Share

Neraka Kecil

Suara musik menghentak memekakkan telinga di sebuah ruangan yang hanya berdinding bata merah. Ruangan itu luas namun terasa lembab dan menyesakkan dada. Hanya ada sebuah jendela memanjang berteralis besi, itupun tertutupi handuk-handuk kecil kumal yang bergantungan. Di tengah ruangan terdapat beberapa tiang besi mirip tiang bendera yang terpasang kuat di lantai. Tinggi tiang itu hampir menyentuh langit-langit. Di salah satu sudut disusun bertumpuk empat buah meja, dan di sebelahnya tiga buah lemari besar diletakkan berdempetan.

Pintu masuk dijaga seorang pria bertubuh tambun dengan bekas luka memanjang dari hidung hingga pipinya, tiga pria lainnya berpenampilan tak kalah seram berdiri menyender di tiap sisi dinding. Masing-masing memegang sebuah tongkat kayu mirip tongkat kasti.

Seorang wanita berpakaian senam ketat berwarna merah mengkilat meliuk-liukkan tubuhnya ke segala arah bagaikan cacing kepanasan. Sesekali ia mengangkat kakinya bergantian, berbaring di lantai dan berputar. Lalu menari lagi dengan berpegangan pada sebuah tiang. Gerakan yang ditunjukkannya sungguh gerakan tak beraturan yang takkan pernah diajarkan di sanggar tari manapun. Ekspresi yang ditunjukkan wajahnya akan membuat setiap perempuan yang melihatnya mengernyitkan dahi ataupun tertawa miris. Namun ekspresi itu akan membuat setiap pria hidung belang membelalakkan mata. Sesekali wanita itu mengedip, memajukan bibirnya dan memejamkan mata sambil terus menari.

Belasan gadis muda berbaris dan menyaksikan penari itu dengan tatapan bingung, melongo dan bahkan ada yang menangis diam-diam.

"Ayo perhatikan lagi pelatih tari di depan kalian ini. Angkat kepala kalian!" sesekali para pria penjaga berjalan mendekati barisan, tongkat yang dipegangnya dipukulkan ke dinding membuat para gadis gemetar ketakutan, "Kalian harus bisa menirukan tarian itu. Bila ada yang membangkang atau tidak bisa hafal. Saya tak segan memukulkan tongkat ini ke badan kalian!"

Lalu dengan tongkatnya lagi pria itu menunjuk tumpukan air mineral dalam kemasan yang diletakkan di dekat pintu, "Setiap dua jam kalian boleh minum. Dengan catatan tidak ada kesalahan dalam gerakan kalian. Sebelum gerakan kalian benar kalian tidak boleh minum!"

Seorang gadis berperawakan kurus tak dapat menahan ketakutannya. Ia menangis histeris.

"Saya mau pulang! Saya ngga jadi kerja disini."

"Ssst ... kamu diam, nanti penjaga mukul kamu."

"Aku juga takut. Tapi diam saja dulu."

Bisikan-bisikan teman-temannya tak mampu meredam tangis si gadis yang ketakutan. Hingga penjaga menghampirinya .

"Siapa nama kamu?"

"Er ... Erna Pak."

"Kenapa kamu?"

"Sa ... saya mau ... pu ... pulang."

"Kamu ingat tujuan kamu kesini?"

"Saya diajak untuk jadi guru tari."

"Itu di depanmu guru tari! Kamu bisa jadi seperti dia nanti!"

"Tidak, bukan yang seperti itu... saya mau pulang sa ... saja."

"Kamu mau pulang?"

"I ... iya ... tolong Pak. Pulangkan saya."

Penjaga itu memandang tajam. Selanjutnya tangis Erna semakin keras diiringi teriakan menyayat hati. Semua temannya membalik badan dan menutup muka, tak sanggup melihat apa yang dilakukan penjaga itu. Hingga kemudian suasana sunyi. Tak ada lagi suara tangisan Erna.

Dua orang penjaga lainnya masuk dan mengangkat tubuh Erna keluar.

"Yang lainnya lanjut berlatih! Sekarang kalian berganti pakaian. Ambil pakaian di lemari di sudut sana. Cepat!"

Berlarian para gadis menuju lemari. Mengambil pakaian yang ada dan saling berpandangan. Seseorang memberanikan diri bertanya pada penjaga, "Kami harus pakai ini?"

"Ya! Cepat pakai"

"Dimana kami bisa berganti baju?"

"Disini. Tidak ada yang boleh keluar ruangan!"

Para gadis berinisiatif bergantian menutupi temannya yang berganti pakaian dengan membuat barisan merapatkan tubuh mereka. Lalu mereka kembali berbaris dan hanya mampu menunduk menatap lantai. Para penjaga tertawa terbahak-bahak melihat gadis-gadis yang kebingungan menutupi tubuh mereka. Baju yang dikenakan lebih pantas digunakan untuk berenang.

