Kehidupan Aria semakin tidak menentu setelah pertemuannya dengan Tante Nadya. Setiap langkah yang ia ambil kini terasa lebih berat, seolah-olah ia berada di tengah medan perang yang penuh dengan jebakan. Tapi, Aria sudah bertekad. Ia tak bisa mundur. Terlebih setelah menemukan jurnal ibunya yang mengungkapkan banyak hal yang tak pernah ia duga.
Namun, satu hal yang masih menghantuinya—Adrian. Meski ia sudah berjanji untuk membantu Aria mengungkap kebenaran, semakin lama, semakin banyak hal yang tak sesuai dengan yang Aria harapkan. Ada sesuatu dalam sikap Adrian yang mulai terasa berbeda. Ada yang disembunyikan darinya. Malam itu, setelah makan malam bersama keluarga besar yang penuh ketegangan, Aria memutuskan untuk berbicara dengan Adrian. Ia tidak bisa lagi menahan rasa curiga yang terus menggerogoti hatinya. Adrian, yang dulu tampak begitu tulus membantunya, kini terasa seperti bayangan gelap yang mengintai. Aria: (berbicara dengan suara tegas) "Adrian, ada sesuatu yang tidak beres. Kamu... Kamu mulai menjauh dariku. Aku merasa seperti aku sedang berada di ujung jurang, dan kamu hanya menonton tanpa melakukan apa-apa. Apa yang sebenarnya kamu inginkan?" Adrian yang semula tampak tenang, kini sedikit terkejut mendengar pertanyaan Aria. Ia tahu ini saat yang tidak bisa lagi dihindari. Pandangannya berubah, tidak lagi sehangat dan tulus seperti biasanya. Ada sesuatu yang tersembunyi di matanya—sesuatu yang Aria belum mampu ungkapkan. Adrian: (dengan nada rendah) "Aria, aku tidak ingin kamu merasa seperti itu. Tapi ada banyak hal yang lebih rumit daripada yang kamu bayangkan. Kamu harus memahami bahwa ini bukan hanya soal kita. Ada banyak orang yang terlibat, banyak kepentingan yang harus dipertimbangkan." Aria mendekatkan dirinya, tatapannya penuh dengan kecurigaan. Ia sudah memutuskan untuk tidak lagi percaya pada perkataan manis Adrian. Aria: (dengan nada sedikit menekan) "Apa maksudmu? Apa yang kamu sembunyikan, Adrian? Aku sudah cukup sabar. Aku sudah cukup mempercayaimu, tetapi sekarang aku merasa seperti aku sedang terjebak dalam permainan yang tidak aku mengerti." Adrian terdiam. Ia mengalihkan pandangannya, seolah mencari kata-kata yang tepat. Namun, Aria sudah tahu. Sesuatu yang buruk sedang terjadi. Sesuatu yang melibatkan dirinya, dan bukan hanya sekadar pertarungan warisan. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Adrian menghela napas panjang. Ia tahu tidak ada lagi jalan untuk mundur. Adrian: (dengan suara pelan) "Aku... aku terlibat dalam rencana ini, Aria. Tapi bukan seperti yang kamu pikirkan." Aria terkejut. Semua yang ada dalam pikirannya seolah runtuh dalam sekejap. Aria: (dengan nada tertahan) "Rencana? Apa maksudmu, Adrian? Kamu bekerja sama dengan mereka?" Adrian mengangguk perlahan, matanya tidak berani menatap langsung pada Aria. Adrian: "Aku bukan hanya seorang pembantu. Aku juga bagian dari keluarga ini, Aria. Aku bekerja untuk mereka, dan aku punya misi yang harus aku selesaikan. Aku... aku harus melindungi warisan ini. Itu sudah tugas aku." Aria merasa seolah dunia berputar begitu cepat. Hatinya hancur, terbelah oleh kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan. Adrian, yang selama ini ia anggap teman dan pelindung, ternyata adalah bagian dari permainan yang sama sekali berbeda. Selama ini, ia hanya terjebak dalam ilusi bahwa Adrian benar-benar ada untuk membantunya. Aria: (suara