Share

Bab 7 - Siapa yang harus di percaya?

Happy Reading Semuanya!

'Kamu berharga banget buat aku, makanya aku memiliki prinsip untuk membahagiakan kamu apapun yang terjadi dan kita bisa menepati janji kita untuk saling bersama sampai maut memisahkan kita.'

Bohong kalau tatapan itu tidak bisa ia percaya. Tatapan penuh cinta tulus dari Risky masih tercetak dengan sangat jelas di dalam pikiran Irene  yang kini hanya melamun memikirkan kejadian saat ini. Bagaimana ia mengatakannya pada Risky kalau dirinya akan menikah dengan orang lain? Irene tidak mampu mengatakannya. Lagian kenapa sih kakaknya kekeh sekali untuk ia menikah dengan suaminya sendiri, ini sangat menyebalkan untuknya.

Terdengar tawa sumbang dari Irene yang kini hanya menghabiskan waktunya di taman belakang sebagai harapan terakhirnya.

“Haha... apa yang gue lakuin ke laki-laki baik kaya Risky? Dia orang baik ketemu perempuan buruk rupa, pembohong kaya gue. Astaga!” keluh Irene  sembari mengacak rambutnya kasar.

“Ndok, kamu benar mau menikah dengan Mas Rangga?” tanya sang ibu sembari menatapnya dalam.

“Apakah aku menjawab dengan kalimat 'TIDAK' pernikahan ini akan berhenti? Kak Mira, Mas Rangga, dan kedua orang tuanya sangat gila. Sepertinya Mama dan Papa juga sama hampir gilanya sama mereka, kalau begitu aku harus percaya sama siapa? Enggak ada,” sahut Irene  sembari menaruh wajahnya tepat di atas meja dengan sang ibu di depannya.

“Irene , enggak bagus bilang begitu.”

Irene hanya membuang nafasnya kasar, “Sepertinya benar kalau ibu adalah musuh terbesar bagi anak perempuannya, apakah aku enggak bisa hidup normal kaya yang lain? Menikah dengan orang paling aku cintai, Mama sama Papa pun sudah tahu aku menjalin hubungan berapa lama sama Kak Risky. Hubunganku hancur hanya karena aku menikah dengan kakak Ipar,” ucap Irene  sembari menatap lelah tanaman di depannya.

“Irene, bukan begitu.”

Perempuan cantik itu tampak menahan napasnya mendengar perkataan sang ibu, ia sangat putus asa dan tidak bisa berkata apa-apa lagi.

“Kalian selalu begitu, berada di pihak yang sama. Bagaimana denganku? Apa aku di lahirkan untuk menuruti semuanya? Seperti sekarang ini ‘Irene  tolong menikah dengan Kakak ipar’ lalu ‘Irene  tolong pinjam rahim untuk melahirkan anak kakak kamu,’ terus ‘Irene  kamu harus putuskan hubungan dengan Risky,’ kenapa hidupku sangat di persulit?” tanya Irene dengan nada suara sedih.

Kepala sang ibu tampak menggeleng seolah tidak setuju dengan perkataan dari anaknya barusan, ia tidak ingin dinilai sebagai orang jahat oleh anaknya sendiri.

“Irene, bukan begitu maksud kami Nak?”

Irene tertawa sumbang saat ini, “Bahkan hari ini aku mendapatkan bucket bunga pernikahan, semua mengharapkan aku menikah dengan Mas Risky tapi kenyatannya adalah aku malah menikah dengan Kakak Ipar aku sendiri. ini sangat konyol dan enggak bisa aku pahami,”

Sekuat tenaga Irene menahan diri untuk tidak menangis, “Padahal Nenek sudah menunggu aku sama Mas Risky buat membahas pernikahan. Pedang pora yang selalu kami bicarakan harus kandas karena keinginan konyol kalian,” Bohong Irene tidak sedih, sudah menjadi kebiasaannya tiap malam menangis seperti ini.

“Kalau kamu memang ingin menikah dengan Nak Risky, kenapa kalian enggak pernah membicarakan pernikahan?” tanya Ira dengan tatapan sedih.

Kepala Irene  mendongak mendengar penuturan dari sang ibu barusan,”Apakah dari kemarin kalian mengizinkan aku untuk menyelak perkatakaan kalian? Aku selalu berada di posisi terpojok! Aku selalu berada di posisi di mana aku harus mengatakan iya. Aku sama Mas Risky punya impian banyak,” jawab Irene dengan nada suara putus asa.

