"Lahirkan anak untukku, maka aku akan memenuhi semua kebutuhanmu dan memberimu mahar 2 miliar. Tapi ingat, ini hanya sementara." Yudha William. Karena terdesak dan tidak punya pilihan, akhirnya membuat Jihan Annisa mengambil keputusan untuk menikah siri dan menjadi yang kedua demi bisa mendapatkan uang untuk pengobatan ibunya. Meski Yudha membencinya karena masa lalu mereka dulu, tapi Yudha juga membutuhkan Jihan untuk mendapatkan keturunan yang diminta oleh sang istri. Rasa benci itu perlahan meluap saat Yudha mengetahui satu hal yang disembunyikan oleh Jihan. Dan bagaimana reaksi Yudha saat mengetahui siapa dalang dibalik perpisahan mereka dulu? Akankah Yudha bisa memaafkan orang itu? Dan bagaimanakah nasib Jihan selanjutnya setelah ia melahirkan keturunan Yudha ke dunia? Mengalah atau bertahan demi sang buah hati?
Lihat lebih banyak"Lahirkan anak untukku, maka aku akan memenuhi semua kebutuhanmu dan memberimu mahar 2 miliar. Tapi ingat, ini hanya sementara," ucap Yudha tegas pada Jihan. "Jika bukan keinginan istriku, aku tidak akan pernah menikah denganmu," sambungnya lagi dengan sorot matanya yang tajam.
Lalu dia pergi begitu saja meninggalkan Jihan di kamar pengantinnya seorang diri. Brakk!! Suara pintu terbanting dengan keras. Jihan hanya bisa memejamkan matanya bersamaan dengan turunnya cairan bening di pipinya. Ada rasa sakit di hati Jihan ketika mendengar setiap kalimat yang Yudha ucapkan. Padahal Yudha yang dulu ia kenal sangat lembut dan penuh kasih sayang. Mungkin terkesan berlebihan jika Jihan ingin Yudha seperti yang dulu setelah luka yang ia torehkan. Ia pantas mendapatkan ini sebagai balasan. Sungguh, ia sangat terkejut saat mengetahui jika pria yang membutuhkan rahimnya adalah mantan kekasihnya dulu. Jihan yang saat itu sangat membutuhkan biaya untuk operasi ibunya, tanpa sengaja bertemu dengan dokter Reno ketik ia sedang menangis kebingungan di ujung lorong di sebuah rumah sakit rumah di kota Bandung. "Kamu kenapa?" Jihan yang terkejut langsung langsung mengangkat wajahnya. Melihat seorang pria memakai jas putih, reflek ia langsung berdiri dan mengusap air matanya kasar. "Dokter Reno." Dokter tampan itu hanya tersenyum tipis. "Dok, apakah rumah sakit ini tidak memberikan keringanan biaya untuk pasien yang kurang mampu seperti saya? Saya harus mencari kemana uang segitu banyaknya, dok?" tanya Jihan seraya terisak dalam tangisnya. Dia benar-benar dilanda kebingungan saat ini. Dokter Reno menggelengkan kepalanya lemah, bertanda tidak ada jalan lain untuk itu. "Maaf Jihan," jawabnya dengan wajah bersalah. Rumah sakit ini adalah rumah sakit milik pribadi dengan fasilitas yang lengkap dan terbaik di kota ini. Tak heran jika biaya perawatan dan obat-obatan terkenal mahal. "Jika ibumu dipindahkan ke rumah sakit lain, kamu pasti tau sendiri bagaimana," kata dokter itu lagi tidak secara gamblang karena menjelaskan. Jihan mengerti apa yang dimaksud dokter muda itu. Terbesit di pikirannya untuk menyerah pada takdir dan berobat seadanya. Mereka saling diam, berkubang dengan pikiran masing-masing. Dokter Reno hanya menatap Jihan yang masih menangis itu. Dia ragu saat akan mengatakan sesuatu yang mungkin bisa membantu Jihan untuk melewati masalah ini. "Jihan." Mendengar namanya disebut, Jihan mengalihkan pandangan pada dokter itu. "Iya, dok." Terdengar helaan nafas berat dan panjang sebelum dokter Reno mengatakan sesuatu. "Ada satu jalan yang mungkin bisa menyelamatkan ibumu, Jihan. Apa kamu mau mengambil jalan itu?" Sontak Jihan