bergetar) "Kamu... kamu tidak pernah memberitahuku yang sebenarnya. Kamu tahu apa yang mereka lakukan padaku, dan kamu tetap diam. Kamu tahu semua ini, Adrian, dan tetap berpura-pura? Sejak kapan kamu mulai bekerja dengan mereka?" Adrian: (dengan suara rendah dan penuh penyesalan) "Aku tidak ingin ini terjadi, Aria. Aku tidak ingin melukai kamu. Tetapi, saat itu aku tidak punya pilihan. Mereka memaksa aku untuk memilih. Aku harus menjaga posisiku dalam keluarga ini. Keluarga ini... Mereka akan menghancurkan semuanya jika aku tidak mengikuti aturan mereka." Aria terdiam, berusaha mencerna semuanya. Ada banyak emosi yang bercampur—kecewa, marah, dan rasa pengkhianatan yang mendalam. Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan: kenyataan bahwa Adrian adalah bagian dari keluarga itu, atau kenyataan bahwa ia telah digunakan sebagai alat dalam permainan mereka. Aria: (dengan air mata yang mulai menetes) "Jadi, selama ini aku hanya dimanfaatkan? Semua bantuan yang kamu berikan... Semua kata-kata manis yang kamu ucapkan... Itu hanya bagian dari rencana?" Adrian menundukkan kepala, tidak mampu menjawab. Aria merasa hatinya semakin hancur. Semua yang ia percayai selama ini ternyata adalah kebohongan besar. Dalam dunia ini, tidak ada yang bisa ia percayai. Bahkan orang yang paling ia cintai dan percayai pun bisa berkhianat. Adrian: (dengan suara berat) "Aria, aku tahu aku telah mengecewakanmu. Aku akan membantumu keluar dari semua ini, jika itu yang kamu inginkan. Aku akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahan ini. Tapi kamu harus tahu satu hal—aku tidak bisa melawan keluargaku. Tidak dalam hal ini. Aku hanya bisa membantu dari dalam." Aria berdiri dengan cepat, mengambil langkah mundur. Ia merasa sesak di dadanya. "Keluargamu..." gumamnya, hampir tak terdengar. Aria: (dengan suara tegas) "Aku tidak membutuhkan bantuan dari orang seperti kamu. Aku akan menyelesaikan ini sendiri." Dengan satu langkah terakhir, Aria pergi meninggalkan Adrian, yang berdiri di sana dengan rasa bersalah yang menyelimuti hatinya. Ia tahu, kini Aria sudah mengetahui semuanya. Tidak ada lagi yang bisa ditutupi. Aria tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dunia yang ia kenal sekarang begitu berbeda—penuh dengan rahasia, kebohongan, dan intrik yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Namun, satu hal yang pasti: ia tidak akan menyerah. Kini, lebih dari sebelumnya, Aria harus mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik keluarga ini, dan ia akan melakukannya tanpa bantuan siapa pun—termasuk Adrian. Setelah semua pengkhianatan dan kebohongan yang terungkap, Aria mencoba menjauhkan dirinya dari Adrian. Namun, sesuatu di dalam dirinya terus memanggil, membuatnya tidak bisa sepenuhnya mengabaikan pria itu. Ada momen-momen kecil, tatapan tajam Adrian yang tampak tulus, atau caranya berbicara dengan nada yang mengandung penyesalan mendalam. Aria membenci dirinya sendiri karena merasa sedikit simpati—atau mungkin sesuatu yang lebih dalam. Suatu malam, ketika bulan menggantung penuh di langit, Aria duduk di taman kecil di halaman belakang mansion keluarga itu. Ia mencoba menenangkan pikirannya yang kalut dengan membaca ulang jurnal ibunya. Setiap kata dalam jurnal itu seperti memanggilnya untuk menemukan kebenaran lebih jauh, tetapi pikirannya terus kembali ke satu orang: Adrian. Langkah kaki yang perlahan terdengar