“Apa kamu merasa enggak nyaman membahas pernikahan lebih dulu?” tanya Ira

“Bisakah Mama berpikir tentang itu?”

Hati Ira teriris melihat putri bungsunya memiliki takdir seperti ini. Benar! Siapa yang ingin mendapatkan pernikahan seperti ini.

“Seharusnya kamu keluarkan semuanya Irene sejak awal. Mama enggak tahan melihat kamu hanya diam melamun dan enggak nafsu makan. Mama berani jamin kamu kesulitan bernafas juga, kan? Lupakan semuanya saja Irene, sekarang panggil Nak Risky kemari biar Mama yang bicara sama dia.” Irene menatap sang ibu di depannya itu.

Irene menatap ibunya tidak percaya sedikit pun, ibunya malah membuat smeua masalah menjadi keruh. Ia tidak siap jika kekasih pujaan hatinya mengetahui apa yang terajadi dalam hidupnya sekarang ini.

“Apa? Kenapa Mama mau melakukan itu? Apa Mama bisa melakukannya dan membiarkan Papa serta yang lainnya menganggap aku egois bahkan memikirkan diri aku sendiri?” tanya Irene dengan suara terbata-bata.

Ira memegang tangan sang anak di depannya, sekarang ia bisa melihat luka sang anak yang begitu parah. Ini semua adalah salahnya yang tidak bisa berpihak pada anak bungsunya. Perlahan air matanya mengalir melihat betapa menyedihkannya anak bungsunya saat ini. Rumahnya mendadak tidak sebagus penglihatannya.

 “Nak, Mama bisa bicara dengan Papa dan yang lainnya. Mama juga harus bicara hati ke hati dengan pacar kamu, bukankah kalian sudah berpacaran selama 5 tahun? Itu sudah cukup, Mama mau lihat kamu bahagia Irene  seperti sebelumnya.”

Tangan Irene menutup telinganya dan wajahnya kini sudah basah dengan air mata, ia tidak ingin ada lagi pembahasan yang membuatnya lelah dengan kehidupan saat ini. Semuanya terasa memuakkan untuknya sekarang ini.

“Cukup Ma,” pinta Irene

“Irene —bukankah nenek mau melihat cucu kesayangannya menikah sama laki-laki seperti Nak Risky? Mama bisa membuat pembahasan itu dengan Papa, sekarang mama hanya ingin kamu baik-baik saja dan bukan seperti orang yang kehilangan harapan seperti ini.”

"Cukup Ma! Aku bilang cukup!" teriak Irene.

Irene  menangis kembali tepat di hadapan sang ibu yang kini hanya terpaku melihat keadaannya saat ini, “Semuanya sudah enggak ada gunanya lagi, pernikahan ini pasti akan tetap berjalan. Sekeras apapun Mama berusaha menggagalkan rencana ini semuanya enggak akan berubah,” sahut Irene sembari meninggalkan sang ibu.

Tatapan mata Irene  bertemu dengan pasangan yang membuatnya tidak tenang selama beberapa hari ini, bahkan bibir sang Kakak masih bisa-bisanya tersenyum untuk menyapa dirinya. Tangan Mira menariknya menuju ruang tengah. Irene tidak tahu apa maunya kakaknya itu.

Bahkan untuk menonton drama korea saja ia sudah tidak minat lagi, masalah kehidupan real lifenya saja sudah membuatnya sakit kepala dan Irene  tidak ingin menambah sakit kepalanya lagi dengan menonton drama.

“Ayo menonton drama, bukannya kamu bilang ingin menonton film Kang Hae Soo? Kakak sama Mas Rangga sudah beli filmnya,” ajak Mira.

"Enggak perlu, aku enggak mau nonton. Aku capek menghadapi kalian, film saja sudah membuat aku muak. Aku enggak mau lagi menonton dengan Kakak," sela Irene sembari melepas genggaman tangan sang kakak dan berjalan menuju kamarnya di lantai atas.

Irene tidak tahu siapa lagi yang harus ia percayai sekarang ini. Semuanya tampak abu-abu untuknya bahkan hitam, tidak ada lagi yang bisa membuatnya merasa nyaman dan aman. Ia tidak memiliki rumah lagi seperti dulu.

To be continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status