Pagi datang lebih cepat dari yang Ayla harapkan. Sinar matahari menerobos dari celah gorden, membangunkannya dari tidur yang tidak terlalu nyenyak. Tubuhnya masih terasa lelah setelah hari yang panjang kemarin, tapi ia tak bisa berlama-lama di tempat tidur.
Setelah membersihkan diri, Ayla duduk di depan meja makan kecilnya dengan secangkir teh hangat. Ia memandangi dapurnya yang hampir kosong. Selama ini, ia terbiasa mengatur keuangan dengan sangat ketat, membeli makanan dalam jumlah sedikit agar cukup untuk bertahan hidup. Namun, sekarang keadaannya berbeda. Leonard menekankan pentingnya asupan gizi untuk kesehatannya sebelum prosedur bayi tabung.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Leonard Statham: Pagi. Kamu harus mulai mengubah pola makanmu. Aku sudah menyuruh seseorang mengantarkan makanan bernutrisi ke kontrakanmu setiap hari. Jangan sampai kamu tidak memakannya.
Ayla mengerutkan kening. Ia baru saja berpikir untuk berbelanja bahan makanan sendiri, tetapi Leonard sudah lebih dulu mengatur semuanya.
Seakan menjawab kebingungannya, suara ketukan terdengar di pintu Ayla. Saat ia membuka pintu, seorang pria dengan seragam pengantar berdiri di sana dengan sebuah kotak makanan.
“Pesanan untuk Nona Ayla.”
Ayla menerima kotak itu dengan perasaan campur aduk. Ia menandatangani tanda terima sebelum pria itu pergi. Setelah menutup pintu, ia membuka kotaknya dan menemukan makanan yang tertata rapi—menu sehat dengan protein, sayuran segar, serta jus buah.
Ayla menghela napas, lalu tersenyum kecil. Ia tak menyangka bahwa pria seperti Leonard, yang terkesan dingin dan kaku, ternyata sangat detail dalam mengurus sesuatu. Ia memoto makanan tersebut dan dikirim pada Leonard, lengkap dengan ucapan terima kasih.
Tanpa berpikir lebih jauh, ia mengambil sendok dan mulai menyantap sarapannya.
Setelah sarapan, Ayla menghabiskan waktunya dengan membereskan kontrakan. Sekarang, tanpa dua pekerjaan paruh waktunya dan proyek freelancenya, ia memiliki lebih banyak waktu luang. Hanya tersisa pekerjaan utamanya sebagai asisten kepala proyek, tapi ini adalah hari liburnya.
Ayla merasa agak gelisah. Ia terbiasa sibuk. Terbiasa mengkhawatirkan banyak hal dalam satu waktu. Sekarang, ia tak perlu lagi memikirkan uang sewa atau biaya rumah sakit ibunya. Tapi justru karena itu, ia merasa kehilangan pegangan.
Ponselnya kembali berbunyi. Kali ini sebuah panggilan.
Leonard Statham.
Ayla segera menjawabnya. “Halo?”
“Kamu sedang apa?” Suara Leonard terdengar tenang di seberang sana.
Ayla melirik sekeliling kontrakannya yang baru selesai ia bersihkan. “Baru selesai beres-beres.”
“Hm,” gumam Leonard. “Besok kita akan ke rumah sakit untuk pemeriksaan kesehatanmu. Aku akan menjemputmu pukul delapan pagi.”
Ayla sedikit terkejut. “Anda sendiri yang akan menjemput?”
“Apa itu masalah?”
“Tidak, hanya saja... bukankah Anda sibuk?”
“Aku punya cukup waktu untuk mengurus hal-hal yang penting.”
Ayla terdiam. Ia tahu Leonard memandang urusan ini sebagai sesuatu yang sangat penting.
“Aku mengerti,” akhirnya ia berkata. “Saya akan bersiap.”
“Bagus. Pastikan kamu tidur lebih awal.”
Sebelum Ayla bisa mengatakan apa-apa lagi, panggilan sudah terputus.
