Setelah menghabiskan beberapa hari dalam kultivasi tertutup, Zhu Long akhirnya merasa perkembangannya mulai melambat. Setelah mencapai tahap ke enam, ia hampir tak bisa menyentuh apapun dalam terobosan selanjutnya. Sementara firasat buruk selalu menghantuinya tanpa tahu sebab. Dengan napas yang teratur dan aliran energi spiritual yang kini lebih stabil dalam meridiannya, ia melangkah keluar dari kediamannya di Balai Spiritual Langit dan menuju paviliun Dao Zhang—sebuah tempat yang terbuka untuk umum di bagian barat wilayah sekte Yunzhou, yang menjadi pusat interaksi antara para murid bagian dalam dan bagian luar sekte. Langit siang masih cerah, namun angin membawa hawa sejuk yang menyenangkan. Ketika Zhu Long melangkah ke area paviliun Dao Zhang, matanya disambut oleh hiruk-pikuk keramaian yang nyaris menyerupai pasar di sebuah kota besar. Beberapa murid sibuk menjajakan barang-barang di kios-kios kecil yang ditata rapi di sepanjang jalur utama. Suara tawa, teriakan penjual, serta
Di gerbang utama kediaman Klan Zhu, Zhu Jiang berdiri tegak baru saja tiba di sana, sosoknya bagai batu karang menghadapi badai. Namun, ketika matanya menyapu ke depan, keningnya berkerut dalam.Kerumunan besar orang-orang bersenjata, mengenakan jubah merah gelap dengan lambang klan Qin di dada mereka, memenuhi jalanan utama di depan kediaman. Aura yang mereka pancarkan tajam, padat, dan penuh tekanan spiritual. Beberapa di antaranya bahkan memancarkan kekuatan setingkat ranah Golden Core—para ahli yang sanggup menghancurkan seluruh kediaman klan Zhu dalam waktu singkat.Di depan barisan itu berdiri sosok lelaki paruh baya berwajah keras dan mata penuh murka—Qin Xiao, kepala klan Qin. Di belakangnya, ratusan ahli berdiri seolah siap menebar maut kapan saja.Zhu Jiang melangkah maju beberapa langkah. Suaranya tenang namun tajam saat berkata, "Aku penasaran... apa maksud kedatangan kepala klan Qin hari ini, membawa pasukan sebanyak ini ke depan gerbang kediaman kami?"Qin Xiao menyipit
Langit senja menyelimuti kota Hongli dalam balutan jingga lembut ketika Shan Rong melangkah pulang dari pusat kota. Di tangannya, kantong-kantong belanja berisi bahan makanan dan sedikit manisan kesukaannya. Suara langkah kakinya menggema lembut di jalan berbatu, menyatu dengan keriuhan pasar yang perlahan meredup. Hari itu terasa seperti hari-hari biasa yang penuh ketenangan—namun sayangnya, ketenangan itu segera direnggut saat ia tiba di bagian belakang kediaman klan. Dua sosok pengawal klan berdiri kaku di hadapannnya. Wajah mereka dikenalnya: Zhu Xian dan Zhu Tao, dua pengawal kepala klan yang jarang keluar dari halaman dalam kecuali atas perintah penting. "Nona Shan Rong, akhirnya kau kembali," ucap Zhu Xian, suaranya datar namun matanya tampak gelisah. "Ada yang bisa kubantu?" tanyanya heran, meletakkan kantong belanja di meja kecil dekat pintu masuk dapur. Zhu Tao menunduk sejenak sebelum menjawab dengan berat hati, "Kami diutus oleh Kepala Klan. Ada perintah untukmu,
Udara di halaman kediaman Zhu Long mendadak menegang, seolah alam pun menahan napas menantikan pertarungan yang tak terhindarkan. Mata Chong Li menyala karena kesombongan yang menggelegak. Dengan cepat, ia menggerakkan jari-jarinya, mengeksekusi serangkaian segel tangan rumit dengan presisi seperti aliran sungai yang deras namun teratur.Setiap gerakan membawa kilatan energi yang mengalir deras dari tubuhnya, dan dalam sekejap, atmosfer di sekitarnya mulai berubah. Udara memanas, lalu bergetar hebat. Di belakang tubuh Chong Li, sebuah siluet makhluk buas muncul perlahan, terbentuk dari kabut spiritual yang pekat dan berdenyut. Siluet itu membentuk seekor singa raksasa, berdiri megah dengan surai yang bergelombang seperti api.Raungan menggema dari mulut singa spiritual itu—suara yang dalam dan berat, seakan mengguncang jiwa siapa pun yang mendengarnya.Dengan lompatan penuh amarah, singa itu melesat ke depan. Cakarnya menggores tanah, menciptakan retakan saat ia menerjang ke arah Zh
Sekte Yunzhou, yang berdiri megah di antara puncak-puncak gunung berkabut, tak jauh berbeda dalam struktur dasarnya dengan sekte Linjian. Keduanya memiliki pembagian wilayah antara bagian luar dan dalam. Sekte Yunzhou dikenal sebagai sekte yang keras, penuh persaingan yang terbuka di antara para murid. Tidak ada larangan bagi para murid untuk menantang satu sama lain, bahkan adu kekuatan kerap dianggap sebagai bentuk wajar untuk menunjukkan dominasi. Di sekte ini, hukum rimba adalah kebiasaan. Yang kuat berkuasa, yang lemah dipinggirkan. Zhu Long, setelah resmi menjadi murid, ditempatkan di wilayah sekte bagian luar. Meski sudah mencapai tahap tiga ranah Pemadatan Inti, statusnya tetap sebagai murid luar karena belum menembus ranah Golden Core, syarat mutlak untuk masuk ke dalam lingkaran elite sekte bagian dalam. Namun, fasilitas yang diterimanya jauh lebih baik dibandingkan yang pernah ia rasakan di manapun. Di sekte Yunzhou, semua murid luar mendapat tempat tinggal pribadi tanpa
