Share

Bab 12

Memikirkan apa yang dikatakan kakek tua itu di telepon, pria itu sudah bisa menebaknya, "Kenapa wajahmu memerah? Jangan-jangan Kakek ingin kita tidur bersama malam ini?"

"Ku ... kurang lebih seperti itu," jawab Widia gugup.

Setelah berpikir sejenak, Tobi segera menggelengkan kepalanya dan berkata, "Nggak bisa. Apa tubuhmu hanya bernilai 200 juta?"

Widia merasa malu sekaligus kesal, lalu berkata dengan kasar, "Apa kamu bilang! Meski kamu setuju, aku nggak akan membiarkan kamu memperoleh apa yang kamu inginkan. Sebaliknya, kalau kamu menolak, aku bisa memberimu uang."

"Baiklah," janji Tobi.

"Kamu setuju?"

"Ya, tapi 200 juta nggak cukup. Aku mau 2 miliar."

'Tak tahu malu', diam-diam Widia mengutuknya dalam hati. Namun, wanita itu tetap menyetujuinya. Widia mengeluarkan cek dan menulis 2 miliar di atasnya, kemudian menyerahkannya kepada Tobi.

Mereka berdua pun berjalan masuk. Di ruang tamu, hanya terlihat ayah dan ibunya Widia.

Melihat Tobi mendekat, tanpa basa-basi, Yesa langsung mencercanya, "Tobi, kuperingatkan ya, sebaiknya singkirkan impian yang nggak seharusnya kamu miliki itu."

"Jangan harap Keluarga Lianto akan menerimamu sebagai menantu kami."

"Putriku nggak pantas bersanding dengan pria udik sepertimu."

Awalnya, Widia mendukung ucapan ibunya, tetapi dia mengerutkan kening saat mendengar ucapan kasar ibunya.

Namun, ada bagusnya juga. Dengan begitu, pria itu akan mundur.

Bahkan, Herman pun ikut memperingatkan pria itu, "Benar. Tobi, sebaiknya kamu sadar diri. Kalau nggak, sekalipun kakek mendukungmu, aku juga nggak akan melepaskanmu begitu saja."

Tobi tampak mengernyit.

Saat pria itu hendak berbicara, Kakek Muhar datang dan berkata, "Tobi, kamu sudah kembali. Sepertinya, cucuku kurang sopan. Beraninya dia menindasmu dan menyuruhmu tinggal di luar tadi malam."

"Nggak apa-apa, nggak masalah, kok," jawab Tobi sambil tersenyum.

"Baguslah kalau begitu!"

Kakek tua itu merasa Tobi sangat lapang dada. Padahal, dia telah disuruh tinggal di luar, mana mungkin dia tidak merasa sedih? Kakek tua melanjutkan perkataannya lagi, "Ada dua hal yang ingin kusampaikan hari ini. Pertama, Tobi, kamu nggak perlu tinggal di luar lagi. Mulai sekarang tinggallah di kamar Widia."

Begitu mendengar ucapan kakeknya, Widia tiba-tiba menjadi gugup. Dia khawatir Tobi akan berubah pikiran.

Herman dan istrinya juga tampak cemas.

Untungnya, Tobi segera berkata, "Kakek, sebaiknya jangan dulu. Lagian, kami baru saja bertemu. Kalau tiba-tiba disuruh begitu, kami merasa aneh dan nggak terbiasa."

Kakek tua itu tertegun sejenak dan bertanya, "Jadi, maksudmu?"

"Beri kami waktu untuk saling mengenal dulu. Setelah itu, kami akan pertimbangkan masalah hidup bersama."

Kakek tua itu mengangguk dan berkata, "Baik. Tumben kamu punya pemikiran seperti itu. Kalau begitu, lakukan sesuai keinginanmu saja."

Herman dan istrinya diam-diam menghela napas lega. Wajah mereka tampak puas.

Tampaknya, ancaman mereka berdua tadi berhasil menakuti Tobi.

Pria ini memang harus sering diberi pelajaran.

Kelak, mereka harus sering mengancam pria itu agar dia mundur dengan sendirinya.

Widia juga menghela napas lega. Meskipun telah membayar 2 miliar, dia tetap berterima kasih kepada Tobi.

Kakek tua melanjutkan perkataannya lagi, "Kedua, meski kalian sudah menikah, kalian masih belum mengenal satu sama lain."

"Tobi juga butuh pekerjaan, 'kan? Kalau begitu, bekerjalah di perusahaan Widia. Dengan begitu, kamu bisa membantu Widia sekaligus meningkatkan hubungan kalian berdua."

Apa!

Bekerja di perusahaan?

Widia langsung cemas begitu mendengar hal ini. Sebelumnya, kakeknya tidak pernah mengatakan bahwa dia harus bekerja dengan pria udik ini. Bukankah itu sama dengan mencabut nyawanya?

Jika orang-orang di perusahaan tahu bahwa mereka sudah menikah, bukankah dia akan gila?

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Chevy Firdaus
Kelewat murah nilai duit disini jut jut dan milyar seperti buat beli kacang goreng aja
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status