dari arah belakang membuat Aria mendongak. Adrian berdiri di sana, membawa secangkir teh hangat. Adrian: (dengan suara lembut) "Kamu belum tidur. Aku pikir mungkin kamu butuh ini." Aria menatapnya dengan tatapan curiga, tetapi tidak bisa mengabaikan secangkir teh yang tampak menenangkan di tangannya. Ia mengulurkan tangan dan menerimanya tanpa berkata apa-apa. Adrian duduk di bangku sebelahnya, menjaga jarak tetapi cukup dekat untuk merasakan kehadirannya. Adrian: (pelan) "Aku tahu sulit bagimu untuk percaya padaku sekarang. Aku tidak menyalahkanmu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar ingin membantu." Aria mendesah, menatap cairan dalam cangkir itu seolah mencari jawaban di sana. Aria: (sinis) "Membantu? Sejauh ini, setiap bantuan yang kamu tawarkan hanya membawaku pada lebih banyak masalah. Kenapa aku harus percaya kali ini?" Adrian terdiam sejenak. Tatapannya tertuju pada bulan, seolah-olah sedang mencari keberanian untuk berbicara. Adrian: "Karena aku tidak ingin kehilanganmu, Aria. Aku tahu aku sudah membuat kesalahan besar, tapi aku... aku peduli padamu. Lebih dari yang bisa aku akui." Aria merasakan dadanya berdesir. Kata-kata itu, meskipun terdengar tulus, sulit untuk ia percayai. Tapi matanya menangkap ekspresi Adrian yang penuh dengan rasa sakit dan kejujuran. Aria: (tersenyum kecil, tapi getir) "Peduli padaku? Itu terdengar seperti kebohongan lain, Adrian. Kamu bagian dari keluarga ini. Bagaimana aku bisa yakin bahwa kamu tidak hanya memainkan peran untuk menjatuhkanku?" Adrian menggeleng, memutar tubuhnya untuk menatap langsung ke mata Aria. Ada intensitas di sana yang membuatnya sulit berpaling. Adrian: "Aku mungkin bagian dari keluarga ini, tapi aku tidak seperti mereka. Aku tidak peduli dengan warisan atau kekuasaan. Aku peduli dengan kamu, Aria. Sejak pertama kali aku melihatmu di hotel, aku tahu kamu berbeda. Kamu punya sesuatu yang tidak dimiliki orang lain di keluarga ini—integritas, keberanian, hati yang tulus. Itu sesuatu yang aku... kagumi." Aria merasa panas di wajahnya. Ia ingin menolak ucapan Adrian, tetapi suara di dalam hatinya mengatakan bahwa mungkin, hanya mungkin, Adrian berkata jujur. Aria: (berbisik) "Aku ingin percaya padamu, Adrian. Tapi semuanya begitu rumit. Setiap kali aku berpikir semuanya mulai jelas, ada saja rahasia baru yang muncul." Adrian menundukkan kepalanya, terlihat menyesal. Adrian: "Aku tahu aku tidak pantas untuk dimaafkan. Tapi aku akan membuktikan pada kamu bahwa aku ada di pihakmu. Apa pun yang terjadi, aku akan melindungi kamu, Aria." Kata-kata itu membuat Aria terdiam. Ia tidak tahu harus merasa apa. Sebagian dari dirinya ingin mempercayai Adrian, tapi bagian lain berteriak untuk tetap waspada. Hubungan mereka terlalu penuh dengan luka dan kebohongan untuk dianggap sederhana. Malam itu, percakapan mereka berakhir dengan keheningan. Adrian meninggalkan Aria dengan pikirannya yang semakin rumit. Namun, untuk pertama kalinya, Aria mulai membuka sedikit celah di hatinya—celah yang memungkinkan rasa percaya, atau mungkin cinta, untuk masuk. Keesokan harinya, situasi kembali menjadi tegang. Salah satu anggota keluarga, Tante Nadya, dengan sengaja mengabaikan Aria di meja makan. Suasananya penuh dengan ketegangan, tetapi Adrian, yang biasanya tenang, justru mulai berbicara dengan nada lebih tegas. Tante Nadya: (sinis) "Saya rasa anak seperti kamu tidak pantas duduk di meja