Ayla menatap kosong layar ponsel selama beberapa saat, lalu meletakkannya di meja, masih memikirkan percakapannya dengan Leonard. Pria itu benar-benar memastikan semua berjalan sesuai rencana—dari perawatan ibunya, kebutuhan keuangannya, sampai pola makannya. Mendorong Ayla untuk mencurahkan sepenuh hatinya pada kesepakatan ini.
Rasanya aneh memiliki seseorang yang mengatur hidupnya, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ayla merasa tidak sendirian.
Tapi benarkah ini sesuatu yang bisa ia syukuri?
Ia menggigit bibir, mengusir pikirannya yang mulai bercabang ke arah yang lebih dalam.
Setelah memastikan kontrakannya sudah rapi, Ayla memutuskan untuk keluar sebentar. Ia butuh udara segar. Meskipun sudah tidak perlu bekerja, ia masih belum terbiasa dengan banyaknya waktu luang yang dimilikinya.
Jalanan siang itu tidak terlalu ramai. Ia berjalan menuju taman kecil di dekat kontrakan, duduk di bangku kayu, dan membiarkan pikirannya mengembara.
Seorang ibu muda melintas dengan kereta bayi, mengingatkannya pada tujuannya sekarang. Tidak lama lagi, ia akan mengandung seorang anak—anak yang bukan hasil cinta, tetapi bagian dari sebuah kesepakatan.
Ayla menarik napas panjang. Meskipun keputusannya sudah bulat, ia tetap tidak bisa bayangkan sebuah kehidupan akan tumbuh dan berkembang di perutnya. Lalu, bayi tersebut akan asing dengannya. Apakah hati nurani Ayla sanggup menghadapi hal itu?
“Ayla?”
Suara familiar itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan menemukan sosok pria yang sudah lama tidak ia temui.
“Raka?”
Raka tersenyum lebar, lalu berjalan mendekat. “Sudah kuduga itu kamu! Aku hampir tidak percaya melihatmu di sini.”
Ayla masih sedikit terkejut. Raka adalah teman satu kampusnya dulu—seorang pria yang pernah dekat dengannya, tetapi kemudian mereka terpisah karena kesibukan masing-masing.
“Kamu ke mana saja? Aku jarang melihatmu di sekitar sini,” tanya Raka sambil duduk di sampingnya.
Ayla tersenyum kecil. “Aku sibuk bekerja. Sekarang aku libur, jadi ingin mencari udara segar sebentar.”
“Baguslah kalau begitu. Aku sering melihatmu terlalu lelah waktu masih di kampus. Aku berharap kamu lebih santai sekarang.” Raka mengangguk. "Apa kamu tidak akan kuliah lagi? Terakhir kali, kamu bilang kamu hanya cuti, 'kan?"
"Mungkin." Ayla diam sesaat. "Tapi tidak dalam waktu dekat."
“Begitu, ya.” Raka melanjutkan, “apa kamu masih melukis?”
Ayla terdiam. Ia dulu suka melukis, tetapi sejak hidupnya berubah menjadi penuh tekanan, ia tidak pernah lagi menyentuh kuas dan kanvas.
“Sudah lama aku tidak melukis,” jawabnya akhirnya. “Terlalu banyak hal lain yang harus kupikirkan.”
Raka menghela napas. “Sayang sekali. Kamu selalu bilang melukis bisa membuatmu tenang ditengah gempuran tugas, haha.”
Mereka mengobrol sebentar tentang kehidupan masing-masing, sampai akhirnya Ayla menyadari waktu sudah berlalu cukup lama.
“Aku harus kembali,” katanya sambil berdiri.
Raka ikut berdiri. “Kalau begitu, bolehkah aku meminta nomor kontakmu lagi? Aku ingin tetap terhubung dengan teman lama.”
Ayla ragu sejenak, tetapi akhirnya menyerahkan nomornya. Bagaimanapun, Raka adalah seseorang yang pernah dekat dengannya, dan tidak ada alasan untuk menolak.
Ayla membesuk sang Ibu di rumah sakit sebelum pulang. Perasaanya menjadi sedikit lebih ringan. Mungkin karena berbicara dengan seseorang dari masa lalunya membuatnya merasa lebih manusiawi.
Malamnya, saat berbaring di tempat tidur, ponsel Ayla kembali bergetar.
Leonard Statham: Jangan lupa tidur lebih awal. Aku tidak mau melihat wajah lelah besok.
Ayla tersenyum kecil. Leonard terdengar seperti ibunya di rumah sakit.
Ayla: Baik, Tuan. Saya akan tidur sekarang.
Sebelum ia benar-benar memejamkan mata, pikirannya melayang ke hari esok—ke pemeriksaan kesehatan, ke bayi yang akan ia kandung, dan ke perjalanan panjang yang menunggunya.
Ia tidak tahu bagaimana akhirnya semua ini akan berjalan, tetapi satu hal yang pasti: hidupnya tak akan pernah sama lagi.
"Semoga semuanya berjalan lancar."
~•~
Ayla menatap rak kecil di sudut ruangan dengan alis berkerut. Beberapa kotak berjejer rapi, masih tersegel dengan pita emas kecil. Seseorang mengantarnya beberapa saat yang lalu atas perintah Leonard.Gadis itu menarik salah satu kotak, membaca tulisan yang tercetak di permukaannya.Set cat air merk Schmincke Horadam.Ia melirik kotak lainnya. Satu set cat minyak Rembrandt. Di sebelahnya, kuas dengan gagang kayu yang halus, palet kayu mahoni, hingga kanvas beragam ukuran yang masih terbungkus plastik bening.Jari-jarinya dengan ragu membuka satu kotak, memperhatikan warna-warna cerah di dalamnya. Produk-produk ini bukan hanya mahal—ini adalah perlengkapan profesional yang bahkan seniman berpengalaman pun mendambakannya.Ayla mengembuskan napas. Ia tak mengerti pria itu. Belum lama mereka bertengkar. Ia tak mengira Leonard akan langsung mengirimkan sesuatu seperti ini. Apa maksudnya?Apa ini bentuk permintaan maaf? Atau hanya cara lain untuk mengontrol hidupnya?Ia menutup kotak perlah
Pagi itu, Ayla menatap bayangannya di cermin. Rambutnya ia ikat longgar, mengenakan kemeja putih dengan celana kain krem. Tidak ada yang berlebihan, tapi cukup nyaman untuk pergi ke taman dan melukis.Sejujurnya, ia tidak tahu kenapa ia setuju ikut. Mungkin karena ia memang butuh keluar dari rutinitas. Atau mungkin… karena ada bagian kecil dari dirinya yang ingin kembali menjadi Ayla yang dulu.Leonard—yang entah kenapa mulai tinggal di kamar lain apartemen Ayla—sudah berangkat ke kantor sebelum ia bangun, menyisakan pesan singkat di ponselnya.‘Jangan lupa sarapan.’Sesederhana itu. Tanpa tambahan kata-kata lain. Ayla menghela napas pendek. Pria itu memang selalu seperti itu—tidak pernah mengatakan lebih dari yang diperlukan.Namun, tetap saja… ada sesuatu dalam pesannya yang membuat Ayla merasa diperhatikan.Ia mengabaikan pikirannya sendiri dan meraih tasnya. Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di dalam taksi menuju taman tempat Raka menunggunya.Begitu ia tiba, Raka sudah dud
Ayla duduk diam di sofa ruang tamu setelah Leonard pergi kembali ke kantornya. Apartemen itu kembali sepi, hanya menyisakan suara denting kecil dari sendok yang ia putar di dalam cangkir tehnya.Tatapannya jatuh ke meja, ke bungkusan permen jahe dan kompres panas sekali pakai yang dibawa Leonard. Seharusnya ia tidak terlalu memikirkan semua ini. Seharusnya, itu hanya bentuk tanggung jawab seperti yang Leonard katakan.Tapi… kenapa rasanya tidak seperti itu?‘Jangan berpikir macam-macam, Ayla.’Ia menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mengganggunya sejak tadi pagi. Tapi semakin ia menepis, semakin kuat perasaan itu menghantamnya.Ketika Leonard mengatakan, "Kita bisa menikah," ia bisa merasakan bagaimana hatinya seakan mencelos ke dasar jurang. Bukan karena kalimat itu terdengar seperti harapan, tetapi justru karena tidak ada sedikit pun perasaan di dalamnya.Leonard ingin anak, bukan istri.Leonard ingin keturunan, bukan keluarga.Dan Ayla hanya bagian dari renc
Leonard mengangkat kepalanya, mata tajamnya kini menatap langsung ke dalam mata Ayla. “Kamu sudah bangun,” gumamnya pelan, tapi tetap dengan nada datarnya yang khas. “Kau menggeliat terus dalam tidur, aku pikir perutmu sakit sekali. Dokter bilang, dengan kondisimu, kemungkinan haidmu akan lebih parah daripada biasanya.”Ayla tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ketika membuka selimut dan mengambil alih bantal kompres dari tangan Leonard ia menyadari dirinya sudah mengenakan piyama bersih. Baru saja ia hendak bertanya, tapi Leonard sudah membaca pikirannya.“Tadi kamu tidur masih mengenakan baju kemarin karena kita tidak jadi membeli baju baru di jalan. Makanya aku menyuruh seorang staff wanita mengganti bajumu dengan piyama, agar tidurmu lebih nyenyak. Jangan berpikir macam-macam,” katanya dengan nada malas. “Aku tidak bertindak aneh-aneh.”Ayla ingin membantah, tapi kepalanya terlalu berat untuk berdebat. Alih-alih berbicara, ia justru menutup matanya lagi. Nyeri di perutnya masih
Ayla duduk diam di dalam mobil, membiarkan pemandangan di luar jendela berlalu tanpa benar-benar memerhatikannya. Hening menyelimuti mereka, dan hanya suara mesin mobil yang terdengar di antara mereka.Leonard di kursi pengemudi tampak fokus, tapi pikirannya tidak sepenuhnya pada jalan di depannya. Sesekali, tatapannya melirik ke arah Ayla yang duduk dengan kepala sedikit tertunduk.“Kamu ingin makan sesuatu?” tanya Leonard akhirnya, memecah keheningan yang terasa menyesakkan.Ayla menggeleng pelan tanpa menoleh. "Tidak, terima kasih."“Kamu harus makan, kamu belum makan apa pun sejak semalam," tekan Leonard, nada suaranya sedikit menurun, namun tetap tegas. "Tubuhmu butuh nutrisi setelah apa yang terjadi."Ayla tidak menjawab. Ia tahu Leonard benar, tapi perutnya terasa berat. Semua emosi yang ia tekan sejak kejadian di apartemen terasa menyesakkan di dada.Melihat Ayla yang diam saja membuat Leonard semakin gusar. Pria itu bukan seseorang yang biasa berhadapan dengan kebisuan yang p
Cahaya matahari menyusup masuk dari sela-sela jendela, menyentuh wajah Ayla yang masih terlelap di sofa. Udara pagi terasa dingin, tapi entah kenapa dada Ayla terasa lebih hangat daripada biasanya. Perlahan, kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram sesaat, sebelum akhirnya ia sadar berada di ruangan yang asing.Dia butuh beberapa detik untuk mengingat kembali kejadian semalam. Raka membawanya pergi. Mereka menghabiskan waktu berbicara, atau lebih tepatnya—Ayla yang berbicara, dan Raka yang mendengarkan. Setelah semua yang terjadi, akhirnya ia bisa menumpahkan segala beban yang selama ini ia pendam sendiri.Ayla mengangkat tubuhnya dari sofa. Rumah ini terasa kosong, dan memang seharusnya begitu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Raka. Sebagai gantinya, di atas meja kecil di dekat sofa, ia menemukan sekotak nasi yang masih hangat, beberapa lembar uang kertas, dan sebuah ponsel sederhana yang sepertinya milik Raka.Ada secarik kertas di sampingnya. Tulisan tangan Raka tertulis r