แชร์

2. Tawaran yang Tidak Bisa Ditolak

ผู้เขียน: RieeHime
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-01-29 20:51:30

Pagi itu, Ayla terbangun dengan kepala berat. Suara bising dari jalanan kontrakannya yang sempit memaksanya bangkit dari tidur. Ia mendapati dirinya masih menggenggam kartu nama Leonard. Pikirannya kembali ke malam sebelumnya, pada pria asing yang tiba-tiba menawarkan sesuatu yang terlalu besar untuk dicerna.

“Leonard Statham,” gumam Ayla, menatap nama itu. “Apa sebenarnya yang dia inginkan dariku?”

Ia segera beranjak, mencuci muka, dan bersiap berangkat kerja. Di tengah kesibukannya, pikiran tentang Leonard terus mengganggu. Pria itu menawarkan sesuatu yang bisa menjadi jalan keluar bagi semua masalahnya, tetapi taruhannya adalah dirinya sendiri. Dan ia pribadi tidak dapat menjamin apakah Leonard berkata jujur, atau masih ada hal lain yang disembunyikan. Motivasi pria itu tampak terlalu dangkal.

Saat membesuk sang ibu di Sentra Medika, Maya sudah duduk di tempat tidur dengan selang infus yang terpasang di lengan. Wajahnya tampak lebih cerah, meski tubuhnya terlihat semakin kurus. Ayla duduk di kursi samping ranjang sambil menggenggam tangan ibunya.

“Kamu terlihat kelelahan seperti orang kurang tidur,” ujar Maya, suaranya pelan namun penuh perhatian. “Ada yang mengganggumu?”

Ayla tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. “Tidak, Bu. Aku hanya memikirkan pekerjaan.”

Maya menatap putrinya dalam-dalam. “Kamu sudah bekerja terlalu keras. Ibu tidak ingin kamu berkorban terlalu banyak untuk Ibu. Mungkin sudah saatnya kita menghentikan pengobatan Ibu. Ibu tidak bodoh. Ibu tahu semua pengobatan ini tidak memberi dampak apa-apa, kita hanya membuang uang. Bukankah kamu ingin melanjutkan kuliah?"

“Jangan bicara begitu,” sahut Ayla cepat. “Aku yakin Ibu pasti bisa sembuh. Aku akan melakukan apa pun untuk mewujudkannya. Tentang kuliah, aku bisa melanjutkannya setelah Ibu sembuh. Jadi, Ibu harus semangat biar cepat membaik.”

Ayla tertegun oleh kata-katanya sendiri. Dia berjanji akan melakukan apapun demi sang ibu. Apa pun. Apakah itu termasuk menerima tawaran gila seorang pria asing? Haruskah ia melakukan ini?

Setelah beberapa jam menemani ibunya, Ayla melangkah keluar dari rumah sakit untuk mencari udara segar. Di tangannya, kartu nama Leonard yang sudah lusuh karena terus ia genggam. Ia berdiri di tepi trotoar, memandangi nomor telepon yang tertera di sana.

"Apakah aku benar-benar akan melakukan ini?" gumamnya. Sekali lagi meragukan diri sendiri.

Ia menarik napas panjang, lalu akhirnya memutuskan untuk menghubungi nomor itu. Tidak butuh waktu lama sebelum suara berat yang sudah ia kenal menjawab panggilannya. Sekilas, ia bisa merasakan perasaan semangat dalam nada bicara Leonard.

“Ayla,” sapa Leonard langsung, seakan sudah menunggu telepon itu.

Ayla menggenggam ponselnya erat-erat. “Kita bisa bertemu lagi? Aku ingin mendengar lebih jelas tentang tawaran Anda.”

Di ujung telepon, Leonard menjawab tanpa jeda, “Tentu. Beri tahu saya tempat dan waktunya.”

Ayla pun mengirimkan alamat sebuah restoran kecil di pinggir kota, dekat salah satu tempat kerja paruh waktunya. Ia duduk di sudut ruangan, menghindari perhatian orang-orang sebanyak mungkin. Tak lama, Leonard akhirnya datang dengan setelan rapi dan aura percaya diri. Seperti biasa.

