bertanya lebih lanjut. Setibanya di ruang VIP, Aria melihat sekelompok manajer dan kepala keamanan berkumpul di sekitar meja besar. Seorang wanita cantik, yang sebelumnya ia lihat duduk bersama Adrian, tampak sangat marah. Itu adalah Sofia, yang kali ini tidak mengenakan senyum anggun seperti sebelumnya. Sofia: "Kalung saya hilang! Ini barang berharga yang tidak bisa saya abaikan!" Aria menelan ludah. Di meja VIP, sebuah kotak perhiasan yang kosong tergeletak. Kalung berlian itu tidak ada di dalamnya. Kepala Keamanan: "Sofia, apakah ada orang lain yang masuk ke ruang ini selain Anda?" Sofia: "Tentu saja tidak. Hanya staf hotel yang datang mengantarkan pesanan, dan salah satunya adalah Aria." Sofia menunjuk ke arah Aria dengan tatapan tajam. Sofia: "Dia satu-satunya orang yang mengantarkan pesanan pagi ini, dan saya yakin dia adalah yang terakhir menyentuh meja ini!" Aria terkejut dan segera mencoba menjelaskan. Aria: "Nona Sofia, saya hanya mengantarkan sarapan. Saya tidak menyentuh kotak perhiasan itu! Itu adalah barang Anda, saya tidak pernah melihatnya sebelumnya!" Namun, kata-kata Aria terasa sia-sia. Sofia tampak tidak mau mendengar penjelasan. Wajahnya dipenuhi amarah. Sofia: "Lihat saja sikapnya! Sering kali orang yang paling tidak terlihat mencurigakan lah yang melakukan hal-hal buruk!" Aria merasa matanya mulai berkunang-kunang. Tuduhan itu datang begitu cepat, dan ia merasa seolah semua orang di ruangan itu memandangnya sebagai pelaku. Adrian yang mendengar keributan dari luar, segera masuk ke dalam ruang VIP. Matanya langsung mencari Aria, yang terlihat cemas dan bingung di tengah-tengah kerumunan. Saat ia melihat wajah Sofia yang penuh amarah, dan Aria yang tampak terpojok, ia merasa perasaan yang tidak nyaman. Adrian: "Apa yang terjadi di sini?" Sofia: "Adrian, ini masalah besar! Kalung berlian saya hilang, dan saya yakin Aria mencurinya. Dia yang mengantarkan pesanan ke ruang saya pagi ini!" Adrian menatap Aria sejenak. Tanpa ragu, ia segera berdiri di samping Aria, melindunginya. Adrian: "Saya tahu Aria, dan saya tahu dia tidak mencuri apa pun. Kalau ada yang tahu bagaimana cara menjaga integritasnya, itu dia." Kepala Keamanan: "Tuan Adrian, kami harus menyelidiki ini. Kami menemukan bukti bahwa dia berada di dekat meja, dan tidak ada orang lain yang melihat kalung itu setelah dia meninggalkan ruangan." Adrian mengalihkan pandangannya ke kepala keamanan dengan wajah tegas. Adrian: "Saya ingin kamu berbicara dengan Aria. Jika dia mengatakan tidak ada, maka saya percaya dia. Saya akan bertanggung jawab jika ternyata ada kesalahan." Sofia yang mendengar itu semakin kesal. Sofia: "Apa maksudmu, Adrian? Apakah kamu begitu percaya padanya? Aku merasa sangat tidak nyaman dengan keputusanmu." Adrian: "Saya tahu Aria tidak akan mencuri, Sofia. Saya akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi saya tidak akan membiarkan dia dijadikan kambing hitam tanpa bukti." Setelah percakapan yang penuh ketegangan itu, Aria dan Adrian keluar dari ruangan VIP. Aria merasa cemas, tetapi Adrian tetap di sampingnya, memberikan dukungan. Aria: "Adrian, saya tidak tahu apa yang terjadi! Saya benar-benar tidak mencuri kalung itu. Kenapa Sofia begitu yakin?" Adrian: "Jangan khawatir, Aria. Saya tahu kamu tidak bersalah. Mungkin ada orang lain yang