Aria kembali ke ruangannya setelah pertemuan di lounge dengan Adrian. Pikirannya kacau, mencoba memahami arti tawaran Adrian. Namun, pagi datang dengan cepat, membawa rutinitas yang tak terhindarkan.
Seperti biasa, Aria sudah berada di pantry dapur hotel saat fajar menyingsing. Ia membantu memastikan segala sesuatu siap untuk tamu VIP yang akan sarapan. Namun, suasana hati Aria terusik saat ia mendengar gumaman rekan-rekan kerjanya. Rina: "Lihat tuh, si Aria. Selalu sibuk seolah-olah dia yang punya hotel ini." Maya: "Dia mungkin berpikir kerja kerasnya akan membuatnya naik jabatan. Padahal, orang seperti dia tidak akan pernah bisa bersaing dengan kita." Rina: "Benar! Dengan penampilan sederhana seperti itu, siapa yang akan memperhatikannya?" Aria mendengar setiap kata, tetapi ia berpura-pura tidak peduli. Baginya, bekerja dengan sungguh-sungguh adalah prioritas, bukan menanggapi sindiran rekan kerja yang iri. Namun, Rina sengaja mendekat, menyodorkan tumpukan piring kotor ke tangan Aria. Rina: "Hei, Aria. Kalau kamu punya banyak energi, bersihkan ini juga, ya. Saya punya pekerjaan yang lebih penting." Aria menahan napas, mencoba mengendalikan amarahnya. Dengan senyum kaku, ia menjawab, Aria: "Baik, Rina. Saya akan melakukannya." Di balik itu semua, tidak semua orang membenci Aria. Salah satu staf dapur, Pak Yanto, seorang pria paruh baya yang telah bekerja di hotel ini selama puluhan tahun, selalu memperhatikan kerja kerasnya. Saat melihat Aria tengah sibuk mencuci piring, ia mendekat. Pak Yanto: "Aria, jangan terlalu dipikirkan. Orang-orang seperti mereka hanya tahu bicara, tapi tidak bisa bekerja seperti kamu." Aria: "Terima kasih, Pak. Saya hanya ingin pekerjaan saya selesai dengan baik. Itu sudah cukup untuk saya." Pak Yanto tersenyum. "Kamu tahu, kerja kerasmu akan dihargai suatu hari nanti. Jangan pernah berhenti percaya pada dirimu sendiri." Kata-kata itu sedikit menghibur hati Aria, tetapi rasa lelah dan hinaan yang ia terima setiap hari mulai membuatnya goyah. Sore harinya, Aria kembali ke pantry untuk mengambil catatan pesanan kamar. Ketika ia keluar dari dapur, Adrian sedang berdiri di lorong, memperhatikan sebuah lukisan besar yang tergantung di dinding. Kehadirannya mengejutkan Aria, tetapi sebelum ia bisa berbalik, Adrian sudah menoleh. Adrian: "Aria." Aria membungkuk kecil. Aria: "Selamat sore, Tuan Adrian. Ada yang bisa saya bantu?" Adrian menggeleng. Adrian: "Kamu terlalu sopan. Bukankah kita sudah sepakat untuk membuang formalitas?" Aria tersenyum kaku. Aria: "Maaf, saya terbiasa seperti ini di lingkungan kerja." Adrian melangkah mendekat, suaranya lebih lembut. Adrian: "Apa kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sedikit lelah." Aria terkejut dengan perhatian itu. Aria: "Saya baik-baik saja, Tuan... eh, Adrian. Hanya hari yang panjang, seperti biasa." Adrian memandangnya dengan ekspresi serius. Adrian: "Aku mendengar sesuatu tadi. Beberapa karyawan di sini tidak bersikap baik padamu." Aria terdiam, matanya melebar. "Dari mana dia tahu?" pikirnya. Aria: "Itu tidak penting, Adrian. Saya sudah terbiasa." Adrian menghela napas, tangannya menyentuh dagu, seolah sedang berpikir. Adrian: "Aria, dunia ini penuh dengan orang yang meremehkan orang lain untuk menutupi kekurangan mereka sendiri. Tapi kamu berbeda. Kamu punya sesuatu yang mereka tidak miliki." Aria menatapnya, bingung. Aria: "Apa yang Anda maksud?" Adrian tersenyum tipis. Adrian: "Kamu punya ketulusan dan keberanian untuk terus maju, bahkan di tengah kesulitan. Itu hal yang langka." Sebelum Aria bisa menjawab, seorang pelayan lain lewat, membawa nampan berisi minuman. Mereka memandang Aria dengan tatapan penasaran, lalu berbisik-bisik di belakang. Adrian memperhatikan dan mendesah. Adrian: "Aku tahu ini sulit. Tapi, Aria, aku akan membantumu. Bukan karena aku kasihan, tapi