Leonard memulai pembicaraan dengan tenang. “Terima kasih sudah bersedia bertemu lagi. Saya tahu ini bukan keputusan yang mudah untuk kamu.”

"Saya belum memutuskan apapun." Ayla menggeleng pelan. “Saya masih merasa ini gila. Tapi... saya ingin tahu apa yang Anda tawarkan dengan lebih rinci.”

Leonard meletakkan amplop di atas meja. “Di sini sudah saya tuliskan semua ketentuan yang perlu kamu tahu. Mulai dari prosedur bayi tabung, kompensasi, hingga jaminan untuk ibu Anda. Jika ada syarat tertentu, katakan saja. Kita tuliskan semuanya dalam kontrak agar kamu merasa aman."

Ayla tidak langsung mengambil amplop itu. “Saya ingin tahu satu hal, Tuan Leonard. Kenapa saya? Dari semua wanita di dunia ini, kenapa Anda memilih saya?”

Leonard menatap Ayla dengan serius. “Karena saya melihat sesuatu dalam diri kamu yang tidak saya temukan pada orang lain. Ketulusan, keberanian, dan pengorbanan kamu untuk ibumu... itu adalah sifat yang ingin saya wariskan pada anak saya.”

Ayla terdiam. Jawaban itu terdengar tulus, tetapi tetap sulit baginya untuk sepenuhnya mempercayai pria ini.

“Saya hanya ingin memastikan satu hal,” lanjut Leonard. “Keputusan ini sepenuhnya ada di tanganmu, Ayla. Saya tidak akan memaksa, jadi kamu tidak perlu merasa terbebani.”

Ayla akhirnya mengambil amplop itu, meski hatinya masih penuh keraguan. “Berikan saya waktu untuk membaca ini. Saya tetap belum bisa memberikan jawaban sekarang.”

“Tentu,” jawab Leonard. “Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Kamu juga bisa menelepon saya kapan pun untuk menanyakan perihal kontrak tersebut.”

Di malam yang sunyi, Ayla duduk di depan meja kecil di kontrakannya. Ia membuka amplop Leonard dan membaca setiap lembar dengan hati-hati. Ketentuan yang tertera di sana begitu rinci, mencakup segala hal yang pernah Leonard janjikan. Juga ada beberapa ketentuan tambahan yang menurutnya cukup masuk akal mengingat posisi Leonard.

Namun, satu hal yang membuat Ayla terhenti adalah kalimat terakhir di dokumen itu: “Keputusan ini akan mengubah hidup Anda selamanya.”

Ayla menutup dokumen itu, membiarkan pikirannya bergulat dengan segala kemungkinan. Di satu sisi, tawaran Leonard adalah harapan yang selama ini ia cari. Di sisi lain, ini adalah jalan yang penuh risiko dan konsekuensi besar.

“Ibu pasti akan marah besar jika tahu aku melakukan hal seperti ini," gumamnya.

Ketika berpikir, ponsel Ayla tiba-tiba berbunyi. Leonard meneleponnya. Ayla mengangkat panggilan itu ragu-ragu.

"Apa kamu sudah tidur?" tanya Leonard seakan baru sadar ia menelepon di waktu yang sudah sangat larut.

"Ah, tidak, belum," jawab Ayla gelagapan. "Ada apa Tuan Leonard?"

"Saya baru ingat, saya belum mencantumkan nominal kompensasi saat semua prosesnya selesai. Beritahu saya, berapa nominal yang kamu harapkan?" ucap Leonard langsung ke intinya. "Hanya gambaran saja, kamu masih bisa mengajukan nominal lain saat keputusanmu sudah pasti."

Ayla terdiam cukup lama. Ia mempertimbangkan jumlah uang yang ia perlukan untuk memulai hidup baru. Lalu jumlah biaya yang akan dikeluarkan Leonard untuk ibunya.

"Seratus ..." Ayla menelan ludah, tidak yakin apakah nominal yang hendak ia sebutkan cukup masuk akal. "Apakah seratus juta terlalu banyak?"

"Uang mukanya?"

"Hah? Ya? Maaf?"