Kedua penjaga yang sedari tadi tampak jumawa mendadak pucat pasi melihat kedatangan sosok itu. Mereka tersentak seperti baru disnegat aliran listrik, lalu serempak menjatuhkan diri ke tanah, membungkuk dalam-dalam. "Penjaga gerbang memberi hormat pada Tetua Agung Leng Luo!" seru mereka bersamaan, suara mereka bergetar karena ketakutan. Sosok berjubah putih itu adalah Leng Luo, salah satu dari Tetua Agung Sekte Yunzhou—figur legendaris yang hanya muncul ketika ada urusan penting, atau ketika sesuatu yang sangat menarik perhatiannya terjadi. Leng Luo menatap kitab di tangannya dengan mata tajam. Alisnya sedikit berkerut. Di balik wajahnya yang tampak tenang, sebenarnya hatinya tengah diguncang kekagetan. Meskipun bentuk fisik kitab itu sederhana dan kertasnya masih terlihat baru, Leng Luo yang telah menghabiskan ratusan tahun meneliti teknik kultivasi tahu betul—kitab itu bukan lah barang biasa. Ia bisa merasakan aliran aura spiritual aneh namun luar biasa kuat dari dalam halaman-
Salah satu penjaga, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka membentang di pipinya, maju satu langkah dengan tangan menyilang di dada. Ia melirik ke arah Zhu Long dari kepala hingga kaki, menilai pemuda itu seolah-olah sedang mengamati barang murahan di pasar. "Oh? Seperti itu rupanya. Tapi sebelum kau bisa melangkah masuk ke wilayah sekte, ada satu hal yang harus kau lakukan terlebih dahulu. Kau harus membayar biaya masuk." katanya, suaranya berat namun menyiratkan nada mengejek. Zhu Long mengangkat alisnya, sedikit terkejut, namun tetap menjaga ekspresinya tenang. "Biaya masuk?" "Benar. Setidaknya sepuluh batu roh. Tapi karena hari ini kami sedang baik hati, kau bisa membayar lima batu roh dulu dan sisanya bisa kau tebus setelah diterima sebagai murid resmi." timpal penjaga lainnya, yang tubuhnya lebih kurus namun tatapannya licik. Penjaga itu tertawa kecil, menyembunyikan kepuasan dalam matanya. Ia telah melakukan hal seperti ini berkali-kali, mengintimidasi calon murid mis
Wilayah Negara Zhang, di sebuah jalan setapak yang membelah hutan lebat, dua sosok muda berjalan berdampingan. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan, menciptakan suasana hening dan sepi yang hanya ditemani suara langkah kaki mereka yang menjejak tanah lembab. Beberapa hari telah berlalu ketika Zhu Long dan Yin Hui tiba di tempat ini. "Apa rencanamu selanjutnya, Junior Zhu?" tanya Yin Hui pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam desir angin. "Sekte Linjian sudah hancur… kita tidak mungkin kembali ke sana lagi." Nada suaranya terdengar tenang, namun mengandung luka yang dalam. Matanya menatap ke depan, namun jelas sekali bahwa pikirannya masih mengenang kejadian beberapa hari lalu. Zhu Long tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, udara pagi yang dingin seolah menyayat paru-parunya. "Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih pada Guru. Dia telah mengorbankan hidupnya demi menyelamatkan kita. Mungkin satu-satunya cara untuk membalasnya… adalah menjadi kuat, lalu membangkitk
Mendengar kata-kata menghina Niu Feng yang mennusuk harga diri para murid sekte, salah satu murid inti sekte Linjian melangkah maju dengan wajah membara oleh amarah. Tubuhnya bergetar, bukan karena ketakutan, melainkan karena kemarahan yang tak tertahankan."Kau bajingan gila! Dasar tak tahu diuntung! Beraninya kau menghina sekte kam—!" serunya lantang, nadanya penuh dendam dan keberanian, menggema di tengah kesunyian yang mencekam.Namun, belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba sebuah tekanan spiritual yang amat luar biasa—beratnya seperti ribuan gunung menghantam tubuh sang murid. Dalam sekejap, tubuhnya mencelat ke udara, lalu seketika remuk tanpa sempat menjerit. Tulangnya patah, kulitnya retak, dan dagingnya meledak menjadi debu halus yang tersebar tertiup angin. Hilang tanpa jejak tubuh yang tersisa, seolah ia tak pernah ada.Pemandangan mengerikan itu membuat semua murid yang tersisa membeku di tempat. Mata mereka membelalak, tubuh mereka gemetar, dan jiwa mereka m