menatap penuh harap pada dokter muda tersebut, "Apa dok? Jika memungkinkan, Jihan akan mengambil jalan itu demi kesembuhan ibu." Ada secercah harapan di mata Jihan demi ibunya. "Maukah kamu menjadi rahim pengganti untuk sahabat saya?" tanya dokter itu dengan ragu. "Rahim pengganti? Ma_maksud dokter apa?" tanya Jihan yang masih belum mengerti arah pembicaraan dokter Reno. "Jadilah istri kedua serta menghasilkan anak untuk sahabat saya." Duarr!!! Bagai di sambar petir di siang bolong rasanya. Jihan yang sama sekali belum ada pikiran untuk menikah, harus menikah dengan pria yang tak di kenal sebelumnya. Yang lebih parahnya lagi ia harus menjadi orang ketiga dalam pernikahan seseorang. Rasanya lututnya lemas seketika. Membayangkan saja sudah membuatnya takut. Lalu bagaimana dia bisa menjalani pernikahan ini dan hanya menjadi alat pencetak anak untuk suaminya? Sungguh, ia bingung harus menerima atau menolak rejeki yang tak di sangka-sangka ini. "Jihan, kenapa kamu diam?" Jihan tersentak saat Reno menyentuh tangannya. Segera, dia menarik tangannya menjauh. Matanya menatap Reno sekilas lalu menunduk. "Apakah dokter akan menjualku?" tanya Jihan dengan perasaan gusar. Hatinya mulai tidak tenang. Reno sendiri menjadi gelagapan atas pertanyaan Jihan. "Bukan. Bukan seperti itu, Jihan." "Kalau dokter ingin menjualku, kenapa bukan dokter saja yang membeliku. Kenapa harus orang lain?" Suara Jihan bergetar menahan sakit hati. "Jihan, kamu salah paham. Aku bukan ingin menjualmu, aku ingin menolongmu." "Menolong yang bagaimana menurut dokter?" Jihan menatap dokter itu dengan tatapan tajam. Reno berdecak. Ia merutuki bibirnya yang tidak bisa lebih halus ketika berbicara dengan Jihan. Sekarang inilah akibatnya, Jihan salah paham. "Sahabatku membutuhkan rahim seorang wanita untuk bisa mengandung anaknya. Dan menurutku kamu adalah orangnya, Jihan. Dia juga menawarkan harga yang mahal untuk ini. Aku pikir, ini akan membantumu untuk melunasi biaya operasi ibu kamu," terang Reno panjang kali lebar. Ia juga menerangkan dengan pelan-pelan agar Jihan tak salah paham lagi dengannya. Jihan terdiam. Pikirannya masih kalut untuk memberikan jawaban. "Aku tidak memaksa, Jihan. Setidaknya sebelum menolaknya, bisakah kamu memikirkannya dengan baik-baik. Jangan memikirkan satu sisi saja. Pikirkan sisi yang lain juga." Awalnya Jihan enggan menjadi gundik penghasil anak, namun karena keadaan yang terus mendesak, akhirnya ia menyetujui penawaran itu. *** Disinilah ia sekarang. Di sebuah kamar penuh hiasan dan bertaburan kelopak bunga mawar merah di atas ranjang. Hatinya semakin tak karuan melihat dirinya sendiri yang masih memakai kebaya putih sisa pernikahan dadakan tadi siang. Wajahnya masih terpoles riasan tipis, tapi sama sekali tidak memancarkan aura kebahagiaan seperti pengantin pada umumnya. Belum juga bisa mengusir rasa gugupnya, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Membuat Jihan mendongak, menatap ke arah seseorang yang masih berdiri tegak di depan pintu dengan tatapan yang sulit di artikan. Takut, Jihan kembali menundukkan wajahnya dengan tangan meremas ujung kebaya putih yang ia kenakan. Ia semakin gemetaran saat ketukan sepatu pantofel yang membentur lantai itu perlahan bergerak mendekat. Reflek, dia menggerakkan tubuhnya merangsek mundur. "Kenapa? Kamu takut?" Suara berat itu seolah menyergapnya dalam kepungan rasa takut. Membuat tubuhnya kaku tak bergerak. Jihan memekik saat merasakan cengkraman di pipinya. Tarikan itu membuat wajahnya terangkat dan