"Kamu tidak mungkin berpikir aku akan memberimu seratus juta sebagai kompensasi keseluruhan prosedur kan?" Helaan napas Leonard di seberang panggilan membuat jantung Ayla berdebar cepat. "Ayla, kamu sadar tugasmu tidak mudah 'kan? Aku memintamu untuk melahirkan anakku. Seorang manusia. Sebuah kehidupan. Nilainya tinggi sekali, jangan menganggap remeh tugasmu."

"..." Ayla hampir lupa bagian terpenting kesepakatan ini. Anak itu.

"Begini saja. Aku akan memberi seratus juta itu sebagai uang muka saat kamu menandatangani kontrak. Lalu lima miliar saat pemindahan benih itu ke rahimmu, dan lima miliar lagi saat kamu melahirkan," tawar Leonard. "Tergantung situasinya nanti, aku mungkin akan memberimu lagi jika diperlukan, walaupun tidak ada di kontrak."

"Anda menginginkan seorang putri," potong Ayla. "Bagaimana jika bayinya laki-laki?"

~•~

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   30. Perlengkapan melukis

    Ayla menatap rak kecil di sudut ruangan dengan alis berkerut. Beberapa kotak berjejer rapi, masih tersegel dengan pita emas kecil. Seseorang mengantarnya beberapa saat yang lalu atas perintah Leonard.Gadis itu menarik salah satu kotak, membaca tulisan yang tercetak di permukaannya.Set cat air merk Schmincke Horadam.Ia melirik kotak lainnya. Satu set cat minyak Rembrandt. Di sebelahnya, kuas dengan gagang kayu yang halus, palet kayu mahoni, hingga kanvas beragam ukuran yang masih terbungkus plastik bening.Jari-jarinya dengan ragu membuka satu kotak, memperhatikan warna-warna cerah di dalamnya. Produk-produk ini bukan hanya mahal—ini adalah perlengkapan profesional yang bahkan seniman berpengalaman pun mendambakannya.Ayla mengembuskan napas. Ia tak mengerti pria itu. Belum lama mereka bertengkar. Ia tak mengira Leonard akan langsung mengirimkan sesuatu seperti ini. Apa maksudnya?Apa ini bentuk permintaan maaf? Atau hanya cara lain untuk mengontrol hidupnya?Ia menutup kotak perlah

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   29. Cahaya di Ujung Jalan

    Pagi itu, Ayla menatap bayangannya di cermin. Rambutnya ia ikat longgar, mengenakan kemeja putih dengan celana kain krem. Tidak ada yang berlebihan, tapi cukup nyaman untuk pergi ke taman dan melukis.Sejujurnya, ia tidak tahu kenapa ia setuju ikut. Mungkin karena ia memang butuh keluar dari rutinitas. Atau mungkin… karena ada bagian kecil dari dirinya yang ingin kembali menjadi Ayla yang dulu.Leonard—yang entah kenapa mulai tinggal di kamar lain apartemen Ayla—sudah berangkat ke kantor sebelum ia bangun, menyisakan pesan singkat di ponselnya.‘Jangan lupa sarapan.’Sesederhana itu. Tanpa tambahan kata-kata lain. Ayla menghela napas pendek. Pria itu memang selalu seperti itu—tidak pernah mengatakan lebih dari yang diperlukan.Namun, tetap saja… ada sesuatu dalam pesannya yang membuat Ayla merasa diperhatikan.Ia mengabaikan pikirannya sendiri dan meraih tasnya. Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di dalam taksi menuju taman tempat Raka menunggunya.Begitu ia tiba, Raka sudah dud

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   28. Garis yang Mulai Samar

    Ayla duduk diam di sofa ruang tamu setelah Leonard pergi kembali ke kantornya. Apartemen itu kembali sepi, hanya menyisakan suara denting kecil dari sendok yang ia putar di dalam cangkir tehnya.Tatapannya jatuh ke meja, ke bungkusan permen jahe dan kompres panas sekali pakai yang dibawa Leonard. Seharusnya ia tidak terlalu memikirkan semua ini. Seharusnya, itu hanya bentuk tanggung jawab seperti yang Leonard katakan.Tapi… kenapa rasanya tidak seperti itu?‘Jangan berpikir macam-macam, Ayla.’Ia menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mengganggunya sejak tadi pagi. Tapi semakin ia menepis, semakin kuat perasaan itu menghantamnya.Ketika Leonard mengatakan, "Kita bisa menikah," ia bisa merasakan bagaimana hatinya seakan mencelos ke dasar jurang. Bukan karena kalimat itu terdengar seperti harapan, tetapi justru karena tidak ada sedikit pun perasaan di dalamnya.Leonard ingin anak, bukan istri.Leonard ingin keturunan, bukan keluarga.Dan Ayla hanya bagian dari renc

