Home / Romansa / Rahim Sang Mantan / Bab 4. Kehilangan

Share

Bab 4. Kehilangan

Author: Zhang Mila
last update Last Updated: 2023-12-28 21:12:34

Semua perkataan dokter Reno tidak ia percayai begitu saja. Jihan menganggapnya hanya angin belaka. Kenapa juga sang dokter harus mengatakan hal terburuk yang akan terjadi pada sang ibu. Seharusnya dia tidak mendahului takdir yang belum tentu terjadi.

Masih ada Tuhannya yang akan mengabulkan doanya. Memberikan hadiah terbaik untuk ibunya yang telah berjuang melawan penyakitnya yang sudah dideritanya sejak lama.

"Jihan."

"Iya." Jihan mengangkat wajahnya dan menatap dokter itu.

"Kamu mendengar apa yang saya katakan, kan?"

"Iya, dok. Jihan mendengar semuanya dengan jelas," jawab Jihan seraya tersenyum tipis. Ia bahkan mendengarkan dengan jelas setiap kalimat yang terlontar dari bibir dokter itu dengan pikiran yang sulit terlukiskan oleh kata-kata.

"Jihan." Dokter itu diam sesaat. Matanya menatap lekat Jihan. Jihan paham jika beban dokter Reno sangatlah besar.

Percayalah, Jihan juga takut jika ini terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, jika tidak dioperasi, ibunya akan terus merasakan kesakitan akibat penyakitnya itu. Dan Jihan tidak tega harus melihat ibunya kesakitan terus menerus.

"Kami akan melakukan yang terbaik untuk ibumu. Tapi dengan berat hati saya harus sampaikan hal ini," sambungnya lagi dengan suara pelan.

Jihan mendongak dan membalas tatapan dokter Reno.

"Iya, Dok. Jihan mengerti."

"Ok kalau begitu," dokter Fahri melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Saya akan memulai operasinya 5 menit lagi. Doakan semoga operasinya berjalan lancar dan ibumu kembali sehat seperti semula. Tentu kita tahu bahwa tidak akan ada yang bisa mengalahkan kedahsyatan sebuah doa yang sungguh-sungguh. Apalagi doa anak sholehah sepertimu." tukas Dokter Reno sambil tersenyum. Tangannya pun mengusap puncak kepala Jihan seperti adiknya sendiri.

"Iya, Dok," jawab Jihan dengan suara bergetar. Haru dan sedih menjadi satu. Apalagi dia hanya sendirian disini. Yudha yang seharusnya menemaninya saat ini malah pergi ke luar kota.

Jihan tahu siapa yang bisa mendengarkan keluh kesahnya saat ini. Siapa yang akan menjadi tempat bercurah dan memohon keajaiban untuk ibunya. Jihan tidak ingin menunggu dengan sia-sia. Jihan ingin mengeluarkan semua kesedihannya pada Tuhannya.

Jihan berdoa di mushola rumah sakit selama menunggu proses operasi ibunya. Dia juga melafalkan Alquran untuk menghilangkan kegundahan hatinya. Jihan bersujud meminta bantuan pada Tuhannya. Kali ini dalam sholatnya ia tidak meminta apapun, tapi meminta keajaiban untuk ibunya. Dan hanya penciptanyalah yang bisa menolongnya saat ini.

Sampai sore tiba, Jihan masih berada di sana. Dan apapun hasilnya Jihan akan menerimanya. Karena ia yakin jika itu adalah takdir yang telah digariskan dan mungkin itulah yang terbaik untuk semuanya.

Ia juga tidak bisa memaksakan kehendaknya pada sang penciptanya. Karena sang penciptanya tahu apa yang dibutuhkannya, bukan yang diinginkannya.

Setelah puas menumpahkan segala keluhnya, Kinan memutuskan untuk kembali ke ruang operasi ibunya. Ia ingin segera mengetahui hasil operasi ibunya. Dan semoga semuanya baik-baik saja.

Semakin Jihan melangkah, semakin jantungnya berdetak lebih kencang. Apalagi melihat beberapa suster yang terlihat sedang sibuk. Sampai mata Jihan melihat dokter Reno yang berdiri menatapnya dengan tatapan sendu.