bisa melihat dengan jelas manik legam pria di depannya. Untuk sesaat mata mereka saling bersiborok, menyelami perasaan masing-masing. Sampai akhirnya Jihan memejamkan matanya tak mampu. "Tatap aku Jihan. Apa kamu lupa siapa aku?" Mata Jihan masih tertutup rapat. Bibirnya keluh tak mampu menjawab. Bagaimana bisa dia lupa dengan kehidupan masa lalunya bersama Yudha. Sampai matipun kenangan itu akan tersimpan di hatinya yang paling dalam. Tangan Jihan menepis tangan Yudha dan buru-buru menunduk ketika cengkraman itu terlepas dari pipinya. Berdekatan dengan Yudha, membuat hatinya bergejolak hebat. Yudha tersenyum tipis. Lalu menekuk kakinya seperti bersimpuh di depan Jihan. Membuat Jihan reflek memundurkan tubuhnya. Yudha berdecih. "Kamu masih sama seperti dulu, Jihan." Yudha terkekeh saat melihat wajah Jihan yang masih ketakutan. "Tidak usah takut. Aku kemari hanya ingin memberikan ini kepadamu," ucap Yudha seraya mengangkat amplop coklat di tangannya. Seketika mata Jihan terlempar pada amplop coklat yang berada di tangan Yudha.Jihan memutar tubuhnya. Matanya melebar sempurna ketika melihat Yudha yang sedang bersandar di dinding di samping pintu kamar mandi dengan melipat tangannya di dadanya. Matanya menatap mesum, seolah menguliti tubuh Jihan tanpa sisa. Pria itu mendekati Jihan dengan senyum devil di bibirnya. "Apa kamu mau menggodaku, Sayang?" tanya Yudha berulang. Jihan menggeleng cepat. "Bukan, bukan seperti itu, Mas," ucap Jihan gugup. Perlahan ia melangkah mundur karena Yudha terus maju seperti ingin menjamahnya. Jihan juga merasa ngeri melihat tatapan Yudha yang seolah dengan mudah bisa melumpuhkan pertahanannya. "Bukan seperti itu, Mas." Jihan meracau sembari mencengkram erat handuk agar tak terlepas dari tubuhnya. "Lalu, apa? Kamu sengaja membuat singa ini lapar kembali, begitu?" Lagi-Jihan hanya menggeleng seraya terus melangkah mundur untuk mengindari Yudha. Kakinya saja masih terasa bergetar, tidak mungkin kan Yudha akan melampiaskan hasratnya lagi. Tap
Keduanya terdiam cukup lama. Sampai akhirnya Yudha kembali berucap. "Ini tidak adil bagi kita semua, kamu maupun Maura. Karena kita akan sama-sama patah dalam porsi yang berbeda." Jihan yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya untuk menatap Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" "Kamu tidak akan mengerti kenapa aku memilih menikah denganmu dan membuatmu mengandung. Ini semua demi Maura. Aku tidak ingin kehilangan Maura karena tuntutan orang tuaku yang menginginkan seorang cucu. Kamu tau apa yang di katakan oleh ibuku pada Maura?" Yudha menjeda kalimatnya. Terlihat matanya memerah menahan gejolak di dada. "Ibuku ingin aku berpisah dengan Maura yang diklaim mandul dan menyuruhku untuk menikah lagi dengan perempuan pilihannya. Aku menolaknya. Karena aku lebih memilih menikah dengan pilihanku sendiri dari pada harus melihat Maura yang harus tersisih dari perlakuan ibuku. Aku tidak tega, Jihan. Aku sakit saat melihatnya menangis. Meski aku juga tak menampik akan melihat air matan
"Apakah kamu ingin segera berpisah denganku jika tujuanmu sudah tercapai, Mas?" Jihan tersenyum miris. Ia seolah lupa akan tujuan utama Yudha menikahinya. Bukan lagi karena cinta, melainkan menginginkan keturunan darinya agar rumah tangganya bersama Maura tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dan apa yang akan ia dapatkan kelak, hanya kehilangan yang akan ia rasakan. Kehilangan dalam penyesalan. Ia akan kehilangan cintanya dan buah hatinya. Apakah ia sanggup menerima takdirnya? Seketika air mata itu menetes dari pelupuk matanya. Jihan mata mengembun, ia menatap punggung lebar itu yang telah hilang di balik pintu kamar mandi. "Aku harus kuat. Aku tidak ingin terlihat lemah lagi. Sudah cukup kamu menangis, Jihan. Sekarang waktunya untuk bangkit menjalani hidup. Jihan pun memutuskan untuk keluar dari kamarnya setelah memakai kembali pakaiannya. Jihan berniat untuk membuat sarapan. Tapi ketika sampai di dapur, dia berhenti sejenak dan memilih duduk di meja ma
Jihan tersenyum manis menatap Yudha yang masih terlelap itu. Semalaman Yudha terus menggauli dirinya tanpa ampun dan menumpahkan hasrat yang telah dia pendam beberapa hari karena tak bertemu. Yudha juga memperlakukan dia dengan baik layaknya istrinya yang sukses membuatnya melayang. Sungguh membuat hati Jihan berbunga ketika Yudha mengecup keningnya setelah pelepasan terakhirnya. Meskipun mereka bermandikan peluh, namun tiada mengurangi keromantisan keduanya. Dan sekarang dia patut bahagia menyambut indahnya pagi dengan menatap suaminya yang masih memeluk dirinya dengan erat. Mungkin kebahagiaan yang ia rasakan akan bertambah sempurna jika ia bukanlah yang kedua. Tapi mau bagaimana lagi jika takdir cintanya harus seperti ini. Mau berusaha melawan pun ia tidak akan mempu merubah takdirnya yang sudah tertulis di lauhul mahfud. Jari lentik Jihan menyusuri setiap inci wajah Yudha dengan teliti. Sejengkal demi sejengkal menyusuri dengan jari yang bergerak nakal. Menikmat
Tubuhnya bergetar, dia hampir pingsan karena merasa dekapan seorang pria yang memeluk tubuhnya dari belakang. Dia ketakutan jika itu bukanlah manusia melainkan makhluk jadi-jadian yang mengincar dirinya. Apalagi nafasnya yang hangat menerpa tengkuk lehernya yang membuat Jihan semakin ketakutan. "Si_siapa kamu? Tolong jangan ganggu saya. Tolong lepaskan saya," ucapnya seraya tercekat ketakutan. Tak terasa air mata pun menggenang di pelupuk matanya yang terpejam. Jika bisa dia ingin pingsan saja agar tak melihat rupa mahkluk itu yang pasti menyeramkan. Jihan memang cerewet dan sedikit ugal, namun untuk masalah setan, dia sungguh penakut. Dia tak sekuat seperti yang terlihat. Bahkan dia bisa menangis kejer jika terkejut atau di prank dengan memakai pakaian kebanggaan kaum setan. Marah, tentu saja dia marah dengan kelakuan Dea dan yang lainnya karena sangat keterlaluan mengerjai dirinya dulu. Dan sejak saat itu Dea tidak berani lagi menjahili Jihan dengan memakai atribut apapun i
Keesokan harinya, Jihan menjadi bahan bulan-bulanan Dea karena ketampanan suaminya. Tak pelak, semuanya teman-temannya di toko pun nampak terkejut dan tidak menyangka jika Jihan sudah menikah beberapa minggu yang lalu. Karena yang mereka tau, Jihan tidak pernah dekat dengan pria manapun selama mereka bekerja bersama. Apalagi Dea yang dengan hebohnya memamerkan suami Jihan yang gantengnya bak artis cina yang tengah digandrungi kawulah emak-emak se-Indonesia. Tentu saja mereke berteriak penasaran dengan sosok suami Jihan yang bernama Yudha tersebut. "Han, apa benar yang di katakan sama Dea tentang suamimu? Aku jadi penasaran bagaimana wajah suami kamu, Han." "Han, kenalin donk sama suami kamu. Siapa tau aku bakal belok dari pacarku lalu daftar jadi pelakor untuk merebut suamimu." Sontak Jihan melotot mendengar penuturan sableng temannya tersebut. Dia tak habis pikir dengan pikiran aneh anak gadis jaman sekarang yang suka dengan peran pelakor. Jihan pun s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen