Di malam pertama, Moza menyerahkan diri pada pria yang ia kira suaminya. Namun, sebuah bisikan parau membuat hatinya hancur seketika. “Aku sangat puas. Kamu sudah menyembuhkan aku.” Hidupnya pun berubah dalam sekejap. Ia diceraikan, dibuang, lalu mengandung anak dari pria yang bahkan tak dikenalnya. Empat tahun kemudian, Moza kembali. Bukan sebagai istri, bukan sebagai wanita lemah, melainkan pelayan di mansion keluarga Limantara. Di sana, ia harus berhadapan dengan lima tuan muda yang sama-sama berbahaya, tampan, dan memikat. Dan di antara mereka, tersembunyi lelaki yang telah menodainya sekaligus ayah dari putranya. Apakah Moza sanggup menuntut balas, atau justru jatuh cinta pada salah satu dari mereka?
View MoreYohan menggenggam tangan Moza, membawanya masuk ke kamar resort yang akan menjadi saksi dari malam pertama mereka.
Di tengah ruangan, ranjang king size berkelambu putih berdiri kokoh. Tirai sutra di sekelilingnya tersibak, digerakkan oleh angin pantai yang masuk dari arah balkon.
"Akhirnya kita sampai di sini, Moza," bisik Yohan dengan suara rendah. “Aku ingin malam pertama kita jadi sesuatu yang istimewa. Hanya kamu, aku, dan alam.”
Sambil menatap Moza dalam-dalam, Yohan menelusuri lekuk leher sang istri dengan jemarinya.
“Ganti pakaianmu, Sayang. Aku punya satu permintaan khusus.”
Moza mengangguk, hatinya berdebar-debar. Ia masuk ke kamar mandi marmer yang luas, lalu mengganti gaun pengantinnya dengan piyama satin berwarna merah. Rambutnya ia biarkan tergerai, wajahnya sedikit dirias ulang agar tetap sempurna untuk sang suami.
Moza tampak dewasa, sensual, tetapi juga rapuh layaknya kuntum bunga yang baru mekar.
Saat ia keluar, Yohan sudah menunggu. Pria itu menatap Moza dengan sorot kekaguman, seperti melihat sebuah mahakarya hidup. Kemudian, dari saku kemejanya Yohan mengeluarkan pita sutra hitam yang lembut.
“Malam ini, biarkan aku yang membimbingmu, Sayang. Aku ingin kamu merasakan penyatuan kita dengan hati. Tanpa rasa malu. Tanpa rasa takut.”
Moza ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Ia percaya pada Yohan. Percaya bahwa ini adalah cara mereka untuk memulai hubungan baru dengan keintiman yang lebih dalam.
Pita itu dikalungkan perlahan di matanya, lalu diikat erat di belakang kepala.
Dunia langsung gelap. Hanya deru napas Yohan dan sentuhan hangat pria itu yang terasa di kulit Moza.
Namun, tak lama kemudian, ponsel Yohan berdering keras. Moza mendengar desahan pelan dari Yohan ketika ia berbicara dengan seseorang.
“Maaf, Sayang, sepupuku, Niko, datang untuk mengantarkan koper bajuku yang tertinggal. Aku harus menemuinya sebentar. Jangan buka matamu. Aku akan segera kembali.”
Sebelum Moza sempat menjawab, ia sudah mendengar langkah kaki Yohan yang menjauh, diiringi suara pintu yang terbuka dan tertutup.
Moza duduk di tepi ranjang, jantungnya berdebar kencang. Ia menunggu suara Yohan, sentuhannya, ciumannya. Namun, yang datang hanyalah kesunyian yang mencekam.
Beberapa menit berlalu, hingga terdengar bunyi ‘klik’.
Pintu terbuka lagi.
“Sayang, kamu sudah datang?” panggil Moza ragu.
Tidak ada jawaban. Anehnya, Moza merasakan langkah kaki yang menjejak lantai berbeda, lebih ringan, lebih mantap.
Sebelum ia sempat berpikir, tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pipinya, perlahan berpindah menelusuri lekuk bibirnya.