Jihan berusaha membuang pikiran buruk tentang ibunya. Ia percaya jika ibunya akan baik-baik saja dan bisa kembali sembuh seperti sedia kala.

Dokter Reno berdiri menatapnya, kemudian mendekat saat Jihan telah berhenti di depannya.

"Jihan, maaf. Saya sudah melakukan yang terbaik, tapi_"

Bagai tersambar petir rasanya.

"Tidak mungkin, Dok?" Jihan masih berusaha menyangkalnya. Ia yakin jika ini hanya prank semata. Tidak mungkin ibunya meninggalkannya begitu cepat.

"Maaf, Jihan. Saya sudah melakukan yang terbaik, tapi Tuhan berkehendak lain. Dia mempunyai rencana untuk kehidupanmu selanjutnya, jadi ikhlaskan semuanya, Jihan. Ini yang terbaik," ucap dokter itu dengan suara berat.

Jihan tidak bisa mengendalikan perasaannya saat ini. Dia masih berusaha menyangkal dan merangsek masuk ke dalam ruangannya. Tapi dengan sigap dokter Reno menahannya karena suster di dalam sedang melepas semua alat yang tertempel pada tubuh ibu Jihan.

"Dokter, Jihan ingin bertemu dengan ibu, Dok. Biarkan Jihan masuk!!" teriak Jihan yang sudah mulai kehilangan kontrol dalam kesadarannya.

"Sabar, Jihan. Kamu tunggu sebentar." Dokter Reno sudah mulai kewalahan menghadapi kebrutalan Jihan. Ia sangat memaklumi apa yang dilakukan Jihan sekarang. Pasti gadis itu sangat terpukul karena kehilangan sandaran dalam hidupnya.

"Dokter, Jihan mau ibu. Jihan mau ikut ibu sekarang!!" Jihan mulai lost control. Berusaha berontak dan memukul segalanya. Hingga akhirnya tubuh Jihan terasa melemah dan tak lama kemudian ambruk dalam pelukan dokter Reno yang dengan sigap menangkapnya.

***

Jika Tuhan menyayangi hambanya, kenapa Jihan sampai saat ini masih hidup? Kenapa dia tidak meninggal saja untuk berkumpul bersama ibu dan adiknya yang meninggalkannya terlebih dahulu.

Kini siapa yang akan mendengar keluh kesahnya sepanjang hari? Tangisannya? Siapa yang akan menghapus air matanya jika semua orang yang menyayanginya dengan tega meninggalkannya begitu saja. Sendirian tanpa sandaran.

Dokter Reno memeluk Jihan yang nampak terpukul itu, "Kamu yang sabar, Jihan. Ini yang terbaik untuk ibumu. Ibumu sudah sembuh. Beliau tidak sakit lagi."

Jihan menangis, meraung dalam pelukan dokter Reno. "Ibu!! Jangan tinggalin Jihan, Bu!! Ibu nggak boleh ninggalin Jihan. Ibu harus hidup bersama Jihan, Bu!!!" Teriaknya histeris.

Wajar saja Jihan seperti itu, karena selama ini hanya ibunya yang dia punya. Dan sekarang ibunya telah tiada, lalu dengan siapa dia akan hidup sekarang?

Sedangkan Yudha sama sekali belum pernah menanyakan keadaannya sejak pria itu meninggalkannya.

Jihan masuk ke dalam ruangan sang ibu dengan di papah dokter Reno. Dengan perlahan dia membuka kain penutup yang menutupi wajah ibunya.

"Ibu!!!! Jangan tinggalin Jihan, Bu. Jihan hidup sama siapa jika ibu ninggalin Jihan sendiri. Bangun Bu, bangun!!!" Pecah sudah air mata yang sedari dia tahan ketika akan melihat jenazah sang ibu.

Jihan mengeluarkan semua emosinya ketika berada di hadapan jenazah sang ibu. Agar Ibunya tau jika Jihan sangat kehilangan dirinya.

Dia terus menangis seraya memeluk jenazah sang Ibu yang nampak tersenyum cantik itu. Dia berharap ini hanya mimpi, dan ketika dia membuka mata dia melihat ibunya tersenyum indah menatap dirinya.

Namun itu hanya angan semata, ibunya tetap terpejam kala dia membuka matanya. Dan saat itulah kesadarannya mulai pulih jika ibunya telah tiada.