karena aku yakin kamu mampu mencapai lebih dari ini." Aria merasa campur aduk. Tawaran Adrian semakin membuatnya ragu. Apa yang sebenarnya diinginkan pria ini darinya? Aria: "Terima kasih, Adrian, tapi saya tidak ingin bergantung pada orang lain. Saya ingin mencapai segalanya dengan usaha saya sendiri." Adrian mengangguk pelan, tetapi senyumnya tidak hilang. Adrian: "Dan itu yang paling aku kagumi dari kamu. Tapi ingat, tidak ada salahnya menerima bantuan, selama niatnya tulus." Adrian melangkah pergi, meninggalkan Aria yang masih berdiri mematung di lorong. Kata-katanya terus terngiang di kepala, membuat Aria mempertanyakan keputusan yang akan diambilnya. Di balik senyumnya, Adrian tahu ia harus melindungi gadis ini. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Adrian merasa bertanggung jawab—bukan hanya karena kekaguman, tetapi karena rahasia yang ia simpan tentang Aria. Aria pun tidak tahu, pertemuan mereka adalah bagian dari rencana besar yang akan mengguncang hidupnya. Malam itu, setelah perbincangan dengan Adrian, Aria tidak bisa memejamkan mata. Kata-kata Adrian terus bergema di kepalanya, memicu berbagai pertanyaan. "Apa maksudnya dia yakin aku mampu lebih? Dan kenapa dia begitu peduli padaku?" Saat akhirnya kantuk datang, jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Aria bangun dengan tubuh lesu tetapi tetap bersiap seperti biasa. Rutinitas pekerjaan di hotel mewah itu tidak memberikan ruang untuk kemalasan. Rina: "Aria, meja VIP sudah dipesan untuk sarapan. Pastikan semuanya sempurna. Dan jangan lupa, siapkan tambahan roti panggang." Aria: "Baik, aku akan mengurusnya." Meskipun perintah Rina selalu disertai nada merendahkan, Aria tetap melaksanakannya tanpa protes. Ia mengingat kata-kata Adrian kemarin—bahwa kerja kerasnya suatu hari akan terbayar. Tapi saat melihat wajah Rina yang puas menyuruh-nyuruh, hatinya berbisik, Kapan hari itu tiba? Saat Aria membawa nampan berisi sarapan menuju meja VIP, ia terkejut mendapati Adrian duduk di sana, ditemani oleh seorang wanita cantik dengan gaun elegan. Wanita itu memiliki aura anggun dan senyum menawan, membuat Aria merasa canggung untuk mendekat. Adrian: "Aria." Adrian memanggilnya, membuat wanita di depannya menoleh. Wanita: "Oh, ini staf yang kamu ceritakan?" Aria merasa seluruh perhatian di ruangan itu terpusat padanya. Ia menunduk sedikit, mencoba menghindari tatapan tajam wanita tersebut. Adrian: "Ya, ini dia. Aria, perkenalkan. Ini adalah Sofia, seorang desainer ternama sekaligus teman lama keluargaku." Sofia mengulurkan tangan dengan senyum tipis. Sofia: "Senang bertemu denganmu, Aria. Adrian sering menyebut namamu." Aria mengernyit sedikit, bingung dengan ucapan itu. Aria: "Oh, terima kasih, Nona Sofia. Senang bertemu dengan Anda juga." Setelah menyelesaikan tugasnya, Aria buru-buru kembali ke dapur, hatinya gelisah. "Kenapa Adrian membicarakanku pada Sofia? Dan kenapa aku merasa wanita itu memandangku seperti musuh?" pikirnya. Beberapa saat kemudian, seorang bellboy datang memanggilnya. Bellboy: "Aria, Tuan Adrian ingin bertemu denganmu di ruang konferensi." Aria merasa ragu tetapi tetap pergi. Ketika ia masuk, Adrian sedang berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke kota. Adrian: "Aria, maaf memanggilmu secara mendadak." Aria: "Tidak apa-apa, Adrian. Ada yang bisa saya bantu?" Adrian menatapnya lama sebelum berbicara. Adrian: "Sofia tadi ingin menawarkan sesuatu padamu." Aria: "Menawarkan sesuatu? Maksud Anda?" Adrian menarik napas dalam. Adrian: "Dia ingin kamu menjadi asisten pribadinya. Ini kesempatan besar, Aria. Pekerjaan ini bisa membawamu keluar dari hotel ini dan menuju sesuatu yang lebih baik." Aria terkejut. "Asisten pribadi seorang desainer ternama? Kenapa Sofia ingin mempekerjakanku? Aku bahkan tidak tahu apa-apa tentang dunia fashion," pikirnya. Aria: "Adrian, saya tidak yakin. Kenapa dia ingin saya?" Adrian tersenyum kecil. Adrian: "Karena aku yang merekomendasikanmu. Aku melihat potensi besar dalam dirimu, Aria. Kamu hanya perlu percaya pada dirimu sendiri." Aria terdiam, hatinya bimbang. Tawaran itu menggiurkan, tetapi ia tidak bisa mengabaikan rasa canggung yang ia rasakan tadi ketika bertemu Sofia. Aria: "Adrian, terima kasih atas kepercayaannya. Tapi... saya harus memikirkannya." Adrian mengangguk. Adrian: "Aku mengerti. Ambil waktu yang kamu butuhkan. Tapi jangan terlalu lama, kesempatan seperti ini tidak datang dua kali." Setelah pertemuan itu, Aria kembali ke kamar stafnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Pikirannya penuh pertanyaan. Di satu sisi, ia merasa tawaran itu terlalu baik untuk menjadi kenyataan. Di sisi lain, ia merasakan sesuatu yang ganjil dari cara Sofia memandangnya. Keesokan harinya, Sofia kembali ke hotel untuk bertemu Adrian. Namun kali ini, ia sengaja memanggil Aria ke ruangannya. Sofia: "Aria, duduklah." Aria menurut, meski hatinya dipenuhi rasa waspada. Sofia: "Aku akan jujur padamu. Aku tidak sepenuhnya setuju dengan rekomendasi Adrian. Tapi, jika dia percaya padamu, aku ingin melihat apa yang membuatmu begitu istimewa." Aria: "Saya tidak yakin apa yang Adrian lihat pada saya, Nona Sofia. Tapi saya selalu berusaha melakukan yang terbaik." Sofia tersenyum tipis, tetapi tatapannya tajam. Sofia: "Kita lihat saja nanti, apakah kamu cukup layak untuk masuk ke dunia yang aku geluti." Setelah pertemuan itu, Aria merasa semakin tertekan. Ia tahu tawaran ini bisa mengubah hidupnya, tetapi ia tidak bisa menghilangkan rasa tidak nyaman terhadap Sofia. Apakah Adrian benar-benar mencoba membantunya, atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi? Sementara itu, Adrian diam-diam memantau Aria dari kejauhan, memastikan gadis itu tetap kuat menghadapi tantangan yang sedang menantinya. Dalam hati, Adrian tahu ia harus segera memberitahu Aria tentang rahasia besar yang menghubungkan mereka—sebelum semuanya terlambat.Matahari merangkak naik di cakrawala, menyinari medan perang yang kini dipenuhi dengan sisa-sisa pertempuran yang sengit. Asap masih mengepul dari reruntuhan, dan aroma besi bercampur darah memenuhi udara. Aria berdiri di atas bukit, mengawasi pasukannya yang tersisa. Kemenangan telah mereka raih, tetapi tidak tanpa pengorbanan. Ia melangkah perlahan melewati medan pertempuran yang penuh dengan para prajurit yang terluka dan gugur. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena beban di hatinya. Ia telah memimpin pasukannya menuju kemenangan, namun harga yang harus dibayar sangat tinggi. Jenderal Adira mendekat, wajahnya penuh debu dan luka, tetapi matanya masih menyala dengan semangat. "Kita menang, Aria. Musuh telah mundur sepenuhnya. Kerajaan kita selamat." Aria mengangguk, tetapi hatinya tidak sepenuhnya lega. Ia tahu bahwa perang ini bukanlah akhir, melainkan awal dari per
Aria berdiri di depan peta besar yang tergantung di dinding, matanya menyusuri jalur-jalur yang terhubung dengan kekuatan-kekuatan musuh yang kini mengancam kerajaan mereka. Tangannya sesekali meluncur di atas peta, menandai titik-titik strategis yang harus diamankan. Namun, dalam hatinya, perang ini jauh lebih besar dari sekadar taktik dan strategi. Ini adalah ujian bagi semua yang ia perjuangkan, sebuah pertempuran antara harapan dan keputusasaan."Kepercayaan kita akan diuji," katanya dengan suara berat, menatap wajah-wajah yang hadir di ruangan itu. "Bukan hanya pasukan kita yang akan bergerak, tetapi setiap langkah yang kita ambil akan menentukan nasib kita semua."Di sekeliling meja, para jenderal dan penasihatnya mendengarkan dengan seksama. Mereka tahu betul bahwa Aria tidak hanya berbicara tentang kemenangan. Aria berbicara tentang mempertahankan segala yang telah dibangun, mempertahankan yang benar, dan mempertahankan cahaya di tengah kegelapan yang datan
Aria berdiri di depan peta besar yang tergantung di dinding, matanya menyusuri jalur-jalur yang terhubung dengan kekuatan-kekuatan musuh yang kini mengancam kerajaan mereka. Tangannya sesekali meluncur di atas peta, menandai titik-titik strategis yang harus diamankan. Namun, dalam hatinya, perang ini jauh lebih besar dari sekadar taktik dan strategi. Ini adalah ujian bagi semua yang ia perjuangkan, sebuah pertempuran antara harapan dan keputusasaan."Kepercayaan kita akan diuji," katanya dengan suara berat, menatap wajah-wajah yang hadir di ruangan itu. "Bukan hanya pasukan kita yang akan bergerak, tetapi setiap langkah yang kita ambil akan menentukan nasib kita semua."Di sekeliling meja, para jenderal dan penasihatnya mendengarkan dengan seksama. Mereka tahu betul bahwa Aria tidak hanya berbicara tentang kemenangan. Aria berbicara tentang mempertahankan segala yang telah dibangun, mempertahankan yang benar, dan mempertahankan cahaya di tengah kegelapan yang datan
Aria berdiri di tengah ruangan yang remang-remang, menatap peta besar yang terbentang di mejanya. Setiap garis dan tanda merah menandakan pertempuran yang telah ia lewati dan strategi yang harus ia jalankan selanjutnya. Kemenangan atas Ezekiel adalah langkah besar, tapi ia tahu perang belum berakhir.Di luar, hujan turun deras, seolah mencerminkan gejolak dalam hatinya. Telepon di mejanya bergetar, menampilkan nama yang tak asing Lina."Aria, kita punya masalah baru. Ada seseorang yang menggerakkan sisa pasukan Ezekiel di balik layar. Aku baru saja mendapat laporan bahwa kelompok bayangan ini lebih berbahaya dari yang kita duga."Aria mengepalkan tangan. "Siapa mereka?""Kami belum tahu. Tapi mereka disebut 'Ordo Kegelapan'. Mereka bukan hanya sekadar organisasi kriminal biasa. Mereka punya akses ke sistem pemerintahan, hukum, dan bahkan dunia bisnis. Jika kita tidak hati-hati, kemenangan kita bisa berubah menjadi awal dari perang yang lebih besar
💥 DUNIA PASCA-PERANG 💥Setelah kehancuran Aquila, dunia perlahan kembali stabil. Tapi harga yang harus dibayar sangat besar. Kota-kota hancur, pemerintahan kacau, dan banyak orang kehilangan harapan.Aria, Cassian, Nathan, dan Liora kini menjadi simbol kebangkitan, tetapi mereka tahu… musuh baru bisa muncul kapan saja.Suatu malam, Aria duduk di balkon markas mereka yang baru. Angin malam bertiup lembut, membawa aroma hujan yang masih tersisa. Cassian berjalan mendekat, membawa dua cangkir kopi.☕ “Sulit tidur?” tanyanya, menyerahkan secangkir pada Aria.Aria tersenyum tipis. “Kau juga.”Cassian duduk di sampingnya, menatap langit berbintang. “Kita berhasil… tapi rasanya masih belum selesai.”Aria mengangguk. “Aku juga merasa begitu. Seperti… ada sesuatu yang belum beres.”💡 ROMANTIS, TAPI PENUH TEKANAN 💡Cassian menoleh, mata birunya tajam namun lembut.“Kalau semuanya sudah benar-benar se
Meskipun Stasiun Omega telah hancur dan Ezekiel dikira tewas dalam ledakan itu, dunia masih jauh dari damai. Aria tahu, perang tidak pernah benar-benar berakhir selalu ada seseorang di balik layar, menunggu saat yang tepat untuk mengambil kendali.Suatu malam, saat Aria sedang berada di tempat persembunyian rahasia mereka, sebuah pesan misterius muncul di perangkat komunikasinya."Kau pikir ini sudah selesai? Aku selalu selangkah di depanmu, Aria. Kita akan bertemu lagi. E."Napas Aria tercekat. Tangannya mengepal.Ezekiel masih hidup.Ancaman BaruCassian segera menghubungkan semua sistem keamanan mereka untuk melacak sumber pesan itu. “Ini dikirim dari lokasi terenkripsi. Dia sengaja meninggalkan jejak.”Nathan bersandar di dinding, wajahnya penuh kekhawatiran. “Kalau dia masih hidup, berarti dia punya rencana cadangan.”Aria menatap layar dengan rahang mengeras. “Dia ingin kita tahu. Ini bukan hanya tentang balas