ini. Kita semua tahu kenapa kamu di sini. Jangan terlalu berharap bisa menjadi bagian dari keluarga ini sepenuhnya." Aria menundukkan pandangan, mencoba menahan emosinya. Tapi sebelum ia sempat membalas, Adrian angkat bicara. Adrian: (tegas) "Cukup, Tante. Kita semua tahu bahwa Aria adalah bagian dari keluarga ini, apakah kita suka atau tidak. Jika ada yang tidak bisa menerima itu, mungkin mereka yang harus pergi dari meja ini." Semua orang terdiam, termasuk Tante Nadya. Aria menatap Adrian dengan campuran rasa terkejut dan bingung. Ia tidak menyangka Adrian akan membelanya dengan begitu terang-terangan. Setelah makan malam, Aria mendekati Adrian di lorong. Aria: (berbisik) "Kenapa kamu membelaku tadi? Itu hanya akan membuat semuanya lebih sulit untukmu." Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Aria dengan lembut. Adrian: "Karena aku tahu apa yang benar, Aria. Dan aku tahu kamu pantas mendapatkan lebih dari perlakuan mereka." Kali ini, Aria tidak bisa menahan senyumnya. Meskipun masih banyak hal yang tidak ia percayai, untuk sesaat, ia merasa bahwa Adrian mungkin adalah satu-satunya orang di keluarga ini yang benar-benar ada untuknya.Matahari merangkak naik di cakrawala, menyinari medan perang yang kini dipenuhi dengan sisa-sisa pertempuran yang sengit. Asap masih mengepul dari reruntuhan, dan aroma besi bercampur darah memenuhi udara. Aria berdiri di atas bukit, mengawasi pasukannya yang tersisa. Kemenangan telah mereka raih, tetapi tidak tanpa pengorbanan. Ia melangkah perlahan melewati medan pertempuran yang penuh dengan para prajurit yang terluka dan gugur. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena beban di hatinya. Ia telah memimpin pasukannya menuju kemenangan, namun harga yang harus dibayar sangat tinggi. Jenderal Adira mendekat, wajahnya penuh debu dan luka, tetapi matanya masih menyala dengan semangat. "Kita menang, Aria. Musuh telah mundur sepenuhnya. Kerajaan kita selamat." Aria mengangguk, tetapi hatinya tidak sepenuhnya lega. Ia tahu bahwa perang ini bukanlah akhir, melainkan awal dari per
Aria berdiri di depan peta besar yang tergantung di dinding, matanya menyusuri jalur-jalur yang terhubung dengan kekuatan-kekuatan musuh yang kini mengancam kerajaan mereka. Tangannya sesekali meluncur di atas peta, menandai titik-titik strategis yang harus diamankan. Namun, dalam hatinya, perang ini jauh lebih besar dari sekadar taktik dan strategi. Ini adalah ujian bagi semua yang ia perjuangkan, sebuah pertempuran antara harapan dan keputusasaan."Kepercayaan kita akan diuji," katanya dengan suara berat, menatap wajah-wajah yang hadir di ruangan itu. "Bukan hanya pasukan kita yang akan bergerak, tetapi setiap langkah yang kita ambil akan menentukan nasib kita semua."Di sekeliling meja, para jenderal dan penasihatnya mendengarkan dengan seksama. Mereka tahu betul bahwa Aria tidak hanya berbicara tentang kemenangan. Aria berbicara tentang mempertahankan segala yang telah dibangun, mempertahankan yang benar, dan mempertahankan cahaya di tengah kegelapan yang datan