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   27. Perhatian yang Berbeda

    Leonard mengangkat kepalanya, mata tajamnya kini menatap langsung ke dalam mata Ayla. “Kamu sudah bangun,” gumamnya pelan, tapi tetap dengan nada datarnya yang khas. “Kau menggeliat terus dalam tidur, aku pikir perutmu sakit sekali. Dokter bilang, dengan kondisimu, kemungkinan haidmu akan lebih parah daripada biasanya.”Ayla tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ketika membuka selimut dan mengambil alih bantal kompres dari tangan Leonard ia menyadari dirinya sudah mengenakan piyama bersih. Baru saja ia hendak bertanya, tapi Leonard sudah membaca pikirannya.“Tadi kamu tidur masih mengenakan baju kemarin karena kita tidak jadi membeli baju baru di jalan. Makanya aku menyuruh seorang staff wanita mengganti bajumu dengan piyama, agar tidurmu lebih nyenyak. Jangan berpikir macam-macam,” katanya dengan nada malas. “Aku tidak bertindak aneh-aneh.”Ayla ingin membantah, tapi kepalanya terlalu berat untuk berdebat. Alih-alih berbicara, ia justru menutup matanya lagi. Nyeri di perutnya masih

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   26. Pulang Bersama

    Ayla duduk diam di dalam mobil, membiarkan pemandangan di luar jendela berlalu tanpa benar-benar memerhatikannya. Hening menyelimuti mereka, dan hanya suara mesin mobil yang terdengar di antara mereka.Leonard di kursi pengemudi tampak fokus, tapi pikirannya tidak sepenuhnya pada jalan di depannya. Sesekali, tatapannya melirik ke arah Ayla yang duduk dengan kepala sedikit tertunduk.“Kamu ingin makan sesuatu?” tanya Leonard akhirnya, memecah keheningan yang terasa menyesakkan.Ayla menggeleng pelan tanpa menoleh. "Tidak, terima kasih."“Kamu harus makan, kamu belum makan apa pun sejak semalam," tekan Leonard, nada suaranya sedikit menurun, namun tetap tegas. "Tubuhmu butuh nutrisi setelah apa yang terjadi."Ayla tidak menjawab. Ia tahu Leonard benar, tapi perutnya terasa berat. Semua emosi yang ia tekan sejak kejadian di apartemen terasa menyesakkan di dada.Melihat Ayla yang diam saja membuat Leonard semakin gusar. Pria itu bukan seseorang yang biasa berhadapan dengan kebisuan yang p

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   25. Warna yang Tersisa

    Cahaya matahari menyusup masuk dari sela-sela jendela, menyentuh wajah Ayla yang masih terlelap di sofa. Udara pagi terasa dingin, tapi entah kenapa dada Ayla terasa lebih hangat daripada biasanya. Perlahan, kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram sesaat, sebelum akhirnya ia sadar berada di ruangan yang asing.Dia butuh beberapa detik untuk mengingat kembali kejadian semalam. Raka membawanya pergi. Mereka menghabiskan waktu berbicara, atau lebih tepatnya—Ayla yang berbicara, dan Raka yang mendengarkan. Setelah semua yang terjadi, akhirnya ia bisa menumpahkan segala beban yang selama ini ia pendam sendiri.Ayla mengangkat tubuhnya dari sofa. Rumah ini terasa kosong, dan memang seharusnya begitu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Raka. Sebagai gantinya, di atas meja kecil di dekat sofa, ia menemukan sekotak nasi yang masih hangat, beberapa lembar uang kertas, dan sebuah ponsel sederhana yang sepertinya milik Raka.Ada secarik kertas di sampingnya. Tulisan tangan Raka tertulis r

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status