Me : Ka, aku dalam masalah...
Delete
Me : Ka, kamu bilang mau bertanggungjawab...
Delete
Sudah beberapa kali aku menghapus pesan yang ingin aku kirimkan pada Raka. Kemarin, setelah aku mengirimkan hasil testpack pada Ghina, dan menceritakan pertemuanku dengan Raka dan Diandra di mall, Ghina langsung memberiku wejangan lagi. Kalau aku harus bertindak cepat dan memberitahu semua orang tentang kehamilanku. Makanya, meski enggan aku berusaha untuk memberitahu Raka meskipun itu lewat alat komunikasi canggih yang sedang kutatap ini.
Bagaimana pun, janin ini milik Raka. Dan sekeras apapun aku menolak, itu hanya akan membuatku menyalahkan takdir untuk kesekian kalinya.
Menghembuskan napas sebentar, mencari kata yang tepat untuk aku utarakan pada Raka. Dengan ragu aku kembali menulis di papan ketik.
Me : Aku hamil.
Send
Kali ini aku memberanikan diri u
Author POVLayaknya sebuah kejutan yang tanpa diduga, Raka dipaksa untuk mengikuti ritme Galih yang cepat. Ia bahkan tidak bisa melawan saat Galih menyeretnya masuk ke apartemen Raina dan melanjutkan adu jotosnya tanpa ingin dilihat oleh penghuni apartemen yang lain.Tidak terhitung berapa jumlah tonjokan yang melayang di wajah Raka karena memar sudah memenuhi seluruh bagian wajah pria itu. Sementara hanya sesekali Raka melakukan perlawan. Sosok sahabat yang dulu merangkul, kini berubah menjadi iblis jahat yang kapan saja siap membunuhnya. Sebagai sesama pria, Raka tahu kondisi Galih sekarang. Dia pun melakukan hal yang sama pada selingkuhan mantan istrinya dulu.“BANGUN LO!” teriak Galih lantang, memenuhi ruangan.Tubuh Raka seperti tidak memiliki tulang untuk menopang. Lemas dan sulit untuk bergerak. Tapi ia berusaha kuat karena melihat Raina yang sedang menangis ketakutan di bawah sofa. Ia harus kuat demi wanita itu, wanita
AUTHORMata yang terpejam itu kini memicing dengan dahi berkerut. Mencoba melawan cahaya lampu yang masuk ke retinanya. Telinganya yang masih berfungsi dengan baik, mendengar suara isakan lirih. Ia menoleh walaupun lehernya seakan mati rasa.“Rain...,” rintihnya lemah.Raka meringis, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Ia berusaha bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki. Ada seseorang yang membutuhkannya, membutuhkan dekapannya.Ternyata ia lemah, untuk berdiri saja susah. Namun Raka tak kehabisan akal.
Kalau harus memilih, aku ingin mencari kebahagiaan dengan cara yang lebih baik. Tapi aku tidak bisa memprediksi jalan yang diberikan Tuhan untuk menunjukan takdirnya kepadaku. Dan ini adalah jalan takdirku.“Aku bawa susu buat ibu hamil, buah-buahan, dan berbagai jenis sayuran.”Aku terkejut saat membuka pintu apartemen dan langsung diserbu dengan untaian kalimat Raka sambil mengangkat dua kantong kresek putih bermerek sebuah mini market yang isinya penuh.“Jadi ceritanya mau jadi asistenku yang rela beliin isi kulkas?” Aku bersidekap di depannya.
Kejadian ini, masalah yang kuciptakan ini mungkin cara Tuhan menegur lewat semesta. Semesta memang suka bercanda, aku yakin semesta hanya sedang mengajariku untuk lebih dewasa dan bertanggungjawab kedepannya.Mengajak Raka makan bubur ayam bukan pilihan yang tepat sepertinya. Dia paling anti sama makanan yang lembek seperti bubur. Mau bagaimana lagi, toh sekarang ini hanya bubur ayam yang ingin aku makan.Wajah Raka tidak bersahabat setiap kali dia melihat bubur ayam yang sedang ku makan. Sementara dia hanya memesan air mineral saja. Aku mencoba tidak peduli, salah siapa tidak suka bubur. Padahal rasa bubur ayam ini sangat enak sekali.“Apa aja yang dibicarain sama Galih?”Setelah sekian lama dia memasang wajah datar, dan hanya mengamati sekeliling. Akhirnya Raka membuka suara.“Gak banyak. Kita udah clear. Dia ngelepas aku,” balasku sambil menyelidik ekspresi yang Raka tunjukan. Gurat ekspresinya selalu su
Gundah, satu kata yang menggambarkan keadaan hatiku pagi ini. Dinner sederhana di tukang sate namun terkesan romantis semalam seolah lenyap dengan datangnya kabar dari Galih. Galih bilang, Mamanya siap bertemu jam delapan pagi sebelum berangkat untuk menjenguk suaminya.Aku menyetujui. Walaupun berat, tapi aku ingin selesai secepatnya supaya tidak terus kepikiran yang pada akhirnya membuatku stress. Sementara aku baca dari berbagai artikel online, jika ibu hamil tidak boleh banyak pikiran.Tidak ada jemputan, aku memilih naik Grab-Car karena kondisi badan yang tidak memungkinkan untuk menyetir. Sementara Galih tidak mungkin menjemputku, dan Raka harus mengantar ibunya periksa ke dokter. Efek shock yang berujung turunnya kondisi kesehatan dari Tante Marina.Setelah membayar Grab-Car, aku langsung membuka pintu gerbang rumah Galih. Terlihat Galih sedang berdiri di depan pintu rumahnya dengan kemeja abu tua yang dikenakan.“Gak telat
Menolak permintaan Ayah sama saja bunuh diri. Aku membatalkan niatku untuk pertama kalinya memeriksa kandungan bersama Raka dengan beralasan harus mengurus si kembar karena Kak Arsen kerja dan Kak Kinan yang super sibuk mengurus si bungsu yang baru lahir. Untungnya Raka percaya dan tidak jadi menemuiku.Duduk di hadapan Ayah dan Bunda, pikiran kalut serta degub jantung yang abnormal. Menundukan kepala, sebab tidak mampu membalas sorotan tajam dari Bunda dan Ayah.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Biasanya Bunda akan langsung ngomel-ngomel. Tapi kali ini, Bunda hanya diam.Ayah berdeham cukup keras. Perasaanku semakin tida
Rasa cemasku menguap saat dokter bilang kondisi Raka stabil dan tidak terjadi sesuatu yang buruk. Ia hanya kelelahan dan tidak sanggup lagi melawan.Raka memang salah, tapi yang Kak Arsen lakukan itu keterlaluan.“Kakak pulang ya, Rain. Dicariin Al terus. Kamu gak papa Kakak tinggal sendiri?”Aku hanya menggeleng pelan. Menatap sayu Kak Arkan. Kepalaku pening dan mataku terasa perih dan berat.“Kamu hati-hati. Jangan banyak pikiran! Kasian bayinya kalau ibunya stress.”Satu hal yang membuatku jatuh cinta sama Kak Arkan, kepribadiannya. Setiap menyikapi permasalahan, dia selalu bisa mengontrol emosinya. Aku punya dua orang kakak, mereka mirip dalam segi wajah tapi tidak dalam kepribadian. Kak Arsen dengan tempramentalnya dan Kak Arkan dengan kedewasaannya.“Makasih ya, Kak. Udah mau bawa Raka ke rumah sakit.”Kak Arkan terdiam, menelisik wajahku dengan lekat sebelum lengan kekarnya menarikku ke dalam
Malam ini langit diterangi cahaya bulan, kerlip bintang seakan tidak mau kalah eksistensi dari sang rembulan. Aku termenung di antara pembatas apartemen. Menikmati setiap desau angin yang berhembus mesra. Mencoba menenangkan hati yang sejak pagi digelayuti kerisauan.Memejamkan mata tak mampu. Meski lelah, mataku tetap terjaga sampai jam sebelas malam. Setiap keping kejadian hari ini sergumul dalam benak, seolah berlomba-lomba menempati kursi utama hingga akhirnya selalu kuingat.Yang terbaru adalah ingatan tentang Diandra. Wanita yang kuyakini menyukai Raka itu tiga jam yang lalu mendatangi apartemenku. Katanya, ia mendapatkan alamat apartemenku dari Ghina karena sebelumnya dia datang ke Kafe.Diandra bercerita banyak, termasuk soal hubungan dan perasaannya untuk Raka.Kecanggungan sangat kental terasa, saat aku menyuguhkan segelas teh hangat pada Diandra yang sudah duduk di sofa. Aku mencoba berpikiran positif, tanpa mau menebak-nebak tujuan dia men