***

Jihan memandang gundukan tanah merah itu dengan tatapan kosong. Dia masih berat dan tak percaya dengan apa yang menimpanya kini. Ingin sekali dia ikut terkubur dengan sang ibu, agar dia tak menjalani hidup sendiri dan menjadi sebatang kara di dunia ini.

Dia lebih memilih mati bersama sang ibu, dari pada harus hidup tanpa wanita yang selalu membuatnya kuat dalam menjalani liku-liku hidup di dunia ini. Wanita yang selalu memberinya semangat kala rasa lelah menerpa hidupnya.

Dia sakit, dia sedih bahkan terpuruk ketika sang ibu meninggalkannya. Semangat hidupnya pun ikut terkubur dengan jenazah yang sudah di timbun dengan tanah itu.

"Ibu, Jihan sama siapa, Bu? Kenapa Ibu tega ninggalin Jihan? Jihan mau ikut saja denganmu, Bu. Jihan nggak mau sendirian, Bu." Tangis pilu Jihan dengan memeluk gundukan tanah itu.

Dia tak memperdulikan pakaiannya yang kotor dan basah. Karena yang dia butuhkan sekarang adalah pelukan hangat sang Ibu kembali dia rasakan. Jika bisa, dia ingin sang Ibu bisa hidup kembali, dan berharap sang Ibu hanya mati suri.

Dia memejamkan matanya dan menikmati kesendiriannya. Dia tak ingin ditemani siapapun, karena dia hanya ingin bersama ibunya.

Hingga sebuah tangan memegang pundaknya, mengelusnya pelan seolah memberi kekuatan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahim Sang Mantan   Sedikit Cemburu

    Jihan memutar tubuhnya. Matanya melebar sempurna ketika melihat Yudha yang sedang bersandar di dinding di samping pintu kamar mandi dengan melipat tangannya di dadanya. Matanya menatap mesum, seolah menguliti tubuh Jihan tanpa sisa. Pria itu mendekati Jihan dengan senyum devil di bibirnya. "Apa kamu mau menggodaku, Sayang?" tanya Yudha berulang. Jihan menggeleng cepat. "Bukan, bukan seperti itu, Mas," ucap Jihan gugup. Perlahan ia melangkah mundur karena Yudha terus maju seperti ingin menjamahnya. Jihan juga merasa ngeri melihat tatapan Yudha yang seolah dengan mudah bisa melumpuhkan pertahanannya. "Bukan seperti itu, Mas." Jihan meracau sembari mencengkram erat handuk agar tak terlepas dari tubuhnya. "Lalu, apa? Kamu sengaja membuat singa ini lapar kembali, begitu?" Lagi-Jihan hanya menggeleng seraya terus melangkah mundur untuk mengindari Yudha. Kakinya saja masih terasa bergetar, tidak mungkin kan Yudha akan melampiaskan hasratnya lagi. Tap

  • Rahim Sang Mantan   Pasrah

    Keduanya terdiam cukup lama. Sampai akhirnya Yudha kembali berucap. "Ini tidak adil bagi kita semua, kamu maupun Maura. Karena kita akan sama-sama patah dalam porsi yang berbeda." Jihan yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya untuk menatap Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" "Kamu tidak akan mengerti kenapa aku memilih menikah denganmu dan membuatmu mengandung. Ini semua demi Maura. Aku tidak ingin kehilangan Maura karena tuntutan orang tuaku yang menginginkan seorang cucu. Kamu tau apa yang di katakan oleh ibuku pada Maura?" Yudha menjeda kalimatnya. Terlihat matanya memerah menahan gejolak di dada. "Ibuku ingin aku berpisah dengan Maura yang diklaim mandul dan menyuruhku untuk menikah lagi dengan perempuan pilihannya. Aku menolaknya. Karena aku lebih memilih menikah dengan pilihanku sendiri dari pada harus melihat Maura yang harus tersisih dari perlakuan ibuku. Aku tidak tega, Jihan. Aku sakit saat melihatnya menangis. Meski aku juga tak menampik akan melihat air matan

  • Rahim Sang Mantan   Haruskah Berpisah?