Aria berdiri di depan peta besar yang tergantung di dinding, matanya menyusuri jalur-jalur yang terhubung dengan kekuatan-kekuatan musuh yang kini mengancam kerajaan mereka. Tangannya sesekali meluncur di atas peta, menandai titik-titik strategis yang harus diamankan. Namun, dalam hatinya, perang ini jauh lebih besar dari sekadar taktik dan strategi. Ini adalah ujian bagi semua yang ia perjuangkan, sebuah pertempuran antara harapan dan keputusasaan."Kepercayaan kita akan diuji," katanya dengan suara berat, menatap wajah-wajah yang hadir di ruangan itu. "Bukan hanya pasukan kita yang akan bergerak, tetapi setiap langkah yang kita ambil akan menentukan nasib kita semua."Di sekeliling meja, para jenderal dan penasihatnya mendengarkan dengan seksama. Mereka tahu betul bahwa Aria tidak hanya berbicara tentang kemenangan. Aria berbicara tentang mempertahankan segala yang telah dibangun, mempertahankan yang benar, dan mempertahankan cahaya di tengah kegelapan yang datan
Aria berdiri di tengah ruangan yang remang-remang, menatap peta besar yang terbentang di mejanya. Setiap garis dan tanda merah menandakan pertempuran yang telah ia lewati dan strategi yang harus ia jalankan selanjutnya. Kemenangan atas Ezekiel adalah langkah besar, tapi ia tahu perang belum berakhir.Di luar, hujan turun deras, seolah mencerminkan gejolak dalam hatinya. Telepon di mejanya bergetar, menampilkan nama yang tak asing Lina."Aria, kita punya masalah baru. Ada seseorang yang menggerakkan sisa pasukan Ezekiel di balik layar. Aku baru saja mendapat laporan bahwa kelompok bayangan ini lebih berbahaya dari yang kita duga."Aria mengepalkan tangan. "Siapa mereka?""Kami belum tahu. Tapi mereka disebut 'Ordo Kegelapan'. Mereka bukan hanya sekadar organisasi kriminal biasa. Mereka punya akses ke sistem pemerintahan, hukum, dan bahkan dunia bisnis. Jika kita tidak hati-hati, kemenangan kita bisa berubah menjadi awal dari perang yang lebih besar
💥 DUNIA PASCA-PERANG 💥Setelah kehancuran Aquila, dunia perlahan kembali stabil. Tapi harga yang harus dibayar sangat besar. Kota-kota hancur, pemerintahan kacau, dan banyak orang kehilangan harapan.Aria, Cassian, Nathan, dan Liora kini menjadi simbol kebangkitan, tetapi mereka tahu… musuh baru bisa muncul kapan saja.Suatu malam, Aria duduk di balkon markas mereka yang baru. Angin malam bertiup lembut, membawa aroma hujan yang masih tersisa. Cassian berjalan mendekat, membawa dua cangkir kopi.☕ “Sulit tidur?” tanyanya, menyerahkan secangkir pada Aria.Aria tersenyum tipis. “Kau juga.”Cassian duduk di sampingnya, menatap langit berbintang. “Kita berhasil… tapi rasanya masih belum selesai.”Aria mengangguk. “Aku juga merasa begitu. Seperti… ada sesuatu yang belum beres.”💡 ROMANTIS, TAPI PENUH TEKANAN 💡Cassian menoleh, mata birunya tajam namun lembut.“Kalau semuanya sudah benar-benar se
Meskipun Stasiun Omega telah hancur dan Ezekiel dikira tewas dalam ledakan itu, dunia masih jauh dari damai. Aria tahu, perang tidak pernah benar-benar berakhir selalu ada seseorang di balik layar, menunggu saat yang tepat untuk mengambil kendali.Suatu malam, saat Aria sedang berada di tempat persembunyian rahasia mereka, sebuah pesan misterius muncul di perangkat komunikasinya."Kau pikir ini sudah selesai? Aku selalu selangkah di depanmu, Aria. Kita akan bertemu lagi. E."Napas Aria tercekat. Tangannya mengepal.Ezekiel masih hidup.Ancaman BaruCassian segera menghubungkan semua sistem keamanan mereka untuk melacak sumber pesan itu. “Ini dikirim dari lokasi terenkripsi. Dia sengaja meninggalkan jejak.”Nathan bersandar di dinding, wajahnya penuh kekhawatiran. “Kalau dia masih hidup, berarti dia punya rencana cadangan.”Aria menatap layar dengan rahang mengeras. “Dia ingin kita tahu. Ini bukan hanya tentang balas