Share

Pekerjaan Tak Lazim

Di satu tempat di kota.

Menjelang pukul sebelas malam, tampak kesibukan di sebuah ruangan kecil berukuran 3x3 meter. Hanya ada sebuah kasur lusuh tanpa dipan, tanpa bantal ataupun guling. Dua buah lemari tanpa pintu dan satu meja rias dijejali banyak barang milik bersama. Lampu penerangan hanya seadanya, melengkapi suasana kamar yang buram dengan dinding kamar yang berlumut mengaburkan warna cat aslinya.

Dua buah jendela kecil terletak sangat tinggi hampir menyentuh langit-langit. Seolah-olah sengaja hanya diperuntukkan untuk jalan udara, tak memberi kesempatan si penghuni kamar untuk melihat keluar. Ruangan yang lebih pantas disebut penjara daripada kamar.

Tiga orang gadis muda berdandan terburu-buru berebutan di satu cermin. Bedak, pewarna bibir juga maskara mereka pakai bersama tanpa ragu. Pakaian yang mereka kenakan sangat seksi. Baju atasan yang hanya mencapai bagian atas perut dan rok mini yang ketat mengikuti lekuk tubuh.

Mereka adalah Winona, Nina dan Tiara. Usia mereka belum ada yang mencapai 20 tahun. Namun tangan terampil mereka berhasil memoles wajah masing-masing menjadi sangat cantik dan terlihat dewasa. Terlihat beberapa tahun lebih tua dari usia mereka sebenarnya.

Selesai berdandan, beberapa mobil sudah menunggu mereka di luar gedung yang mereka sebut asrama. Puluhan gadis-gadis keluar dari puluhan kamar yang ada disana. Semua memasuki mobil yang berbeda sesuai perintah seorang pria yang mereka sebut Bos besar. Tak ada yang tahu kemana tujuan mereka. Mereka hanya tahu mereka akan bekerja, menghasilkan uang banyak dan membahagiakan orangtua yang bahkan tak tahu apa pekerjaan anaknya.

***

"Ayo liukkan lagi badanmu, jangan kaku. Gerakkan semuanya!" Setengah mabuk, seorang pria terus menatap tubuh gemulai Winona yang tak henti menari. Ia berdiri sempoyongan, menarik gadis itu dan dengan kasar menyuruhnya naik ke meja.

"Menarilah di atas sini cepat. Aku sudah membayar mahal untuk melihat atraksimu!"

Pria-pria lainnya di ruangan itu bergerak cepat merubungi. Winona terus menggerakkan tubuhnya di atas meja. Tangan-tangan jahil mulai menjamah tubuhnya. Dengan gerakan tangannya yang gemulai ia mencoba menepis tangan-tangan tak diundang, sengaja ia gerakan tangannya seolah menari menghentak. Saat ada kesempatan ia sengaja menginjak jari seorang pria yang berusaha menjamah kakinya.

Suara musik terus menggema, dalam keremangan cahaya Winona melihat sekitar mencari kedua temannya. Di salah satu sudut ia melihat Nina sudah berhenti menari. Dia tampak duduk bersama tiga pria. Duduknya sudah tak lagi tegak, tampak sebotol minuman keras ada di genggamannya.

Ia melihat lagi ke seluruh ruangan mencari keberadaan Tiara. Ruangan yang penuh pria-pria mabuk menyulitkan pandangannya. Cahaya lampu disko yang berwarna warni pun menyakitkan matanya. Hingga akhirnya ia melihat Tiara berjalan keluar bergandengan dengan seorang pria tua.

Winona tersentak, tangan-tangan jahil kembali menariknya. Apalah daya seorang gadis sepertinya melawan serangan dari banyak pria. Ia menatap sang penjaga di pintu, memohon pertolongan. Namun si penjaga itupun tengah asyik menikmati pemandangan di depannya.

Tepat tiga jam sudah ia menari. Tenaganya hampir habis. Segera ia turun dari meja dan bergegas keluar, seorang pria mencoba menahannya. "Satu jam lagi !" serunya.

"Tidak, aku hanya diperintahkan untuk menari tiga jam saja."

"Ayolah, atau kita pergi bersama dari sini?"

Tak menghiraukan omongan pria itu, Winona terus berjalan cepat menuju pintu keluar. Seorang penjaga menahannya, "Kamu yakin tak mau melanjutkan lagi malam ini?"

"Ya!"

"Ada pria yang menawarkan bayaran empat kali lipat jika kamu mau menari khusus untuknya. Atau kamu ingin bayaran yang lebih tinggi lagi?"

"Tidak. Sudah cukup. Suruh yang lain saja. Aku lelah."

Ia diperbolehkan keluar dan menunggu di tempat yang ditentukan Bosnya. Tak lama Nina menyusul dengan dipapah penjaga. Ia mabuk berat.

"Kalian pulanglah, mobil jemputan sudah menunggu di luar. Besok tugas kalian ke luar kota. Oya, teman kalian Tiara tidak akan pulang. Ia kerja lembur."

Winona sangat mengerti apa yang dimaksud kerja lembur oleh si penjaga. Ia memapah Nina masuk ke dalam mobil.

***

Kembali di kamar mereka yang kecil dan sumpek. Nina masih tertidur pulas. Winona menghitung lembaran-lembaran merah yang diterimanya. Hanya setengah dari jumlah yang dibayarkan tamu-tamunya. Setengahnya lagi mengalir ke saku Bos besar.

Ia memisahkan uang untuk biaya hidupnya di kota. Lalu menyimpan sebagian lainnya untuk dikirim ke keluarganya di kampung halaman. Ada aliran air mata menggenang di matanya, ia ingin berhenti melakukan pekerjaan ini. Namun ia telah terjebak. Bos besar mengharuskan ia membayar dengan jumlah yang sangat besar bila ia ingin pulang. Jumlah yang dengan seenaknya disebutkan oleh Bosnya, yang sangat tahu dengan jelas, angka dengan deretan sepuluh angka nol di belakangnya takkan pernah bisa terkumpul oleh gadis seperti dia.

Perlahan ia menghampiri cermin, siapakah bayangan disana itu? Dia yang tadi berangkat dengan wajah cantik dan pakaian rapi--walaupun sangat seksi--, kini hanya ada seorang gadis berwajah lusuh dan rambut yang kusut. Pakaiannya pun sudah tak beraturan. Ia menghapus polesan-polesan warna di wajahnya. Lalu menutup wajah dengan kedua tangannya dan menangis tersedu.

Terdengar langkah-langkah kaki di luar kamarnya. Winona tahu itu suara langkah anak-anak baru. Pekerja yang sudah lama seperti dirinya pasti menggunakan sepatu berhak tinggi. Yang akan menghasilkan suara menghentak di lantai, bukan suara sandal-sandal seperti yang didengarnya sekarang. Suara obrolan yang didengarnya pun jelas obrolan orang-orang yang baru tiba di kota. Pertanyaan-pertanyaan polos yang dijawab dengan kebohongan oleh para penjaga.

"Anak-anak yang malang," batinnya. Mereka pasti tertipu seperti dirinya. Beberapa hari anak-anak itu akan dipaksa berlatih menari sensual seperti dirinya. Berlatih dengan paksaan, bentakan dan pukulan. Anak-anak itu pasti memiliki mimpi yang sama dengannya, lalu kemudian terjebak seperti dirinya.

Setelah mandi dan berganti pakaian, ia bersiap tidur. Berharap bermimpi indah bertemu dengan keluarganya di desa. Satu hal yang dapat menghibur hatinya adalah kebahagiaan keluarganya. Membayangkan ayah dan ibunya dapat makan dengan lauk yang layak. Membayangkan adiknya dapat membeli mainan yang diinginkannya. Dan rumah bobroknya bisa diperbaiki.

Adiknya pulalah yang membuatnya menyetujui ajakan untuk bekerja di kota ini, ia sedih teringat adiknya yang menangis karena tak dipinjamkan sepeda oleh anak tetangga. Kini penjaga sudah memberitahunya, adiknya di desa sudah memiliki mobil mainan yang bermesin yang mirip mobil sungguhan. Ayahnya bisa menemaninya menggunakan remote. Winona tersenyum membayangkan adiknya tertawa ceria.

Ia menatap Nina yang masih lelap tertidur, sepertinya temannya itu tak akan bangun hingga besok hari. Nina memiliki cerita yang hampir sama dengannya. Keluarganya miskin dan banyak dihina orang di sekitarnya. Hutang orang tuanya menumpuk dimana-mana. Nina pun tak dapat melanjutkan sekolah. Ia hanya menamatkan pendidikannya di SD saja. Kemiskinan membuat mereka terpaksa menjalani pekerjaan tak lazim.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status