    "Apakah kamu ingin segera berpisah denganku jika tujuanmu sudah tercapai, Mas?" Jihan tersenyum miris. Ia seolah lupa akan tujuan utama Yudha menikahinya. Bukan lagi karena cinta, melainkan menginginkan keturunan darinya agar rumah tangganya bersama Maura tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dan apa yang akan ia dapatkan kelak, hanya kehilangan yang akan ia rasakan. Kehilangan dalam penyesalan. Ia akan kehilangan cintanya dan buah hatinya. Apakah ia sanggup menerima takdirnya? Seketika air mata itu menetes dari pelupuk matanya. Jihan mata mengembun, ia menatap punggung lebar itu yang telah hilang di balik pintu kamar mandi. "Aku harus kuat. Aku tidak ingin terlihat lemah lagi. Sudah cukup kamu menangis, Jihan. Sekarang waktunya untuk bangkit menjalani hidup. Jihan pun memutuskan untuk keluar dari kamarnya setelah memakai kembali pakaiannya. Jihan berniat untuk membuat sarapan. Tapi ketika sampai di dapur, dia berhenti sejenak dan memilih duduk di meja ma

  • Rahim Sang Mantan   Bab 23. Posisi Bercinta

    Jihan tersenyum manis menatap Yudha yang masih terlelap itu. Semalaman Yudha terus menggauli dirinya tanpa ampun dan menumpahkan hasrat yang telah dia pendam beberapa hari karena tak bertemu. Yudha juga memperlakukan dia dengan baik layaknya istrinya yang sukses membuatnya melayang. Sungguh membuat hati Jihan berbunga ketika Yudha mengecup keningnya setelah pelepasan terakhirnya. Meskipun mereka bermandikan peluh, namun tiada mengurangi keromantisan keduanya. Dan sekarang dia patut bahagia menyambut indahnya pagi dengan menatap suaminya yang masih memeluk dirinya dengan erat. Mungkin kebahagiaan yang ia rasakan akan bertambah sempurna jika ia bukanlah yang kedua. Tapi mau bagaimana lagi jika takdir cintanya harus seperti ini. Mau berusaha melawan pun ia tidak akan mempu merubah takdirnya yang sudah tertulis di lauhul mahfud. Jari lentik Jihan menyusuri setiap inci wajah Yudha dengan teliti. Sejengkal demi sejengkal menyusuri dengan jari yang bergerak nakal. Menikmat

  • Rahim Sang Mantan   Bab 22

    Tubuhnya bergetar, dia hampir pingsan karena merasa dekapan seorang pria yang memeluk tubuhnya dari belakang. Dia ketakutan jika itu bukanlah manusia melainkan makhluk jadi-jadian yang mengincar dirinya. Apalagi nafasnya yang hangat menerpa tengkuk lehernya yang membuat Jihan semakin ketakutan. "Si_siapa kamu? Tolong jangan ganggu saya. Tolong lepaskan saya," ucapnya seraya tercekat ketakutan. Tak terasa air mata pun menggenang di pelupuk matanya yang terpejam. Jika bisa dia ingin pingsan saja agar tak melihat rupa mahkluk itu yang pasti menyeramkan. Jihan memang cerewet dan sedikit ugal, namun untuk masalah setan, dia sungguh penakut. Dia tak sekuat seperti yang terlihat. Bahkan dia bisa menangis kejer jika terkejut atau di prank dengan memakai pakaian kebanggaan kaum setan. Marah, tentu saja dia marah dengan kelakuan Dea dan yang lainnya karena sangat keterlaluan mengerjai dirinya dulu. Dan sejak saat itu Dea tidak berani lagi menjahili Jihan dengan memakai atribut apapun i

  • Rahim Sang Mantan   Bab 21.

    Keesokan harinya, Jihan menjadi bahan bulan-bulanan Dea karena ketampanan suaminya. Tak pelak, semuanya teman-temannya di toko pun nampak terkejut dan tidak menyangka jika Jihan sudah menikah beberapa minggu yang lalu. Karena yang mereka tau, Jihan tidak pernah dekat dengan pria manapun selama mereka bekerja bersama. Apalagi Dea yang dengan hebohnya memamerkan suami Jihan yang gantengnya bak artis cina yang tengah digandrungi kawulah emak-emak se-Indonesia. Tentu saja mereke berteriak penasaran dengan sosok suami Jihan yang bernama Yudha tersebut. "Han, apa benar yang di katakan sama Dea tentang suamimu? Aku jadi penasaran bagaimana wajah suami kamu, Han." "Han, kenalin donk sama suami kamu. Siapa tau aku bakal belok dari pacarku lalu daftar jadi pelakor untuk merebut suamimu." Sontak Jihan melotot mendengar penuturan sableng temannya tersebut. Dia tak habis pikir dengan pikiran aneh anak gadis jaman sekarang yang suka dengan peran pelakor. Jihan pun s

  • Rahim Sang Mantan   Bab 20. Asalkan Kamu Bahagia

    Yudha memandangi bayangan dirinya di depan cermin, tangannya pun dengan cekatan memasangkan setiap kancing di setiap lubang di kemejanya. Dia tersenyum lembut menatap bayangan Maura yang melangkah mendekat ke arahnya dengan pakaian laknat yang selalu menggoda imannya. Tak lupa senyum manis yang selalu menghiasi bibir merah muda istrinya. "Mau pergi sekarang, Mas?!" tanya Maura seraya melingkarkan tangannya di perut Yudha dan merabanya dengan gerakan menggoda. Ada sedikit rasa tak rela ketika pagi ini Yudha harus pamit untuk ke luar kota. Karena dia akan merasakan kesepian yang luar biasa lagi untuk kesekian kalinya. Apalagi jika kedatangan ibu mertuanya yang berusaha merusak moodnya untuk memicu pertengkaran dengan Yudha. Yudha tersenyum. Kemudian memutar tubuhnya agar bisa melihat langsung wajah Maura yang bersedih seperti biasanya jika Yudha akan pergi ke luar kota. Ada rasa tak tega, namun dia juga harus menjalankan kewajibannya sebagai suami yang adil bagi ke

  • Rahim Sang Mantan   Bab 19

    Dea makin tergelak melihat wajah Jihan yang seperti di kejar oleh dept colector. "Di angkat kenapa sih, Han? Suamimu itu, kenapa malah panik begitu?" Dea masih saja tertawa. Jihan mengerucutkan bibirnya. "Kamu sih resek. Pasti Yudha marahin aku karena ketahuan keluar malam. Awas kamu ya, Dea. Pasti aku balas kamu nanti." Jihan mengepalkan tangannya di depan wajah Dea seraya menahan kesal. Bisa-bisanya Dea mengirimkan sebuah poto pada Yudha. Pasti pria itu akan berpikir aneh-aneh tentangnya, pikirnya dalam hati. Matanya masih menatap layar yang masih menyala itu. Nama Yudha terpampang jelas di sana. Membuat perasaan ragu dan takut berbaur menjadi satu. Sampai akhirnya layar itu mati dengan sendirinya. Jihan bernafas lega karena panggilan dari Yudha sudah berhenti. Ia berniat untuk melangkah pulang sebelum Yudha marah besar. Ia menarik lengan Dea hendak beranjak pergi. Tapi terdengar nada dering ponsel membuat Dea mengurungkan niatnya dan melepaskan tangan J

  • Rahim Sang Mantan   Bab 18.

    Sempat terkejut mendengar penuturan Jihan tentang pernikahannya dan juga kematian ibunya yang hampir bersamaan itu. Dalam hati Dea mengakui kehebatan Jihan dan kesabarannya mendapat ujian yang bertubi seperti itu. Jika Dea berada di posisi Jihan, entah apa yang akan dia lakukan. Mungkin ia akan mengikuti ibunya ke liang lahat sekalian. Namun kini dia patut bernafas lega karena Jihan mulai bahagia dengan suaminya. Meski pikiran negatifnya masih saja menghantui pikirannya saat ini ketika mengetahui Jihan menjadi istri kedua. "Lalu, bagaimana jika istri pertama suamimu jika mengetahui keberadaanmu, Han?" tanya Dea seraya mengaduk jus jeruk yang berada di tangannya. Dea sengaja mengajak Jihan pergi ke warung langganannya saat mereka pulang bekerja. Dea ingin mengorek informasi lebih dalam tentang kehidupan rumah tangga yang dijalani sahabatnya tersebut. "Entahlah, Dea. Sejauh ini aku belum memikirkan sampai sejauh itu," jawab Jihan seraya mengedikkan bahunya. Terle

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status