Share

Rahim Sang Mantan
Rahim Sang Mantan
Author: Zhang Mila

Bab 1. Menjadi Rahim Pengganti

"Lahirkan anak untukku, maka aku akan memenuhi semua kebutuhanmu dan memberimu mahar 2 miliar. Tapi ingat, ini hanya sementara," ucap Yudha tegas pada Jihan. "Jika bukan keinginan istriku, aku tidak akan pernah menikah denganmu," sambungnya lagi dengan sorot matanya yang tajam.

Lalu dia pergi begitu saja meninggalkan Jihan di kamar pengantinnya seorang diri.

Brakk!!

Suara pintu terbanting dengan keras.

Jihan hanya bisa memejamkan matanya bersamaan dengan turunnya cairan bening di pipinya. Ada rasa sakit di hati Jihan ketika mendengar setiap kalimat yang Yudha ucapkan. Padahal Yudha yang dulu ia kenal sangat lembut dan penuh kasih sayang.

Mungkin terkesan berlebihan jika Jihan ingin Yudha seperti yang dulu setelah luka yang ia torehkan.

Ia pantas mendapatkan ini sebagai balasan.

Sungguh, ia sangat terkejut saat mengetahui jika pria yang membutuhkan rahimnya adalah mantan kekasihnya dulu.

Jihan yang saat itu sangat membutuhkan biaya untuk operasi ibunya, tanpa sengaja bertemu dengan dokter Reno ketik ia sedang menangis kebingungan di ujung lorong di sebuah rumah sakit rumah di kota Bandung.

"Kamu kenapa?"

Jihan yang terkejut langsung langsung mengangkat wajahnya. Melihat seorang pria memakai jas putih, reflek ia langsung berdiri dan mengusap air matanya kasar.

"Dokter Reno."

Dokter tampan itu hanya tersenyum tipis.

"Dok, apakah rumah sakit ini tidak memberikan keringanan biaya untuk pasien yang kurang mampu seperti saya? Saya harus mencari kemana uang segitu banyaknya, dok?" tanya Jihan seraya terisak dalam tangisnya.

Dia benar-benar dilanda kebingungan saat ini.

Dokter Reno menggelengkan kepalanya lemah, bertanda tidak ada jalan lain untuk itu. "Maaf Jihan," jawabnya dengan wajah bersalah.

Rumah sakit ini adalah rumah sakit milik pribadi dengan fasilitas yang lengkap dan terbaik di kota ini. Tak heran jika biaya perawatan dan obat-obatan terkenal mahal.

"Jika ibumu dipindahkan ke rumah sakit lain, kamu pasti tau sendiri bagaimana," kata dokter itu lagi tidak secara gamblang karena menjelaskan.

Jihan mengerti apa yang dimaksud dokter muda itu. Terbesit di pikirannya untuk menyerah pada takdir dan berobat seadanya.

Mereka saling diam, berkubang dengan pikiran masing-masing.

Dokter Reno hanya menatap Jihan yang masih menangis itu. Dia ragu saat akan mengatakan sesuatu yang mungkin bisa membantu Jihan untuk melewati masalah ini.

"Jihan."

Mendengar namanya disebut, Jihan mengalihkan pandangan pada dokter itu. "Iya, dok."

Terdengar helaan nafas berat dan panjang sebelum dokter Reno mengatakan sesuatu. "Ada satu jalan yang mungkin bisa menyelamatkan ibumu, Jihan. Apa kamu mau mengambil jalan itu?"

Sontak Jihan menatap penuh harap pada dokter muda tersebut, "Apa dok? Jika memungkinkan, Jihan akan mengambil jalan itu demi kesembuhan ibu." Ada secercah harapan di mata Jihan demi ibunya.

"Maukah kamu menjadi rahim pengganti untuk sahabat saya?" tanya dokter itu dengan ragu.

"Rahim pengganti? Ma_maksud dokter apa?" tanya Jihan yang masih belum mengerti arah pembicaraan dokter Reno.

"Jadilah istri kedua serta menghasilkan anak untuk sahabat saya."

Duarr!!!

Bagai di sambar petir di siang bolong rasanya. Jihan yang sama sekali belum ada pikiran untuk menikah, harus menikah dengan pria yang tak di kenal sebelumnya. Yang lebih parahnya lagi ia harus menjadi orang ketiga dalam pernikahan seseorang.

Rasanya lututnya lemas seketika. Membayangkan saja sudah membuatnya takut. Lalu bagaimana dia bisa menjalani pernikahan ini dan hanya menjadi alat pencetak anak untuk suaminya?