Napas Moza memburu. Ia merasakan tangan Yohan menyentuh dagunya, turun ke leher, lalu ke pundak. Tangan itu kemudian menyentuh lututnya, perlahan naik membelai paha hingga sampai ke inti tubuhnya.
Moza tersentak, tetapi ia membiarkan dirinya tenggelam. Tubuhnya sudah menyerah pada sensasi nikmat, pada desir listrik yang menjalar dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Ciuman Yohan terasa ganas, penuh nafsu yang tak terkendali. Tubuhnya digerakkan dengan cepat ke atas ranjang, piyamanya terlepas tanpa banyak perlawanan.
Moza hanya bisa pasrah, walau untuk sesaat ia merasakan aroma parfum sang pria berbeda dari milik Yohan. Ia tetap percaya ini adalah suaminya, malam pertamanya.
Detik demi detik berlalu, malam menjadi semakin liar. Desahan, erangan, kulit yang bergesekan, napas yang memburu memenuhi kamar itu. Segalanya begitu intens, begitu tak terduga.
Moza menjerit kecil saat rasa sakit dan kenikmatan bercampur jadi satu. Bagian bawah tubuhnya kini terasa penuh sesak, pertanda ia telah menyerahkan diri seutuhnya kepada sang suami.
Ketika akhirnya tubuh kekar itu berhenti bergerak, suara parau berbisik di telinga Moza, sangat dekat.
“Aku sangat puas. Kau sudah menyembuhkan aku.”
Dahi Moza mengernyit. Ia ingin membuka penutup matanya dan bertanya sesuatu, tetapi tubuhnya sudah sangat kelelahan. Pada akhirnya, ia pun tertidur pulas di pelukan sang pria.
Entah berapa lama ia terlelap, tetapi Moza terbangun karena mendengar derak pintu yang terbuka.
Dalam kondisi setengah sadar, ia mengerjap dan melepas pita hitam yang masih menutupi matanya.
Begitu pita tersebut terlepas, mata Moza beradu pandang dengan Yohan. Alangkah terkejutnya ia saat melihat pria itu berdiri dengan baju lengkap, wajahnya terlihat segar seperti belum tidur sama sekali.
“Maaf, aku baru kembali, Sayang. Tadi, Niko mengajakku minum dan —”
Kalimat Yohan terputus saat matanya menangkap pemandangan ganjil di dalam kamar.
Pakaian Moza berserakan. Tempat tidur porak-poranda, dan Moza berbaring dengan tubuh yang berbalut selimut tebal. Bahkan, Yohan bisa mencium aroma bekas percintaan yang menguar dari atas ranjang.
“Apa-apaan ini?!”teriak Yohan, suaranya mengguncang dinding kayu. “Apa yang sudah kamu lakukan, Moza?
Wajah Moza berubah pucat pasi. Matanya membulat, menatap Yohan dengan sorot bingung bercampur cemas.
“B-bukankah kamu tadi sudah kembali?” jawab Moza terbata.
Kedua tangan Yohan mengepal kuat di sisi tubuh. Sorot matanya menyala, bagaikan bara api yang siap meledak kapan saja.
“Omong kosong! Aku baru kembali sekarang!” bentak Yohan, langkahnya maju cepat. “Lalu, siapa yang masuk ke kamar kita? Siapa yang sudah menjamah tubuhmu?"
Mendengar tuduhan yang dilontarkan Yohan, Moza perlahan bangkit dari ranjang. Ia mencoba meraih lengan sang suami, meski kedua lututnya terasa goyah.
“Yohan, tolong… aku tidak bersalah. Aku pikir pria itu kamu."
PLAK!
Yohan menepis tangan Moza dengan kasar, hingga wanita itu jatuh tersungkur ke lantai.
Sebagian selimut yang melilit tubuh Moza pun tersibak, memperlihatkan jejak merah keunguan yang tertinggal di leher dan bahunya.
“Lihat kondisimu! Kamu seperti wanita murahan, Moza!” raung Yohan, penuh kebencian.
Air mata Moza mengalir deras. Ia tidak menyangka pria yang dicintainya dengan segenap hati, kini tega menghinanya seperti ini.
“Aku tidak berbohong… Aku korban, Yohan. Aku—”
“Cukup!” potong Yohan seraya mengangkat tangan. “Kau sudah menginjak-injak harga diriku sebagai suami. Jangan harap, aku bisa memaafkan perbuatanmu yang tercela. Besok pagi, pengacaraku akan segera mengurus perceraian kita!"
Setelah berkata demikian, Yohan keluar dari kamar dengan membanting pintu. Meninggalkan Moza sendirian dalam kondisi tak berdaya. Malam yang seharusnya menjadi awal cinta, kini telah berubah menjadi neraka.
Ting!
Bunyi timer dari oven memecah kesunyian, membuat Moza tersentak dari lamunan yang membawanya kembali ke masa silam.
Tanpa membuang waktu, Moza membuka penutup oven. Ia mengeluarkan loyang kue cokelat pesanan Nyonya Alma, tetangga tua yang sudah menjadi pelanggan setianya. Dapur kecil ini adalah bentengnya, tempat ia menyulap rasa sakit menjadi manis.
Baru saja Moza meletakkan kue itu di atas meja, terdengar derap langkah kecil yang berlarian memasuki rumah.
“Mama, aku pulang.”
Usai keluar dari kamar Tuan Markus, Moza mengikuti langkah Thalia yang cepat dan tegas. Seiring dengan langkah mereka menuju paviliun, terlihat lampu gantung sederhana yang menyala redup di setiap jarak sepuluh meter. Lantainya bukan terbuat dari marmer, melainkan keramik abu-abu bermotif garis. Di sekelilingnya terdapat tembok tinggi yang dicat putih bersih. “Ini adalah asrama pelayan,” kata Thalia tanpa menoleh. “Tamu dari luar tidak boleh masuk. Bahkan para Tuan Muda jarang sekali kemari, kecuali ada urusan penting.”Thalia tetap berjalan di depan Moza, menyusuri lorong yang lebih rendah dari lantai utama mansion. Di sepanjang sisi kiri dan kanan, berjejer pintu-pintu kecil dengan nomor dan nama pelayan yang tertulis di papan kayu.“Akan kutunjukkan letak kamarmu. Kopermu sudah dibawa oleh Ninda kemari,” pungkas Thalia dengan suara datar.Mereka terus melangkah sampai di ujung koridor, di mana hanya ada satu pintu yang tersisa.Thalia merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan sebua
Ketika Moza masih bimbang dengan perasaannya sendiri, terdengar suara berat seorang pria dari ambang pintu.“Abi, jangan sembarangan memanggil orang lain sebagai Mama.”Semua kepala menoleh serempak.Di pintu, berdiri seorang pria mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung sampai siku. Tingginya sekitar 185 cm, memiliki postur tegap, bahu yang lebar dan jari-jemari panjang.Wajahnya simetris, dilengkapi dengan sepasang mata berwarna hitam pekat. Ekspresi pria itu dingin, tetapi ada kilatan kelembutan saat ia menatap Abigail.Moza mengenali dia sebagai Rezon Limantara, putra kedua keluarga Limantara. Dokter bedah sekaligus kepala Limantara Medika, lelaki yang namanya sering muncul di majalah medis internasional sebagai "The Silent Healer".Ketika Rezon melihat Abigail memeluk pinggang Moza, kedua alis tebalnya langsung menukik tajam.“Abi, lepaskan tanganmu,” katanya datar, tetapi cukup tajam untuk didengar semua orang.Abigail menatap sang paman dengan wajah cemberut, tetapi akhir
“Saya akan menjaga rahasia itu selama tidak melanggar hukum atau menyakiti orang yang tidak bersalah. Karena loyalitas adalah harga diri seorang pelayan.”Mendengar jawaban Moza, Elbara duduk kembali di kursinya dengan tenang. Kini, giliran Elzen yang beranjak. Pria itu bersandar santai pada tepi meja sembari melipat tangannya di depan dada.“Giliranku yang mengajukan pertanyaan. Bagaimana kamu bisa membedakan kami berdua, terutama saat Elbara tidak pakai kacamata, dan kami memakai baju yang sama?” tantang Elzen dengan ekspresi serius.“Jika kamu salah panggil, atau salah melayani, itu bisa menimbulkan konflik internal. Apalagi, masih ada dua kakak kami, Dastan dan Rezon, serta adik kami, Kageo. Kami semua memiliki hak atas pelayanan yang tepat.”Moza diam sejenak. Ia mengamati keduanya—wajah yang identik, postur yang sama, bahkan gerakan tangan yang hampir sinkron.Tidak sia-sia ia mengumpulkan informasi mengenai keluarga Limantara. Inilah saatnya dia menggunakan pengetahuan tersebut
Dengan langkah lebar, Thalia memimpin Moza keluar dari ruang tamu. Mereka pun tiba di dapur belakang, yang dilengkapi peralatan masak stainless steel canggih, oven berteknologi tinggi, dan dua pelayan muda yang sedang memotong sayuran.“Ini Moza. Calon pelayan. Dia akan membuat sup dan puding untuk Tuan Markus. Kalian diam saja. Biarkan dia bekerja.”Tanpa membuang waktu, Moza segera memakai apron dan mencuci tangan. Dengan cekatan, ia mencuci bersih sirip ikan hiu berkualitas tinggi dari lemari pendingin. Merebusnya selama dua jam dengan air jahe segar, daun pandan, dan potongan akar lotus untuk menghilangkan bau amis dan meningkatkan sirkulasi darah.Kemudian, Moza menumis bumbu rempah dan mencampurnya ke dalam kaldu sirip ikan. Moza mengaduk perlahan dengan sendok kayu, agar tekstur kaldu tetap halus dan tidak pecah.Untuk puding, Moza menggunakan biji delima segar yang sudah disiapkan Thalia. Ia mencampurnya dengan susu almond, gelatin alami, dan madu hutan, lalu menuangkannya ke
Setelah telepon dari Reva terputus, Moza tidak menyia-nyiakan waktu. Sesudah menyerahkan Kayden pada bibinya, ia segera masuk ke kamar dan membuka. Jemari Moza mengetik cepat meski hatinya berdebar-debar. Formulir lamaran yang dikirim Reva telah ia isi dengan data yang disamarkan. Ia tidak menyebutkan nama suami sebelumnya, tidak mencantumkan alamatnya dulu di ibu kota. Hanya riwayat pendidikan, pengalaman memasak dan membuat kue, serta kota kecil tempat ia tinggal saat ini.Sesudah mengunggah kartu identitas dan foto terbaru, Moza menekan tombol ‘kirim’.Ia pun menarik napas panjang, seperti melepas beban yang ditahan bertahun-tahun. Ini bukan sekadar melamar pekerjaan. Ini adalah tiket masuk ke sarang harimau, tempat di mana kebenaran tersembunyi di balik kemewahan dan kekuasaan. Dengan tekad baru, Moza membuka lemari kayu tua di kamar. Meski belum tahu apakah lamaran pekerjaannya akan diterima, Moza mulai berkemas. Ia memasukkan baju-bajunya ke dalam koper kecil bekas warisan ib
Anak laki-laki berusia empat tahun berlari dengan seragam sekolah yang sedikit kusut. Rambut hitam tebalnya acak-acakan, wajahnya berseri-seri. Moza langsung berjongkok, membuka lengan, dan menyambut pelukan hangat Kayden. Anak itu melompat ke pelukannya, mencium pipi Moza dengan senyum polos. “Mama, hari ini aku dapat bintang lima dari Bu Guru karena rajin!”Moza tertawa kecil, hatinya meleleh. Meski tubuh Kayden sudah mulai besar, Moza menggendongnya dan membawa bocah lelaki itu ke kamar. “Wah, hebat sekali anak Mama. Sekarang, ganti baju dulu.”Di kamar, Moza membantu Kayden melepas seragamnya, lalu menggantinya dengan kaos bergambar dinosaurus. Ia duduk di tepi tempat tidur, menarik Kayden ke pangkuannya.Kayden memang memiliki wajah yang sangat tampan. Alisnya tebal, matanya tajam, hidungnya mancung, dan bibirnya tipis seperti lukisan alami. Setiap kali Moza menatapnya, ada sesuatu yang menusuk hatinya, campuran antara rasa syukur dan luka yang tak pernah sembuh.‘Kamu lahir d
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments