Share

Bab 5. Membujuk Pulang

Jihan mengangkat kepalanya melihat siapa. "Dokter."

Dokter Reno tersenyum lembut, menutupi rasa iba ketika melihat Jihan yang terpuruk seperti itu.

Jihan menoleh sekilas, lalu kembali menatap gundukan tanah merah itu. Air matanya pun tumpah kembali. Dia tergugu ketika mengingat sosok ibunya.

"Kamu harus kuat, Jihan. Ini yang terbaik untuk ibumu. Dia sudah tak sakit lagi."

Dokter Reno mencoba menguatkan. Memberi perasaan nyaman agar Jihan kembali tenang.

"Ibu sudah sembuh kemarin, Dok. Ibu sudah sembuh!! Bahkan sebelum operasi masih bisa bercanda bersamaku. Tapi kenapa ibu sekarang pergi secepat ini?"

"Iya, Ibumu sudah sembuh, Han. Jadi kamu harus senang, bukan bersedih seperti ini."

Jihan menggeleng, "Percuma ibu sembuh jika dia ninggalin Jihan, dok,"

Tangis Jihan terdengar semakin pilu ketika mengingat pesan sang Ibu. Dia tak menyangka jika itu adalah pesan terakhirnya sebelum menemui ajalnya. Jika dia tau, pasti dia akan selalu menemani sang ibu tanpa beranjak sedikitpun dari sisinya.

"Kamu harus kuat. Kamu juga harus melanjutkan hidupmu yang terus berjalan. Kamu tidak bisa hanya diam meratapi kematian ibumu, Jihan," kata dokter Reno lagi. Dia tak tahan melihat Jihan yang sangat berantakan. Dia merasa kasihan karena tiada sanak saudara yang berada di pemakaman untuk berbagi kesedihan. Hanya air mata dan penyesalan yang Jihan lontarkan untuk menghilangkan kesepian.

"Sudah, ayo kita pulang. Biar aku yang antar kamu pulang sekarang."

Jihan menggeleng tegas, "Tidak. Jihan tidak mau. Jihan tidak mau ninggalin ibu sendiri di sini. Jihan tidak mau, dok!!"

Jihan kembali menangis memikirkan sang ibu yang dalam gelap di sana. Dadanya ikut sesak merasakan sesak dan gelap yang di rasakan ibunya sekarang.

"Hari sudah gelap, Jihan. Kamu nggak bisa sendiri di sini."

"Jihan ingin menemani sang ibu agar tak sendirian, Dok. Jadi Jihan harap, dokter mau ninggalin Jihan sendirian di sini."

Reno berdecak dalam diam. Ternyata membujuk Jihan sangat sulit di lakukan. Ia berharap pertolongan akan segera datang.

"Jihan.." panggil seseorang.

Keduanya refleks menoleh.

"Yudha." Reno tersenyum melihat Yudha yang perlahan mendekat.

Sedangkan Jihan menatap nanar pada Yudha yang berjalan menghampirinya. Kilatan rasa benci tergambar jelas pada wajahnya saat ini.

Jihan segera beranjak berdiri dan menatap Yudha penuh amarah. "Kenapa kamu ke sini? Sudah puas kan kamu melihat ibuku sudah terbujur menjadi mayat? Ini kah yang kamu inginkan? Puas kamu, puas!!!" seru Jihan dengan nada tinggi dengan tatapan nyalang pada Yudha.

Yudha diam. Lalu segera duduk di samping pusara dan sejenak memanjatkan doa untuk mendiang mertuanya, mengabaikan dengusan Jihan yang nampak tak suka atas kehadirannya saat ini.

Setelah berdoa, Yudha segera bangkit dari duduknya dan menatap Jihan yang menatapnya penuh benci.

"Mari kita pulang. Hari sudah gelap," ajak Yudha.

Pria itu segera meraih tangan Jihan dan berniat menariknya ke dalam mobil.

Tapi Jihan menepis tangan Yudha dan melipat tangannya ke dada. "Ngapain kamu ke sini? Kamu senang kan jika ibuku meninggal? Jadi kamu tidak perlu membiayai ibuku lagi." Jihan baru tau jika Yudha sudah melunasi semua biaya rumah sakit ibunya.

"Jihan!!" tegur dokter Reno. Dia merasa tak enak pada Yudha karena dia lah yang menjadikan Jihan istri Yudha. "Tak seharusnya-"

"Biar. Biarkan dia mengeluarkan unek-uneknya, Ren. Aku tidak apa-apa," potong Yudha. Dia memasukkan tangannya dan menatap Jihan yang masih menatapnya tak suka. Yudha ingin tau sejauh mana Jihan akan terus marah padanya.

Jihan tersenyum hambar. Ia menarik nafas panjang dan mulai mengeluarkan apa yang bersarang di hatinya. Termasuk pernikahan mereka yang baru terlaksana.

Jihan juga menyinggung Yudha yang hanya menikahinya dengan siri, dan itu sangat merugikannya sebagai pihak perempuan yang membutuhkan status yang jelas di mata masyarakat.

"Jadi, kamu ingin menikah resmi denganku, Jihan?" tanya Yudha dengan seringai di wajahnya.

"Iya. Aku wanita yang membutuhkan status yang jelas. Apalagi untuk status anakku kelak."

"Apa kamu lupa jika anakmu kelak akan menjadi milikku dan istriku?"

Deg

Bahkan Jihan melupakan itu, perjanjian terkutuk yang membuat hidupnya kelak akan sengsara. Memikirkannya saja Jihan merinding, apalagi harus menjalaninya dengan penuh drama.

Jihan dengan berani menatap mata Yudha. "Ibuku sudah meninggal, jadi kalau kamu mau membatalkan perjanjian ini, aku akan menerimanya."

Yudha tergelak seketika. Lalu wajahnya berubah masam ketika menatap Jihan yang mengatakan itu tanpa rasa berdosa.

"Reno, katakan pada wanita di depanku ini berapa total semua biaya yang aku keluarkan untuk mengurus ibunya sampai di pemakaman sekarang," tukas Yudha tanpa melihat Reno yang berada di belakangnya.

Dia ingin melihat bagaimana reaksi wanita tak tau diri di hadapannya ini setelah mendengar jawaban dokter yang merawat ibunya selama ini.

Reno mengangguk. "Jihan, total semua yang dikeluarkan Yudha untuk perawatan ibumu sampai di pemakaman adalah hampir ratusan juta rupiah."

Jihan menganga mendengar ucapan dokter Reno. "Ratusan juta? Serius, dok?"

Reno mengangguk pasti. "Apa kamu lupa jika ibumu di rawat di rumah sakit di kamar nomer satu dengan peralatan lengkap dan pelayanan nomor satu juga."

Jihan lemas seketika mendengar penjelasan dokter Reno. Dia tak menyangka perawatan ibunya begitu mahalnya. Apakah dia akan akan sanggup membayar semua jika dia membatalkan pernikahannya dengan Yudha? Apalagi Yudha sudah mengancam akan menarik kembali uang yang sudah diberikan.

"Kenapa kamu diam? Bagaimana? Apa kamu masih ingin membatalkan pernikahan kita? Aku tak masalah, asalkan kamu harus membayar hutang rumah sakit saat ini juga."

Sontak Jihan langsung menatap Yudha. Yang benar saja jika dirinya harus membayar saat ini juga? Yang benar saja, pikir Jihan dalam hati.

Yudha tersenyum tipis melihat wajah terkejut Jihan. Membuat dia semakin suka membuat Jihan tersiksa dengan pernikahan mereka.

"Huwaaa!! Aku mau ikut ibu saja! Aku tidak ingin hidup lagi!" Jihan kembali meraung merasakan doble kesedihan yang melanda.

Melihat Jihan yang kembali menangis, Yudha segera menarik Jihan ke dalam pelukannya. Memeluknya erat seolah memberi kenyamanan.

Semakin kencang tangisan Jihan, sampai membuat basah kemeja Yudha di bagian dadanya.

Yudha hanya diam. Jujur, ia sangat iba pada nasib Jihan yang penuh nestapa. Suaminya entah kemana, sekarang ibunya tiada. Di tambah lagi pernikahan mereka yang menikah secara agama.

Wanita mana yang kuat menghadapi segala ujian berat yang menimpa.

"Maaf. Maafkan aku yang tidak berada di sampingmu saat kamu butuh sandaran. Maafkan aku yang tidak berada di sampingmu saat kamu butuh kekuatan." Yudha semakin mengeratkan pelukannya.

Bagaimanapun rasa bencinya pada Jihan, masih bisa dikalahkan dengan rasa sayang yang jauh lebih besar dibandingkan rasa bencinya pada Jihan.

Yudha tidak mampu membenci cinta pertamanya yang sudah menjadi istri keduanya. Niat untuk balas dendam pun sirna sudah, berganti rasa sayang yang mulai tumbuh subur di hatinya.

***

Sedangkan Maura sendiri memilih beristirahat di kamarnya setelah kepergian Yudha yang mendadak setelah mendapatkan telepon dari seseorang.

Maura sempat merasa kasihan pada suaminya, yang baru saja sampai, harus kembali pergi. Tapi mau bagaimana lagi jika itu adalah tuntutan pekerjaan yang harus segera diselesaikan.

Baru saja dia akan menutup matanya, suara bell berbunyi nyaring membuyarkan rasa kantuknya. Dengan malas dia berusaha bangkit dari tidurnya untuk melangkah ke depan.

Bel berbunyi lagi, seolah sang tamu sudah tak sabar ingin segera di bukakan pintunya.

"Iya, sebentar!!" seru Maura seraya melangkahkan kakinya.

Seketika tubuh Maura menegang ketika melihat tamu spesial sore ini. Tamu yang sangat tak di harapkan kedatangannya untuk memperumit keadaannya yang tengah dirundung nestapa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status