Seorang pria tua masuk. Ia mengenakan jaket kulit berwarna coklat dan topi Bowler yang juga berbahan kulit. Semua penjaga membungkuk memberi hormat padanya. Para gadis langsung ingat orang itulah yang membujuk mereka untuk mau ikut bekerja dengannya. Namun kini wajah pria itu berekspresi sangat dingin dan menakutkan. Ia memandang ke seluruh ruangan, "Ingat, jangan memukul wajah," hanya itu yang ia katakan pada penjaga lalu keluar.

Sudah tak mungkin untuk berhenti. Satu persatu gadis-gadis maju menirukan gerakan tarian liar di hadapan teman-temannya. Musik terus bergema, tetap diselingi suara tangis dan hantaman benda keras. Ruangan itu, ruang yang mereka sebut sebagai tempat pelatihan kerja, menjadi saksi terhentinya mimpi para anak muda yang terjebak.

***

Ranginang dalam sebuah kaleng kue bermerek terkenal berwarna merah, irisan kue lapis diatas piring plastik beralas daun pisang, jejeran toples berisi keripik singkong dan kacang goreng tersusun rapi di tengah karpet tipis. Ceret-ceret berisi kopi dan teh hangat disuguhkan menyebar di ruang tamu dan meja di luar sebuah rumah panggung.

Sepasang suami istri dengan wajah berseri menyalami tetangga yang datang. 

"Selamat ya Pak ... Bu ...akhirnya anaknya dapat pekerjaan di kota."

"Wah saya juga mau anak saya kerja di kota, katanya gajinya besar ya."

"Erna memang anak baik ya. Sudah bisa bantu orang tua."

"Akhirnya ada anak desa Japrang yang sukses."

"Terima Kasih ... Terima Kasih," orangtua Erna sumringah. Tak apa tabungan mereka harus dihabiskan untuk menggelar acara syukuran sederhana malam ini. Anak gadis mereka yang cantik dan hobi menari, kini sudah mendapatkan pekerjaan sebagai guru kesenian di kota. Orangtua mana yang tak bahagia mengetahui anaknya mendapatkan pekerjaan sesuai bidang yang disukainya.

"Erna cepat dapat kerjanya ya Bu. Saya dengar kalau yang lain harus sekolah guru dulu baru bisa ngajar."

" Benar, Erna beruntung bisa langsung kerja."

"Gimana caranya biar bisa kayak Erna bu? Anak saya kan sekolahnya cuma sampai SD. Tapi dia juga pintar nari."

"Oh bisa Bu. Nanti juga katanya ada pelatihan kerjanya."

"Terus gimana Bu? Harus punya surat apa aja?"

"Ngga ada syarat surat apa-apa Bu. Yang penting anaknya belajar bikin tanda tangan. Erna juga cuma disuruh tanda tangan kertas kosong … Nanti saya kasih tau pak Burhan ya kalau anaknya mau ikut kerja juga."

"Pak Burhan itu siapa Bu?"

"Beliau tokoh desa Cirangka. Punya banyak kenalan. Beliau bisa membantu siapa saja yang ingin bekerja."

Obrolan antusias para wanita itu terdengar jelas keluar karena dinding rumah hanya terbuat dari bilik bambu. 

Para bapak berkumpul di luar rumah. Duduk berjajar pada bangku bambu memanjang berlomba menghembuskan asap dari rokok kretek masing-masing. Udara sangat dingin namun tak ada pilihan lagi, rumah tuan rumah yang sempit hanya mampu menampung para ibu untuk duduk di dalam.

Mereka menikmati ubi dan singkong rebus yang tersaji dalam sebuah baskom plastik saat sebuah mobil berhenti di dekat mereka. Semua berdiri melihat seorang pria turun diikuti anak buahnya.

Sang pemilik rumah tergopoh menyambut, "Terima kasih Pak Burhan mau jauh-jauh datang ke gubuk saya."

"Karena diundang tentu saya datang. Namun maaf saya tak bisa lama. Ini ada makanan untuk suguhan tambahan."

Anak buahnya menyodorkan tiga kantong besar kue.

"Wah terima kasih Pak. Kue-kuenya sangat bagus sekali. Pasti sangat enak."

"Ya. Di desa saya ada ibu dan anak penjual kue. Saya bisa saja membeli kue di toko mahal di kota, tapi saya kan harus membantu perekonomian desa saya."

Semua yang hadir mengangguk-angguk dan menatap kagum pada sosok yang mereka anggap sebagai dewa penolong. Hingga sosok itu berlalu meninggalkan mereka.

***

Maysha

Siapakah Pak Burhan? Bagaimana nasib gadis-gadis muda itu? Nantikan kejutan-kejutan lainnnya di bab selanjutnya. Jangan lupa vote ya. Salam ^_^

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status