ingin menjebakmu, atau mungkin Sofia hanya terlalu terbawa emosi." Aria menghela napas panjang. Rasa cemasnya semakin mendalam. Aria: "Tapi, jika saya tetap bekerja di sini setelah semua ini, siapa yang akan percaya pada saya? Rina dan yang lainnya pasti sudah berpikir buruk tentang saya." Adrian: "Jangan terlalu berpikir seperti itu. Saya akan mencari bukti dan memastikan semuanya jelas. Kamu tetap bekerja, dan kamu akan mendapat kesempatan untuk membuktikan dirimu." Setelah beberapa jam yang menegangkan, pihak keamanan akhirnya menemukan rekaman CCTV yang menunjukkan bahwa kalung itu tidak hilang pada saat Aria berada di ruang VIP. Ternyata, kalung itu hilang beberapa saat setelah Aria meninggalkan ruangan, dan ada seorang tamu lain yang terlihat mencurigakan di dekat meja Sofia. Dengan bukti itu, Sofia mulai tampak menyesal. Ia tahu bahwa Aria tidak bersalah, tetapi merasa malu dengan sikap terburu-burunya. Sofia: "Aria... saya minta maaf. Saya tidak seharusnya menuduhmu begitu saja." Aria hanya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih diliputi rasa kecewa. Aria: "Tidak masalah, Nona Sofia. Saya mengerti jika Anda terkejut. Yang penting adalah masalah ini sudah selesai." Adrian yang mendengar percakapan itu mendekat dan tersenyum bangga pada Aria. Adrian: "Lihat? Saya sudah bilang kamu tidak bersalah. Kamu lebih dari mampu untuk menghadapinya." Aria mengangguk, meskipun ia tahu perasaan sakit hati dan ketidakadilan itu tidak akan mudah hilang. Namun, dalam hatinya, ada sebuah perasaan baru yang muncul—kepercayaan diri yang lebih kuat berkat dukungan Adrian. Malam itu, setelah kejadian yang mengguncang, Aria kembali ke kamarnya, berpikir tentang segala yang baru saja terjadi. Adrian benar, ia memang perlu lebih mempercayai dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan untuk tetap teguh pada kebenaran. Keesokan harinya, setelah kejadian yang mengerikan semalam, suasana di hotel kembali seperti semula. Namun, bagi Aria, hari itu terasa berbeda. Setiap langkahnya di koridor hotel terasa berat, seolah-olah semua orang memandangnya dengan tatapan penuh kecurigaan. Meskipun masalah dengan kalung Sofia sudah selesai dan terungkap bahwa dia tidak bersalah, bayang-bayang tuduhan itu masih menggelayuti hatinya. Aria berjalan menyusuri lorong menuju ruang kantornya. Di belakangnya, Rina berjalan cepat, tampak lebih tenang dari sebelumnya. Rina: "Aria, aku tahu kamu pasti merasa cemas. Tapi percayalah, kejadian kemarin sudah berlalu. Semua sudah terungkap, dan kamu sudah dibersihkan dari tuduhan itu." Aria hanya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih terasa berat. Aria: "Aku tahu, Rina. Tapi, setiap kali aku berjalan di hotel ini, rasanya seperti aku masih bisa merasakan pandangan orang-orang yang meragukan aku. Ada sesuatu yang membekas, sesuatu yang tidak bisa dihapus begitu saja." Rina menghentikan langkahnya dan menatap Aria dengan serius. Rina: "Aku mengerti perasaanmu. Tapi ingat, kamu punya banyak orang yang mendukungmu, termasuk Adrian. Dia sudah membuktikan bahwa dia benar-benar percaya padamu. Itu sangat penting, Aria." Aria menghela napas panjang. Aria: "Aku tahu, Rina. Adrian selalu ada untukku, tapi aku merasa dia mungkin hanya ingin melindungiku karena dia terlalu baik. Aku takut, apa yang terjadi kemarin bisa mempengaruhi hubungan kami." Rina: "Jangan berpikir begitu. Kalau Adrian sudah memilih untuk mendukungmu, itu berarti dia percaya pada dirimu. Tidak ada yang bisa mengubah itu." Tiba-tiba, suara Adrian terdengar dari belakang. Adrian: "Kamu benar, Rina. Dan untuk kamu, Aria, jangan biarkan hal kecil menghalangi perjalananmu. Kalau ada orang yang berusaha menjatuhkanmu, biarkan mereka. Yang terpenting adalah bagaimana kita bangkit dan melanjutkan langkah kita." Aria menoleh dan tersenyum tipis. Aria: "Terima kasih, Adrian. Aku... aku akan berusaha." Namun, meskipun Adrian berbicara dengan penuh keyakinan, Aria merasa bahwa ada sesuatu yang belum sepenuhnya terungkap. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kalung Sofia yang hilang—sesuatu yang mengancam tidak hanya dirinya, tetapi juga posisi Adrian di hotel itu. Sofia sudah mulai kembali bekerja setelah kejadian kemarin, namun sikapnya masih dingin dan terkesan tidak nyaman. Ia selalu menghindari kontak mata dengan Aria, dan sepertinya mencoba menjaga jarak. Namun, Aria merasa ada hal yang mengganjal dalam sikap Sofia. Apakah ini hanya perasaan Aria, ataukah ada lebih banyak yang disembunyikan? Pagi itu, saat Aria tengah membersihkan meja di ruang lobi, ia mendengar bisikan-bisikan dari beberapa staf lainnya. Sofia kembali datang ke hotel dengan seorang pria yang tampak misterius. Pria itu mengenakan jas hitam dan kacamata gelap, serta berbicara dengan Sofia dengan nada yang serius. Aria mencoba untuk tidak memperhatikan, tetapi hatinya tetap tergelitik. Ada sesuatu yang tidak beres. Kemudian, tanpa sengaja, Aria mendengar percakapan singkat antara Rina dan Sofia. Sofia: "Aku tidak bisa membiarkan masalah ini berakhir begitu saja. Kalung itu hilang, dan aku yakin Aria terlibat. Apa yang akan kamu lakukan untuk membantuku?" Rina: "Sofia, kamu tahu apa yang harus dilakukan. Jangan biarkan masalah ini merusak semuanya. Tetapi ingat, ada lebih banyak hal yang perlu kita jaga. Adrian sudah sangat melindunginya, dan itu bisa berisiko bagi kita semua." Aria terkejut mendengar percakapan itu. Ia merasa seolah ada permainan yang lebih besar yang sedang terjadi. Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Sofia? Dan bagaimana Rina terlibat dalam semua ini? Dengan hati yang penuh kebingungan, Aria memutuskan untuk mendekati Adrian. Ia ingin mendapatkan jawaban yang pasti, meskipun ia tahu bahwa ini bisa berisiko besar. Setelah beberapa jam, Aria akhirnya menemukan Adrian di ruang kerjanya. Pintu terbuka sedikit, dan Aria ragu sejenak. Namun, dorongan perasaan membuatnya melangkah maju dan mengetuk pintu. Aria: "Adrian... kita perlu bicara." Adrian yang sedang duduk di depan meja kerjanya menoleh. Adrian: "Tentu, ada apa?" Aria masuk dan duduk di hadapannya, merasakan ketegangan yang menyelimuti ruangan itu. Aria: "Aku mendengar percakapan antara Sofia dan Rina tadi. Mereka sepertinya sedang merencanakan sesuatu. Aku... aku merasa ada yang tidak beres." Adrian mendengus pelan, lalu menatap Aria dengan tatapan serius. Adrian: "Apa yang kamu dengar itu memang benar. Ada banyak hal yang tidak diketahui olehmu. Sofia memiliki kepentingan besar di hotel ini, dan beberapa orang lainnya, termasuk Rina, juga terlibat dalam permainan yang lebih besar." Aria terkejut. Aria: "Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya terjadi, Adrian?" Adrian: "Sofia bukan hanya seorang tamu biasa. Dia memiliki hubungan dengan pihak-pihak yang ingin menggulingkan pengaruh keluargaku di hotel ini. Dan Rina... dia sudah terlibat dalam banyak hal yang mungkin tidak kamu duga." Aria menatap Adrian, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. Aria: "Jadi... aku hanya pion dalam permainan besar mereka?" Adrian menggelengkan kepala. Adrian: "Tidak, Aria. Kamu lebih dari itu. Kamu tidak tahu betapa pentingnya kamu dalam semua ini. Apa yang terjadi kemarin hanya awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan aku berjanji, aku akan melindungimu." Aria merasa hatinya berdebar. Ia tidak tahu apakah ini adalah awal dari akhir yang buruk atau awal dari perjalanan yang lebih rumit lagi. Namun satu hal yang pasti—ia tidak bisa mundur sekarang. Keputusan untuk tetap berada di sisi Adrian dan berjuang bersama adalah satu-satunya pilihan yang harus diambil.Matahari merangkak naik di cakrawala, menyinari medan perang yang kini dipenuhi dengan sisa-sisa pertempuran yang sengit. Asap masih mengepul dari reruntuhan, dan aroma besi bercampur darah memenuhi udara. Aria berdiri di atas bukit, mengawasi pasukannya yang tersisa. Kemenangan telah mereka raih, tetapi tidak tanpa pengorbanan. Ia melangkah perlahan melewati medan pertempuran yang penuh dengan para prajurit yang terluka dan gugur. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena beban di hatinya. Ia telah memimpin pasukannya menuju kemenangan, namun harga yang harus dibayar sangat tinggi. Jenderal Adira mendekat, wajahnya penuh debu dan luka, tetapi matanya masih menyala dengan semangat. "Kita menang, Aria. Musuh telah mundur sepenuhnya. Kerajaan kita selamat." Aria mengangguk, tetapi hatinya tidak sepenuhnya lega. Ia tahu bahwa perang ini bukanlah akhir, melainkan awal dari per
Aria berdiri di depan peta besar yang tergantung di dinding, matanya menyusuri jalur-jalur yang terhubung dengan kekuatan-kekuatan musuh yang kini mengancam kerajaan mereka. Tangannya sesekali meluncur di atas peta, menandai titik-titik strategis yang harus diamankan. Namun, dalam hatinya, perang ini jauh lebih besar dari sekadar taktik dan strategi. Ini adalah ujian bagi semua yang ia perjuangkan, sebuah pertempuran antara harapan dan keputusasaan."Kepercayaan kita akan diuji," katanya dengan suara berat, menatap wajah-wajah yang hadir di ruangan itu. "Bukan hanya pasukan kita yang akan bergerak, tetapi setiap langkah yang kita ambil akan menentukan nasib kita semua."Di sekeliling meja, para jenderal dan penasihatnya mendengarkan dengan seksama. Mereka tahu betul bahwa Aria tidak hanya berbicara tentang kemenangan. Aria berbicara tentang mempertahankan segala yang telah dibangun, mempertahankan yang benar, dan mempertahankan cahaya di tengah kegelapan yang datan
Aria berdiri di depan peta besar yang tergantung di dinding, matanya menyusuri jalur-jalur yang terhubung dengan kekuatan-kekuatan musuh yang kini mengancam kerajaan mereka. Tangannya sesekali meluncur di atas peta, menandai titik-titik strategis yang harus diamankan. Namun, dalam hatinya, perang ini jauh lebih besar dari sekadar taktik dan strategi. Ini adalah ujian bagi semua yang ia perjuangkan, sebuah pertempuran antara harapan dan keputusasaan."Kepercayaan kita akan diuji," katanya dengan suara berat, menatap wajah-wajah yang hadir di ruangan itu. "Bukan hanya pasukan kita yang akan bergerak, tetapi setiap langkah yang kita ambil akan menentukan nasib kita semua."Di sekeliling meja, para jenderal dan penasihatnya mendengarkan dengan seksama. Mereka tahu betul bahwa Aria tidak hanya berbicara tentang kemenangan. Aria berbicara tentang mempertahankan segala yang telah dibangun, mempertahankan yang benar, dan mempertahankan cahaya di tengah kegelapan yang datan
Aria berdiri di tengah ruangan yang remang-remang, menatap peta besar yang terbentang di mejanya. Setiap garis dan tanda merah menandakan pertempuran yang telah ia lewati dan strategi yang harus ia jalankan selanjutnya. Kemenangan atas Ezekiel adalah langkah besar, tapi ia tahu perang belum berakhir.Di luar, hujan turun deras, seolah mencerminkan gejolak dalam hatinya. Telepon di mejanya bergetar, menampilkan nama yang tak asing Lina."Aria, kita punya masalah baru. Ada seseorang yang menggerakkan sisa pasukan Ezekiel di balik layar. Aku baru saja mendapat laporan bahwa kelompok bayangan ini lebih berbahaya dari yang kita duga."Aria mengepalkan tangan. "Siapa mereka?""Kami belum tahu. Tapi mereka disebut 'Ordo Kegelapan'. Mereka bukan hanya sekadar organisasi kriminal biasa. Mereka punya akses ke sistem pemerintahan, hukum, dan bahkan dunia bisnis. Jika kita tidak hati-hati, kemenangan kita bisa berubah menjadi awal dari perang yang lebih besar
💥 DUNIA PASCA-PERANG 💥Setelah kehancuran Aquila, dunia perlahan kembali stabil. Tapi harga yang harus dibayar sangat besar. Kota-kota hancur, pemerintahan kacau, dan banyak orang kehilangan harapan.Aria, Cassian, Nathan, dan Liora kini menjadi simbol kebangkitan, tetapi mereka tahu… musuh baru bisa muncul kapan saja.Suatu malam, Aria duduk di balkon markas mereka yang baru. Angin malam bertiup lembut, membawa aroma hujan yang masih tersisa. Cassian berjalan mendekat, membawa dua cangkir kopi.☕ “Sulit tidur?” tanyanya, menyerahkan secangkir pada Aria.Aria tersenyum tipis. “Kau juga.”Cassian duduk di sampingnya, menatap langit berbintang. “Kita berhasil… tapi rasanya masih belum selesai.”Aria mengangguk. “Aku juga merasa begitu. Seperti… ada sesuatu yang belum beres.”💡 ROMANTIS, TAPI PENUH TEKANAN 💡Cassian menoleh, mata birunya tajam namun lembut.“Kalau semuanya sudah benar-benar se
Meskipun Stasiun Omega telah hancur dan Ezekiel dikira tewas dalam ledakan itu, dunia masih jauh dari damai. Aria tahu, perang tidak pernah benar-benar berakhir selalu ada seseorang di balik layar, menunggu saat yang tepat untuk mengambil kendali.Suatu malam, saat Aria sedang berada di tempat persembunyian rahasia mereka, sebuah pesan misterius muncul di perangkat komunikasinya."Kau pikir ini sudah selesai? Aku selalu selangkah di depanmu, Aria. Kita akan bertemu lagi. E."Napas Aria tercekat. Tangannya mengepal.Ezekiel masih hidup.Ancaman BaruCassian segera menghubungkan semua sistem keamanan mereka untuk melacak sumber pesan itu. “Ini dikirim dari lokasi terenkripsi. Dia sengaja meninggalkan jejak.”Nathan bersandar di dinding, wajahnya penuh kekhawatiran. “Kalau dia masih hidup, berarti dia punya rencana cadangan.”Aria menatap layar dengan rahang mengeras. “Dia ingin kita tahu. Ini bukan hanya tentang balas