Sungguh, ia bingung harus menerima atau menolak rejeki yang tak di sangka-sangka ini.

"Jihan, kenapa kamu diam?"

Jihan tersentak saat Reno menyentuh tangannya. Segera, dia menarik tangannya menjauh.

Matanya menatap Reno sekilas lalu menunduk. "Apakah dokter akan menjualku?" tanya Jihan dengan perasaan gusar. Hatinya mulai tidak tenang.

Reno sendiri menjadi gelagapan atas pertanyaan Jihan. "Bukan. Bukan seperti itu, Jihan."

"Kalau dokter ingin menjualku, kenapa bukan dokter saja yang membeliku. Kenapa harus orang lain?" Suara Jihan bergetar menahan sakit hati.

"Jihan, kamu salah paham. Aku bukan ingin menjualmu, aku ingin menolongmu."

"Menolong yang bagaimana menurut dokter?" Jihan menatap dokter itu dengan tatapan tajam.

Reno berdecak. Ia merutuki bibirnya yang tidak bisa lebih halus ketika berbicara dengan Jihan. Sekarang inilah akibatnya, Jihan salah paham.

"Sahabatku membutuhkan rahim seorang wanita untuk bisa mengandung anaknya. Dan menurutku kamu adalah orangnya, Jihan. Dia juga menawarkan harga yang mahal untuk ini. Aku pikir, ini akan membantumu untuk melunasi biaya operasi ibu kamu," terang Reno panjang kali lebar.

Ia juga menerangkan dengan pelan-pelan agar Jihan tak salah paham lagi dengannya.

Jihan terdiam. Pikirannya masih kalut untuk memberikan jawaban.

"Aku tidak memaksa, Jihan. Setidaknya sebelum menolaknya, bisakah kamu memikirkannya dengan baik-baik. Jangan memikirkan satu sisi saja. Pikirkan sisi yang lain juga."

Awalnya Jihan enggan menjadi gundik penghasil anak, namun karena keadaan yang terus mendesak, akhirnya ia menyetujui penawaran itu.

***

Disinilah ia sekarang. Di sebuah kamar penuh hiasan dan bertaburan kelopak bunga mawar merah di atas ranjang.

Hatinya semakin tak karuan melihat dirinya sendiri yang masih memakai kebaya putih sisa pernikahan dadakan tadi siang.

Wajahnya masih terpoles riasan tipis, tapi sama sekali tidak memancarkan aura kebahagiaan seperti pengantin pada umumnya.

Belum juga bisa mengusir rasa gugupnya, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Membuat Jihan mendongak, menatap ke arah seseorang yang masih berdiri tegak di depan pintu dengan tatapan yang sulit di artikan.

Takut, Jihan kembali menundukkan wajahnya dengan tangan meremas ujung kebaya putih yang ia kenakan. Ia semakin gemetaran saat ketukan sepatu pantofel yang membentur lantai itu perlahan bergerak mendekat. Reflek, dia menggerakkan tubuhnya merangsek mundur.

"Kenapa? Kamu takut?" Suara berat itu seolah menyergapnya dalam kepungan rasa takut. Membuat tubuhnya kaku tak bergerak.

Jihan memekik saat merasakan cengkraman di pipinya. Tarikan itu membuat wajahnya terangkat dan bisa melihat dengan jelas manik legam pria di depannya.

Untuk sesaat mata mereka saling bersiborok, menyelami perasaan masing-masing. Sampai akhirnya Jihan memejamkan matanya tak mampu.

"Tatap aku Jihan. Apa kamu lupa siapa aku?"

Mata Jihan masih tertutup rapat. Bibirnya keluh tak mampu menjawab.

Bagaimana bisa dia lupa dengan kehidupan masa lalunya bersama Yudha. Sampai matipun kenangan itu akan tersimpan di hatinya yang paling dalam.

Tangan Jihan menepis tangan Yudha dan buru-buru menunduk ketika cengkraman itu terlepas dari pipinya.

Berdekatan dengan Yudha, membuat hatinya bergejolak hebat.

Yudha tersenyum tipis. Lalu menekuk kakinya seperti bersimpuh di depan Jihan. Membuat Jihan reflek memundurkan tubuhnya.

Yudha berdecih. "Kamu masih sama seperti dulu, Jihan." Yudha terkekeh saat melihat wajah Jihan yang masih ketakutan. "Tidak usah takut. Aku kemari hanya ingin memberikan ini kepadamu," ucap Yudha seraya mengangkat amplop coklat di tangannya.

Seketika mata Jihan terlempar pada amplop coklat yang berada di tangan Yudha.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status